wuring 2

Menggagas Dramaturgi Pertunjukan dari Setting Spasial Kampung Wuring

Setting Spasial Kampung Wuring

Salah satu cara kami melakukan riset adalah dengan berjalan melintasi Kampung Wuring. Kami datang dari arah Maumere, dan memarkir sepeda motor di sebuah kapel Katolik yang dibangun persis di sisi selatan jalan pantura Maumere-Mbay. Kapel Katolik ini berhadapan dengan jalan masuk menuju Kampung Wuring yang ada di sisi utaranya. Kami menyeberangi jalan itu dan masuk melalui gang yang mengarah ke utara dan mulai menyusur ke bagian demi bagian Kampung Wuring.

Gang itu adalah sebuah jalan panjang -sebagain beraspal sebagian lainnya tidak- yang membelah hunian-hunian warga di sisi kiri (barat) dan kanan (timur) Kampung Wuring. Dari arah kami masuk, gang itu berhulu di jalan Pantura Maumere-Mbay, persis di kapel tadi, dan berhilir di sebuah tambatan perahu di ujung Kampung Wuring. Pada 2017-2018, masuk dan keluar Kampung Wuring hanya melalui jalan utama ini. Ketika kami datang lagi di tahun 2019, pola hunian warga telah berkembang. Pasca reklamasi, satu kampung baru di sisi timur terbentuk, sehingga ada jalan baru memutar, tanpa melalui gang utama tadi, sampai ke tengah kampung. Sehingga jika ingin kembali, jalan ini menjadi jalan alternatif yang memungkinkan tak terjadi arus balik yang membuat sesak jalan utama tadi.

Gang masuk menuju Kampung Wuring. (Foto Udara: Andry Sola)

Sepanjang perjalanan menyusuri Kampung Wuring, saya dapat mencium aroma asin dan amis ikan. Sesekali di beberapa tempat, aroma amis ikan ini beradu dengan wangi masakan, entah ikan bakar, masakan Bugis, soto Jawa hingga aneka martabak manis dan asin. Seluruh aroma ini seolah-olah berdesak-desakan menemui indera penciuman, bersaing dengan aroma lain lagi: wangi parfum, produk kosmetik, hingga sampah-sampah kemasan yang terendam kotoran hewan, juga limbah rumah tangga.

Sembari berjalan, tatapan mata saya tertuju pada rumah-rumah panggung yang menjulang juga hiruk-pikuk warga yang melakukan aktivitas domestik seperti berjualan makanan, menjemur ikan, cuci pakaian, saling mencari kutu kepala, atau sekadar nongkrong minum kopi dan bercerita.

Rumah-rumah warga Kampung Wuring dibangun di atas tanah maupun di perairan dangkal. Pola pengembangan Kampung Wuring disesuaikan dengan pola persebaran taka. Taka adalah sebutan tradisional suku Bajo untuk koral atau gugusan karang dalam laut dangkal.

Melalui pola taka ini, dibuat reklamasi tradisional, yaitu menumpuk batu-batu karang dan pasir tahap demi tahap. Setelah struktur penopangnya cukup kuat, kayu-kayu didirikan, membentuk rangka rumah. Belakangan, proyek reklamasi yang dilakukan oleh pemerintah menghancurkan pola taka ini, karena yang ditimbun pada coral bukanlah batu karang atau pasir laut, melainkan tanah dan material lain seperti batu-batu besar.

Rumah-rumah yang didirikan di atas periaran dangkal terus berkembang ke arah laut, disesuaikan dengan rumah-rumah yang telah ada dahulu. Ada jembatan-jembatan yang dibuat dari beberapa bambu yang diikat hingga mencapai lebar kira-kira satu meter. Jembatan-jembatan itu menghubungkan satu rumah dengan rumah lainnya. Jembatan-jembatan itu kerap melintasi sisi-sisi rumah warga, sehingga ketika kita melaluinya, sesekali kita bisa melihat aktivitas-aktivitas warga di dalam rumah mereka.

