Idealisme/Populisme

 

Dalam perbincangan terkait dunia musik dan industrinya, idealisme kerapkali dipertentangkan dengan populisme. Banyak orang memandang bahwa musik idealis dan musik populer selalu berada pada kategori yang terpisah.

Apakah musik yang idealis sulit diterima oleh masyarakat luas dan tidak bisa bersifat populer, ataukah justru ada kecenderungan sebaliknya?

Saya tidak ingin melihat idealisme dan populisme dalam sebuah pertentangan. Hal yang bisa dilihat lebih jauh dari –isme—isme tersebut adalah visi sebuah karya musik dibuat atau diciptakan. Banyak orang menilai, idealisme dalam bermusik itu adalah ketika karya yang dibuat berbeda dari arus pasar atau di luar industri musik mainstream; aransemen lagu yang rumit dan tidak biasa; lirik lagunya mengandung isu sosial atau yang berisi perlawanan akan hal-hal tertentu. Pada intinya mungkin: bersifat elitis.

Istilah idealisme sendiri secara epistemologis berasal dari kata ide yang artinya adalah dunia di dalam jiwa (Plato). Pandangan ini lebih menekankan hal-hal bersifat ide, dan merendahkan hal-hal yang materi dan fisik. Idealisme memandang yang mental dan idea sebagai kunci ke hakikat realitas. Realitas dijelaskan dengan gejala-gejala psikis, roh, budi, diri, pikiran mutlak, bukan berkenaan dengan materi.

Pengertian idealisme ini terus berkembang. Masyarakat memahaminya sebagai buah pemikiran atau keyakinan pada sebuah ide atau prinsip tertentu. Idealisme adalah sebuah kemewahan yang tidak semua orang dapat memilih untuk hidup atau berkarya sesuai dengannya. Idealisme seperti sebuah kata sakral yang harus dipertanggungjawabkan oleh setiap orang yang mengaku memilikinya.

Bisa dipahami jika kemudian idealisme dikaitkan dengan tinggi-rendahnya kualitas konten. Musik idealis kebanyakan dianggap tidak mungkin populer. Jika ingin membuat lagu yang laku dan sesuai selera pasaran, maka seniman harus mengedepankan sisi ‘menghibur’, easy listening sehingga saat konser, penonton bisa sing along.

Sementara itu, siapakah yang menentukan selera? Bourdieu melihat selera adalah konstruksi sosial.  Selera ini yang kemudian akan menentukan perubahan sosial. Selera juga berangkat dari perbedaan kelas. Apa yang dihasilkan produsen, itu yang akan menjadi selera konsumen. Bisa jadi kita tidak punya pilihan dalam menentukan selera. Selera kita mengikuti apa yang paling banyak diproduksi.

Bicara soal karya komersial atau industri musik, tentu akan lebih kompleks lagi. Industri musik mainstream yang kita ketahui, misalnya label rekaman, hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang dekat dengan pusat industri, punya jaringan yang luas, dan dukungan dana yang besar. Hal yang pasti, musisi kecil atau musisi di daerah yang jauh dari pusat akan sulit menjangkaunya.

Di konteks Maumere sekarang misalnya, para musisi muda melalui jalur independen memproduksi musik dari studio yang disulap dari sebuah kamar dengan perangkat sederhana dan mendistribusikan karyanya melalui platform digital yang tersedia seperti YouTube, Spotify, Joox, dan lain-lain. Juga mengusahakan jammings  yang tersegmentasi. Saya kira ini juga terjadi di banyak tempat di daerah lain.

Dalam Laune edisi Mei, “Idealisme/Populisme”, kita dibawa dalam sebuah perjalanan melihat sedikit apa yang jarang dibicarakan dalam dunia musik. Eka Putra Nggalu dalam tulisannya Nostalgia Kangen Band: Dari Playlist Angkot hingga Hiburan Kaum Rantau mencoba memperlihatkan apa yang jarang dibicarakan ketika membicarakan lagu pop yang kebanyakan bertemakan cinta. Ia membuat analisis atas diskografi dan lirik lagu sebuah band yang populer sejak tahun 2005, Kangen Band.

