Hampir putus asa. Itu yang saya rasakan saat berdebat dengan pendukung paslon 02 yang sangat fanatik.
Saat saya mengatakan keputusan MK tentang batas usia sebenarnya cacat hukum, mereka meledek saya SJW (Social Justice Warrior/pejuang keadilan sosial). Saat saya mempertanyakan proses instan cawapres yang menunjukkan nepotisme, mereka bilang ‘yang penting anak muda’. Saat saya menyinggung buruknya etika pilihan mereka saat debat, mereka bilang itu adalah gimmick yang keren. Saat saya mengeritik kampanye yang tidak mendidik karena hanya joget-joget, mereka menuduh saya iri. Saat saya mengatakan presiden tidak boleh berkampanye, mereka menceramahi saya dengan UU yang dibacakan presiden secara terpotong-potong. Saat saya menyebarkan film Dirty Vote, mereka mengatakan saya tukang fitnah. Saat saya menceritakan sejarah reformasi, mereka bilang saya tidak punya data.
Sumpah, bicara dengan pendukung yang fanatik bisa membuat saya tantrum karena semua yang mereka katakan mustahil dicerna akal sehat.
Rasa putus asa dan tantrum seperti ini hanya pernah saya rasakan saat saya mendengar argumentasi kaum zionis untuk menyerang Palestina. Genosida yang seharusnya dianggap aib justru menjadi sebuah tontonan yang dengan bangga dibagikan oleh pihak zionis sendiri, mulai dari nonton bareng pengeboman wilayah Gaza sambil berpesta, tentara IDF (Israel Defence Forces, atau Pasukan Pertahanan Israel) yang memainkan pakaian dalam perempuan Palestina, atau tentara-tentara yang menyombongkan jumlah orang yang sudah ia bunuh. Tindak-tanduk tak masuk akal juga bisa kita lihat dari pendukung zionis seperti menyumpahi demonstran pro Palestina yang diperkosa hingga mengatakan Jesus dibunuh orang Islam. Berbusa-busa kata untuk meyakinkan mereka jika genosida tidak manusiawi, tetapi mereka tetap melakukannya dengan bangga.
Irasionalitas yang dipertontonkan para pendukung paslon 02 mirip dengan irasionalitas para zionis dan pendukungnya. Saya kemudian menyimpulkan, satu-satunya cara agar akal sehat bisa menerima fenomena ini adalah dengan berpikir jika mereka memang sudah kehilangan akal. Bahwa mereka adalah korban cuci otak.
Penelitian tentang cuci otak sudah banyak dilakukan, salah satunya oleh Alexandra Stein yang meneliti metode cuci otak pada beberapa kolektif di San Fransisco yang bukannya progresif justru sebaliknya, berpikiran sempit, membosankan, bahkan agresif. Melalui artikel Terror and Love, a Study of Brainwashing, Stein mempertanyakan bagaimana banyak orang terpelajar termasuk dirinya bisa terjerumus ke dalam kelompok-kelompok tersebut. Bermodal teori negara totalitarian Hannah Arendt dan Robert Jay Lifton, ia mengidentifikasi lima elemen organisasi totalis di dalam kelompok-kelompok tersebut melalui metode komparasi.
Dalam tulisan ini, saya ingin meniru apa yang dilakukan Stein, tapi unit yang saya amati adalah pendukung 02 dan para zionis. Lima elemen yang sudah diidentifikasi oleh Arendt dan Lifton adalah Pemimpin Otoriter yang Karismatik, Struktur Tertutup yang Hirarkis, Kepercayaan yang Absolut, Rayuan yang Memaksa, dan Eksploitasi Pendukung.
Pemimpin Otoriter yang Karismatik
Sejarah membuktikan jika pemimpin-pemimpin otoriter yang paling kejam justru adalah pemimpin yang populis, termasuk Hitler yang lahir dari proses demokrasi. Begitu juga dengan pemimpin-pemimpin Indonesia. Soeharto yang dikenal sebagai The Smiling General selalu hadir di pantat truk dengan sapaan hangat, “Piye kabare? Penak zamanku, tho?”
