w8

Merayakan Otoritas Tubuh

Di bulan Agustus tahun 2019, saya menyaksikan secara langsung karnaval tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Sikka. Saya memang sudah sering menonton perayaan yang dilakukan di sepanjang jalan kota Maumere ini. Namun, pada perhelatan tahun ini, saya datang dengan satu motivasi yang agak berbeda, yaitu menyaksikan secara khusus penampilan barisan kaum Waria. Saya cukup beruntung sebab selain dapat menyaksikan para waria tampil di karnaval tahunan, di kesempatan lain pada tahun yang sama, saya pun berkesempatan menyaksikan mereka dalam pementasan teater dalam rangka perayaan 50 tahun Sekolah Tinggi Filsafat Katoik (STFK) Ledalero. Dua pengalaman menonton ini lantas memunculkan dua pertanyaan di benak saya: Pertama, bagaimana posisi kaum waria dalam setiap pertunjukan? (Pertanyaan ini berangkat dari amatan saya demikian: entah dalam forum-forum resmi seperti seminar, karnaval, pentas teater, atau presenter acara, penampilan kaum waria selalu direspons dengan riuh sorak penonton.) Kedua, bagaimana posisi penonton saat menyaksikan pementasan-pementasan kaum waria?

Pengalaman Menonton

Ingatan saya pada peristiwa karnaval yang terjadi pada bulan Agustus tahun 2019 lalu masih tergambar dengan cukup jelas dalam kepala saya. Pawai karnaval keliling kota Maumere dengan rute yang telah ditetapkan pemerintah kabupaten Sikka saat itu cukup riuh. Akses di beberapa jalan di sekitaran kota Maumere ditutup untuk sementara waktu. Berbagai kelompok masyarakat, dari anak-anak hingga orang tua memadati pusat kota. Saat itu, keramaian bersatu. Sementara bagi saya, yang tercerap dari keriuhan ledakan para penanti peserta karnaval adalah mata-mata para penonton yang penuh dahaga, menanti, dan terus terjaga dalam aneka tatapan.

Ada beragam atraksi yang muncul saat itu: pawai kebudayaan menggunakan atribut khas etnik dari berbagai daerah di Indonesia, pertunjukan kesenian, peragaan busana beragam profesi, wejangan menjaga kelestarian alam dan lingkungan hingga program keluarga berencana (KB): dua anak cukup. Kenyataan-kenyataan keseharian direproduksi di atas pentas tahunan dengan panggung jalan kota yang mendadak padat. Jarak dan batas antara para peserta karnaval dengan penonton menjadi begitu tipis. Itu sebabnya, sesekali tampak tangan-tangan nakal kelompok anak-anak muda lelaki yang coba menggapai setiap pose para peserta karnaval. Sepintas, pose-pose itu sekedar dimaknai layaknya adegan sensual tanpa sensor. Selain mata kamera yang penuh sesak merekam gambar dan video, ada juga yang menyempatkan diri memanfaatkan momen tersebut menyentuh tubuh-tubuh para peserta karnaval. [1]

Bagi sebagian besar warga kota Maumere, ada yang kurang dari perhelatan akbar itu, jika para waria belum tampil dan menyuguhkan atraksi-atraksi khas mereka. Meski kehadiran mereka sepintas tampak dualsitis dalam posisi sebagai oposisi biner, entah sebagai hiburan yang layak mendapat apresiasi atau bahan bully-an, toh kehadiran mereka tetap menjadi pertunjukan yang dinanti-nantikan.

Saya berdiri di sisi sebelah timur lapangan sepak bola Gelora Samador, tepatnya di pertigaan yang membelah tembok pembatas lapangan dengan jalan dan deretan rumah warga di sisi sebelah selatan. Warga berdesakan di tempat itu, sementara saya dengan sengaja menarik diri dari salah seorang sahabat saya, Eka yang saat itu datang memotret untuk kebutuhan publikasi di salah satu surat kabar lokal. Posisi ini dengan sadar saya pilih sebab – meminjam bahasa Alia Swastika dalam tulisannya “Biografi Penonton di Indonesia: Yang Retak dan Bergerak” – menonton adalah pengalaman estetik yang lebih bersifat individual ketimbang komunal, sebab pengalaman menonton itu baru menjadi peristiwa bersama ketika wacana atau resepsi personal didiskusikan dengan orang lain. Saya secara sadar memilih untuk ikut ambil bagian dalam peristiwa menonton dengan posisi ini. Bagi saya ini penting, mengingat sebagian besar keterlibatan saya sebagai penonton pertunjukan hampir selalu tidak berlangsung sendiri.

