Oleh Eka Putra Nggalu –
Kampung Wuring adalah sebuah kampung nelayan suku Bajo dan Bugis. Kampung ini masuk dalam wilayah administratif Kelurahan Wolomarang-Maumere, Kabupaten Sikka. Sebagaimana kampung nelayan pada umumnya, kehidupan warga Kampung Wuring sangat terikat dengan laut dan aktivitas perdagangan. Warga Kampung Wuring mengembangkan kebudayaan maritim, dengan corak Islam yang khas.
Meski terletak tidak jauh (hanya sekitar 5 kilometer) dari pusat kota Maumere, Kampung Wuring menampilkan fenomena etnografi yang berbeda dari kota Maumere yang sebagian besar penduduknya berasal dari suku Krowe. Situasi kota Maumere yang telah mengalami urbanisasi di segala sektor -yang paling performatif misalnya ditandai dengan arsitektur bangunan yang serba modern dari beton dan semen tanpa corak tradisional sedikitpun- sungguh berbeda dengan penampakan arsitektur Kampung Wuring yang dominan dengan rumah-rumah panggung dari kayu dan bambu. Agama Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat di Kampung Wuring seolah mempertegas kontrasinya dengan Maumere yang mayoritas warganya menganut agama Katolik.
Tidak banyak anak-anak muda di Kampung Wuring yang bergaul (dalam arti terlibat dalam aktivitas bersama, berteman, atau berorganisasi) dengan anak-anak muda di kota Maumere umumnya. Hal ini selain karena segregasi wilayah (tidak dalam arti negatif) yang cukup terasa, juga karena perbedaan prinsip hidup, aktivitas, juga kebiasaan yang dibentuk oleh dua kebudayaan yang berbeda: kebudayaan Krowe-urban dan kebudayaan Bajo-maritim tradisional.
Salah satu yang secara kuat membuka portal interaksi antara orang-orang di Kampung Wuring dan masyarakat Maumere pada umumnya adalah kehadiran Pasar Senja Wuring. Pasar ini menjadi salah satu key supplier kebutuhan pokok, terutama ikan, bagi warga kota Maumere. Saya tidak sedang secara sengaja mempertebal polarisasi antara Wuring dan Maumere dalam dua kutub terpisah. Namun, segregasi ini penting disadari, minimal dalam salah satu cara melihat yang saya tawarkan di atas, mengingat keadaan ini bisa jadi merupakan satu kondisi bawah sadar yang seketika bisa meledak menjadi sentimen-sentimen yang merusak, apapun pemicunya.
Sejak tahun 2017 saya dan teman-teman komunitas KAHE melakukan observasi di Kampung Wuring untuk beberapa proyek seni yang berbeda-beda.
Pertama sekali kami datang ke Wuring untuk mencari tahu peristiwa dan cerita-cerita penyintas gempa dan tsunami 1992. Lalu pada tahun berikutnya kami datang untuk berjalan-jalan mengalami Kampung Wuring, mengamati struktur kampung, lanskap ruang, setting spasialnya, dan interaksi orang-orang di sana. Jalan-jalan kami ini menghasilkan satu nomor pertunjukan (yang masih belum sempurna), yang mencoba mengadopsi struktur Kampung Wuring sebagai struktur dramaturgi pertunjukan. Bentuk pertama pertunjukan itu sudah dipentaskan dengan judul Yang Terhempas, Yang Terkikis (2018), dan kami sepakat untuk mengembangkannya lagi.
Pada tahun 2020 ini, kami melakukan riset dalam dua tahap, yaitu tahap pertama jalan-jalan dan tahap kedua live in. Riset ini akan kami proyeksikan untuk penciptaan forum artistik atau artistic encounter bersama warga. Bentuknya belum kami ketahui, entahkah festival kampung, pertunjukan, musik atau jangan-jangan festival kuliner. Kami memberi nama kunjungan tahun ini dengan frasa crossing borders.
Tentu banyak hal tidak bisa saya gambarkan di sini, entah mengenai proses kreatif dari proyek-proyek kesenian kami, temuan-temuan hasil riset, juga cerita-cerita menyeluruh perihal Kampung Wuring. Namun, satu hal yang menjadi pemicu awal niat kami untuk riset di Wuring adalah adanya kesan eksotik dan eksklusif yang kami rasakan perihal kampung ini.
Pertama, kami yang rata-rata adalah anak-anak kota, generasi milenial, yang jauh dari modernitas sekaligus tradisi mengidentifikasi Wuring sebagai yang lain dari kami dalam hal sosial, budaya, juga yang sangat performatif berbeda seperti cara berpakaian, dialek, cara bicara, perawakan fisik, pun mungkin perihal rasa-merasa. Kedua, secara geokultural, Wuring seperti tersegregasi dari setting spasial Maumere pada umumnya, secara performatif misalnya dari akses ke Kampung Wuring yang meski terbuka tetap terasa berjarak dengan Maumere, struktur kampung yang berbeda-beda, rumah-rumah yang berbeda, dan tentu cara hidup dan filosofi yang berbeda.
Dalam tulisan ini, saya lebih tertarik berbagi tentang setting spasial Kampung Wuring. Secara sederhana dalam kerangka arsitektural, setting spasial berarti tatanan ruang atau tata letak dari suatu interaksi antara manusia dengan lingkungannya yang dapat dilihat dari beberapa variabel yaitu ruang, waktu, aktivitas dan pelaku (Rapoport, 1990). Dalam pengamatan terhadap setting spasial, coba dilihat hubungan organisasi dan orientasi ruang (hunia ) dengan seluruh aktivitas hidup masyarakat.
Setting spasial inilah yang awalnya kami anggap sebatas eksotisme belaka tetapi kemudian berkembang menjadi sebuah produksi pengetahuan, juga refleksi dan inspirasi yang berharga, sekurang-kurangnya bagi kami, dalam proses penciptaan karya pertunjukan (yang sampai saat ini terus dalam proses menjadi).
Test…
Test… 👍
Test reply
@heavyeight test