Dalam obrolan dengan warga, saya akhirnya tahu kalau kampung Wuring secara tradisional terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu Wuring Atas (bagian ini adalah bagian paling baru), Wuring Leko sebagai awal pembentukan kampung dan lebih dekat ke Wuring Tengah (tangah), juga Wuring Laut/Ujung (toroh). Kami mengidentifikasi beberapa hal penting di masing-masing bagian kampung ini.

Pasar Senja Wuring, tempat seluruh aktivitas ekonomi harian berlangsung, ada di Kampung Wuring Atas. Interaksi dengan orang-orang dari luar Wuring kerap berlangsung di sini. Ketika hari pasar tiba, suasana berlangsung sangat riuh. Mobilitas tinggi sekali. Pasar Wuring tidak sekadar menjual ikan tetapi juga kebutuhan dapur lainnya seperti beras, ikan asin, bawang, serta aneka pakaian (kebanyakan adalah rombengan), dan berbagai perlengkapan rumah tangga lainnya. Pasar ini berhubungan dengan pelabuhan yang ada di Wuring Tengah, Leko, dan Ujung, tempat ikan-ikan dan bahan sembako diturunkan dari produsen sebelum sampai ke pasar.

Wuring Leko dan Tengah adalah pusat kepadatan. Di sini tinggal suku-suku Bajo, keluarga-keluarga awal yang datang ke Wuring. Mayoritas rumah-rumah ada di sini. Ada pula masjid raya, sekolah, beberapa pos pelayanan sosial (pelabuhan, kator dinas perhubungan), dan umumnya rumah-rumah penduduk.

Warga di leko masih memegang adat tradisi Bajo tua secara baik. Di leko, terdapat satu kepala kampung yang menyimpan ula-ula, bendera suku Bajo. Orang-orang percaya kalau pewaris ula-ula memiliki darah bangsawan. Praktik adat warga Wuring leko umumnya merujuk pada tradisi keluarga pewaris ula-ula ini. Berbeda dengan di leko, warga di tengah lebih dipengaruhi oleh tradisi Islam. Dikisahkan oleh penduduk setempat bahwa Pijung Juma, kepala Kampung Wuring pertama, yang datang pada masa Kerajaan Sikka (antara akhir 1800-1900) hidup dan beranak cucu di Kampung Tengah ini. Warga di situ umumnya tidak memiliki hubungan dengan kultur ula-ula yang ada di leko. Warga Kampung Tengah percaya bahwa ula-ula adalah suatu praktik gaib.

Terlepas dari adat dan tradisi yang bervariasi, umumnya Kampung Tengah dan leko merupkan tempat hidup, tempat tinggal orang-orang Bajo, juga Bugis. Aktivitas harian mereka, selain melaut dan di pasar, juga aktivitas-aktivitas budaya dan agama, dilangsungkan di sini.

Pada 2017, di Kampung Ujung hanya ada sedikit rumah-rumah apung yang dihubungkan oleh jembatan-jembatan bambu. Selain itu, ada juga tambatan perahu, dermaga kecil tempat nelayan memarkir perahu mereka selepas melaut, dan satu tanah lapang yang luas, tempat berkumpul. Sekarang, selepas reklamasi oleh pemerintah, mulai banyak rumah-rumah. Namun, tambatan perahu, juga masjid apung tetap ada di situ. Kampung Ujung kerap ramai pada malam hari. Di sana, orang-orang mengatasi rasa suntuk, pasang-pasangan muda-mudi bercumbu mesra, anak-anak bermain dari sore hingga malam ketika tak ada lagi matahari yang menyengat, beberapa pemuda minum-minum moke sambil bernyanyi melepas penat dan lelah usai melaut.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
4 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Heavyweight test
1 year ago

Test…

Heavyweight test
1 year ago

Test… 👍

Heavyweight test
1 year ago

Test reply

Heavyweight test
1 year ago

@heavyeight test

Kalender Postingan

Jumat, Oktober 18th