Struktur Rumah di Wuring
Rumah-rumah di Wuring dibangun di atas tanah dan juga perairan dangkal. Umumnya rumah-rumah di Wuring adalah jenis rumah panggung, dibangun sangat rapat, dengan spasi antar rumah cuma sekitar 1,5-2 meter. Secara sederhana, rumah orang Bajo yang bermata pencaharian sebagai nelayan menggunakan sampan sederhana dengan rumah orang Bajo yang memiliki pengaruh Bugis/Sulawesi yang bermata pencarian sebagai pedagang atau juragan kapal-kapal besar, memiliki karakteristik warna yang berbeda satu sama lain. Golongan pertama, yang kerap mendirikan rumah di perairan dangkal kebanyakan berwarna pudar, coklat, mempertahankan warna kayu. Sedangkan golongan kedua umumnya mendirikan rumah di atas tanah dengan tampilan berwarna-warni dan semarak. Mereka senang memilih warna-warna yang mencolok, seperti oranye, hijau, bahkan merah muda.
Meski beda warna, struktur rumah di Wuring umumnya identik. Rumah orang Bajo secara dominan berbentuk rumah panggung. Dari perspektif vertikal, bagian-bagian rumah orang Bajo dikenal dengan istilah ulu atau kepala, watang atau badan (roma/rumak), dan aje (diaruma) atau kaki. Di bagian diaruma, terdapat kolong. Rumah-rumah di darat biasanya memanfaatkan kolong sebagai tempat berjualan atau sekadar nongkrong. Sedangkan yang dilaut menjadikan kolong sebagai tempat tambat perahu.
Di bagian watang atau badan, dikembangkan ruang-ruang horizontal. Rumah orang Bajo kerap dikenal dengan istilah ma’bunda-ma’buli. Struktur ini adalah organisator utama yang menentukan ruang-ruang lainnya. Ma’bundaang bersifat semi publik, sedangkan ma’buliang bersifat semi privat.
Di bagian depan bundaang biasanya terdapat paselo atau teras. Namun, paselo umumnya terdapat di rumah-rumah panggung berukuran besar. Paselo kerap dibangun dari depan hingga salah satu sisi di samping rumah. Paselo yang ada di depan kerap dijadikan warung atau tempat melapak jualan, mulai dari kuliner, atau kios-kios semi modern. Rumah-rumah di atas air kadang mengembangkan peselo yang ada di samping sebagai lorong, menuju rumah lain. Kadang disekat untuk kamar mandi atau ruang domestik lainnya, menyatu dengan buliang.
Di rumah-rumah sederhana, bundaang dibuat cukup luas. Bundaang sendiri bisa digunakan sebagai ruang tamu, teras dan ruang tidur bagian depan, selain kamar-kamar (privat) yang dikenal dengan sebutan tingnga. Beberapa acara adat yang kami ikuti, seperti adat perkawinan juga sunatan berlangsung di sini. Ketika pernikahan, di bagian ini dibangun tempat tidur simbolis untuk pengantin. Upacara baca doa dan makan bersama pun dilakukan di sini. Beberapa teman yang menginap awalnya bingung, sebab kamar (tinganga) di rumah sederhana orang Bajo umumnya tidak banyak dan dikhususkan untuk pasangan suami istri. Sedangkan yang lain, bahkan tamu, dipersilakan untuk tidur di bundaang ini.
Buliang terdiri dari ruang keluarga, ruang melakukan aktivitas domestik, dapur (dapuruang), dan teras belakang (tatambe). Jika malam, buliang kerap dijadikan tempat tidur. Jika ada hajatan atau bahkan dalam aktivitas sehari-hari, perempuan-perempuan atau ibu-ibu kerap saling mengunjungi, mencicipi masakan di buliang ini. Dari buliang kerap dikembangkan teras belakang yang berhubungan langsung dengan tambatan perahu (tatambe), juga tempat-tempat untuk aktivitas domestik seperti mencuci dan bahkan mandi.
Beberapa teman sempat merasakan sensasi mandi atau buang hajat di buliang, yang hanya ditutupi pembatas kain berukuran tidak lebih dari satu meter. Mereka bisa menyaksikan pemandangan laut, dengan hilir mudik kapal-kapal sambil buang hajat. Jangan tanya hajat itu akan kemana. Sudah pasti terjun bebas ke air laut, pecah luluh lantak sebelum sampai dasar atau bahkan hanya untuk terapung di laut.
Dalam perjalanan waktu, organisasi ruang di rumah orang Bajo ini kerap berkembang, misalnya penambahan kamar-kamar tidur karena penambahan jumlah anggota keluarga, pengadaan kakus (khususnya yang di darat), atau ruang-ruang lainnya. Ini biasa terjadi pada keluarga-keluarga dengan ekonomi berkecukupan. Namun, bundaang dan buliang ini tetap menjadi sentral yang memengaruhi pola organisasi ruang-ruang, dari yang paling privat sampai ke publik.
Yang juga menarik adalah adanya fenomena hirarki gender dalam kedua ruang ini, yaitu ma’bunda untuk pria, di depan, bersifat semi publik, mengurus hal-hal politis sedangkan ma’buli untuk wanita, di belakang, bersifat semi privat, mengurus hal-hal domestik. Dalam obrolan saya dengan Pa Haji Adam, hal ini salah satunya menunjukan adanya pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Pendapat lain dari Pa Imam, hal ini juga berhubungan dengan pembagian posisi ketika beribadah di kalangan umat muslim.
Selain itu, aktivitas ekonomi orang Bajo kerap berlangsung di bagian diaruma (kaki rumah panggung) dan di sekitarnya. Mayoritas keluarga Bajo-Bugis memiliki jualan di depan rumah mereka. Beberapa yang tidak memiliki jualan menggunakan daerah di sekitar diaruma untuk menjemur ikan. Dalam sejarahnya, pasar yang dikembangkan di Wuring Atas awalnya diadakan sepanjang gang masuk kampung, umumnya di depan rumah masing-masing nelayan. Lama-lama situasi ini membuat akses keluar masuk kampung menjadi terhambat, juga mengganggu ketenangan ibadah solat magrib hingga isya. Selanjutnya diputuskan oleh orang tua-tua di Wuring bersama pemerintah bahwa aktivitas ekonomi ini harus dilokalisasi di suatu tempat khusus, yaitu Pasar Senja Wuring saat ini.
Test…
Test… 👍
Test reply
@heavyeight test