Malam, 6 Oktober 2021. Saya tiba di halaman studio Teater Garasi/Garasi Performance Institute. Halaman yang biasanya lengang di hari-hari biasa itu telah dipenuhi banyak sekali orang. Saya melipir, masuk melalui pintu kiri, melintasi sebuah lorong yang menghubungkan selasar dan panggung yang baru beberapa tahun lalu dibangun.
Awalnya, saya berniat menuju ruang makan yang terletak di pintu sebelah kanan. Namun, lampu di panggung, seperti sebuah ghostlight, menyergap perhatian saya. Di panggung itu, di bawah sorot lampu kuning tersebut, jenazah almarhum Gunawan Maryanto disemayamkan. Tempat terbaik untuk seorang yang hampir sebagian besar hidupnya dipersembahkan untuk teater, untuk keaktoran. Saya yang awalnya merasa tak cukup kuat menemuinya, meneruskan langkah ke panggung. Lutut saya lemas. Berusaha tetap kuat berdiri, saya berdoa sekali Bapa Kami dan tiga kali Salam Maria.
Kabar kepergian Mas Gun, begitu saya kerap menyapanya, datang seperti pencuri. Sungguh tiba-tiba. Saat itu, saya sedang menghadiri pembukaan Biennale Jogja XVI. Asep Nayak sedang naik panggung. Musiknya sungguh menghentak. Orang-orang menari mengelilingi seperangkat alat musik di atas panggung. Ada yang bersorak ria di bawah sebagian besar sudah mabuk, dan di sudut-sudut halaman belakang Jogja National Museum.
Saya mendapati kabar duka itu merayap perlahan bersamaan dengan riuh ramai bunyi synthesizer, teriakan, tawa dan senda gurau. Lewat bisik-bisik. Lewat story media sosial. Lewat decak kaget orang-orang, yang menyebar dari berbagai arah. Lalu, seketika hening. Sound system dimatikan. Satu per satu orang meninggalkan area panggung. Banyak wajah yang sama kemudian saya temui di studio Teater Garasi setelahnya. Malam itu, rasa-rasanya, orang-orang, terutama seniman dari seluruh penjuru Jogja datang menemui Mas Gun untuk terakhir kalinya. Adegan sembahyang, mulai dari tanda salib hingga pengajian, lilin yang dinyalakan hingga dupa yang dibakar hadir di panggung Teater Garasi.
Tahun 2017, saya pertama kali berkenalan dengan Mas Gun. Beberapa kali ia menemani saya jalan-jalan ke tempat-tempat di Jogja. Saya dipinjamkan helmnya selama dua minggu lebih residensi, sementara sepeda motornya dipakai oleh teman yang lain. Ia sendiri menggunakan sepeda berwarna putih. Dalam perjalanan-perjalanan singkat itu kami membangun komunikasi. Awalnya canggung, karena saya memang kerap sulit mengobrol personal dengan seseorang. Sementara ia adalah seorang yang saya tahu harus saya hormati. Seorang pemenang Kusala Sastra dan saya bukanlah siapa-siapa. Tambah canggung saya. Namun, begitulah Mas Gun, ia selalu menegur duluan. Mencairkan kebekuan, melebarkan batas-batas percakapan.
Bagi saya, ia adalah sosok pendorong, seorang motivator yang begitu bersahaja. Suatu kali, ia mengontak saya, meminta kesediaan saya ikut dalam proyek sandiwara sastra yang sedang ia sutradarai. Saya minder, sebab saya tahu, banyak artis hebat yang tampil di situ. Ia membaca keraguan saya dan berkata singkat, “jangan takut, aku sutradara lho. Mumpung juga ada kesempatan.” Saya lantas menerima tawarannya bukan karena mendadak jadi berani dan percaya diri tetapi karena saya malu, telah meragukan kemampuannya.
