Kunyah Saja Semua Biar Kena Kolesterol dan Asam Urat

 

Banyak teman saya yang sering terkejut saat saya mengatakan bahwa saya berkolesterol tinggi dan sering sakit asam urat. Maklum, usia saya sebetulnya baru 26 tahun sedangkan kondisi tersebut biasanya dialami orang yang sudah berusia lebih tua. Sebetulnya, saya sendiri antara kaget dan tidak kaget dengan persoalan ini. Kesukaan saya mengunyah apa saja, nyaris tanpa kenal waktu, membuat saya rawan menyimpan ketidakseimbangan dalam tubuh. Kehadiran aplikasi ojek daring yang menyiapkan jasa pesan dan antar makanan membuat hobi saya seperti makin dilayani. Di tengah malam saat lembur bekerja, tanpa harus beranjak jauh dari hadapan layar laptop, saya bisa memilih berbagai menu makanan dan dengan segera mendapatkannya.

Nasi ayam, nasi bebek, nasi katsu, nasi goreng, nasi rendang daging, nasi lele, nasi uduk dan ragam menu berkomposisi nasi lainnya menjadi pilihan-pilihan kuliner yang tiap hari muncul di layar aplikasi ojek daring. Satu per satu saya jajaki. Dan seperti kebanyakan manusia Indonesia, menu dengan sajian pokok nasi sering menjadi pilihan utama saya. Lauk boleh apa saja, tetapi nasi adalah keharusan. Dalam hal ini, saya tidak sendirian sebab sekitar 269 juta manusia Indonesia lainnya juga mempunyai kecenderungan yang sama. Mulut-mulut kami rasanya seperti belum makan saja kalau belum mengunyah nasi. Tidak heran, angka konsumsi beras di Indonesia tercatat sebagai salah satu yang tertinggi di dunia.

Dalam catatan sejarah kehidupan sosial di Indonesia, sebetulnya corak konsumsi kita tidak selalu didominasi oleh nasi. Saya ingat betul bahwa di buku Ilmu Pengetahuan Sosial yang saya baca saat di Sekolah Dasar, beberapa wilayah di Indonesia disebutkan mengonsumsi jagung, singkong dan sagu sebagai bahan makanan pokoknya. Barulah pada rezim Orde Baru, semangat mengonsumsi nasi muncul di mana-mana seiring dengan digalakannya kebijakan swasembada pangan yang fokus pada beras. Intensif, ekstensif dan rehabilitatif menjadi mantra yang diharapkan mampu membuat impian agraria kita terwujud. Cara tanam distandarkan dan pupuk kimia yan dianggap lebih tokcer diedarkan agar produksi panen berlipat ganda. Pada masa itu, bukan lagi sesuap nasi yang kita cari, melainkan ribuan ton beras dan panen padi tanpa henti. Tak lagi buat mulut-mulut kita sendiri, panen padi waktu itu juga sudah diperuntukkan bagi mulut-mulut di negara lain yang akan menerima impor beras Indonesia. Impian agraria kita pun mensyaratkan tanah yang harus menjadi lebih produktif dan jauh lebih produktif lagi sebab ada lebih banyak mulut manusia yang menunggu mengasup nasi.

Sesaat, kegemilangan program itu tercapai dan pasokan beras kita melimpah-ruah. Namun, tanah menjadi lelah dan ia terus kehilangan zat haranya. Di sisi lain, musuh alami padi menjadi kebal obat. Semua elemen bertanam menjauhi siklus alaminya. Petani terpaksa ada di garda terdepan menghadapi ketidakseimbangan di tubuh alam ini. Impian agraria kita berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui dalam wujud kegagalan panen. Rithy Panh dalam filemnya yang berjudul Rice People (1994) berkali-kali menggambarkan mimpi buruk petani tropis itu lewat perjalanan kedewasaan seorang gadis Kamboja yang dipenuhi pergulatan menanam, merawat hingga memanen padi. Begitu menghantui perkara kegagalan panen itu hingga ia menjadi muasal sebuah kegilaan. Demikian pentingnya beras di sana sama seperti halnya di sini.

Sekarang, saat El Nino beraksi dengan intensitas yang semakin tinggi karena krisis iklim global, kemarau panjang pun melanda negeri ini. Bagaimana dengan ketahanan tanah kita hari ini mengatasi iklim yang tak menentu? Apakah ia seprima kondisinya dahulu mengingat penanaman padi di periode sebelumnya begitu intensif dan ekstensif? Lagi-lagi, gagal panen menghantui dan menjadi mimpi buruk petani kita. Di beberapa lokasi seperti Jepara, mimpi buruk itu malahan sudah menjadi kenyataan.

Bagi orang-orang seperti saya yang biasanya hanya tinggal menunggu nasi tersaji hangat di meja, persoalan ini sebetulnya tak seberapa terasanya. Sosok-sosok yang menunggu penurunan jumlah pasokan beras telah dengan sigap menambal bolongnya cadangan beras kita dengan metode cepat nan jitu: impor. Mereka yang mencari sesuap nasi dengan menunggu tidak cukupnya nasi dari panen padi. Jika pun cukup, asal peluang dagang terbuka, maka tak jadi soal. Impor bisa tetap dilakukan. Apalagi negara-negara tetangga terdekat kita pun mengonsumsi nasi dan menanam padi. Maka, kesamaan menu pokok di meja makan pun bergeser menjadi kesamaan kepentingan di meja dagang bilateral. Vietnam, Thailand dan Myanmar menjadi tiga negara pengimpor beras utama ke Indonesia.

Meskipun begitu, dari mana pun asal berasnya, orang belum tentu ambil pusing. Toh meskipun begitu kecanduan mengunyah nasi, belum tentu kami bisa membedakan beras dari wilayah mana yang masuk ke mulut ini. Selagi ia membikin kenyang, enak dan terjangkau maka impor tak jadi soal.

Tabiat dan dorongan kuat mengonsumsi semacam ini sebetulnya bukan hal yang aneh bagi manusia. Dalam rantai makanan, manusia tidak berada di posisi produsen makanan. Ia berada di posisi makhluk pemakan segala atau omnivora. Jadilah aktivitas utamanya ialah hanya mengunyah dan mengunyah, sementara berusaha menanam dan memanen. Meskipun sejujurnya, bagi manusia-manusia semacam saya, aktivitas yang paling dominan ialah mengunyah daripada menanam dan memanen. Begitu tinggi intensitas mengunyah itu, apalagi sekarang ketika tubuh yang tidak harus bergerak untuk menjangkau makanan. Menghidupi klasifikasi sebagai omnivora dengan sepenuh hati bahkan sampai kelebihan kolesterol dan asam urat.

Barangkali, persoalan di tubuh alam dalam hal ini pun tidak jauh beda dengan persoalan di tubuh saya. Segala asupan dan gaya hidup yang kami jalani telah membuat si tubuh muda tak lagi muda, sedangkan ketidakseimbangan menjadi sejenis keniscayaan absurd; ia tidak disukai tapi tidak juga dihindari.

Catatan: tulisan ini dibuat pada akhir tahun 2019 di saat Jakarta begitu panas dan kering.

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Kamis, November 21st