Gerakan pejalan kaki terus berkembang beberapa tahun ini, selaras dengan tumbuhnya pembangunan infrastruktur di kota-kota besar Indonesia. Berjalan kaki menjadi kegiatan yang sering dipromosikan oleh para pengguna media sosial, mengajak kita semua untuk ikut menelusuri lingkungan sekitar dari ujung jalan trotoar, menjejaki bangunan bersejarah, hingga menelusuri gang-gang kecil yang memperlihatkan keseharian masyarakat pada umumnya.
Sebagai aktivitas primitif, berjalan kaki adalah cara untuk mengenal kota dan menangkap detail-detail sekitar dalam skala manusia. Detail-detail ini dapat dilihat dan bahkan dirasakan secara langsung, seperti warna-warni warung kelontong, pepohonan rindang yang ditanam oleh tetangga, doa-doa kutukan untuk para pembuang sampah, dan mungkin bau got kotor yang bercampur dengan limbah rumah tangga. Para pegiatnya mulai bertumbuh, mulai dari komunitas-komunitas kecil yang bergerak gerilya hingga tingkat komersial yang terus mempromosikan hal menarik dalam kotanya. Masing-masing memiliki agendanya. Namun, yang mendasari adanya kegiatan-kegiatan ini adalah berjalan bersama untuk bersenang-senang, lalu kemudian memunculkan diskursus dinamika perkotaan.
Awal tahun 2023, sempat santer di media sosial mengenai aktivitas salah satu komunitas kecil yang menginisiasi kegiatan penelusuran gang dengan berjalan kaki di Jakarta. Bak tak dapat dikendalikan, sentimen-sentimen negatif muncul seperti bola liar mengenai isu romantisme kemiskinan, eksotisme, tuduhan post-colonial gaze, hingga bias antar kelas, seperti yang ditulis dalam sebuah artikel Magdalene. Hal ini didasarkan pada kondisi kampung-kampung kota di Jakarta yang masih dibayangi penggusuran karena masalah kompleks terkait agraria. Imbasnya, sentimen-sentimen ini juga menyinggung komunitas-komunitas pejalan kaki yang menelusuri gang perkampungan yang berada di kota lain.
Komunitas Jalan Kaki
Kelompok pegiat jalan kaki mulai muncul dan berkembang sejak tahun 2011 di beberapa kota di Indonesia. Salah satu yang paling awal adalah Koalisi Pejalan Kaki (KOPEKA), yang banyak fokus pada advokasi hak pejalan kaki. Selain itu, ada juga Manic Street Walkers dan Surabaya Jhonny Walkers, dan Program C2O Library dari Surabaya yang juga menginisiasi proyek Pertigaan Map. Selama beberapa tahun terakhir, muncul juga komunitas-komunitas lain, seperti Komunitas Jalan Kaki (KJK) Maumere di Sikka. Komunitas ini aktif sejak tahun 2019 dan dikelola oleh para pekerja media dan profesi lainnya. Mereka menjelajahi dan merangkul daerah-daerah terisolir di Kabupaten Sikka. Di Yogyakarta, juga ada komunitas seperti Jalan Gembira dan Gang-Gang.an dan mulai mengembangkan kegiatan mereka di kota-kota lain seperti Jakarta.
Salah satu komunitas yang terakhir disebutkan, yaitu Gang-Gang.an, menjadi sorotan di Twitter saat mereka melakukan kegiatan penelusuran gang-gang di Jakarta. Salah satu selebtwit yang menjadi peserta kegiatan tersebut mengunggah foto-foto dan memicu berbagai kritik dari berbagai pihak, termasuk aktivis perkotaan dan pengguna jalan lainnya. Diskursus yang muncul berkisar tentang wisata kemiskinan dan persepsi bahwa orang kaya sedang mengunjungi orang miskin di gang-gang tersebut. Para peserta dianggap berasal dari ekonomi kelas atas yang tinggal di kompleks perumahan, sedangkan penduduk gang hanya dari kalangan menengah ke bawah. Namun, kenyataannya, tidak semua peserta tinggal di kompleks perumahan, dan gang yang dilalui saat itu juga berisi kos-kosan eksklusif dan rumah mewah.
Dinamika Gang Kota
Isu bias kelas, stigma gang, dan kelas menengah ke bawah dalam sentimen yang muncul tadi sebenarnya bisa dimaklumi. Dalam konteks Jakarta, banyak kampung-kampung yang memiliki masalah agraria yang rentan terhadap penggusuran, gentrifikasi, spekulasi tanah, hingga penyerobotan lahan. Salah satu masalah yang sudah muncul adalah bangunan-pemukiman di Gedung Tinggi Cililitan, Kramat Jati, yang sekarang dalam pengawasan sebuah Lembaga Bantuan Hukum. Beberapa tahun sebelumnya, bangunan ini sering dikunjungi beberapa pegiat pecinta bangunan kolonial, hingga disiarkan melalui kanal-kanal YouTube dan blog. Bangunan ini sebenarnya sudah sejak lama diisi oleh pemukim-pemukim yang sudah tinggal berketurunan dan berkeluarga karena sebelumnya merupakan asrama polisi.