Sore itu, ketika matahari tidak begitu lagi memancarkan panasnya, sebuah pertunjukan sontak menarik simpati saya dan para penonton yang berbaris di sepanjang jalan yang kami tempati. Yang terlihat dari jauh saat itu ialah sebuah kontainer berukuran raksasa sedang mengangkut seorang waria dalam sebuah eksavator rakitan.  Di dalam eksavator berketinggian sekitar tujuh meter itu, sang waria berdiri sambil melambaikan tangannya kepada para penonton dan mengucapkan beberapa pernyataan yang kadang tenggelam oleh keriuhan penonton.[2]

Di bawah bumper kontainer tersebut tertera sebuah tagline yang sontak menarik minat siapa pun yang menyaksikan pawai dari kelompok waria itu. Dobel Gardan, begitu bunyinya. Di belakangnya, berderet-deret para peserta dari kelompok waria menampilkan beragam atraksi. Ada yang melakukan pose di atas deretan pawai mobil dengan gaya yang menarik perhatian penonton, ada yang berjalan kaki sambil berlagak santai, menyapa warga penonton yang mereka kenal. Kehadiran kelompok waria ini sontak mendapat reaksi yang berbeda dari penampil-penampil sebelumnya. Barisan warga yang awalnya berdiri berjejer sepanjang jalan sontak saling berdesakan dan masuk ke badan jalan. Anak-anak muda maju berebutan mengambil gambar. Semua tampak begitu ramai hingga barangkali melupakan isi yang ingin disampaikan oleh Mayora, waria yang berkampanye dari eksavator, posisi yang dengan sengaja dirancang untuk ditonjolkan dan dimaksudkan untuk menarik minat para pemirsa.

Pengalaman yang sama juga saya saksaikan saat para waria mementaskan teater dalam perayaan 50 tahun STFK Ledalero. Respon yang diberikan oleh sebagian besar penonton yang adalah para mahasiswa/i filsafat itu tidak jauh berbeda dengan warga kota Maumere saat menyaksikan pertunjukan karnaval pada Agustus 2019 yang lalu. Dalam pementasan berformat prosenium, riuh penonton seakan menenggelamkan apa persisinya suara yang ingin disampaikan oleh waria dalam kesempatan-kesempatan itu.

Dua pengalaman menonton ini sekali lagi memunculkan beberapa pertanyaan yang lebih jauh: bagaimana posisi para waria dalam konteks kehidupan bermasyarakat sehingga respon yang diberikan kepada mereka setiap kali mementaskan pertunjukan adalah riuh sorak penonton? Apakah kehadiran waria dalam setiap pertunjukan semata-mata sebagai ‘objek tontonan’ (yang membentuk pola dan telah menjadi kebiasaan) untuk mendapatkan kepuasan melihat (visual pleasure)? Apakah setiap penampilan yang melibatkan kaum waria tidak memiliki isi yang mempresentasikan ungkapan kegelisahan dan harapan mereka? Mengapa para penonton tidak berusaha mencermati isi dari setiap penampilan yang dipresentasikan oleh para waria tanpa terlebih dahulu terjebak dalam konsep yang menempatkan mereka seolah sebagai objek tontonan semata-mata?

Tempat Menyampaikan Suara

Dalam satu kesempatan usai menyaksikan pertunjukan karnaval pada tahun 2019 yang lalu, saya dan beberapa teman berkesempatan ngobrol  bersama Mayora. Mayora tidak hanya terlibat dalam  karnaval bulan Agustus tahun 2019, tetapi juga terlibat dalam pementasan teater dalam rangka 50 STFK Ledalero.

Dalam kesempatan itu, Mayora mengatakan bahwa momen karnaval dan momen pertunjukan/pentas lainnya merupakan momen bagi kaum waria untuk menyampaikan hal-hal yang menjadi kegelisahan sekaligus harapan mereka. Momen tersebut tidak hanya digunakan sekedar sebagai momen hiburan. Meraka tidak peduli entah mereka berada pada posisi subjek pentas atau sebaliknya direduksi menjadi objek hiburan. Yang pasti, kesempatan-kesempatan untuk tampil selalu digunakan untuk mengedukasi masyarakat arti penting keberagaman dan perbedaan. Di dalam perbedaan dan keberagaman itu, mereka berharap masyarakat dapat menerima arti penting ungkapan gender mereka mereka sebagai bagian dari sesama yang hidup dan beraktivitas di tengah masyarakat.

