Ketika saya mulai menulis obituari ini, sepuluh hari telah berlalu sejak kepergian Kaka Lily Yulianti Farid. Selama sepuluh hari itu pula, media sosial dibanjiri ucapan belasungkawa dan kisah-kisah kebersamaan dengan Ka Lily yang berita kematiannya datang sangat tiba-tiba. Tanggal 10 Maret 2023, Ka Lily menghembuskan nafas terakhirnya di Petter MacCallum Cancer Centre Melbourne setelah bertarung melawan Kanker Ovarium yang baru terdiagnosis pada Agustus 2022 lalu.
Saya bertemu Ka Lily untuk pertama kalinya pada tahun 2017 di Makassar. Setelah tiga tahun berturut-turut mencoba mengirim karya ke Makassar International Writers Festival, nama saya akhirnya muncul di antara empat nama lainnya sebagai Emerging Writers.
Sejujurnya, saya akhirnya kenal dan tahu bahwa Ka Lily adalah Penggagas Rumata Art Space dan Direktur MIWF baru di hari pertama festival, ketika saya dan kawan-kawan emerging diajak oleh Kaka Aan Mansyur (salah satu kurator MIWF) untuk duduk bersenda gurau di halaman Benteng Fort Rotterdam, tempat festival dilaksanakan. Malam harinya, Ka Lily tampil menyampaikan pidato pembukaan di panggung MIWF ke-7. DIVERSITY. Dan untuk pertama kalinya, saya menyaksikan pidato bilingual (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia) yang disampaikan dengan sangat baik; terstruktur, tulus penuh semangat, dan tanpa teks. Tidak ada suara lain yang terdengar selama Ka Lily bicara, para hadirin seperti terhipnotis.
Kelak, di antara beberapa kawan yang setiap tahun setia mengunjungi MIWF (baik luring maupun daring), kami akan menantikan kesempatan ini untuk duduk dan menyimak sekaligus menghirup seluruh energi baik dari Ka Lily melalui pidatonya. Semacam suplemen penambah semangat untuk kerja-kerja yang kami jalankan. Barangkali kenangan ini yang membuat saya sulit berhenti menangis setelah mengetahui bahwa tahun ini dan tahun-tahun selanjutnya, tidak ada Ka Lily lagi di panggung MIWF.
Satu tahun setelah perjumpaan di Makassar, saya menemukan unggahan tentang Period—Platform belajar yang digagas Ka Lily dan Ka Intan Paramaditha. Period akan mengadakan Workshop Kritik Sastra bersama Profesor Melanie Budianta dan Kritik Film bersama Lisabona Rahman di penghujung tahun 2018 di Jakarta. Kala itu, saya sudah kembali ke Flores setelah hampir empat belas tahun merantau di Bali.
Singkat cerita, saya mencoba melamar menjadi peserta untuk workshop kritik sastra, dan diterima. Kebetulan yang menarik bahwa pengumuman peserta yang lolos period workshop bertepatan dengan kabar seleksi penerimaan PNS BUMN Tahap II yang saya ikuti dan waktu pelaksanaannya hanya berselang satu minggu. Maka tidak ada alasan bagi saya untuk tidak berangkat ke Jakarta. Istilah kata, sekali dayung, dua tiga pulau lah kita datangi.
Dua hari yang padat di Paramadina Graduate School, Gedung Tempo di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Saya dan kawan-kawan peserta lainnya dipertemukan dengan Ibu Melanie Budianta, mentor kami selama dua hari kegiatan. Bagi saya pribadi, yang belum pernah bertemu bahkan mendengar nama Ibu Melanie, melihat kesempatan ini sebagai sesuatu yang sangat berharga, ruang istimewa yang sengaja diciptakan Ka Lily dan Ka Intan untuk kami pergunakan dengan sebaik-baiknya. Di akhir workshop, kami mengadakan bincang publik bersama Dewi Noviami dan Penulis Norman Erikson Pasaribu.
Di tahun berikutnya, ketika saya pulang ke Ruteng dan dipercaya mengelola Klub Buku Petra, saya menyampaikan kabar ini ke Ka Lily dan Ka Intan. Meminta dukungan mereka untuk ruang baru yang tengah saya bangun bersama kawan-kawan. Momen ini kemudian menjadi titik balik bagi kami untuk berkolaborasi sejak tahun 2019 hingga kini.
