Ingatan Kain Mama

Widi Asari adalah seorang ibu dan perancang busana yang lahir serta tumbuh di kota Bandung. Awalnya ia bercita-cita berkarir di industri fesyen. Dalam perjalanan meniti karir, ia bertemu dengan seniman lintas bidang kerja, masyarakat adat, dan serikat buruh industri tekstil yang mengubah perspektifnya dalam melihat ulang dunia fesyen. Baginya pakaian telah menjadi simbol ekstraksi dan eksploitasi yang kuat. Fesyen ideal yang dicita-citakan telah banyak meninggalkan kontaminasi, ketidakadilan, dan pemborosan. 

Dari cita-cita masa kecil dan dalam praktiknya kemudian, Widi banting setir lantas memaknai ulang kain: sebuah benda yang kita semua miliki, berhubungan sehari-hari dengannya, sering kali dianggap remeh dan tidak penting oleh dunia, sebagaimana yang sering distigmakan pada pekerjaan domestik yang dijalankan oleh perempuan, komunitas marginal, dan kaum miskin kota. Widi ingin menegaskan momen-momen kecil dalam hidup kita. Project pribadinya ia namai “Beri Aku Waktu.” 

Selama kurang lebih 5 pekan, dari Agustus-September 2024, Widi menjalani residensi bersama Komunitas KAHE melalui program Baku Konek. Berikut ini merupakan sebuah repertoar yang dipresentasikan pertama kali pada acara Dari Sudut Kota, presentasi seniman residensi Baku Konek pada 15 September 2024 di Maumere. Berikut percakapan kami. 

Carlin:  Kita akan mulai dari perjalananmu ke Maumere. Namun sebelumnya, satu hal ingin saya tanyakan: apa yang membuatmu memilih datang ke Maumere? 

Widi: Sejujurnya aku buta geografis dan mengenal Maumere hanya lewat lirik lagu “putar ke kiri e. Nona manis putarlah ke kiri, ke kiri, ke kiri”. Lagu ini dipakai buat senam ibu-ibu. Tahunya Maumere ada di Indonesia bagian timur, aja. Gak tahu persisnya di pulau mana.

Pada 2021, aku bertemu secara tidak sengaja dengan Tika Solapung di rumah Teater Garasi, Yogyakarta. Baru tahu lah aku tentang Maumere dari dia. Tika sering cerita bahwa di Maumere juga banyak penenun. Sejak bertemu Tika, aku punya ketertarikan dengan kain di Maumere. 

Yang ingin aku pelajari dari Maumere tentunya ingin tahu lebih dalam tentang kebudayaan tekstil dan tenunnya, busana di Maumere, dan juga bagaimana kain diposisikan dalam masyarakat. Aku punya ketertarikan untuk bertemu dengan penenun-penenun di Indonesia untuk melihat bagaimana para penenun ini memperlakukan kain termasuk di Maumere. Aku berharap bisa memperkaya perspektifku terhadap kain. 

Carlin: Mengapa ingin bertemu mama-mama di Maumere? Apa yang ingin Widi riset? 

Widi: Aku ingin mengetahui tentang kain tenun, sejarah kota, dan perayaan. Aku mau tau kaitan ketiganya. Menurutku dengan menenun, mama-mama juga telah melakukan siklus perawatan di kota Maumere. 

Carlin: Pertama kali ke Maumere, kamu harus melewati rute yang cukup sulit. Selain itu, tentu banyak cara pandang tentang Timur yang beredar di Jawa sana. Apa ekspektasi atau kesanmu tentang Maumere sebelum kamu ke sini?

Widi:  Sebagai ibu yang membawa serta anakku, Jagi, yang baru berumur 1,5 tahun, aku punya kecemasan. Apakah mungkin berresidensi sambil membawa anak? Apakah tidak apa-apa? Tapi syukurlah semua orang di KAHE menerima kami berdua, dan semua orang mau main dengan Jagi. 

Carlin: Sampai di KAHE, apa yang kamu alami? Bagaimana pertemuanmu dengan teman-teman di sini?

