wuring 2

Menggagas Dramaturgi Pertunjukan dari Setting Spasial Kampung Wuring

Interaksi dan Transisi

Struktur rumah di Kampung Wuring dilihat secara horisontal. (Foto: Andry Sola)

Setelah jalan-jalan  dan berbagi pengalaman selama berada di Wuring, kami menemukan beberapa hal menarik perihal konsep dan setting spasial  kampung ini.

Pertama sekali kami datang dengan kegelisahan krisis ruang di Maumere yang terjadi akibat privatisasi ruang publik (pantai salah satunya) dan mencoba mamantulkan konsep kami dengan situasi hunian di Wuring yang padat dan berjejal-jejal. Ternyata konsep krisis ruang di kampung Wuring bisa jadi tidak relevan dan paralel dengan konsep krisis ruang yang kami gelisahkan seturut pengalaman dan perspektif orang yang hidup di darat.

Orang-orang di Wuring memercayai filosofi sama di lao (laut milik orang Bajo). Filosofi ini memengaruhi orientasi hunian mereka yang mengikuti pola taka. Mereka tidak membutuhkan darat. Sebab lautan adalah rumah mereka. Konsep teritorial yang dikembangkan oleh negara-negara pada tanah tidak berlaku bagi orang Bajo. Dalam pemahaman cukup ekstrim, konsep batas perairan negara untuk mereka adalah kolonialisme abadi, yang membuat mereka harus mengendap-endap seperti pencuri setiap berlayar atau melaut di sekitar perairan Australia, Malaysia, atau Timor Leste.

Haji Adam yang saya temui berkomentar seperti ini, angkatan laut itu seperti Tuhan saja, seolah-olah mereka bisa gambar batas-batas di laut. Pasca 1992, ketika ada relokasi karena tsunami, Haji Adam menolak untuk pindah. Alasannya sederhana, kalau Orang Bajo hidup di darat, air laut akan naik cari mereka. Jadi sama saja. Ryn, salah satu anggota kolektif KAHE datang dengan aspirasi bahwa anak-anak suku Bajo di Wuring memiliki ruang bermain yang terbatas. Nyatanya tidak. Anak-anak di Wuring punya rumah bermain yang tidak terbatas, yaitu lautan.

Ketika pertama kali ke Wuring, kami mengidentifikasi diri sebagai pendatang. Dari cara kami masuk, kami beranggapan bahwa satu-satunya pintu masuk ke Kampung Wuring adalah jalan yang kami lalui yaitu dari arah selatan, menyebrang jalan raya pantura. Lebih dari itu, dari obrolan demi obrolan, kami seolah-olah dengan seenaknya memaksakan pengenalan kami kepada warga. Perlahan-lahan kami menyadari bahwa jalan yang kami sebut jalan masuk itu tidak selalu dikenali dengan mudah oleh orang Wuring. Ketika mengalami setting spasial Kampung Wuring, kami sadar, bahwa yang kerap kami anggap pintu masuk bisa jadi bukan demikian bagi orang-orang di Kampung Wuring. Mereka memiliki pintu-pintu lain yang memungkinkan mereka terhubung dengan dunia yang lebih luas: tatambe di belakang rumah yang bertaut dengan tambatan perahu di kolong diaruma dan samudera di belakangnya atau di dergmaga/tambatan perahu di Wuring Ujung yang menjadi tempat para pelaut mengangkat sauh untuk berlayar ke laut lepas.

Gang Wuring adalah satu garis dengan dua pintu. Kampung Wuring bisa jadi hanyalah kanal, bukan tempat diam. Pa Haji Adam berkomentar begini, jika ada orang Bajo yang bilang dia punya kampung di sini, di sini, di sini, ah itu omong kosong. Orang Bajo itu tidak punya Kampung. Hidup mereka di laut. Mereka cuma numpang tidur saja di darat.