Percakapan kami yang selalu menarik dan dalam, akhirnya mewujud sebagai “Period Reading Circle” di MIWF 2019. PEOPLE. Period Reading Circle adalah forum pembacaan karya-karya sastra dengan tujuan mendorong pembacaan kritis untuk semua—penulis, kritikus, dan pembaca—sekaligus mengajak para penulis agar lebih saling mengapresiasi dan menyelami karya penulis lain.
Ka Lily dan Ka Intan meminta kesediaan saya untuk mengelola program tersebut. Inisiatif ini melibatkan delapan perempuan penulis dan penyair yang dipertemukan untuk saling membaca karya serta memberikan tanggapan atas karya satu sama lain. Sesi ini dipandu oleh Dewi Noviami dan mengajak Avianti Armand, Dhianita Kusuma Pertiwi, Reda Gaudiamo, Shinta Febriany, Triskaidekaman, Ka Lily Yulianti Farid, Ka Intan Paramaditha, dan saya sendiri.
Di tahun yang sama, saya diajak berkunjung ke Luwuk, bertemu Ama Achmad dan kawan-kawan Babasal Mombasa yang mengelola Festival Sastra Banggai. Saya mengalami empat hari yang luar biasa menyenangkan di Luwuk. Perjalanan ini kemudian menjadi pemantik bagi saya, sepanjang perjalanan pulang dari Luwuk, transit dulu ke Makassar, hingga mendarat di Labuan Bajo, dan akhirnya tiba di Ruteng, di kepala saya terus bermunculan gagasan-gagasan baru tentang perayaan literasi yang sekiranya dapat kami bikin juga di Flores. Bisa dikatakan, ide tentang Flores Writers Festival bermula dari sini. Meskipun terpisah jarak yang sangat jauh; Ka Lily di Australia, saya di Flores, dan Ama di Sulawesi, sesekali kami bertemu dan ngobrol melalui grup Whatsapp.
Di tahun-tahun selanjutnya, kami tetap terhubung dan Ka Lily memberi lebih banyak kesempatan, ruang yang begitu leluasa bagi saya untuk tidak berhenti belajar. Bahkan ketika pandemi menyerang dan MIWF terpaksa ditiadakan di tahun 2020 lalu dilaksanakan secara daring pada tahun 2021. 2020; Rumata Art Space memulai program “Di Rumah” melalui siaran langsung Instagram.
Episode pertama, mengajak saya dan Dicky Senda untuk berbincang-bincang seputar “Waktu Indonesia Timur” bersama Ka Riri Riza. Lalu ada sesi membincangkan “Sala Dewi,” Kumpulan Cerpen Emil Amir yang diterbitkan Indonesia Tera. Sesi ini dipandu sendiri oleh Ka Lily via zoom. Mendekati akhir tahun, Ka Lily kembali meminta kesediaan saya untuk memandu sesi “In Conversation with Laksmi Pamuntjak; Kekasih Musim Gugur dan Hal-Hal Lainnya.”
Saya mengenang proses mengerjakan program ini sebagai sesuatu yang sangat intim dengan Ka Lily. Untuk pertama kalinya, Ka Lily menelpon saya dari Melbourne (saya ingat, susah payah kami menyesuaikan waktu untuk ini) demi membahas apa saja yang akan saya tanyakan kepada Laksmi, baik tentang karya-karyanya, proses kreatif, maupun pandangannya tentang perkembangan sastra Indonesia saat ini.
Saya berdebar-debar, sebab saya belum pernah bertemu Laksmi dan untuk pertama kalinya saya memandu obrolan yang narasumbernya hanya satu orang. Bagaimana saya harus mengatur waktu dengan baik dan tetap mengutamakan pertanyaan yang memiliki nilai tertentu, baik bagi Laksmi, bagi saya pribadi, maupun bagi para pendengar/penonton di YouTube.
Saya dan Ka Lily menghabiskan waktu kurang lebih satu jam di telepon, membincangkan program ini juga hal-hal lain yang ternyata selama ini menjadi kegelisahan kami; kapan kami punya karya lagi? Saya mengenang sore itu sebagai momen penguatan yang berkesan dari Ka Lily.