Di kesempatan lain, selepas pertunjukan Teater Garasi Peer Gynt di Larantuka, Mas Gun, Aura Asmaradana, dan saya bertukar kesan atas pertunjukan itu. Setelah lama mengobrol, kami lantas membahas perihal Indonesian Dramatic Reading Festival (IDRF). Forum yang ia bangun bersama dengan Joned Suryatmoko, Lusia Neti Cahyani, dan beberapa kawan itu adalah sebentuk kegelisahannya atas semakin minimnya penulis naskah lakon di Indonesia. Kerja dalam ranah irisan antara sastra dan teater ini kerap ditinggalkan karena minimnya media publikasi serentak semakin kompleksnya modal yang dibutuhkan untuk memproduksi sebuah naskah lakon. IDRF dibangun sebagai ruang apresiasi naskah lakon, mempertemukan naskah-naskah lakon dengan produser serta sutradara teater, dan sebagai arsip bergerak, tempat naskah-naskah tersebut didokumentasikan dan diujicobakan (studi) secara komprehensif dan terencana.
Di tengah perbincangan, ia menantang kami. “Buatlah di Maumere, di Bandung, forum-forum seperti ini.” Menurutnya makin banyak forum membaca naskah drama, makin terbuka ruang bagi penulis-penulis naskah drama untuk menyalurkan karyanya, sehingga makin merangsang praktik penulisan naskah drama. Saya tertawa dan berkomentar, “kan sudah ada IDRF?” Ia turut tertawa. Lalu tanpa memandang lawan bicaranya (sebagaimana kerap ia lakukan) ia berkata lirih, “belum cukuplah, Ka.” Berkali-kali ia tekankan bahwa masing-masing daerah punya konteks dan sejarah yang berbeda. Karena itu ia mendorong kami mencari bentuk-bentuk naskah drama yang sudah ada dan ditulis oleh penulis-penulis lokal sembari menemukan artikulasi baru dalam karya-karya yang bisa kami produksi saat ini. Malam itu, meski dimabukkan moke Solor, obrolan kami benar-benar berkualitas.
Pada lain kesempatan di Jogja, selepas makan soto dan minum teh poci, kami berkunjung ke sebuah pasar yang menjual buku-buku loak. Saya membeli sebuah buku berjudul Rasta dan Perlawanan, sementara ia memborong sekeranjang buku cerita Wiro Sableng. Sadar bahwa saya keheranan, ia lantas menjelaskan bahwa ia ingin membaca ulang kisah itu dari awal, tanpa melewatkan seri-serinya. Belakangan saya tahu, ia turut memerankan salah satu karakter dalam film Wiro Sableng The Movie. Namun, apakah perlu membaca seluruh seri cerita itu? Saya yang saat itu masih tak terlalu dekat dengan teater baru paham setelah menonton rekaman-rekaman pertunjukan Teater Garasi dan beberapa film yang ia perankan serta tentu saja dari cerita-cerita kerabat dekatnya tentang bagaimana ia membangun disiplin keaktorannya.
Mas Yudi Ahmad Tajudin selalu bilang, Mas Gun adalah seorang pembaca dalam arti yang sebenarnya. Membaca baginya bukan saja sebuah aktivitas kognitif, melainkan juga disiplin, laku asketis. Ia bisa secara komprehensif membaca kitab-kitab Jawa kuno, sebagaimana membaca dokumen-dokumen sejarah, sebagaimana membaca naskah-naskah drama dan telenovela. Ia adalah seorang yang sabar menyelesaikan kalimat-kalimat, paragraf-paragraf, bab-bab yang ia butuhkan untuk membangun gagasan yang ingin diwujudkan dalam disiplin yang sedang ia tekuni.