Seperti di kota-kota metropolitan Indonesia pada umumnya, sebagian besar kampung-kampung kota merupakan pemukiman padat penduduk yang memiliki lahan sempit dan membentuk gang-gang sebagai jalur penghubung antar pemukim dan jalur keluar masuk. Gang-gang tersebut selain berfungsi sebagai akses kendaraan, juga sebagai tempat nongkrong dan bersosialisasi para pemukimnya, serta perpanjangan ruang tamu dari masing-masing rumah. Keterbatasan ruang yang mereka miliki akhirnya membuat warganya beradaptasi untuk mendapatkan ruang komunal, membaurkan antara ruang publik dan privat, dan menghidupkan koridor-koridor tersebut menjadi jaringan ekosistem sebuah kampung. Fenomena gang ini adalah upaya resiliensi warga dalam menghadapi perubahan dinamika kota.
Membaurnya ruang privat dan publik di gang tersebut dapat memicu konflik. Menurut Abdoumaliq Simone dalam buku “For the City Yet to Come: Changing African Life in Four Cities“, semakin banyak orang yang hidup di ruang yang semakin terbatas, ketidaksetaraan ekonomi dan sosial semakin meningkat dan berpotensi memicu konflik dan kekerasan. Hal ini terbukti ketika banyak kejadian kekerasan yang terjadi di dekat pemukiman padat penduduk. Selain itu, masalah ketersediaan dan akses ke ruang publik di kota-kota di Indonesia masih terbatas dan relasinya terhadap penggunanya juga tidak kuat. Berbeda dengan tanah kosong yang dimanfaatkan warga untuk berkegiatan, mereka bisa lebih aktif. Henri Lefebvre dalam buku “Right to The City” berpendapat bahwa ruang perkotaan harus dapat diakses dan dikendalikan secara kolektif oleh warga, daripada dikuasai oleh kepentingan pribadi atau praktik yang mengecualikan.
Di samping itu, kampung kota dan gang adalah sebuah bukti terbentuknya ekosistem dinamis dan menjadi pendukung utama berfungsinya sistem kota. Dalam gagasan counter-city, kota bukan hanya ruang fisik, tetapi juga konstruksi sosial dan politik yang dibentuk oleh dinamika kekuasaan, perjuangan kelas, dan praktik budaya. Kampung kota, dihuni oleh berbagai macam kalangan, membentuk sebuah ekosistem yang terdiri dari birokrasi setingkat RT yang terhubung hingga pemerintah kota. Di dalamnya juga muncul sistem ekonomi lokal setingkat warung dan kos-kosan yang saling mendukung dan menunjang hidup para pekerja formal. Warganya membentuk benang-benang sosial dan memainkan peran penting dalam memastikan keamanan, kehidupan, dan fungsi tempat mereka bermukim melalui gang-gang kampung.
Gang-gang kota menjadi pilihan komunitas-komunitas jalan kaki untuk ditelusuri karena area ini memiliki keunikan dari skala kawasan dan arsitektur. Koridor-koridor gang terbentuk secara organik dan saling terhubung menyesuaikan pertumbuhan kawasannya. Pengalaman ketika berjalan di dalamnya menjadi menarik karena banyak temuan-temuan unik di setiap sudutnya. Bentuk-bentuk rumah di sekelilingnya dibangun secara vernakular menyesuaikan konteks dan kebutuhan ruang yang semakin menyempit. Kemampuan adaptasi warga lokal dengan keterbatasan ruang yang tersedia menjadi upaya resiliensi terhadap perubahan kota. Ada juga rumah-rumah tua yang sudah sejak lama eksis di lingkungan tersebut semakin berubah dan bertumbuh; ada warung-warung muncul dari halaman depan. Bangunan kos-kosan ekslusif diisi karyawan kantoran yang berada di baliknya, dulunya adalah lapangan bola tempat bermain anak-anak bermain sepak bola.
Dokumentasi: Pengarsipan Atau Objektivikasi?
Kegiatan penelusuran gang oleh komunitas-komunitas ini memunculkan kritik mengenai objektifikasi dan indikasi eksotisme di media sosial. Elemen-elemen penanda jalan, mural-mural iseng, fasad bangunan, hingga aktivitas anak-anak ketika bermain yang didokumentasikan selama perjalanan dianggap menjadi objek yang instagramable. Tuduhan post-colonial gaze bahkan sempat muncul di sebuah artikel berita karena dianggap meromantisasi fenomena tersebut. Menurut Temi Odumosu dalam jurnal “The Crying Child On Colonial Archives, Digitization, and Ethics of Care in the Cultural Commons”(2020), Foto-foto yang dipublikasikan memang dapat memunculkan persepsi yang bermakna luas dan objektifikasi tergantung narasi yang dibentuk.