WidiAku menemukan sesuatu yang tidak umum di tempat tinggalku di Bandung/Sunda tetapi ada di sini. Saat bangun pagi, aku menemukan anak laki-laki yang melakukan pekerjaan rumah. Abang memasak, Jen mencuci piring, dan Dede Dodot menyapu lantai. 

Saat itu aku bertanya: “kamu kok bisa sih, enggak berjarak dengan pekerjaan domestik?”.

Ternyata mereka sudah biasa dibawa oleh Mamanya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Hal-hal seperti itu menurutku menarik; bagaimana mereka diajari oleh mamanya untuk mengerjakan pekerjaan rumah sehingga saat dewasa anak-anak laki-lakinya sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan domestik. Jadi aku punya ide untuk menjadikan ini sebagai inspirasi motif kain tenun. 

Ketika ngobrol soal ini, Dede Aton, salah seorang teman di KAHE cerita soal kain mama. Kain mama itu bisa punya beberapa arti: 1) kain yang dipakai mama untuk menggendong atau menimang (bahasa Maumerenya lawat) anak-anak. Kain ini biasanya diwariskan ke anak-anak. 2) Kain yang dikasih sama mama ketika anak-anak mau pergi jauh: kuliah, merantau, atau nikah. Bisa kain baru, atau kain bekas yang digunakan oleh sang mama. 

Kain-kain ini bisa jadi pengingat, penyemangat, juga inspirasi ketika anak-anak ini merindukan mamanya. Biasanya kalau sakit, atau lagi sakit hati di tanah rantau, kain mama jadi pelariannya. Cium aroma kain mama bisa memperkuat  motivasi dan bangkitkan daya juang.

Dari anak laki-laki, ke kerja perawatan, lalu kain mama, aku akhirnya punya pertanyaan awal: bagaimana mama-mama mendidik anak-anak laki-laki tentang pekerjaan domestik? Ini kunci.

Pertanyaan ini menuntunku ke penelitian yang aku lakukan. Aku ingin belajar membuat motif tenun. Lalu aku akan membuat motif tentang ingatan anak-anak laki-laki tentang pendidikan yang mereka terima dari mama soal kerja-kerja domestik, kerja-kerja perawatan. Kalau selama ini, motif-motif kain itu selalu hal-hal yang besar, heroik, dan momen-momen bersejarah, aku ingin membuat motif yang sejak awal merekam ingatan anak-anak laki-laki tentang mama mereka. 

CarlinBerbekal pertemuan dengan teman-teman KAHE, Widi memulai perjalanan menyusuri kota Maumere. Di pekan pertama Widi melakukan riset tentang kota. Lebih banyak bepergian. Ada tiga situs yang dikunjungi yaitu Wuring, Gereja Tua Sikka, dan Museum Bikon Blewut. Bagaimana perjalananmu ke sana dan apa kesanmu? 

Widi: Aku ke Wuring bersama Bita, residen Baku Konek yang juga turut ke Maumere. Kami ditemani oleh Gee, Riko, dan Carlin. Wuring adalah kampung Bajo-Bugis yang ada di pesisir Maumere. Mayoritas pekerjaan warganya adalah nelayan. 

Saat berhenti di kampung ujung dan duduk di jembatan kayu sambil melihat matahari terbenam, Gee bilang bahwa pada sore hari, bapak-bapak mengasuh anak-anak mereka, sedangkan ibu-ibu pergi berjualan ikan di pasar Wuring. Ternyata bukan hanya di KAHE, bapak-bapak di Wuring juga melakukan pekerjaan domestik. Mereka berbagi peran dengan ibu-ibu. 

Hal lain yang juga aku temukan di Wuring adalah posisi transpuan. Inklusi gender itu nyata di Wuring. Mereka bahkan punya peran sebagai ketua RT, seorang Haji, dan lain-lain. Aku juga bertemu dengan Haji Mona, transpuan di Wuring yang juga punya salon dan sering menyewakan koleksi pakaian pengantin di salon miliknya. Nah, di Wuring aku menemukan bahwa orang Bajo bebas memilih pakaian pengantin sesukanya. Mereka bebas memilih adat Bugis atau adat Jawa atau adat Sunda. 

