Siselo Susurang, frasa dalam bahasa Bajo yang berarti bertukar kabar/berbagi cerita. Siselo Susurang adalah bentuk apresiasi, ucapan syukur, perayaan gagasan dan usaha kecil untuk mengelola modal-modal kultural, potensi alam dan lingkungan serta isu-isu kontekstual di Kampung Wuring.
“MADAKAU: Suar Suara dari Pesisir” menampilkan foto-foto karya Komunitas KAHE bersama warga Kampung Wuring. Madakau adalah kata bahasa Bajo yang artinya satu, guyub, bersatu, bersatulah. Sebagian besar bangsa pelaut yang menyebut dirinya Orang Bajo selalu mempunyai ikatan persatuan tanpa membeda-bedakan dari mana mereka berasal. Saat-saat ini orang-orang Bajo mempunyai satu kesempatan berkumpul sekali setahun di suatu daerah yang telah mereka tentukan bersama, membahas hal-hal seputar kehidupan, budaya, dan adat istiadat. Madakau menjadi spirit yang tetap dipegang oleh suku Bajo di tengah segala ketergesaan, segala gerak yang begitu cepat, perubahan yang hampir-hampir tidak bisa disesuaikan lajunya, apalagi dihentikan.
Foto-foto dalam galeri ini hadir untuk memberi sekilas pandangan, tanda, sekaligus amplifikasi dari cerita, kisah hidup, kekuatan, ketangkasan, negosiasi, resistensi dan usaha warga Kampung Wuring melestarikan hidup dan kehidupan mereka dalam segala aspek: sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan; dengan senyum dan tawa, dengan keringat dan air mata, sepanjang hari-hari yang mungkin berat dan kian sulit seperti sekarang ini
WARIA: Banci Wuring!
MASJID: Menyatu dalam Ibadah
KULINER: Dapur Haji Podeh
Bagian ini memuat ragam narasi tentang negosiasi dan titik temu antara silang identitas dalam tema-tema Waria, Masjid, dan Kuliner. Melalui ketiga tema ini, bisa dilihat karakter kebudayaan dan masyarakat yang dinamis, dialektis, dan tak pernah sepenuhnya orisinil, tetapi terbentuk oleh pertemuan-pertemuan dalam linimasa tertentu.
NELAYAN: Bersandar ke Pasar
PASAR: Jejemuran Bertungkus Lumus
BURUH: Karung di Kapal, Kail di Beton
SAMPAH: Jejak-jejak Perubahan
Bagian ini merekam berbagai aktivitas ekonomi, perdagangan, pelayaran dan efek-efek yang ditimbulkannya. Dalam aktivitas-aktivitas tersebut beragam pola relasi/interaksi berlangsung: hirarki kelas, konsumen dan produsen, modern dan tradisional, sinkronis dan diakronis serta spektrum-spektrum tegangan lainnya.
ANAK: Yang Lebih Luas dari Tanah Lapang
JALAN: Hati-hati dengan Jalan, Berjalan Hati-hati
RUMAH: Atas Nama Pemberadaban
MANUSIA: Kartu Tanpa Penduduk
Foto-foto dalam galeri ini menggambarkan potret wajah orang-orang dan cerita-cerita tentang tempat tinggal, aktivitas domestik dan suasana pemukiman Kampung Wuring.
Galeri ini merekam foto-foto tentang Kampung Wuring yang diambil dalam kurun waktu 2009-2019. Foto-foto itu diharapkan bisa memantik aneka ingatan tentang kampung Wuring dan menyuarakan cerita yang bisa dipelajari hari ini. Foto-foto dalam galeri ini adalah kontribusi dari beberapa fotografer yang menanggapi undangan khusus untuk terlibat dalam festival ini, antara lain Tribuana Wetangterah, Dwi Setijo Widodo, Markz Jagoz, Kristina Beatrix Nong Goa, dan RD. Rolly Davinsi
Susurang Esse secara sederhana berarti cerita rasa. Susurang Esse adalah bagian dari kerja dokumentasi kuliner tradisional Kampung Wuring. Resep dari tiap-tiap masakan yang ditampilkan dalam galeri ini diusulkan oleh mama-mama dari Kampung Wuring dalam workshop bersama yang dilaksanakan pada Juli 2020. Sementara cerita-cerita mengenai tiap-tiap makanan dituliskan berdasarkan pengalaman, wawancara, dan juga obrolan lepas dalam pertemuan serta interaksi dengan warga, terutama dalam forum masak bersama yang berlangsung pada Oktober 2020. Dalam pameran ini, ditampilkan fragmen-fragmen dari keseluruhan materi dokumentasi yang akan diterbitkan dalam bentuk e-book.
Tiga Anak Bajau adalah cerita tentang tiga orang teman sebaya, anak-anak milenial dari Kampung Wuring. Mereka adalah Kardi, Minar, dan Fadlan. Pengalaman-pengalaman mereka bersama dengan Bang Sul dan Kakek Ali kerap mempertemukan mereka dengan dongeng-dongeng, sastra lisan, legenda, kepercayaan lokal dan cerita sejarah yang dituturkan secara turun-temurun dalam lingkaran/kalangan suku Bajo di Kampung Wuring.
Orang-orang Suku Bajo di Kampung Wuring meyakini kehadiran penjaga laut dalam sosok seekor gurita raksasa bernama Puta. Puta bertugas menjaga keamanan dan juga kelestarian lingkungan laut. Jika ada nelayan yang membuang sampah-sampah dari daratan, semisal ampas kopi, asam, bungkusan jagung, atau plastik di tengah laut, Puta tidak akan segan-segan membalikan sampan mereka, dan menghempaskan mereka ke pantai, entah melalui angin ataupun lilitan tentakelnya sendiri. Kardi, Fadlan, dan Minar bertekad menjadi Sobat Puta penjaga laut. Mereka ingin menjaga laut di Kampung Wuring yang kian kumuh akibat sampah-sampah plastik.