Orang-orang yang besar di era Orde Baru pasti ingat bagaimana “Pak Harto” rutin blusukan ke sawah-sawah melalui program Klompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa) yang disiarkan oleh satu-satunya TV nasional pada saat itu.
Presiden RI Joko Widodo, tak kalah karismatik dibandingkan dengan Soeharto. Joko Widodo adalah satu-satunya presiden RI yang sampai akhir periode jabatannya mendapatkan kepuasan rakyat sebesar 80%. Jokowi memang hanya menjabat selama 10 tahun, karena wacana tiga periode gagal terealisasi. Namun, citra Jokowi tidak baru dipupuk setelah ia menjadi presiden, melainkan jauh sebelum itu, yaitu pada saat ia masih menjadi walikota Solo tahun 2005. Artinya, 19 tahun yang lalu.
Jokowi dikenal sebagai satu-satunya pejabat yang menjadi korban penggusuran sebanyak tiga kali, dan hal ini membuatnya dikenal selalu memanusiakan warga yang terlibat dalam konflik tanah. Ia datang dari keluarga sederhana yang memperbaiki nasibnya dengan cara berdagang mebel.
Pertama kali Jokowi mendapat sorotan media adalah dari majalah Tempo. Yang menarik, Tempo bahkan menulis bagaimana Jokowi datang ke kantor Tempo seorang diri dan menunggu di ruang tunggu layaknya tamu biasa. Jokowi semakin dicintai karena agak berbeda dari pejabat lainnya: menyukai musik metal, musik yang identik dengan anak muda. Meski mengaku menyukai metal, ia selalu cool alias berdiri kaku saat menonton konser.
Begitu menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi mulai menjadi media darling. Mungkin ada yang ingat ketika ia menyemplungkan diri ke dalam gorong-gorong untuk mencari sumber masalah banjir. Saya juga masih ingat foto Jokowi duduk di pinggir rel kereta saat tanggul Banjir Kanal Barat jebol yang kemudian menjadi cover majalah Tempo.
Warga mana yang tidak jatuh hati pada pemimpin yang turun ke lapangan dan tidak tidur demi warganya, bahkan rela hujan-hujanan?
Saat ia maju sebagai capres, kita dijejali dengan gambar-gambar humanis yang belum pernah kita lihat dari seorang politisi. Mulai dari memakai sepatu keds, mengoleskan minyak angin kepada cawapresnya, atau berlari di atas panggung konser salam dua jari. Jokowi adalah representasi politisi muda yang berstamina dan berakhlak, tidak seperti lawannya yang sudah tua, berpenyakitan, dan diragukan agamanya.
Lalu bagaimana dengan Prabowo?
Citra Prabowo berubah dalam waktu singkat sejak musim kampanye, dari seorang jendral yang tegas (bahkan dibilang bengis), berpakaian safari, menunggang kuda, dan selalu bicara dengan nada keras, menjadi eyang-eyang gemoy yang mahir berjoget. Sejak Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran membuat gambar kartun mukanya, seketika persepsi tentang Prabwo sebagai penculik para aktivis 98 berubah menjadi seorang bocah yang imut menggemaskan.
Strategi ini ternyata cukup efektif untuk membangun karisma Prabowo dalam waktu yang mepet. Banyak rakyat memilih 02 dengan alasan kasihan melihat mantan jendral yang sudah sepuh tapi selalu gagal menjadi presiden dan dikritik, menunjukkan bahwa citra gemoy dan tak berdosa yang coba diciptakan cukup berhasil.
Selain itu, kita juga melihat bagaimana buzzer atau pendukung 02 begitu lihai memainkan skenario “terzalimi”. Yang menang adalah yang terzalimi ternyata berlaku pada Pilpres tahun ini.
Sebaliknya, Israel tidak memiliki pemimpin karismatik. Banyak rakyat Israel bahkan menganggap kebijakan Netanyahu berbahaya bagi warga Israel.
