Oleh Rendy Bogar
Beberapa bulan lalu, dalam aktivitas di Kampung Wuring, saya sempat bertemu dan mengobrol dengan Mama Mia, yaitu seorang ibu di wilayah tersebut. Lewat perjumpaan itu, ada satu cerita atau bahan obrolan yang menarik perhatian saya perkara cara Mama Mia mendidik keluarganya, terutama anak-anak.
Saya hendak membagikan itu dalam tulisan ini selain cerita tentang lorong Macan. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, pertemuan saya dengan Mama Mia merupakan kebetulan belaka, bukan agenda yang telah direncanakan.
Sore itu saya, Inna, dan Ryn berangkat menuju Kampung Wuring. Tujuan kami ialah bertemu Pak RT dan pemuda Amir bakal membantu kami menghubungkan pertemuan itu. Kendaraan kami pun melaju. Namun, ketika tiba di Wuring, Amir ternyata tidak berada di rumahnya. Dia tengah melaut bersama Pak RT tadi. Ekspektasi lantas tidak sesuai dengan realita, terutama pada sore hari itu. Padahal, saya ingin sekali menggali informasi lebih dalam dari Pak RT mengenai kehidupan masyarakat Kampung Ujung di Wuring.
Kami kemudian putuskan untuk mengelilingi bagian timur Kampung Ujung Wuring. Aroma ikan kering yang dijemur di pinggir jalan di depan rumah warga menyapa indra penciuman saya. Itu saja sudah cukup sebagai bagian dari sambutan hangat atas kedatangan kami ketimbang ekspresi wajah yang biasa-biasa saja dari si pemilik ikan kering yang sempat saya sapa.
Tidak jauh dari situ ada penjual penangan terang bulan yang sedang menjajakan daganganya di pinggir jalan. Satu porsi harganya 2000 rupiah, sangat murah untuk ukuran yang bisa dibilang hampir lebih besar dua per empat bagian dari terang bulan yang umumnya dijual di pasar Senja, Maumere.
Saya perhatikan, masyarakat Kampung Wuring juga memiliki pola konsumsi yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pedagang keliling yang ada di sekitar perkampungan dan banyaknya kios atau toko kelontong. Saya memutuskan untuk membeli sebungkus rokok di salah satu kios dan sebuah korek api. Waktu berbelanja, dalam benak saya sempat terbersit kesempatan bercakap-cakap dengan si pemilik toko, tetapi sayangnya itu tidaklah terjadi.
Melanjutkan perjalanan, saya melihat seorang ibu berumur sekitar 50-an tahun lagi duduk sendirian di depan teras di sebuah rumah panggung. Dia menikmati pemandangan anak-anak kecil yang sedang bermain di depan rumah, sebuah halaman luas berbentuk pondasi untuk tiga bangunan.
Ibu itu melantunkan senyuman hangat kepada kami bertiga. Spontan saja kami meminta izin kepada beliau untuk mampir dan bercakap-cakap. Ibu itu mempersilakan. Namanya, Mama Mia.
Mama Mia berketurunan Sabu-Rote dan suaminya bernama Pak Darmawan merupakan keturunan Tionghoa. Keduanya bekerja sebagai nelayan dan mereka memiliki sebelas anak yang semuanya disekolahkan. Anak yang paling besar sedang menempuh pendidikan Sarjana Manajemen dan Sarjana Hukum di Universitas Teknologi Sumbawa. Tidak tanggung-tanggung dua disiplin ilmu diambilnya karena mendapatkan beasiswa.
“Meskipun kami gagal dan miskin, tetapi anak kami jangan seperti kami nasibnya. Mereka harus bersekolah dan berhasil jadi orang,” begitu kira-kira kalimat Mama Mia.
Meskipun dalam sehari penghasilan keluarga hanya Rp 100.000, mereka mampu menyiasati agar kebutuhan semua anggota keluarga dapat terpenuhi. Mama Mia juga aktif mengikuti perkumpulan PKK dan arisan ibu-ibu. Hal itu cukup membantu untuk menyiasati keuangan keluarga.
Mama Mia dan Pak Darmawan adalah orangtua yang sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak. Semua anak mereka disekolahkan dan tidak diperbolehkan untuk ikut melaut. Pertemuan yang kebetulan ini membuat kami menyadari bahwa meskipun di Wuring ada banyak kejadian anak yang putus sekolah, rupanya ada Mama Mia dan Pak Darmawan yang berbeda.
