1 Kuliner

Makanan, Perkara Identitas Hingga Negosiasi

Setiap makanan yang terhidangkan pasti selalu memiliki cerita di baliknya. Di samping itu, makanan adalah interpretasi dari kehidupan sehari-hari. Makanan adalah warisan, budaya, identitas dan medium negosiasi yang digunakan dari dulu hingga kini.

 

Gelombang migrasi suku Bajo, Bugis, Buton, dan suku lainnya ke Wuring sejak tahun 1950-an tak pelak turut serta membawa budaya mereka. Pakaian adat pengantin dengan aksesoris yang semarak, rumah panggung sederhana ataupun rumah dengan warna mencolok, ritual menaikkan ula-ula (bendera adat Suku Bajo), juga mitos-mitos yang dipercayai merupakan bagian dari produk kebudayaan dimaksud.

Selain itu, cara berpakaian, konstruksi rumah, bahasa yang dipakai, adat-istiadat, hingga makanan menjadi bagian lain dari kebudayaan yang dipraktikkan di Wuring hingga sekarang. Tiap produk kebudayaan (barangkali) melewati proses penyesuaian yang panjang untuk dapat dipraktikkan di Wuring, seperti asimilasi dengan kultur setempat dan lain sebagainya.

Di antara semua kebudayaan yang ada, makanan selalu yang paling mudah ditiru. Tak hanya itu makanan juga dapat berasimilasi dan diadopsi oleh masyarakat setempat. Hal inilah menyebabkan makanan yang telah melebur dengan lingkungan tempatan dapat menciptakan sebuah cita rasa yang khas dan menjadi identitas suatu tempat, termasuk Wuring.

Makanan khas Wuring yang modern (karena baru muncul belakangan) adalah bakso ikan. Makanan ini adalah perpaduan antara masakan China (mie, budaya Thionghoa), Arab (taburan bawang goreng, budaya Arab), dan Indonesia dengan ikan yang merupakan komoditas Wuring. Ini ditambah lagi dengan baluran rempah-rempah yang dengan mudah didapatkan di pasar.

Makanan khas Wuring lainnya yang paling sering dijumpai adalah buras, gogos, kue timbal balik, kue nona manis, dan sebagainya. Buras dan gogos merupakan makanan berbahan dasar beras. Sedangkan kue nona manis dan kie timbal balik berbahan dasar tepung terigu.

Bagaimana Makanan Menjadi Sebuah Identitas?

Makanan dapat disebut sebagai identitas dengan tiga alasan.

Pertama, yang mengolah makanan tersebut adalah warga setempat, yang mana makanan sebagai produk kebudayaan khas Bajo dan Bugis dibuat oleh perempuan di Wuring dan belakangan juga oleh kaum waria sebagai pelaku kuliner. Buras dan gogos menjadi contoh makanan yang dibuat oleh perempuan Wuring.

Kedua, makanan tersebut dibuat dan diolah menggunakan bahan-bahan kuliner yang berasal dari daerah setempat. Abon ikan adalah salah satunya. Ikan merupakan hasil tangkapan nelayan di Wuring, sementara kelapa dan rempah diperoleh di pasar Wuring atau pasar Alok.

Meskipun demikian, terkadang tidak semua bahan masakan tersedia di daerah tersebut, sehingga bahan-bahan itu kemudian digantikan dengan alternatif lain. Inilah yang membuat sebuah kuliner memiliki cita rasa baru.

Contohnya adalah papi. Makanan ini terbuat dari sagu yang dicampur dengan parutan kelapa kemudian disangrai. Jika tidak ada sagu, bahannya akan diganti dengan tepung tapioka. Tekstur papi pun tampak berbeda; papi dari tepung tapioka lebih lengket ketimbang dari tepung sagu.

Ketiga, makanan tersebut diterima oleh warga Wuring. Makanan khas ini lantas dijadikan sebagai makanan wajib saat acara-acara besar, seperti hari raya keagamaan, perkawinan dan khitan, kematian dan lain-lain. Kadang makanan-makanan ini juga muncul dalam konsumsi hidup keseharian. Adapun makanan seperti buras selalu disajikan pada hari raya Lebaran dan Idul Fitri. Sedangkan palu mare (ikan kuah asam) adalah masakan ikan berkuah dengan cita rasa asam sebagai hidangan keseharian.

Keempat, makanan tersebut memiliki “cerita” dari proses mengumpulkan bahan-bahan, pengolahan, hingga penyajian, termasuk gambaran tentang suasana orang-orang yang hadir saat menyantapnya.

Dari empat hal tersebut, tidak mengherankan jika sebuah produk makanan kemudian dapat diklaim sebagai kekhasan suatu daerah, termasuk Wuring. Beberapa masakan yang dapat diproduksi oleh orang “yang bukan Wuring”, kemudian dimakan dan diterima oleh masyarakat yang lebih luas, yang juga menjadi makanan khas Maumere.

Pertemuan dan Negosiasi

Makanan menjadi medium pertemuan dan negoisasi yang efektif, terutama di kalangan perempuan dan transpuan di Wuring sebagai pelaku kuliner. Buras, gogos, dan kue-kue yang diproduksi tidak hanya dikonsumsi, melainkan juga memiliki nilai jual. Makanan tersebut dijual di pasar Wuring, kedai kua ataupun pasar-pasar lainnya.

Selain itu, makanan khas Wuring tidak hanya hadir dalam acara-acara di kalangan masyarakat Wuring, seperti pada saat menjamu tamu, pesta perkawinan, acara adat dan lainnya, tetapi juga makanan-makanan tersebut muncul di acara-acara resmi, seperti seminar, rapat-rapat resmi, dan acara-acara penting lainnya karena diminati oleh kalangan luas.

Selama bulan puasa, makanan khas Bajo yang biasanya dijual di Beru (sebuah kamping Muslim di Maumere), paling banyak dibeli oleh warga non-Muslim. Pada sore hari sebelum berbuka puasa, badan jalan dipenuhi oleh penjaja kuliner dan pembeli.

Pertemuan budaya dapat dilihat juga di warung “Bakso Mercon” Maumere. Bakso ini dibuat oleh warga lokal “yang bukan Bajo”. Kita lihat, dalam hidangan bakso, ada beberapa perpaduan kebudayaan antara lain Tionghoa, Arab, dan Bajo itu sendiri.

Foto: Bernard Lazar

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Rabu, Oktober 16th