Struktur Tertutup yang Hirarkis
Ada hasil survey yang menyatakan bahwa pemilih 02 kebanyakan berasal dari kelas bawah dengan rata-rata berpendidikan SMP. Namun, saya tidak mau cepat-cepat menyimpulkan jika pemilih 02 pasti miskin dan bodoh sedangkan pemilih 01 dan 03 pasti kaya dan pintar karena tingkat pendidikan masyarakat Indonesia pada tahun 2023 juga masih didominasi oleh lulusan SMA sederajat, disusul oleh lulusan SD. Maka analisis yang mengatakan kegagalan 01 dan 03 berkaitan dengan kampanyenya yang ‘keminter’ juga bukan yang paling tepat.
Saya menemukan dua faktor mengapa atau bagaimana orang memilih capresnya: referensi dan algoritma. Satu hal yang harus kita sadari adalah walau kita merasa dunia sudah begitu terbuka, sesungguhnya struktur masyarakat kita justru semakin tertutup. Kita bisa melihat orang-orang dari kelas menengah apalagi kelas atas semakin sulit bergaul dengan orang-orang dari kelas bawah.
Hal ini terjadi tidak hanya sebagai pilihan tetapi juga dikondisikan oleh liberalisasi pendidikan yang mempertajam kesenjangan ekonomi antar kelas. Liberalisasi perumahan yang membuat orang hanya bisa bertetangga dengan orang-orang dari kelasnya turut membuat segregasi antar kelas menjadi lengkap, mulai dari rumah, sekolah, hingga tempat kerja dan pergaulan.
Struktur yang tertutup ini membuat orang semakin sulit terpapar oleh pemikiran yang berbeda. Mereka bukannya sama sekali tidak mengenal orang-orang dari kelas yang berbeda tetapi hampir tidak punya kesempatan untuk mendengar suara yang lain. Contohnya adalah orang-orang dari kelas menengah hanya mengenal orang-orang dari kelas bawah sebagai bawahannya seperti supir, PRT, office boy, sehingga relasi yang terbangun selalu hirarkis.
Masyarakat seperti ini, seperti kita, memenuhi kriteria sebagai masyarakat yang berada di organisasi totalis yang mudah dicuci otak.
Hal yang sama terjadi pada para zionis yang semuanya pernah mengecap pendidikan sekolah zionis. Ada sebuah video memperlihatkan seorang murid ditanya gurunya:
“apa yang akan kau lakukan jika bertemu dengan orang Palestina?”
Murid tersebut menjawab, “membunuhnya.”
Bukannya menegur siswa tersebut, si guru malah terlihat puas. Si murid sudah tentu meneladani yang diajarkan kepadanya dan hal ini membentuk nilai di dalam dirinya. Baru-baru ini juga terkuak jika banyak presiden yang menduduki universitas-universitas top dunia (Ivy League) berasal dari kelompok zionis.
Selain dari pendidikan, zionisme juga tumbuh melalui media yang tidak pernah berimbang. Selama genosida yang dilakukan Israel, media barat seperti BBC, CNN, NYT, banyak melakukan kebohongan mulai dari pemerkosaan oleh Hamas yang akhirnya diakui sebagai berita tanpa investigasi, sampai dengan pemenggalan bayi-bayi Yahudi yang sampai saat ini tidak ditemukan datanya. Setelah ditelusuri, terbukti jika semua media besar barat dimiliki oleh kaum zionis.
Struktur yang juga tertutup tetapi tidak kita sadari adalah algoritma. Banyak pemilih 02 mengaku kiriman-kiriman yang ia lihat tentang paslon 02 selalu yang baik-baik. Yang mengkhawatirkan adalah orang saat ini sangat mudah dipengaruhi oleh key opinion leader (KOL) di media sosial.
KOL adalah orang-orang kelas menengah dan atas yang dipuja oleh orang dari kelas bawah karena gaya hidupnya yang jet set. Lalu KOL ini, yang tidak tahu realitas kelas bawah, mempengaruhi dengan opini-opini tentang pentingnya makan siang gratis dan betapa majunya Republik Indonesia di bawah kepeminpinan Jokowi dengan membagikan foto gerai gadget premium. Ada juga KOL yang mempengaruhi persepsi masyarakat tentang tingginya harga beras dengan mencuitkan harga-harga sembako dengan nilai yang salah, saking tidak pernah ke pasar.