Bagi Mayora, hal ini penting, sebab pengalaman menunjukan bahwa seringkali masyarakat mudah terjebak dalam sterotipe terhadap kaum waria sehingga berdampak pada peminggiran posisi mereka dalam kehidupan di tengah masyarakat. Bahkan pengalaman membuktikan, tindakan diskriminatif terhadap kaum waria seringkali berujung pada kekerasan (yang berdampakan pada pengalaman traumatis) atau bahkan pembunuhan.

Selain menyuarakan isu-isu sosial yang tengah terjadi di masyarakat, momen tersebut juga digunakannya untuk mengampanyekan posisi waria di tengah masyarakat. Hal ini penting untuk memangkas stigma-stigma yang masih tumbuh dalam lingkungan masyarakat, seperti anggapan yang mengatakan kalau waria adalah kelompok yang tidak berpendidikan (bodoh), berprofesi tunggal sebagi pekerja salon, tidak pernah ke Gereja atau Masjid, lemah secara ekonomi dan identik dengan Pekerja Seks Komersial (PSK) legal maupun ilegal.

Berkaitan dengan sterotipe-sterotipe itu, Mayora membantahnya. Bahkan menurutnya, anggapan klasik seperti persoalan ekonomi menjadi penyebab seseorang memilih hidupnya sebagai waria sama sekali tidak tepat. Ia mengatakan, para waria saat ini telah banyak terlibat dalam bisnis kuliner, pemerhati anak-anak, master of ceremony (MC), dan beragam aktivitas lain seperti warga masyarakat pada umumnya.

Menurut Mayora, dalam konteks kehidupan sosial dan politik di kota Maumere, sebagian besar warga Maumere hampir bisa menerima kehadiran kaum waria, meski beberapa pengalaman membuktikan kalau masih ada penolakan yang terjadi di tengah masyarakat. Meski demikian, hal ini berbeda di beberapa tempat lainnya di Indonesia. Di Jawa misalnya, beragam pemberitaan mengabarkan bahwa kaum waria seringkali diperlakukan tidak manusiawi, bahkan dipersekusi hingga berujung pada pembunuhan.

“Kalau di Jawa orang akan lempar dengan batu. Tetapi di Maumere orang sangat mengapresiasi dengan mengacungkan jempol dan mengucapkan terima kasih saat para waria tampil menggunakan beragam atribut daerah yang ada di Indonesia.”

Mayora pernah beberapa tahun berada di Jawa dan di sana ia secara terang-terangan mengungkapkan identitas gendernya sebagai seorang waria. Ia mengisahkan, saat berada di sana, ia seringkali mendapat perlakuan kasar. Bahkan, untuk membela posisinya sebagai waria, ia mesti beradu fisik setelah menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari warga yang berlaku diskriminatif.

Menurut Mayora, selain sebagai kesempatan untuk mengungkapkan perbedaan identitas gender, penampilan-penampilan Waria juga dipakai untuk menyuarakan apa yang menjadi kegelisahan mereka berkaitan dengan situasi sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan yang berlangsung di tengah realitas kehidupan masyarakat. Penyataan itu terbukti sebab saat karnaval Agustus 2019 yang lalu, Mayora dan teman-teman waria tampil menyuarakan isu Papua yang saat itu sedang bergejolak panas di beberapa tempat di Indonesia. Ia tidak secara spesifik menyentuh isu kemerdekaan Papua, tetapi mengeritik sikap militer dan kelompok Ormas yang memperlakukan saudara sebangsa dari Papua seolah sebagai warga kelas dua. Baginya setiap warga negara semestinya memperoleh hak untuk berpendapat dan mengemukakan pikirannya secara bebas sebagai warga negara Indonesia, tanpa membeda-bedakan latar belakang suku, bangsa, agama, politik, dan gender. Dalam karnaval saat itu, ia menyampaikan isu-isu itu dengan cara yang lebih akrab, seperti melalui pernyataan kita mesti saling menghargai satu dengan yang lain tanpa mesti membeda-bedakan, apalagi bersikap diskriminatif.

Otoritas Tubuh   

Selain menyuarakan kegelisahan dan merespons isu-isu yang sedang berlangsung di tengah masyarakat, penampilan-penampilan kaum waria juga merupakan semacam momen pengukuhan identitas mereka sebagai manusia merdeka. Mereka adalah bagian dari warga masyarakat negara dan dunia. Kaum waria ingin merayakan tubuhnya secara bebas dan jujur tanpa klaim dan tekanan dari otoritas manapun, bahkan keluarga sebagai pihak pertama dan paling dekat tempat mereka tumbuh menemukan dirinya. Salah satu contoh dapat kita temui dalam diri Haji Mona atau Madam, waria yang tinggal di Kampung Wuring.

