Oleh Gee Mario
Negara? Kau kira bagaimana mesin tanpa jiwa itu bisa membunuh? Yang terjadi di hadapan mata kami, orang Katolik membunuh orang Katolik. Masyarakat sipil membunuh warga sipil yang lain. Lantas, siapa yang mau kau mintai pertanggungjawaban?
…
Petilan dialog di atas merupakan salah satu kutipan yang diambil dari adegan teater berjudul “Ingatan-Ingatan” dipentaskan oleh Komunitas KAHE Maumere. Meski dipentaskan terbatas karena pandemi Covid-19, teater yang mengambil latar peristiwa 1965/66 ini sukses diproduksi sebagai ingatan akan peristiwa kelam yang pernah terjadi di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur, kala itu.
Diproduksi selama kurang lebih tiga hari, “Ingatan-Ingatan” dipentaskan menggunakan ruangan tengah studio Komunitas KAHE berukuran 3×4 meter sebagai arena pementasan.”Ingatan-Ingatan” adalah karya kolektif anggota Komunitas KAHE Maumere.
Berangkat dari riset pustaka yang diperoleh melalui berbagai sumber (buku, artikel ilmiah, surat kabar, majalah) dan diskusi bersama Pastor Jhon Prior, SVD – imam yang giat melakukan riset dan advokasi korban tragedi 1965/1966 di Kabupaten Sikka – data-data itu lalu diolah menjadi naskah dan karya bersama yang dipentaskan pada Agustus 2020 lalu.
Adapun meski telah dipentaskan dan disimpan dalam format rekaman, karya ini rencananya akan kembali dipentaskan untuk menjangkaui publik yang lebih luas.
Tuhan Allah di Maumere
John Mansford Prior, SVD melalui artikelnya “Masa Lalu Tak Pernah Mati, Bahkan Tak pernah Berlalu, Catatan Seputar Pembantaian Terencana di Maumere, Februari-April 1966″, mengatakan bahwa ada dua hal mengejutkan saat pertama kali ia memulai perkenalan dengan umat di Maumere.
Pertama, ideologi rezim Suharto yang telah meresap ke dalam batin dan jiwa umat, dan kedua, kepingan-kepingan cerita yang ia dengar tentang pembantaian di Maumere tahun 1966.
“Saya kaget karena berita luar negeri menyiarkan peristiwa pembantaian di Jawa, Bali, dan Sumatra saja. Kini ada percakapan dengan umat sederhana di Maumere, saya mendengar bahwa pembantaian orang Katolik oleh orang katolik di bumi Flores tidak kalah bengisnya,” ungkapnya.
Artikel yang dipublikasikan dalam buku “Berani Berhenti Berbohong” itu mengulas secara garis besar peristiwa naas yang menewaskan ribuan korban yang tak bersalah di Kabupaten Sikka. Menurut dia, tragedi 1966 bukan spontanitas rakyat, tetapi pembantaian terencana.
Sementara itu, salah satu liputan khusus investigasi Tempo “Pengakuan Algojo 1965” berjudul “Komando Operasi, Tuhan Allah di Maumere” mengangkat kisah Bapak Peter (bukan nama sebenarnya) yang dipakai untuk melancarkan pembantaian di Maumere.
Peter juga beberapa orang lain dibawa tentara untuk menggali lubang bagi para korban, saat itu ia berusia 25 tahun. Mereka ditanyai, apakah mau bertugas membunuh orang Partai Komunis Indonesia (PKI), atau dikenai tuduhan sebagai anggota PKI.
Peter tak mengenal orang-orang yang dia bunuh. Menurut dia, orang-orang itu ditangkap begitu saja karena nama mereka ada dalam daftar yang dipegang oleh Tentara Nasional Indonesia. Asal daftar itu pun misterius.
Pater Hubertus Thomas Hasulie, SVD, peneliti Pusat Penelitian Agama dan Kebudayaan Candraditya Maumere, dalam liputan investigasi itu mengatakan, di Kabupaten Sikka, kekejaman Negara yang direpresentasikan oleh TNI membenturkan relasi antarwarga dengan berbagai latar belakang; partai polik, agama, suku, dan budaya.
Menurutnya, menjelang pembantaian, aparat TNI biasanya menjemput wakil Partai Katolik, Parkindo, dan NU, serta wakil pemuda Katolik, Protestan dan Islam untuk menjadi saksi. Algojo-algojo diambil mewakili kelompok-kelompok itu. Mereka disuruh membantai, sementara TNI dan polisi menjaga proses pembantaian dengan senjata di tangan.
Jika ada tahanan lolos, algojo yang dianggap lalai dijadikan korban pengganti. Para algojo dipaksa membunuh di bawah ancaman. Indoktrinasinya ialah orang PKI itu jahat, tak kenal Tuhan. Kalau tidak dibunuh, mereka akan membunuh. Adapaun jumlah korban yang dibunuh sekitar 1.000-1.500 jiwa.