Cerita ini adalah kelanjutan dari Panji Anak Bajo. Dikisahkan bahwa pada masa penjajahan Jepang, seorang ksatria di daerah Kolaka membawa bendera ula-ula untuk sebagai panji sekaligus sumber kekuatan dalam membasmi kolonial. Ksatria bernama Gonggo Asa kemudian diakui sebagai pahlawan dan pemimpin oleh keturunan Lolo Bajo, dengan ula-ula sebagai panji sekaligus identitas bagi keturunan ini. Dalam keturunan inilah tradisi ula-ula dipertahankan sampai saat ini.
Panji Anak Bajo berkisah tentang legenda terbentuknya ula-ula. Ula-ula adalah panji suku Bajo berbentuk manusia, memiliki panjang 7 meter, berjumlah sepasang masing-masing berwarna hitam dan putih. Ula-ula dipercayai melindungi suku dari perang, badai laut dan wabah penyakit.
Kutu Raksasa di Taka Minang, terinspirasi dari dongeng pengantar tidur yang sering diceritakan kepada anak-anak di Kampung Wuring. Taka Minang adalah sebuah pasir gosong di perairan sebelah utara Kampung Wuring. Diceritakan, anak yang tidak mencuci kepala dan menggosok badan sampai bersih ketika mandi akan dibawa oleh kutu raksasa ke Taka Minang.
Damar Pa’use’ secara harafiah berarti pelita yang bergerak. Bagian ini menampilkan beberapa video dengan pendekatan dokumenter maupun jurnalistik yang merekam praktik tradisi, kesenian, kuliner, dan sejarah di Kampung Wuring.
Menampilkan catatan proses dari seniman fasilitator, warga Kampung Wuring dan pemangku kepentingan mengenai rangkaian aktivitas kesenian dalam proyek Voicing Bajo and Bugis People of Maumere. Rangkaian aktivitas kesenian ini terutama bertujuan menjembatani pertemuan kebudayaan masyarakat Kampung Wuring dan mayoritas warga Maumere yang berbeda etnis. Forum-forum kesenian yang dilakukan juga mengusahakan terciptanya ruang yang inklusif bagi warga Kampung Wuring untuk mengidentifikasi modal, isu, kegelisahan, dan potensi mereka untuk disuarakan kepada sesama warga, masyarakat Maumere dan yang lebih luas serta para pemangku kebjikan yaitu pemerinta daerah. Proyek seni ini diinisiasi dan dijalankan oleh Komunitas KAHE dan Teater Garasi/Garasi Performance Institute, didukung oleh Voice Global, melibatkan kaum muda, para perempuan, komunitas adat di Wuring Leko serta para waria.
Tradisi pencak silat di Kampung Wuring sangat populer di zaman Kerajaan Sikka. Beberapa pendekar dari suku Bajo di Wuring dan Waipare dikenal sebagai kaki tangan Raja Sikka dan Kangae untuk mengawasi jalur dagang di pantai utara Maumere. Tradisi pencak silat berkembang dari waktu ke waktu, menjadi pertunjukan ketika penerimaan tamu maupun saat berlangsung acara-acara adat juga perkawinan. Sayang sekali, saat ini tradisi pencak silat mulai tergerus oleh karena masuknya budaya modern, komersialisasi dan intrik internal di kalangan para pemuka masyarakat di Kampung Wuring.
Susur Islam Kampung Wuring berkisah tentang sejarah pendirian masjid-masjid di Kampung Wuring dan dampaknya bagi kehidupan umat muslim di sekitar kampung, maumpun bagi perkembangan syiar Islam di Maumere dan Flores umumnya. Pembangunan masjid-masjid di Kampung Wuring tidak terlepas dari dukungan umat dan warga sekitar kampung. Dalam perkembangannya Islam di kampung Wuring berhadapan dengan isu-isu seputar pariwisata, toleransi, hingga radikalisme yang secara amat eksplisit menghadang penghayatan iman umat.
Ula-ula adalah sebutan untuk panji kebesaran para pelaut suku Bajo. Legenda dan cerita tentang ula-ula tersebar di berbagai komunitas suku Bajo di berbagai belahan dunia. Di Takabonerate, tradisi dan ritus ula-ula dipraktikan oleh orang-orang suku Bajo, terutama yang berasal dari keturunan Lolo Bajo. Di Kampung Wuring, ula-ula hanya terdapat di daerah Wuring Leko, dipraktikan dan dilestarikan oleh Haji Lolo, keturunan Lolo Bajo.
Siselo Susurang adalah salah satu hasil dari usaha mengenal, belajar, berkolaborasi, dan menciptakan sesuatu yang bisa menyuarakan potensi, ide, dan isu-isu penting yang ada di Kampung Wuring di kalangan warga kampung maupun kepada masyarakat banyak, terutama kepada masyarakat Maumere dan sekitarnya. Siselo Susurang lahir dari proses panjang, mulai dari riset, ngobrol bersama anak-anak muda Kampung Wuring, mendalami ide Dul, seorang pemuda yang bercita-cita membangun galeri/pusat informasi di kampung tersebut, rangkaian workshop bersama anak muda perwakilan Remaja Masjid dan FPPW (Forum Pemuda-pemudi Wuring), guru-guru SD di Wuring, serta proses produksi yang diawali dengan perancangan, penciptaan hingga presentasi.