Saya yakin, selain mereka ada orangtua lain yang sama seperti mereka yang sadar akan pentingnya pendidikan anak. Sayangnya, sore itu kami tidak berkesempatan bertemu Pak Darmawan karena dia sedang melaut.
Rumah panggung milik Mama Mia rapi dan bersih. Saya yang asyik mengobrol sambil menikmati sebatang rokok jadi malu untuk membuang puntung rokok sembarangan. Ada tiga tempat sampah diletakkan di depan rumah. Satu di atas teras, dua di bawah teras rumah.
Halaman rumah mereka juga bersih dan rapi meskipun rumah panggung dibangun di atas tanah. Cukup lama kami bercerita dan membicarakan pelbagai hal. Misalnya, beasiswa pendidikan untuk anak pertamanya, Darman, didapat dari partai PKS.
Selain itu, adapun banyak pihak dari partai politik yang berminat merekrut Darman sebagai kader partai karena kemampuan akademisnya terbilang berada di atas rata-rata dan sangat kritis mengkritik kebijakan pemerintah. Kemungkinan untuk pulang ke kampung halaman dan menjadi calon legislatif pun diamini oleh ibunya, Mama Mia.
Kurang lebih satu jam berseloroh di teras rumah Mama Mia, kami pun pamit untuk melanjutkan perjalanan. Kami berkeliling kampung dan berjanji sewaktu-waktu mampir lagi di rumah mereka. Saat itu kebetulan ada mobil dinas dari pemerintahan kelurahan yang memberikan pengumuman tentang kejadian luar biasa yang sedang terjadi di wilayah Kabupaten sikka, yaitu ancaman demam berdarah.
Selesai mendengar pengumuman tersebut kami berjalan masuk melalui sebuah lorong yang oleh masyarakat sekitar dinamakan lorong Macan. Nama lorong Macan memiliki arti khusus yaitu macan; masuk manusia, keluar macan. Ternyata di situ katanya banyak sekali pemuda yang suka minum dan mabuk. Betul saja ketika memasuki lorong itu saya sudah memperhatikan mata yang memerah -ciri-ciri orang yang mabuk minuman- dari beberapa pemuda yang menyapa kami.
Kami terus masuk dan berhenti di rumah di ujung di jalan apung tersebut. Di situlah saya bertemu dan mengajak ngobrol seorang pemuda yang saya ketahui dia sedang mabuk minuman. Betul saja dia mengakui bahwa dia baru selesai minum.
Dengan harapan mendapatkan perspektif berbeda tentang Wuring, saya pun meladeni obrolan ngalor-ngidul dengan seorang yang sedang mabuk. Mencoba mengimbangi obrolan saya menangkap inti perbincangan saya dan Ardi, nama pemuda yang sedang mabuk itu.
Keresahannya tentang Wuring pun diobral dan dilampiaskan kepada saya. Seakan akan saya yang bersalah atas semua keresahannya. Saya memahami dan mencoba mengerti, mungkin dia bersikap demikian karena sedang dalam keadaan mabuk. Saya pun menawarinnya rokok, dia menerimanya dan keadaan mulai cair kembali.
Apa arti dari Wuring seutuhnya bagi Ardi?, tanya saya kepadanya. Kehidupan, demikian jawabanya. Wuring adalah kehidupan dan kehidupan baginya adalah perjalanan untuk mencari. Sama seperti saya yang datang ke Wuring saat itu dan bertemu dengannya adalah sebuah pencarian atau arti dari kehidupan itu sendiri.
Jawaban ini adalah satu-satunya jawaban Ardi yang menurut saya menunjukkan bahwa dia sedang bebicara dari hati ke hati. Setelah itu yang ada antara kami berdua hanyalah luapan pria mabuk yang resah, dikasih pertanyaan saja ketimbang sebuah solusi yang membebankan kehidupan.
Kurang lebih dua jam mengobrol dan hari mulai gelap, saya putuskan untuk pamit. Saya dan kawan-kawan diantar Ardi untuk kembali ke jalan utama keluar dari lorong Macan. Saat kembali ke tempat parkir sepeda motor, kami bertemu dengan teman satu tim kami Gee Mario dan paman Arman juga paman Roni. Kami menyempatkan beberapa menit untuk mengobrol sebentar, membahas soal kejadian di pesta pernikahan pemuda Amir lalu kembali pulang ke studio KAHE. .