Pengalaman berkesan lainnya bersama Ka Lily terjadi di tahun 2021, ketika MIWF dilaksanakan secara daring. ANTHROPAUSE. Saya diberi kesempatan tandem dengan Ama Achmad untuk mengelola program “Reading Circle; Timur” yang mengajak delapan Penulis dari Indonesia Timur untuk saling membaca karya dan memberikan kesan pembacaan satu sama lain. Ada Deasy Tirayoh, Eko Saputra Poceratu, Emil Amir, Erni Aladjai, Felix K. Nesi, Gody Usnaat, Ilda Karwayu, dan Jemmy Piran. Sesi ini dipandu oleh Aan Mansyur dan Shinta Febriani.
Kami menggunakan istilah kerja akrobatik untuk sesi ini. Salah satu penulis, Gody, berada di Keerom, daerah pedalaman Papua yang sulit mengakses sinyal internet. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, kami kemudian merancang Plan B, menelepon Gody dengan telepon satelit. Jadi, Ka Lily menelepon Gody dari Melbourne ke Keerom sembari menyalakan speaker, sementara foto profil zoom Ka Lily diubah dengan foto Gody. Puji Tuhan, sinyal telepon satelit betul-betul baik sore itu, sesi ini akhirnya berjalan aman dan lancar.
Di Malam Pembukaan, Gody yang diminta membacakan salah satu karya puisinya kembali hadir melalui telepon satelit. Ka Lily dari Australia kembali terhubung dengan Gody di Papua. Semua yang hadir di zoom maupun di YouTube, mendengarkan Gody bercerita.
Selesai cerita, Gody membacakan salah satu puisinya yang berjudul: “Yesus Mati Di tembak.” Di sela-sela Gody bercerita dan membaca puisi, Mas Imawan Atmosudirjo yang malam itu turut diundang untuk memeriahkan siaran langsung malam pembukaan MIWF ke-9, menggambar cerita dan puisi Gody (Live Drawing). Momen ini menjadi salah satu momen MIWF terbaik yang pernah saya ikuti, meskipun dilaksanakan secara daring.
MIWF terakhir bersama Ka Lily terjadi pada bulan Juni tahun lalu di halaman belakang Rumata Art Space. AWAKENING. Kehidupan seperti apa yang ingin kita jalani hari-hari ini dan seterusnya? Lagi-lagi saya dipercaya memandu beberapa sesi bincang penulis dan membacakan karya di panggung MIWF.
Saat bertemu Ka Lily, ia nampak kelelahan. Kami tidak sempat ngobrol sebab Ka Lily mesti bertemu dan menyapa banyak orang di festival. Meski demikian, pidatonya di malam pembukaan masih tetap menggugah semangat. Berikut sekilas kutipan pidatonya yang terekam oleh saya dan kawan-kawan: “MIWF 2022 tidak digelar di Fort Rotterdam sebagaimana biasa, tetapi di Rumata Art Space.
Selain karena situasi pasca pandemi, MIWF menyadari tentang pentingnya membangun intimasi dalam bentuk percakapan kritis dengan para peserta lintas generasi. MIWF juga adalah festival no all-male panels. Tidak ada satu pun panel diskusi yang seluruh pembicaranya laki-laki. MIWF mengidentifikasi pembicara dan moderator perempuan demi terciptanya kesetaraan di setiap program festival, serta menciptakan ruang aman dan nyaman bagi perempuan untuk mengembangkan potensi sebagai agen perubahan melalui peran-peran strategis di MIWF.
Selain sebagai festival no all-male panels, MIWF 2022 hadir sebagai festival zero waste. Untuk mengakali hal ini, sejak 2019 MIWF bekerja dengan Ecobrick Makassar.” Bagi Ka Lily, festival adalah identitas kota dan tempat bertemunya pemikiran-pemikiran baru lintas disiplin, bukan hanya festival bagi penulis dan pembaca, sehingga MIWF tidak pernah bercita-cita menjadi pusat, tetapi menjadi ruang sirkulasi dan produksi pengetahuan di wilayah Indonesia Timur. MIWF 2022 yang digelar untuk merayakan satu dekade MIWF dan Rumata Art Space juga berkomitmen menjadi festival antikorupsi.