Hal ini penting supaya kita bisa melihat sisi lain dari lagu yang dianggap tidak elit dan kampungan. Setidaknya, kita tidak serta merta menilai rendahnya kualitas (teknis dan konten) sebuah lagu cinta populer. Bahkan dari sana, bisa muncul diskusi lebih lanjut mengenai pendapat bahwa musik yang populer justru mengatakan hal-hal yang bisa disebut sebagai pengalaman masyarakat yang paling mendasar, atau bahkan soal keadilan. Hal politis yang kita alami setiap hari adalah apa yang kita hadapi sebagai kebahagiaan atau kegalauan dalam cinta.

Dalam Bob Marley, Perjuangan, dan Kisah Kita, Elvan de Porres mengajak kita untuk melihat kembali sebuah karya musik yang lahir dari konteks perjuangan panjang sebuah masyarakat. Bob Marley dan reggae adalah sebuah kenyataan perjuangan kelas di Jamaika. Rastaman diharapkan membaca sejarah dan membicarakannya, oleh karena pesan sang legenda yang ingin agar ini juga menjadi cita-cita perjuangan dan perlawanan para penggemar musiknya.

Selain itu, dalam kesempatan podcast bersama Galih Nugraha Su (atau Deugalih), Aura Asmaradana dan Eka Nggalu membawa imajinasi kita untuk melakukan DIY, Sebuah Strategi untuk Tetap Waras. Di podcast Laune, Galih mengungkapkan bagaimana ia berkarya dan juga kritiknya terhadap industri musik yang menjajah, baik dari segi ekonomi maupun pengetahuan. Obrolan bersama Galih bisa jadi pemantik untuk musisi atau seniman khususnya di luar Jakarta/Jawa untuk sungguh-sungguh ingin bicara lewat musik atau karya yang ingin dihasilkan.

Apa yang dikatakan Galih soal DIY (do it yourself) mungkin bisa jadi adalah apa yang sedang dikerjakan oleh para seniman di Komunitas KAHE Maumere dalam beberapa tahun terakhir. Dimas Radjalewa dalam kesempatan ini memberi gambaran tentang bagaimana Meretas keterbatasan melalui Jamming Sastra. Jamming Sastra dimulai dan bisa bertahan hingga saat ini berkat modal-modal sosial yang dimiliki oleh teman-teman Komunitas KAHE. Ketimbang berfokus pada modal finansial dan infrastrutur yang terbatas, Jamming Sastra justru memanfaatkan jaringan pertemanan untuk menghadirkan platform yang bisa dengan mudah diakses oleh seniman serta penikmat musik dan sastra di Maumere. Apakah cara seperti ini akan bisa memenuhi kebutuhan seniman atau musisi muda di Maumere dalam membangun ekosistem kesenian? Jalannya tentu masih panjang.

Bahasan tentang karya idealis atau lahir dari gagasan orisinil dan jujur sang seniman bukanlah elitisme semu yang letaknya di awang-awang. Karya itu bisa jadi berkorelasi dengan kehidupan dan pengalaman masyarakat–terutama masyarakat yang berada di lapisan terbawah, yang sering tidak diindahkan suaranya. Kendala finansial dan infrastruktur juga bukan penghalang untuk berkarya. Malah dengan memanfaatkan modal-modal sosio-kultural yang dimiliki, musik yang dihadirkan bisa menjadi sesuatu yang akrab dan dekat dengan konteks masyarakat. Karya itu juga sanggup punya posisi tawar di pasar karena nilainya tidak serta merta lebih rendah dari karya-karya produksi label rekaman.

Idealisme itu berkembang. Hal yang mesti disadari adalah bahwa musisi yang idealis mesti paham apa yang ingin dibicarakannya—entah dalam tema perlawanan, politik, sosial, budaya, lingkungan, persahabatan, maupun cinta. Apa pun genre musiknya, karya tersebut selalu memuat isu, motif, visi, atau pengetahuan di dalamnya. Tidak ada yang baru di bawah matahari. Namun, idealisme mesti dimaknai juga sebagai upaya pembaruan kebudayaan manusia.

Selamat menikmati Laune edisi Idealisme/Populisme!

 

Referensi

Idealisme. Wikipedia Ensiklopedi Bebas, https://id.wikipedia.org/wiki/Idealisme. Diakses 20 Mei 2022.

Piliang, Yasraf A. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Hlm. 425-433. Bandung: Matahari.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Selasa, Desember 3rd