Haji Mona mengolah sebuah warung bakso ikan miliknya di kampung itu. Ia mengaku telah tiga kali naik haji di Arab Saudi. Meski demikian, ia berani menyatakan secara jujur dan terbuka bahwa identitas gendernya sebagai seorang waria. Semua warga kampung Wuring dan kenalan-kenalannya di Kota Maumere mengetahui itu.

Meski pada awalnya mendapat penolakan dari keluarga dan lingkungan agama karena pengakuannya, ia tetap dengan jujur mengekspresikan tubuhnya sebagai seorang waria.Berulang kali dengan berbagai cara keluarganya menekan dia untuk mengakui bahwa dia adalah seorang lelaki yang tidak mungkin bisa melahirkan meski ia telah berusaha menjadi seolah-olah seperti seorang perempuan. Beberapa haji dan tua-tua di kalangan pemuka agama tidak mengakuinya sebagai seorang yang telah naik haji. Meski demikian ia tetap dengan jujur dan terbuka mengekspresikan identitas gendernya. Baginya, hanya dengan mengekspresikan tubuhnya secara jujur, ia bisa dengan bebas mengalami peristiwa hidup yang melingkupinya.

Hal yang sama juga terjadi pada Madam. Sudah sejak sekolah menengah atas ia tampil sebagai seorang model dan mengekspresikan gendernya sebagai seorang waria. Menurut pengakuan beberapa sahabatnya, banyak yang kagum dan memuji kecantikannya jika ia tampil sebagai seorang model dengan busana wanita. Sebagian besar orang mengira ia seorang gadis. Tidak jarang, di akhir karnaval atau penampilan-penampilannya yang lain, banyak lelaki yang memberi salam dan meminta nomor handphone-nya sebab mereka mengira ia adalah seorang wanita. Madam selalu merespons hal itu dengan santai. Ia tetap dengan bebas dan jujur mengekspresikan tubuhnya sebagai seorang waria dalam kesempatan karnaval, pementasan, juga kesehariannya.

Berkaitan dengan otortitas dan ekspresi tubuh, Mayora mengatakan, setiap orang berhak dan memiliki otoritas atas tubuhnya. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang bisa menghakimi secara sepihak atribut yang dikenakan oleh seseorang atas tubuhnya.

Merespons silang pendapat berkaitan denga foto-foto usai karnaval yang oleh sebagian masyarakat dianggap mengeksplorasi pose dan nuansa sensual, tidak bermoral, menampilkan sensualitas tanpa mencerminkan budaya daerah, Mayora menimpali bahwa seringkali seseorang mudah terjebak dalam sterotipe terhadap suatu hal tanpa benar-benar memahami esensi dan konteks yang berlangsung. Ini terjadi karena seseorang terjebak dalam pikiran dan tafsiran yang mereka bangun dalam kepala mereka sendiri akibat minimnya akses terhadap referensi lain yang mestinya bisa mereka dapatkan melalui keterbukaan dan penerimaan terhadap yang liyan. Akibatnya, seseorang mudah menghakimi orang lain dengan menyebut suatu sikap atau tindakan sebagai pornoaksi, padahal sebaliknya gambaran yang muncul sebagai pornografi itu datang dari pikirannya sendiri yang sangat sempit.

“Kadang-kadang orang cepat men-judge orang lain sebagai tindakan pornoaksi, padahal yang porno itu datang dari pikiran seseorang, bukan atas tubuh sesorang.” Karena itu, melalui momen-momen karnaval dan pementasan teater, ia berharap isu-isu demikian perlu dibicarakan sambil tetap mempertimbangan medium yang dipakai sebagai bahasa untuk menyuarakan isu-isu tersebut.

Memahami Konteks dan Berpikir Terbuka

Agaknya, terlalu dini menyatakan bahwa jawaban atas pertanyaan “mengapa setiap kali para waria tampil dalam momen karnaval atau pementasan teater, hampir selalu terdengar suara riuh penonton bergemuruh datang di belakangnya?” adalah karena para penonton yang menyaksikan penampilan kaum waria itu gagal memahami esensi kaum waria beserta isu yang tengah dipentaskan; dan bahwa penghargaan penonton di setiap kali para waria menampilkan pementasannya tidak begitu menunjukan sesuatu yang positif. Namun, agaknya terburu-buru juga untuk menyatakan bahwa penghargaan terhadap aspek-aspek yang lebih esensial itu ada, tanpa terlebih dahulu melihat kembali apa persisinya yang terjadi dalam peristiwa menonton itu? Yang tetap menjadi penting dan menarik untuk digarisbawahi ialah bahwa selalu ada pertanyaan yang diajukan, “mengapa di setiap pementasan yang melibatkan para waria, hampir selalu kita temukan riuh keramaian para penonton dari balik tempat para penonton menonton? Bukankah pengalaman menonton juga mesti menjadi satu medium lain bagi para penonton/warga untuk memahami perbedaan ekspresi gender yang ada pada waria sekaligus mendalami isu yang hendak disampaikan oleh kaum waria?”