Algoritma adalah struktur yang sangat tertutup dan mudah dimanipulasi. Namun, tanpa dimanipulasi pun, algoritma akan terus memunculkan kiriman yang pernah kita lihat. Akhirnya, konten-konten edukasi tentang kondisi ekonomi dan politik saat ini apalagi fakta-fakta sejarah sangat sulit menjangkau orang-orang yang sudah dipengaruhi oleh KOL pro 02.
Ideologi: Keyakinan yang Absolut
Jika sebelumnya citra konservatif dan fundamental selalu lekat dengan masyarakat Islam, selama genosida terjadi, saya menyadari jika masyarakat yang paling konservatif justru adalah zionis. Apa pun fakta yang muncul di berita, di TV, atau media sosial, atau banyaknya pendapat ilmuwan yang mengatakan zionisme adalah penjajahan, para zionis terus saja antusias berkontribusi dalam genosida terhadap orang Palestina dengan keyakinan jika mereka adalah hamba yang terpilih sementara orang Palestina adalah amalek yang halal darahnya. Zionis bahkan meyakini jika mereka adalah indigenous people di tanah Palestina padahal tes DNA mereka membuktikan tidak ada pejabat Israel yang memiliki DNA Palestina.
Israel juga memainkan politik identitas, dilihat dari hampir semua pejabatnya selalu tampil mengenakan kippa. Meski kita tahu zionisme tidak sama dengan Juadisme, faktanya banyak juga rabi Yahudi yang menyerukan genosida. Ini mengapa jika ada orang yang masih saja menganggap genosida di Gaza adalah perang agama, ia tidak bisa sepenuhnya kita salahkan. Hanya saja, agama yang sedang berperang dalam kasus ini justru adalah Yahudi, bukan Islam atau Nasrani.
Sejak pemilihan gubernur (pilgub) DKI Jakarta Ahok (Basuki Tjahja Purnama) vs Anies Baswedan, pemilu di Indonesia hampir selalu dikotori oleh politik identitas. Yang menarik adalah bagaimana pendukung Anies pada saat pilgub yang identik dengan kelompok 212, kemudian melebur dengan Prabowo. Sementara pendukung Ahok (Ahokers) menjadi Jokowers maniak.
Saat inilah muncul cebong vs kadrun. Cebong selalu identik dengan masyarakat yang lebih terbuka, liberal, moderat, nasionalis, dan (kadang) intelektual. Sementara kadrun (kadal gurun) identik dengan Islam garis keras, agresif, ekstrem, sampai dengan, maaf, bodoh.
Polarisasi ini bertahan sampai pemilihan presiden (pilpres) 2024, tetapi karena kali ini Indonesia memiliki tiga paslon, maka taktik cebong vs kadrun tidak lagi efektif. Akan tetapi, saya tetap menemukan orang yang “sudah pasti bukan 01” memakai alasan tidak menyukai Anies karena kampanye politik identitas pada masa pilgub DKI Jakarta. Prinsip asal bukan Anies tidak hilang meski ia tidak lagi diidentikkan dengan kadrun.
Jika mengingat dulu pendukung Anies diidentikkan dengan kelas bawah yang bodoh dan cuma tahu agama, yang menggegerkan logika adalah pada pilpres 2024, banyak pendukung 02 beranggapan kalau 01 kalah justru karena kampanyenya terlalu tinggi untuk dipahami masyarakat bawah. Mereka yang dulu dibilang bodoh sekarang dibilang sok intelek sementara mereka yang dulu dianggap intelektual, sekarang menjadi kelompok yang kurang literasi. Pada pilpres 2024, yang tetap adalah pendukung 02 yang loyal pada Jokowi. Orang-orang yang tegak lurus pada Jokowi, yang rela menelan ludahnya sendiri.
Sebagian dari loyalis Jokowi ini adalah orang-orang nasionalis, liberal, moderat, yang kerap memisahkan dirinya dari orang-orang konservatif dan fundamentalis.