Aku melihat ciri khas di Maumere, yaitu mengaplikasikan motif tenun tertentu di arsitektur kota. Hal serupa juga aku temukan di bangunan Gereja Tua Sikka. Motif wuan kapa tergambar di dinding gereja. Motif yang ada di arsitektur itu apakah ada atensi tertentu untuk mem-brand Maumere sebagai kota tenun? 

Situs berikutnya adalah Museum Bikon Blewut. Meskipun Museum Bikon Blewut tidak tampak sebagai sebuah museum pada umumnya, namun ada banyak sekali arsip yang aku dapatkan. 

Aku terkejut karena Pater Piet Petu, SVD, kurator museum ini sudah berupaya mendokumentasikan tenun. Foto dan narasinya lengkap sekali. Sayang museumnya tidak terawat. Meski begitu, arsip-arsip field work-nya sangat berharga. 

Pater Piet Petu punya visi merawat tradisi. Ia menggunakan museum sebagai media. Gereja punya agensi membawa modernitas ke Maumere. Pada momen tertentu sangat anti tradisi. Di momen yang lain, sangat getol merawatnya. Ini ambigu yang menarik. 

Salah dua arsip yang aku suka adalah foto keluarga seorang Bapak dikelilingi anak-anak dan foto seorang ibu di dalam bilik beras bersama seorang anak laki-laki. Dua foto ini menarik karena di sana, aku melihat kedekatan antara anak dan orang tua. Juga bagaimana situasi keluarga yang intim. Foto di dapur buat aku itu intim sekali. Kelihatan domestik tetapi ikatan relasi kekeluargaannya kuat di foto tersebut. 

Museum ini adalah museum yang kaya, namun juga berjarak dengan orang Maumere sendiri. 

Dua foto keluarga yang didokumentasikan oleh Piet Petu. Sumber: Arsip Museum Bikon Blewut.

Carlin: Selain situs-situs ini, Widi juga melakukan perjalanan ke sanggar-sanggar di Maumere. Sanggar ini penting karena katanya “sebagai ruang pelestarian tenun”. Sebagaimana yang ada di banyak konten Instagram dan Tiktok, pengunjung bisa melihat proses tenun yang bermula dari kapas, membuat benang, go’an, mewarnai, sampai menenun. Di antara tiga sanggar itu, dua di antaranya adalah sanggar besar. 

Widi: Tapi aku ditolak. 

Sanggar pertama, kami sudah mengontak tapi di sanggarnya tidak ada aktivitas apapun. Pemilik sanggarnya juga tidak ada. Sanggar kedua, saat tiba di sana, kami tidak bisa mengakses karena perlu ada laporan, surat izin, atau pemberitahuan awal dulu ke kepala desa, lalu ada hubungannya dengan Dinas Pariwisata, dan katanya ini juga demi kepentingan laporan ke Bupati. Sanggar ketiga, lebih parah. Kami sudah menghubungi sehari sebelumnya. Kami jujur mengatakan bahwa aku ini adalah fashion designer yang sedang belajar tenun untuk residensi. Tapi keesokan harinya saat tiba di sanggar besar ini, kami ditolak. Pelayanannya buruk. Aksesnya dibatasi: tidak boleh mengajukan pertanyaan, tidak boleh mengambil gambar. 

Aku kecewa. 

Aku paham penolakan ini karena ada trust issue kepada sesama designer. Aku juga sebagai seniman tekstil yang bekerja di industri kreatif kerap merasa tidak aman ketika perusahaan yang komposisinya dia pemilik modal besar melihat potensi ekonomi dari karya tekstil, bisa dengan mudah diutak-atik tanpa mementingkan trajectory karya.

Di kasus tenun, hampir tidak ada jarak antara pengetahuan dan produk komoditi. Tenun barangkali bisa disebut sebagai identitas atau kebudayaan yang dari sana pun melewati proses yang amat panjang terutama oleh mama-mama penenun, namun ketika diubah menjadi komoditas, dalam artian menjadi lebih tinggi (dari produk komunal) ke industrial, ia tak bisa lepas dari kesadaran akan pengakuan penciptaan dari pihak tertentu dalam tanda kutip. 

Carlin: Apakah kamu punya dilema saat ditolak oleh sanggar-sanggar itu? 