Program terakhir yang kami kerjakan bersama adalah Period Reading Circle: “Tiga Membaca Karya Penulis Perempuan” di Festival Sastra Banggai 2022. Sesi ini mengajak tiga penulis dan pembaca muda; Ilda Karwayu, Ratih Fernandez, dan Riyana Rizki yang membaca karya dari tiga penulis perempuan pilihan masing-masing. Saya memandu sesi yang dilaksanakan secara daring ini di hari pertama FSB ke-6 yang audiensnya hadir secara luring di Aula FISIP UMLB. Ini sesi akrobatik versi lain.
Di tengah sesi, obrolan kami terputus sebab mati listrik di seluruh kota Luwuk dan otomatis kawan-kawan peserta tidak bisa menyaksikan obrolan kami. Menjadi suatu kebetulan yang menarik bahwa para panelis dan moderator hadir secara daring sehingga saya hanya perlu mengganti ruang zoom yang disiapkan panitia dan kami tetap bisa melanjutkan diskusi. Rekaman diskusi tersebut kemudian disiarkan di YouTube Rumata Art Space dan bisa ditonton ulang oleh kawan-kawan peserta maupun teman-teman yang berhalangan mengikuti sesi ini.
Sungguh enam tahun yang luar biasa. Dari Ka Lily dan MIWF, saya belajar mengenali kemampuan dan kapasitas saya, potensi yang saya miliki dan peran yang bisa saya jalankan bagi komunitas dan lingkungan sekitar. Saya belajar tentang bagaimana mengelola program dengan baik, berkorespondensi dengan para narasumber, menyusun daftar mata acara, juga daftar pertanyaan ketika saya diberi tugas memandu sesi diskusi.
Dalam proses ini, saya juga akhirnya belajar bagaimana mengendalikan diri, juga memprediksi situasi tertentu yang barangkali bisa terjadi di luar bayangan kita. Menyiapkan alternatif adalah hal penting dan harus. Saking asiknya menikmati proses, terkadang saya lupa bahwa sebenarnya saya sedang diberi pelajaran secara cuma-cuma. Hal lain yang juga saya dapatkan dari Ka Lily adalah, semangatnya untuk menjunjung tinggi inklusivitas. Bahwa setiap manusia memiliki keunikan dan kemampuannya masing-masing, dan Ka Lily berdiri melalui Rumata Art Space, melalui MIWF, melalui Period (juga kerja-kerjanya yang lain) sebagai seorang kakak, seorang ibu, sekaligus seorang mentor yang menaruh percaya serta membuka jalan, menyediakan ruang-ruang terbuka dan leluasa bagi siapa pun untuk bekerja dan berkreatifitas seturut kemauan dan kemampuannya.
Kemarin, di sela-sela menangis berjamaah dengan Ama Achmad di telepon, saya menyampaikan pertanyaan ini: kapan lagi kita bisa bertemu sosok seperti Lily Yulianti Farid? Kami terdiam seraya mendaraskan doa di kepala masing-masing, semoga di tahun-tahun mendatang, akan muncul sosok baru yang mampu berpikir sekaligus melakukan banyak hal baik bagi banyak orang seperti Ka Lily.
Menutup catatan panjang tentang Ka Lily ini, saya ingin mengutip nasehat beliau yang sebelumnya sempat saya ceritakan di atas:
“kalau ndak ada orang-orang seperti kita, Mar, kegiatan gak bakal jalan. Bagaimanapun, mereka yang berkarya butuh sosok lain; yang menyusun jadwal, menyiapkan panggung, menata lampu, menawarkan kopi dan teh. Orang-orang yang memastikan hal-hal teknis—yang malah seringkali diremehkan itu—tetap berjalan sebagaimana mestinya sehingga acara berjalan sukses dan lancar serta memuaskan semua pihak. Kamu ada di situ dan kamu dibutuhkan. Posisimu penting. Satu hal, Mar! Penulis bisa berkarya, tetapi belum tentu bisa mengatur acara. Orang seperti kita, bisa mengatur acara dan menulis kapan-kapan. Akan tetapi, kamu harus tetap memilih: menjadi penulis atau menumbuhkan sumber daya? Kamu tidak bisa melakukan dua-duanya dengan sempurna.” Begitu.
Selamat jalan, Kaka Lily Yulianti Farid. Beristirahatlah dalam damai. Terima kasih untuk nasehat, segala bentuk pengalaman belajar dan kerja bersama selama enam tahun ini. Terang kekal semoga menyinarimu bersama para kudus di surga, sepanjang masa.