Kisah lainnya diceritakan Pastor Frederikus da Lopez, Pr. Saat itu, imam yang akrab dipanggil Romo Pede itu menjabat sebagai Pastor Pembantu Paroki Bola.
Saat membela umatnya yang ditangkap secara serampangan, dia diancam tentara, dan menyusur penangkapan umat yang tidak bersalah itu, Romo Pede minta semua tahanan dibebaskan, namun permintaannya ditolak.
Akibat perlawanannya itu, ia dipindahkan dari Paroki Bola ke Ndona, Kabupaten Ende. Di Ende, ia melapor kepada Uskup bahwa di Maumere Komando Operasi sudah jadi Tuhan Allah.
Ingatan-Ingatan
Teater “Ingatan-Ingatan” disutradarai oleh Eka Putra Nggalu. Meski diolah menggunakan bahan-bahan bacaan dan cerita sebagai data riset (sumber-sumber bacaan yang telah dijelaskan di atas), teater ini lebih menggunakan pendekatan personal sebagai ide cerita; terinspirasi dari tokoh oposisi Partai Katolik, Jan Djong, Camat Kewapantai yang dieksekusi tahun 1966 karena dianggap terlibat dalam gerakan Partai Komunis.
Teater ini mengisahkan adegan seorang kakek bercerita kepada mahasiswi yang datang mewawancarainya untuk mengerjakan tugas akhir. Kakek, yang terlibat dalam eksekusi korban yang dituduh PKI di Maumere ini, selama 20 tahun lebih belum bisa melupakan memori pembantaian itu. Bahkan, memori pembantaian itu menyisahkan trauma yang mendalam sepanjang hidupnya.
Kisah “Ingatan-Ingatan” bermula pada pagi hari saat Nenek Tin membantu Kakek Timo membetulkan handphone yang akan ia gunakan untuk membaca berita. Kakek Timo mesti beralih media bacaan karena koran langganannya berhenti beredar. Istrinya, Nenek Tin, berusaha sebisa mungkin membantu kakek membetulkan handphone sehingga kakek dapat mengakses berita melalui internet.
Meski adegan awal ini berlangsung singkat, namun penonton akan dibawa pelan-pelan ke konteks peristiwa 1966, seperti dialog yang menyebut mantan bupati sebagai salah seorang teman dekat kakek, surat yang tak kunjung masuk ke ruang bacanya, setting ruangan yang menampilkan jam dinding yang berhenti berputar tepat pada pukul 6 lewat 5 menit, radio, kalender dan beberapa kutipan dialog lainnya yang menarik.
Konflik bermula saat Tika, salah seorang mahasiswi yang sedang mengerjakan tugas akhir datang menemui kakek, memberinya koran, berdiskusi, dan memintanya menceritakan peristiwa pembantaian yang terjadi pada tahun 1966. Walakin awalnya kakek menolak, ia akhirnya perlahan menceritakan peristiwa pembantaian yang masih terekam kuat dalam memorinya itu.
Tegangan dan konflik cerita perlahan-lahan naik saat dialog antara kakek dan Tika semakin dalam dan intens. Walaupun adegan ini penuh dengan dialog, penajaman karakter dan interaksi antartokoh, semuanya secara garis besar akan membawa penonton pada konteks dan latar belakang peristiwa pembantaian yang terjadi pada tahun 1966 di Maumere.
Dalam naskah pementasan itu, tokoh kakek mengalami gangguan traumatis. Akibatnya, psikologi kakek terganggu. Ia dapat mengingat dengan lengakap detail-detail peristiwa yang terjadi selama masa mudanya, terutama peristiwa kelam pembantaian yang terjadi pada tahun 1966. Akan tetapi ia tidak mampu mengingat dengan baik detail peristiwa yang terlewatkan beberapa hari sebelumnya.
Pementasan teater itu berpuncak pada pecahnya pengalaman traumatis yang dialami oleh kakek. Konflik masa lalu yang terbawa hingga masa tua itu membuatnya jatuh pingsan.
Eka, sang sutradara, mengatakan, bagi dia dan komunitasnya pentas kesenian “tidak hanya senang-senang belaka”.
“Selalu ada diskursus yang coba kami hasilkan. Kalaupun tidak langsung mengubah situasi, kami berharap isu-isu yang kami sampaikan bisa jadi bahan obrolan dan disikapi secara kritis dalam kelompok-kelompok kecil,” ujarnya.
Meski masih terbatas, teater yang mengangkat isu 1965/66 ini rencananya akan dipentaskan secara terbuka bagi publik yang lebih luas. Harapannya, pementasan ini bisa menjadi salah satu pintu masuk bagi anak-anak muda mengetahui sejarah, khususnya sejarah lokal.
[…] Ingatan-Ingatan dan Tuhan Allah di Maumere – Oleh Gee Mario […]