Widi: Sanggar rasa-rasanya jadi sangat eksklusif. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mengaksesnya. Warga international punya privilege untuk mengakses sanggar, ditunjuk semua prosesnya, dijelaskan satu per satu. Disambut dengan tari-tarian.

Para penenun rentan dieksploitasi sebenarnya. Biasanya menenun dilakukan di waktu luang, namun kalau di sanggar, para penenun mirip seperti pegawai tekstil. Ini jadi pekerjaan utama mereka. 

Carlin: Jadi kamu menemukan dilema itu: praktik tenun yang organik dan menyatu dengan cara hidup warga, yang kerap berkontestasi dengan praktik pengelolaan kain yang sangat komersial dan industrial. 

Tapi ada hal lain yang menyenangkan yaitu karnaval. Apa yang kamu temukan di karnaval di Maumere? 

Widi: Maumere yang tumpah ruah di karnaval. Kain ada di perayaan publik. Ada relasi antara kain dan kota. Kain ada di ruang publik. Kain jadi filosofi kota. Kain dirayakan. 

Nah, untuk mengetahui lebih dalam tentang perayaan, aku ikut Oma Darel, seorang warga di Maumere untuk ikut ke acara pengantaran belis di Desa Hubing. Lagi-lagi di sana aku bertemu kain. Kain hadir di perayaan. Kain jadi bagian dari belis. Kain lipa dan sarung dipakai di perayaan perkawinan adat. Di Hubing itu, aku juga bertemu dengan penenun lintas zaman dan menemukan nyanyian-nyanyian saat menenun. Namanya Jata Kapa, yang isinya adalah langkah-langkah menenun. 

Carlin: Saat ditolak sanggar, kamu akhirnya bertemu dengan mama-mama penenun yang lain. Salah satunya Mama Lin. Bisa ceritakan pertemuan tidak sengaja itu dengan Mama Lin dan Oma Jul? 

Widi: Saat kami ditolak oleh sanggar karena alasan birokrasi, kami dibelokkan oleh Adang, anak KAHE. Adang menyarankan untuk bertemu dengan mama temannya, Stevani, namanya Mama Lin. Nah, Mama Lin adalah penenun rumahan, yang bekerja dengan konsep “menenun di waktu luang”. Mama Lin sangat terbuka. Saat kunjungan pertama, ia bahkan mengajak kami untuk masuk ke studio pewarnaan alam. Aku langsung klik: wah, sepertinya Mama Lin cocok nih kalau aku ajak sebagai kolaborator dalam proyek penciptaan ini. 

Pertemuan dengan Oma Jul tak jauh beda, karena ditolak oleh sanggar. Dari Oma Jul, aku mengenal lebih jauh lagu “Jata Kapa”. Lagu ini berkisah tentang tata cara menenun, mulai dari mengolah kapas, memintal benang, mengikat motif, hingga menenun benang-benang jadi kain. Yang menarik, ketika aku meminta Oma Jul menyanyikan syair “Jata Kapa”, ia seperti kewalahan. Ia tak bisa menyanyi tanpa menggerakkan tubuhnya seolah sedang mengolah kapas, memintal benang, dan menenun. “Jata Kapa” seperti pengetahuan yang menubuh. 

Di studio pewarna alam milik Mama Lin, Widi sedang mempelajari proses mewarnai benang. Foto: Bernard Lazar.

Carlin: Nah, setelah perjalanan dan penjelajahan ini, mau diapakan semua temuan ini? 

Widi: Setelah bercakap-cakap dengan para anak laki-laki KAHE, aku memilih untuk menggunakan ingatan-ingatan anak laki-laki ini tentang ajaran ibu mereka mengenai pekerjaan rumah. Peran Mama menurutku sangat besar dalam pembentukan karakter seorang anak. 

Setiap anak laki-laki di Maumere rupanya punya kain mama yang dibawa kemana pun. Kain pemberian mama itu bisa menjadi kain pengobat rindu akan mama jika jauh dari rumah. 

Hal lain yang mau aku pertegas dalam proses riset kain ini adalah ternyata kain tenun yang merepresentasikan sejarah Maumere juga merupakan refleksi atas sejarah yang besar, ada kemungkinan kita untuk bisa diciptakan sebuah sejarah kecil, seperti pendidikan seorang ibu pada anak laki-lakinya. 