Rujukan nilai dan filosofi hidup mereka melebihi batas-batas geokultural. Mereka hidup dari mitologi dan cerita-cerita yang menubuh dan diwariskan lewat praktik juga dongeng-dongeng dan syair di malam-malam ketika mereka melaut, atau selepas melaut, di saat sebelum tidur, atau di acara-acara adat yang masih dipraktikan.

Pak Haji Adam percaya hidup di dunia ini hanya sementara, kesementaraan itu membuat mereka tak pusing peduli dengan konsep menetap, konsep kepemilikan bahkan waktu di masa depan atau masa lalu. Hasil tangkapan hari ini habis dimakan hari ini. Kalaupun dijual, sebagian besar uang hasil jualan habis terpakai. Mereka percaya, laut selalu menyediakan kebutuhan hidup mereka. Kesusahan dan kebahagiaan sehari, cukuplah untuk sehari.

Struktur mikro (rumah orang Bajo) dan struktur makro (setting spasial Wuring) seperti saling berinteraksi satu sama lain. Struktur makro dikembangkan seturut orientasi hunian, aktivitas sosial-budaya dan kebutuhan-kebutuhan ekonomi masyarakat. Jika saat ini kita menemukan hampir setiap diaruma Orang Bajo dan lingkungan sekitarnya dipakai untuk aktivitas ekonomi, hal ini bukanlah sesuatu yang ahistoris.

Menilik sejarah pasar dan posisi pasar dalam setting spasial kampung Wuring saat ini, kita bisa menarik akar sejarah dan pola pengembangan kampung juga hunian orang Bajo dalam skala mikro. Pasar dan aktivitas ekonomi di rumah adalah semacama transisi, ruang temu antara orang Bajo dan lingkungan di luarnya (meso), masyarakat yang lebih luas. Perdagangan sejak dulu menjadi semacam medium interaksi dan pertukaran nilai, ruang negosiasi, juga resistensi antar entitas.

Pasar teletak di Kampung Ujung, terluar dari arah hadap Kampung Wuring dengan lingkungan masyarakat terdekatnya, (Maumere). Intensitas transaksi dan pertemuan antara orang-orang Kampung Wuring dan orang-orang dari kota Maumere paling tinggi terjadi di tempat ini, bukan di pusat peradaban mereka, bukan di ruang-ruang lainnya.

Di Kampung Tengah dan Leko, kita memasuki wilayah hidup orang Bajo, sekolah, masjid, beberapa unit layanan masyarakat. Kebanyakan rumah-rumah ada di sini. Kita bisa melihat aktivitas hidup orang Wuring, wilayah semi publik sebagaimana prinsip bundaang dalam struktur mikro. Sementara di Kampung Ujung, kita memasuki kawasan yang tenang dan sepi, terutama di malam hari. Tempat orang-orang menambatkan perahu atau pergi melaut. Tempat anak-anak bermain di tanah lapang. Suasana yang tenang dan dekat dengan laut memungkinkan kita mengambil waktu melihat langit dan bintang-bintang. Susana ini serupa prinsip buliang dalam struktur mikro, semi privat, tempat kita bisa melihat aktivitas domestik, menemukan perahu tertambat di tatambe, di belakang, yang langsung menuju ke kolong rumah.

Spektrum-spektrum pengalaman ketubuhan ketika berada di sepanjang jalan Kampung Wuring dan ketika mengunjungi rumah-rumah penduduk di sana membangkitkan kesadaran tentang ruang-ruang transisi, perhentian sekaligus keberlanjutan, linearitas sekaligus sirkularitas waktu dan perjalanan, juga dialektika-dialektika yang modern dan tradisional, yang privat dan yang komunal. Yang paling penting, mungkin, adalah soal bagaimana hidup yang sementara ini harus dijalani dan dikritisi dari hari ke hari, dengan ataupun tanpa thelos.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
4 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Heavyweight test
1 year ago

Test…

Heavyweight test
1 year ago

Test… 👍

Heavyweight test
1 year ago

Test reply

Heavyweight test
1 year ago

@heavyeight test

Kalender Postingan

Kamis, November 21st