Bagi saya, pengalaman menonton pentas kaum waria, entah itu terjadi dalam peristiwa karnaval maupun pementasan teater di kampus adalah pengalaman baru sekaligus pembaharuan, baik secara gagasan maupun pengalaman ketubuhan. Secara gagasan, saya dibawa untuk melihat dan menggali lebih jauh sejarah hidup tokoh-tokoh (waria), dari perjuangan mereka menerima diri sampai pada keputusan mereka untuk berani mengekspresikan gendernya. Di dalam sejarah ketubuhan itu, saya melihat pengalaman subjektif dan struktural yang membentuk penokohan para waria sebagi aktor kehidupan yang berpentas di atas panggung kehidupan. Pengalaman subjektif itu erat kaitannya dengan pergulatan pribadi para waria menghadapi pilihan-pilihan untuk menjadi tokoh macam apa bagi dirinya sendiri, sementara pengalaman struktural berkaitan dengan lingkungan sosial yang mengitarinya, seperti keluarga, lingkungan bermain, lembaga sosial dan negara, juga tuntutan untuk bernegosiasi dengan pilihan-pilihan untuk menjadi tokoh macam apa bagai orang lain.

Sementara itu dalam pengalaman ketubuhan, saya merasakan suatu aura ‘lain’ sebagai bagian dari perbedaan kekayaan tubuh yang tidak tunggal (tubuh-tubuh hetero konvensional). Dari sini saya belajar melihat mekanisme tubuh yang bebas mengekpresikan apa yang ada dan tertimbun di dalam sejarah penubuhan. Dengan melihat dua hal ini, saya belajar untuk memahami perbedaan dan menerima ‘keberlainan’ sebagai bagian dari kehidupan.

Dalam dua kerangka ini, gagasan dan pengalaman ketubuhan, saya diajak untuk melihat pertunjukan waria dan ruang kepenontonan (warga) sebagai dua materi yang saling berhubungan dan saling mendefinisikan. Meski masih dalam analisis yang terbatas, saya kira momen-momen penampilan waria merepresentasikan kenyataan bagaimana cara penonton melihat para waria sebagai tokoh-tokoh yang sedang pentas yang juga sekaligus membatasi ekspresi gender dan seksualitas waria pada stereotipe tertentu. Beberapa simpulan yang bisa digarisbawahi misalnya, pertama, waria masih dianggap sebagai ‘yang lain’ (liyan). Pertemuan dengan yang liyan, yang tidak lazim bahkan abnormal membangkitkan respon euforia dari para penonton yang menyaksikan penampilan kaum waria. Kedua, fokus terhadap konten yang disampaikan oleh kaum waria saat pementasan terkesan diabaikan oleh karena euforia yang terjadi terlebih dahulu, sehingga dari waktu ke waktu kita menyaksikan sikap yang sama yang diberikan penonton (warga) kepada kaum waria. Dari sini, saya kira ada kebutuhan untuk terus menerus membangun ruang-ruang pertemuan yang informal dan personal, yang memungkinkan adanya interkasi interpersonal dan pengalaman ketubuhan antara waria dan warga umumnya yang masih terjebak dalam lingkaran stereotipe yang sempit tentang keragaman ekspresi gender dan seksualitas.

 

Catatan Kaki

[1] Setelah menyaksikan pementasan itu, salah seorang anggota Brimob mem-posting pernyataan di grup facebook Forum Peduli Rakyat Sikka (FPRS) dengan ancaman mencari dan membunuh siapa pun yang berani memposting foto anaknya di akun media sosial itu tanpa sepengetahuannya. Ancaman yang ia tulis itu merupakan bentuk responnya terhadap beragam komentar di akun media sosial kepada para peserta karnaval yang dinilai oleh warganet sebagai ‘tidak santun’ saat berpose. Saat itu, anaknya menjadi mayoret mewakili salah satu sekolah menengah atas di kota Maumere yang turut memeriahkan iven tahunan itu.

[2] Saat mobil kontainer itu semakin dekat ke arah saya, saya akhirnya menyadari kalau sosok di atas excavator itu ternyata adalah Mayora. Mayora adalah salah seorang waria yang saat ini aktif bersama kelompok waria Fajar Sikka, menyuarakan kegelisahan kaum minoritas dan isu sosial yang sedang berlangsung di tengah masyarakat.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th