Saya sempat mengintip profil satu akun yang gigih sekali membela 02, dan tertulis “Kita bukan Arab”. Dari sini, saya melihat jika sentimen yang sekarang dimainkan adalah sentimen antiagama. Ini mengapa kita menemukan banyak intelektual liberal, orang-orang modern, dan pemuka agama moderat banyak mendukung 02. Juga menarik untuk dipahami jika ideologi yang absolut itu tidak harus berlandaskan agama tetapi juga ideologi lainnya, termasuk antiagama.
Rayuan yang Memaksa
Yang hebat dari rezim ini adalah, sebenarnya kita tidak pernah merasa dipaksa. Pendukung Jokowi, yang kemudian menjadi pendukung 02, selalu berargumen bahwa demokrasi di Indonesia saat ini baik-baik saja. Namun, sebenarnya kita harus berpikir bahwa inilah bahayanya rezim ini.
Karena tidak merasa direpresi, dipaksa, atau ditindas, kita merasa tidak punya alasan untuk resisten atau melawan. Jika semuanya baik-baik saja, apa yang mau dilawan? Kesannya begitu.
Lalu apa cara rezim ini mempersuasi rakyatnya agar menurut? Rayuan. Entah kita mau bilang ini adalah rayuan gombal atau rayunan maut, yang jelas rezim Jokowi paling unggul dalam hal merayu.
Kita bisa lihat bagaimana ia merangkul semua lawan politiknya dengan cara memasukkan mereka ke dalam kabinet. Sejak era Jokowi, kita bahkan baru menyadari keberadaan posisi komisaris BUMN karena kursi itu adalah kursi kosong yang selalu siap disodori untuk merangkul lawan politik, maupun membalas jasa para pendukung.
Strategi yang sama sebenarnya juga terjadi pada genosida terhadap Palestina, yakni semua pejabat AS telah menerima suapan uang yang fantastis untuk terus mendukung Israel. Di Indonesia, presiden bahkan menyuap rakyatnya dengan bansos. Tentu saja rakyat tidak mungkin menolak mengingat bansos adalah hak rakyat dari negara. Di sisi lain, rakyat juga sulit untuk menerima pernyataan yang mengatakan bansos adalah kewajiban negara, bukan berasal dari presiden. Karena buktinya tidak selalu ada.
Selain dengan suap, rakyat juga dirayu dengan musik yang menghipnotis. Satu-satunya paslon yang memiliki jingle adalah paslon 02, yaitu dengan lagu ala dangdut koplo berjudul Oke Gas 2. Lagu Oke Gas pertama kali diunggah sebelum kampanye dimulai, yaitu pada 25 September 2023 oleh akun YouTube Richard Jersey. Pada saat lagu ini dijadikan jingle resmi kampanye Prabowo-Gibran, video ini sudah mencatat jutaan kunjungan.
Langkah ini cerdik sekali mengingat musik dengan irama tertentu memang dibuktikan bisa mencuci otak pendengarnya terutama jika diputar berulang kali di tiap kampanye, di tiap kunjungan, di parkiran motor, di warung kopi, sampai di angkot. Lagu yang diputar berulang kali bisa menghipnotis pendengarnya sehingga otaknya menyatakan menyukai lagu tersebut meski sebenarnya ia tidak menyukainya. Irama tertentu bahkan bisa memanipulasi otak sehingga otak merasa bahagia walaupun sedang sedih. Jadi, jangan heran kalau ada orang yang marah waktu model kampanye joget Oke Gas dibilang tidak mengedukasi.
Kalau kita mau mempersoalkan kampanye lebih awal (colong start), sebenarnya Ganjar yang sudah tidak menjabat Gubernur Jateng juga melakukannya dengan lari pagi sambil berdialog dengan warga di ratusan titik di seluruh Indonesia. Namun, Ganjar tidak memiliki jingle yang bisa menghipnotis orang-orang yang lari pagi dengannya. Begitu pula dengan 01. Hanya 02 yang sadar pentingnya jingle kampanye.