Sedangkan pesta menjadi perayaan akan kain. Aku menyesuaikan bahwa pesta yang lekat dengan orang Maumere menjadi cara lain dari merayakan kain. 

Carlin: Berangkat dari pengalaman serta temuanmu, apa saja eksperimen yang kamu lakukan hingga ke penciptaan karya?

Widi: Ada beberapa hal yang kemudian aku dan teman-teman KAHE lakukan.

Pertama dengan mengeksplorasi ingatan anak laki-laki dari ingatan masa kecil mereka akan mamanya. Anak laki-laki ini satu per satu diwawancara. Kemudian diminta untuk menggambar satu benda paling diingat dari ajaran mama masa kecil. Mata mereka ditutup dengan kain mama. Gambar-gambar yang mereka hasilkan antara lain: pohon, ketel, tungku, kompor, dan jemuran. 

Dede Dodot menggambar benda yang dari ingatan akan Mama.

Dari gambar-gambar itu, aku menjadikannya motif tenun. Tentu saja mengikuti pakem sebuah sarung yang utuh; ada ina gete, ina lotik, tokang, dan eko

Dengan Mama Lin, aku belajar go’an, proses awal sebelum mengikat motif. Ini proses yang juga rumit karena harus teliti dan menghitung jumlah benang dan liwar. Setelah itu, aku juga belajar mengikat motif. Di tahap ini Mama Lin mencoba mengimprovisasi desain yang sudah aku bikin. Aku juga turut belajar mewarnai benang dari pewarna alam. Mama Lin mengizinkan aku mengakses studionya kembali. Menenun, terlebih menggunakan pewarna alam punya proses yang lama dan panjang, sehingga tidak bisa selesai di waktu dekat. 

Nah, proses menenun lanjutan nanti akan didokumentasikan menjadi film hasil karya kolaborasi filmmaker Komunitas KAHE, Om Bernard. Karena aku akan kembali ke Bandung 19 September nanti. 

Aku dan Dixxxie, seorang rapper dan composer dari Maumere merekam lagu “Jata Kapa” dan membuatnya dalam beberapa bentuk, satu bentuk asli satunya remix untuk pesta-pesta. Kami ingin mengarsipkan pengetahuan tentang menenun ini secara lebih publik. Syukur-syukur viral. Kalaupun tidak, siapapun bisa mengakses pengetahuan tentang tenun dengan lebih mudah.

Kami juga mencoba memasuki pasar Wairkoja yang juga menjual motif-motif sarung di strimin. Aku juga ingin menyebarkan motif ini sebagai uji coba apakah motif ini bisa diterima oleh mama-mama penenun atau tidak? Rupanya, ada penenun yang tertarik.

Carlin: Apa refleksimu atas proses ini? 

Widi: Aku belajar banyak dari Mama Lin. Aku dan Mama Lin juga saling tukar dalam proses ini. Ia bertanya pendapat, begitu juga aku. Ada hal-hal penting dalam proses kerja menenun ini yang sekaligus aku lihat sebagai proses perawatan. Mama Lin mengerjakan tenun dengan hati yang tulus, tenang, adem, sehingga hasilnya bagus. Tenun diperlakukan sebagaimana manusia. Begitu juga yang terjadi di dapur pewarnaannya. Tarum, salah satu bahan pewarna alam, diperlakukan spesial oleh Mama Lin: tidak boleh dikasari, tidak boleh dikerjakan sambil menggerutu. 

Ini memantul dengan ide perawatan dan pendidikan mama kepada anak, khususnya anak-anak laki. Ingatan akan mama, dipantik oleh kain mama, adalah ingatan soal afeksi, kasih sayang, kerja dan komitmen pada hidup.

Aku juga ingat cerita Mama Lin. Asap dapur dari api yang memasak makanan, jadi bahan pengawet dan penguat warna benang. Benang akan ditenun jadi kain. Kain dijual, mendapatkan uang, yang bisa digunakan untuk menyalakan kembali asap dapur. Siklus domestik dan dapur pewarnaan berjalan bersama.

Sejatinya, menenun adalah merawat kehidupan. 

***

Editor: Ratih Fernandez

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Rabu, Februari 5th