Dua komunitas jalan kaki yang beroperasi di Jakarta, yaitu Gang-Gang.an dan Jalan Gembira, memiliki tujuan untuk merasakan kota secara indrawi dan mengarsipkannya dalam bentuk foto dan tulisan, dan komunitas dan pegiat lain dapat mengamini visi ini. Kegiatan penelusuran gang ini juga menjadi ajang silaturahmi bagi pegiat dan warga setempat yang menjadi mitra. Bermitra dengan warga setempat sangat bermanfaat untuk saling bertukar pengetahuan, memberi keamanan, dan juga mempermudah perizinan, terutama karena keduanya memiliki itikad baik. Selain bersenang-senang dengan berjalan kaki bersama, biasanya selama penelusuran mereka sering mendapatkan cerita-cerita menarik mengenai jalan yang mereka lewati dari penduduk lokal.
Tendensi eksotisme dan romantisasi terhadap kampung dari tiap peserta tidak dapat dihindarkan, apalagi beberapa peserta ada yang baru pertama kali ikut. Banyak dari mereka beropini bahwa kegiatan penelusuran gang mengingatkan masa kecil mereka yang berimajinasi dalam cerita petualangan. Dalam hal ini, komunitas sebagai penyelenggara berupaya untuk menyaring peserta yang ikut dan membuat aturan-aturan tertentu demi menjaga etika dan hubungan terhadap kondisi sosial dan fisik jalur yang mereka lewati, seperti meminta izin jika memfoto orang dan tidak membuang sampah sembarangan. Foto-foto yang mereka ambil selama perjalanan pada akhirnya tetap diseleksi lagi ketika ingin dipublikasikan di media sosial dengan mempertimbangkan etika. Beberapa pegiat bahkan mengirimkan hasil dokumentasinya ke organisasi-organisasi yang relevan jika terlalu sensitif, agar dapat lebih bermanfaat dan menghindari opini liar, daripada dipublikasikan sendiri.
Refleksi
Berjalan kaki di kota memberikan banyak pengalaman dan pembelajaran tersendiri bagi pegiatnya. Berjalan kaki memberikan pengalaman interaktif terhadap lingkungan sekitar, sehingga dapat memahami konteks lokal terhadap budaya dan keseharian masyarakat suatu tempat. Kita dapat memperhatikan detail-detail kecil yang sering terlewat ketika melewati suatu daerah dengan berkendara, dapat lebih mudah ditangkap ketika berjalan kaki secara lebih pelan, sehingga dapat memperluas persepsi terhadap dunia sekitar. Praktik ini juga menjadi metode paling sederhana dalam pemetaan dan penelitian sosial.
Salah satu praktik pemetaan dengan berjalan kaki adalah counter-mapping, yaitu sebuah pemetaan alternatif yang melibatkan komunitas atau kelompok masyarakat. Tujuannya adalah untuk melawan narasi dan representasi dominan dari pihak yang memiliki kekuasaan. Masyarakat mengumpulkan informasi mengenai pengetahuan lokal, narasi alternatif, dan pengalaman yang sering diabaikan oleh pihak berwenang, dengan memanfaatkan peta resmi dan media visual lainnya. Berjalan kaki dalam metode ini menjadi pemantik dialog dan partisipasi masyarakat.
Praktik counter-mapping pernah dilakukan dalam proyek Pertigaan Map di Surabaya yang diinisiasi oleh Anitha Silvia dan Celcea Tifani. Mereka memetakan kawasan-kawasan pendatang Arab, Tionghoa, dan Eropa. Di Kabupaten Sikka, melalui KJK Maumere, mereka banyak menginisiasi kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat, salah satunya sekolah alam di Kampung Wairbukan.
Berjalan kaki bersama komunitas juga dapat merajut jaringan sosial antar-golongan. Bermitra dengan warga setempat dapat memberikan keamanan atas dasar kepercayaan dan diskursus menarik mengenai konteks lokal dan dinamikanya. Namun, segala proses dokumentasi terkait penelusuran gang kampung ini juga perlu dilihat secara lebih bijak, terutama di zaman sekarang ketika dipublikasikan di media sosial. Sebetulnya, tidak hanya peserta yang mengunjungi tempat-tempat tersebut, tetapi pengguna media sosial juga ikut mengunjungi secara tidak langsung.
Pilihan penelusuran gang kampung sebetulnya memunculkan pertanyaan tersendiri, yaitu bagaimana jika situasinya dibalik, yaitu warga dari perkampungan yang menelusuri perumahan-perumahan elit? Pembahasan ini sepertinya perlu dibahas lebih jauh tentang perspektif pemukim kampung yang lingkungannya dinavigasi oleh komunitas-komunitas ini.
[…] Jala merupakan sebuah rubrik berisi resensi, ulasan, atau pengalaman/impresi ketika membaca, menonton, mendengar atau mengalami karya dan peristiwa seni, yang bersifat personal dan spesifik. Seperti jala, rubrik ini diharapkan dapat menangkap kesan-kesan atau resepsi dari audiens dengan ragam sudut pandangnya. Jumlah kata: 1000-2000 kata. Contoh tulisan Jala: Potensi dan Kontroversi Jelajah Gang Kota […]