Musik dan tarian juga dimanfaatkan zoinis untuk membakar hasrat zionis untuk membunuh orang Palestina. Ofer Rosenbaum, yang mengepalai firma hubungan masyarakat Israel Rosenbaum Communication bahkan membuat sebuah video klip anak-anak Israel menyanyikan semacam himne untuk memusnahkan orang Palestina. Sementara itu, kita juga selalu melihat tentara Israel menari berjingkrakan di tengah-tengah genosida, atau setelah menembakkan misil ke arah Gaza.
Seorang rabi Bernama Yisroel Bernath menulis, “ini bukan tarian pelarian melainkan tarian keterlibatan dengan identitas kami, sejarah kami, dan warisan kami. Ini adalah tarian spirit Yahudi.”
Maka sungguh salah jika kita menganggap tarian ini hanya bentuk kegilaan. Tarian ini punya fungsi, yaitu menguatkan keyakinan mereka bahwa mereka adalah bangsa yang lebih unggul dibanding bangsa lainnya, walaupun kenyataannya tentara IDF banyak yang merupakan tentara relawan dari negara lain yang baru saja bergabung dengan IDF pada masa genosida.
Eksploitasi Pendukung
Mungkin kita mengira eksploitasi pendukung baru dimulai sejak zaman media sosial. Rupanya hal ini sudah lama dilakukan oleh rezim atau orang-orang yang berkepentingan sehingga Arendt sudah mengidentifikasinya sebagai satu dari lima elemen organisasi totalis.
Di kasus genosida Israel, banyak artis-artis dan influencer dibayar untuk membagikan propaganda zionis atau menyatakan dukungannya terhadap Israel. Sebaliknya, artis-artis yang pro-Palestina dibatalkan kontraknya hingga mengalami pemecatan.
Strategisnya aksi eksploitasi pengikut sangat dipahami oleh Israel. Ini mengapa mereka menggelontorkan dana besar-besaran untuk menghalau kiriman pro-Palestina untuk dilihat oleh publik, termasuk kemudian berencana menutup TikTok di AS karena lebih banyak konten di TikTok, khususnya yang dibuat oleh gen z, yang pro-Palestina dari pada Israel.
Pada kampanye Pilpres Indonesia, kita juga bisa melihat bagaimana masing-masing paslon berusaha menggaet artis sebagai juru kampanyenya. Saya menemukan banyak sekali konten di medsos yang memakai foto pribadi untuk menyatakan dukungannya terhadap 02. Rupanya, mereka memakai template yang dibagikan di aplikasi CapCut.
Lagi-lagi tidak ada paslon lain yang menggunakan strategi ini. Template CapCut ini pertama kali dipromosikan oleh artis dengan jutaan pengikut. Konten yang lucu dan menggemaskan ini kemudian menarik followers artis ini untuk ikut-ikutan membuat konten serupa dengan template yang sama. Dengan cara ini, orang menjadi bagian dari kampanye hanya dengan menyematkan foto dirinya ke dalam template. Jadi, merekalah yang berkampanye, bukan si paslon.
Upaya merebut lumbung suara komunitas seni juga dilakukan paslon 02 meski tidak semasif yang mereka lakukan kepada masyarakat umum. Memanfaatkan anak Prabowo yang memang dekat dengan dunia seni, mereka membuat pameran yang cukup subtil. Namun, satu pernyataan dukungan, foto bersama, atau kehadiran idola mereka di satu kampanye sudah cukup untuk mempengaruhi penilaian mereka terhadap pilihan politik mereka.
Dari komparasi ini, saya jadi tahu jika keheranan saya terhadap yang terjadi pada pendukung 02 terjadi karena saya tidak sadar jika Indonesia sudah memenuhi syarat untuk menjadi negara totalitarian ketika rakyatnya sudah tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah.
Seperti yang Arendt katakan, “the subject of totalitarian rule is not the convinced Nazi or the dedicated communist, but for whom the distinction between fact and fiction, true or false, no longer existed.”
[…] sisi lain, dalam ‘Cuci Otak’ Versi Negara Totalitarian, Gita Hastarika membandingkan lima kriteria organisasi totalis dalam teori negara totalitarian […]