Koreografi Sosial dan Proposal Kebahagiaan Kolektif

Edisi spesial Lau Ne kali ini menampilkan beberapa catatan dan cerapan atas Benang Merah Festival 2025 yang menandai upaya sadar untuk menjadikan praktik artistik sebagai cara membaca, menegosiasikan, mengkoreografi, dan  merawat kehidupan bersama di ruang urban. Dengan tema besar “Kebahagiaan Kolektif”, Benang Merah Festival 2025 bukan sekadar perayaan artistik. Benanng Merah Festival 2025 juga merupakan eksperimen sosial yang menguji bagaimana berbagai peristiwa hidup di ruang-ruang kota dapat bekerja sebagai koreografi sosial: sebagai praktik yang mengatur, menghubungkan, dan menafsirkan ulang relasi antara tubuh, ruang, dan masyarakat.

Dalam konteks ini, Lau Ne memosisikan diri sebagai medium retrospektif yang mendokumentasikan, menafsirkan, dan memikirkan kembali berbagai bentuk artikulasi gagasan “Kebahagiaan Kolektif” tersebut. Empat tulisan yang hadir di edisi spesial ini menelusuri lapisan konseptual dan praktis dari Benang Merah Festival, mulai dari ruang kerja seniman dan kurator hingga ruang keseharian warga dan aktivis – membentangkan spektrum antara teori, pengalaman, dan kesaksian.

Tulisan Ruang, Kolektivitas, dan Kebahagiaan: Retrospeksi “Kolektif Berbahagia” oleh David Rafael Tandayu membuka edisi ini dengan membedah “Kolektif Berbahagia” sebagai laboratorium sosial-estetik. Melalui pendekatan koreografi sosial, David menunjukkan bagaimana ruang festival menjadi arena negosiasi antara bentuk artistik dan struktur sosial kota. Ia mengurai dimensi estetika yang tidak lagi hanya formal atau ekspresif, tetapi juga relasional: ruang yang hidup melalui partisipasi, pertemuan, dan kerja sama warga. Dalam kerangka ini, kebahagiaan kolektif tampil sebagai hasil dari proses negosiasi yang berkelanjutan antara tubuh-tubuh yang berbeda dan tumpang-tindih, bukan sebagai hasil akhir yang harmonis dan utuh.

Dalam Kebahagiaan Kolektif: Janji, Utopia, Metode? Eksperimentasi Benang Merah Festival, Rebecca menghadirkan pembacaan dari sudut pandang kurator festival. Di sini, kebahagiaan kolektif tidak dibahas sebagai konsep metaforis, melainkan sebagai metode kerja yang konkret. Empat kata kunci yaitu, perbedaan, waktu, prioritas, dan merawat, menjadi lensa untuk memahami bagaimana praktik kolektif berlangsung di tengah keterbatasan sumber daya, tenggat waktu, dan keragaman perspektif. Rebecca menunjukkan bahwa kebahagiaan kolektif bukan hanya produk dari kerja bersama, tetapi juga kemampuan untuk terus memelihara relasi yang telah terbentuk, bahkan setelah festival usai. Dalam kerangka itu, kebahagiaan menjadi praktik keberlanjutan yang bersifat afektif-personal sekaligus deliberatif-sosial.

Tulisan Menerka Kontra-Janji Kebahagiaan, menghadirkan perspektif reflektif dan fenomenologis dari seorang pengamat festival. Dengan merujuk pada gagasan Sara Ahmed tentang politik afek dan “janji kebahagiaan”, Faiz menelusuri bagaimana festival membongkar bentuk-bentuk kebahagiaan yang normatif, yang sering dikonstruksi oleh kapitalisme, moralitas mayoritas, atau ideologi produktivitas. Melalui pengalaman personal atas karya, zine, perjalanan diam, hingga tarian bersama, tulisan ini menegaskan bahwa kebahagiaan kolektif justru lahir dari kebersamaan yang rentan, dari tubuh-tubuh yang tak sempurna tetapi berani terus bergerak.

Sebagai penutup, Yang Rentan, Yang Resah, Yang Melawan: Pada Suatu Percakapan di Salon mempertemukan tiga figur: aktivis masyarakat adat, pegiat hak LGBT, dan seniman tato perempuan dalam satu ruang percakapan yang intim. Dialog mereka menyingkap irisan antara tubuh, tanah, dan identitas sebagai locus perjuangan bersama. Melalui percakapan ini, festival menjadi ruang artikulasi bagi yang selama ini termarginalkan: ruang untuk menyuarakan kebahagiaan sebagai hak politik, bukan sekadar perasaan pribadi. Dengan demikian, kebahagiaan kolektif tampil sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur sosial yang menindas dan terhadap logika pembangunan yang eksklusif.

Keempat tulisan ini, jika dibaca secara utuh, membentuk satu medan konseptual. Koreografi sosial bukan hanya istilah kuratorial, melainkan cara berpikir tentang kehidupan bersama di tengah dunia yang terfragmentasi. Ia mengajak kita untuk melihat bahwa kebahagiaan tidak hadir dalam isolasi, melainkan tumbuh dari relasi yang dinegosiasikan terus-menerus antara seni dan politik, antara individu dan komunitas, antara kerentanan dan perlawanan.

Lau Ne edisi  spesial Benang Merah Festival 2025, karenanya, bukan sekadar dokumentasi atas festival, melainkan tawaran epistemik untuk memahami kebahagiaan sebagai kategori sosial-estetik. Lau Ne ingin mengajak pembaca untuk berpikir melampaui dikotomi senang–sedih, publik–pribadi, atau estetika–etika, dan memandang kebahagiaan kolektif sebagai metode untuk merawat kehidupan bersama yang terus berdenyut dalam liminalitas*.

Dengan semangat itulah Lau Ne Edisi Spesial Benang Merah Festival 2025 diterbitkan, sebagai ruang refleksi, sebagai catatan kerja, dan sebagai undangan terbuka untuk terus menari dalam koreografi sosial yang kita hidupi bersama.

 

Catatan:

*Istilah liminalitas merujuk pada konsep “ruang liminal” Gloria Anzaldua. Dalam Borderlands/La Frontera (1987), Anzaldúa menekankan bahwa borderlands bukan sekadar garis pemisah antara dua dunia, tetapi juga ruang liminal, “luka yang terbuka,” tempat perbedaan bertemu, bergesekan, bahkan berdarah. Namun, justru dari luka itu lahirlah pengetahuan dan kesadaran baru. 

Bagikan Postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kalender Postingan

Selasa, Oktober 21st