Ekspresi Politik/Politik Ekspresi

Entah disadari atau tidak, berbagai aktivitas manusia dan cara melakukannya selalu memiliki motif. Mulai dari aktivitas sederhana dan personal seperti upaya bertahan hidup, hingga yang kompleks dan bersifat kolektif seperti berekspresi dan menjalin relasi dengan manusia lain. Sebagai makhluk sosial, manusia punya konsekuensi untuk mengelola, memelihara kepentingan, dan menemukan irisan dengan pihak lain. Dalam konteks itulah, motif manusia menarik untuk dikaji karena merepresentasikan hakikat politik yang dekat dengan isu kebebasan berekspresi.

Hari ini di Indonesia, implementasi hakikat politik ditemukan dalam bentuk-bentuk yang sederhana. Sejak peristiwa reformasi 1998, pelembagaan demokrasi, kebebasan sipil, dan hak-hak politik dibayangkan dan diusahakan untuk berlangsung dalam ruang-ruang publik yang bebas dan terbuka. Ruang-ruang itu mengakomodasi poin paling prinsipil dari manusia sebagai makhluk sosial. Masyarakat dapat mengekspresikan diri di kampus, kedai kopi, galeri seni, jalanan, atau lembaga-lembaga organik yang mengandalkan kolektivitas massa melalui medium beragam, termasuk kesenian.

Kesenian bahkan menjadi salah satu pemungkin masyarakat melepaskan diri dari term-term definitif yang digunakan dalam dunia politik. Pada masa Orde Lama, misalnya, Soekarno menggencarkan pelarangan musik yang disebutnya sebagai “musik ngak-ngik-ngok”. Term itu disematkan pada musik barat yang dianggapnya hedonis, tak sesuai dengan semangat kebangsaan, serta mempertontonkan kebudayaan negara-negara imperialis. Pasca Orde Lama, slogan “penak jamanku, to?” juga sempat mengemuka. Istilah itu muncul atas dasar kerinduan pada Orde Baru dan kekecewaan atas terjadinya reformasi 1998. Di masa kini pun sebetulnya masih bisa ditemukan term serupa yang secara simplistis memecah golongan masyarakat ke dalam opisisi biner, seperti “cebong” vs “kampret”, loyalis vs oposisi. Di tengah ambisi yang serupa dari zaman ke zaman, kesenian membantu masyarakat menemukan opsi selain kutub-kutub itu. Pendefinisian diri dan ekspresi manusia pun lebih dimungkinkan melalui intermedialitas dalam seni.

Meskipun pemaknaan dan ideal mengenai kebebasan berekspresi bisa saja berbeda pada tiap kelompok masyarakat, tetapi pelan-pelan ekspresi politik telah melebur, menjadi bagian dari masyarakat. Di mana ada masyarakat, di situ pula ada ekspresi politik dan politik ekspresi. Di sinilah titik temu kebebasan berekspresi yang sifatnya individual/personal dengan demokrasi yang bersifat politis.

Ekspresi politik mencakup bagaimana opsi dan keputusan hidup manusia diwujudkan, sementara politik ekspresi mencakup motif dan siasat mewujudkannya. Ekspresi politik mewakilkan bagian yang dapat kita lihat jelas dari bangku penonton (frontstage), yaitu apa yang dapat dialami secara konkret. Sementara politik ekspresi mencakup hal-hal yang terjadi di balik panggung (backstage). Hubungan resiprokal antara keduanya memancing manusia atau masyarakat untuk memodifikasi dan menyiasati ide-ide, mengubah wawasan dunia yang tak kelihatan (invisible), menjadi kelihatan (visible)—meski dalam kaitannya dengan demokrasi hari ini, banyak hal yang kelihatan acapkali disembunyikan agar menjadi samar/tersembunyi untuk menghindari masalah sosial atau demi memenuhi target komunikasi publik tertentu.

Bertolak dari gagasan tersebut, pada Sesi II 2023, Lau Ne ingin melihat ruang, tubuh, dan bahasa dalam gagasan serta praktik kesenian/kebudayaan, melalui perspektif ekspresi politik dan politik ekspresi.

Ketiga sub tema yang dipilih saling terhubung satu sama lain. Ekspresi politik dan politik ekspresi selalu membutuhkan ruang. Sementara ruang juga bisa diciptakan melalui agenda dan praktik ekspresi tertentu. Di dalam/di hadapan ruang itu, manusia membutuhkan prasyarat dan media paling sederhana yaitu tubuh dan bahasa, yang melekat dalam dirinya untuk mengekspresikan gagasan serta pendapatnya. Pada perspektif yang lain, ruang dalam konteks yang lebih luas, dengan segala nilai dan normanya, juga turut mengkonstruksi pilihan-pilihan ekspresi tubuh dan bahasa yang memiliki konsekuensi politis. Dalam konteks ekspresi politik dan politik ekspresi, ruang, tubuh, dan bahasa terjalin dalam hubungan relasional yang dinamis dan amat kontekstual dengan produksi wacananya masing-masing.

Menyelidiki dan merefleksikan ekspresi politik dan politik ekspresi merupakan hal penting karena dapat membantu kita untuk: (i) mengungkapkan pijakan dasar bagi ekspresi (ii) menunjukkan kepentingan, keberpihakan, dan konsekuensi dari sebuah ekspresi, dan (iii) mengevaluasi dan memberikan rekomendasi bagi praktik-praktik artistik dan kultural.

Lau Ne berharap, para pembaca setia dapat berkontribusi membagikan pengalaman dan pembacaan masing-masing, sembari bersiasat supaya tercipta wawasan dunia yang terbuka dan bermanfaat untuk keragaman kita.

Epang gawan.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] tiga edisi ke depan, para kontributor Lau Ne edisi Ruang dan Ekspresi Politik/Politik Ekspresi akan menggali makna dan memori atas ruang-ruang yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari; atau […]

Kalender Postingan

Kamis, November 21st