Tentu yang ia baca tidak hanya teks-teks literer dalam buku. Ia juga membaca batas-batas antara yang bisa diungkapkan kata dan tubuh, seperti yang diwujudkan dalam Repertoar Hujan (2001), karya yang ia sutradarai. Pertama kali menonton rekamannya, saya merasa karya ini puitis sekali, meski tak sepatah katapun terucap dari mulut para aktor. Karya ini menghadirkan suspensi dan intensitas yang sulit dijelaskan, tetapi pada saat bersamaan berhasil memainkan dinamika emosi dan persepsi dari penonton. Ketika suatu waktu saya berapi-api memberi impresi tentang pengalaman menonton pertunjukan ini, dengan santai ia menjawab, “itu aku baru latihan bikin teater kok.” Sial.
Mas Gun adalah pembaca sejarah dan tradisi yang tekun, yang menggunakan idiom-idiom lokalitas tidak hanya sebagai elemen artistik dalam karya-karyanya tetapi juga terartikulasi sebagai pembacaan, gugatan, dan kritik tentang masa kini. Dalam beberapa karya, ia berhasil mengajak pembaca bertualang tidak hanya bersama dengan tokoh-tokoh yang menggerakkan kisah-kisah dalam mitologi Jawa, tetapi juga gagasan-gagasannya.
Dalam Waktu Batu (2005) yang terlihat canggih dan begitu teknis, terselip sentuhan empati dan sekali lagi puisi yang hanya bisa dilahirkan oleh yang benar-benar paham nilai estetika dari sekelumit narasi sejarah juga tradisi dan memiliki kemampuan melakukan stilisasi pada konsep-konsep filosofis yang menjadi gagasan besar pertunjukan tersebut. Kolaborasinya dengan Ugoran Prasad dan Andre Nur Latif sebagai penulis serta Yudi Ahmad Tajudin sebagai sutradara memungkinkan hal-hal tersebut berlangsung.
Di lain kasus, pada Sakuntala (2018), pembaca diajak menelusuri jejak-jejak petualangan aneka perasaan lewat kisah-kisah yang dirajut melalui fragmen-fragmen puisi pendek di setiap halaman buku tersebut. Ada perasaan jenaka yang timbul ketika membaca puisi-puisi dalam buku ini sembari mengingat sosok Mas Gun. Ada melankolia, kerinduan, afeksi yang kental dan akrab, sosok seorang yang tengah mabuk cinta, yang tidak ingin disembunyikan, yang hadir secara kontras dengan sosoknya yang lain: penuh sikap respek, juga kewibawaan yang timbul secara alami. Hal-hal ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang manusia biasa seperti kebanyakan orang.
Keterlibatan Mas Gun dalam Teater Garasi dan berbagai disiplin kesenian yang lebih luas juga membuktikan bahwa ia adalah seorang pembaca realitas yang teliti dan sarat akan keterlibatan. Dalam pertunjukan Teater Garasi yang paling mutakhir, Performing Margins: Precarious Reflection on Margin (2021) ia berujar:
ketika bertemu dengan warga yang tengah mempertahankan hajat hidupnya di Kulon Progo, lagi-lagi kudapati sederet pertanyaan usang, apa yang bisa kulakukan, apa yang bisa seni lakukan, untuk menghadapi tekanan negara yang tak berpihak pada rakyatnya, apakah yang kulakukan cukup buat mereka, apakah yang kulakukan cukup untuk mewujudkan: kita.
Dalam karya yang disutradarai Yudi Ahmad Tajudin ini, kita melihat sosok Mas Gun – sebagaimana yang juga ia sadari – sebagai seorang yang mendorong seni untuk keluar dari zona nyamannya sendiri, memasuki medan advokasi sosial. Realitas sosial tidak hanya menjadi bahan atau komoditas untuk membangun elemen-elemen artistik dalam karya seni. Namun, seni sebaliknya bisa digunakan sebagai alat baca dan alat ungkap realitas sosial.
Dalam pertunjukkan yang disebut di atas, Teater Garasi sendiri menghadirkan sebentuk realisme yang lain. Realisme yang melampaui mimesis dan representasi. Pertunjukkan ini menghadirkan realisme sebagai refleksi atas pengalaman pertemuan, cerita-cerita dan catatan-catatan perjalanan, yang jujur dan terbuka, disertai simbol-simbol, tidak untuk mengaburkan gugatan dan makna yang coba ditawarkan tetapi mempertajam sekaligus membukanya sebagai dialektika. Pertunjukan ini memperlakukan anasir keseharian untuk hadir di panggung secara proporsional melalui cerita verbal, gestur tubuh sehari-hari, bersanding dengan koreografi dan artistik yang minimalis serta teks-teks pertunjukan yang lain, sebagaimana realitas sejatinya relasi dan interaksi simbol-simbol. Pertunjukan ini tidak serta-merta menjawab pertanyaan Mas Gun. Namun setidaknya, melaluinya, ia ingin menggugah empati dan kesadaran bahwa seni tak hanya estetis tetapi juga politis sejak permulaan.
Bisa jadi, itulah mengapa, Mas Gun begitu berhasil memerankan sosok Wiji Thukul dalam film Istirahatlah Kata-kata. Mas Gun adalah juga sosok yang secara hampir presisi menyiratkan makna pertumbuhan. Empati dan solidaritasnya begitu tinggi pada kemanusiaan. Bisa jadi hal-hal ini ada sebagai prinsip di samping tentu saja disiplin dan keuletan pada level yang maksimal. Prinsip-prinsip ini secara tersirat bisa kita baca dari percakapan-percakapannya dalam beberapa podcast yang menghadirkan cerita-cerita tentang proses kreatif yang ia lakoni.
Mas Gun membangun biografi keaktorannya dengan total sehingga orang bisa melihat yang diperankan dalam dirinya, dan dirinya dalam yang ia perankan. Kualitas keaktorannya melampaui yang teknis dan telah menjadi laku yang hidup. Tidak heran jika dalam keterlibatannya yang singkat di dunia perfilman, ia meraih penghargaan aktor utama terbaik dari hampir semua award perfilman bergensi di Indonesia. Gelar yang menjadi kerinduan hampir semua aktor film Indonesia.
Puisi menjadi ruang yang mempertemukan Mas Gun dan Wiji Thukul. Senjata keduanya adalah kata-kata. Perisai keduanya adalah komitmen pada perlawanan sampai akhir hayat terhadap ketimpangan dan ketidakadilan yang terus-menerus dihadirkan penguasa pada rakyatnya. Dalam film karya Yosep Anggi Noen itu, sosok Wiji Thukul adalah seorang pelarian, seorang yang dalam beberapa pilihan sinematik seolah diasosiasikan dengan kisah Yesus yang mengalami perjamuan terakhir, lalu gentar dan ketakutan tetapi kemudian memperoleh keyakinan untuk menghadapi yang seharusnya dihadapi.
Mas Gun dan Wiji mungkin sudah tak lagi terlihat. Raga mereka mungkin telah perlahan-lahan berubah menjadi tanah, menjadi abu. Namun, kata-kata mereka bisa jadi tak akan mati. Seperti kata Yesus ketika menjawab desakan orang-orang Farisi untuk menyuruh murid-muridnya diam saat menjemputnya di gerbang memasuki kota Yerusalem, “jika mereka diam, maka batu-batu inilah yang akan berbicara.” Sebab kata-kata adalah sabda, adalah benih yang jatuh dan berlipat ganda setiap menemukan lahan yang subur.
Dan kita. Kita mungkin seharusnya seperti Sipon yang tak tahu mau senang atau sedih dengan kepergian Wiji Thukul. Baginya, keyakinan bahwa suaminya ada, sudah cukup.
Mengikhlaskan kepergian Si Cindhil itu, harusnya jadi pilihan paling lapang. Sambil terus yakin. Yakin saja. Ia masih ada. Spiritnya selalu ada.
Beristirahatlah, Mas Gun.