Nahkoda edisi kali ini mengajak pembaca berkenalan dengan Mulyana atau yang lebih akrab dengan sapaan Mang Moel. Mang Moel adalah seorang seniman rupa yang menggunakan teknik knittingdan crochet dalam berkarya. Monster Gurita Sigarantang atau Mogus, karakter yang ia hidupkan dalam instalasi (modular) dunia bawah laut yang disebutnya ‘Dunia Mogus’ adalah salah satu masterpiece yang membawanya ke berbagai skena seni kontemporer di dunia. Mari berkenalan dengan Mulyana dan Dunia Mogus-nya.
Eka: Mang, lagi sibuk apa?
Mang Moel: Ini buat-buat karya. Ini yang di Jogja ada dua, terus habis itu Jepang, Australia terus ke Korea lagi. Terus ada Hongkong, ada Belanda.
Eka: Sepanjang tahun sudah ada agenda berarti?
Mang Moel: Udah, tahun ini udah full. Alhamdulillah. Alhamdulillah…
Eka: Jaga kesehatan!
Ada dua hal sebenarnya pengen aku ajak ngobrol sama Mang Moel. Pertama, Mogus sendiri kan sebenarnya karakter, cara Mang Moel menyampaikan gagasan dan ekspresi dirimu. Yang kedua, pilihan bentuknya. Instalasi dan rajut juga strategi atau teknik yang kamu pilih sebagai pendekatan.
Jadi aku pengen ajak ngobrol kamu soal dua hal itu. Mogus sebagai karakter, sebagai alat ucap. Dan pilihan bentuk yang lebih artistik, soal bagaimana kamu menggunakan rajut dan instalasi.
Mungkin aku akan mulai ajak ngobrol soal Mogus. Tahun ini tidak terasa ya, 15 tahun Mogus.
Mang Moel: Iya, 15 tahun!
Eka: Kita ketemu pas perayaan 10 tahun, soalnya aku yang bagian supervisi ruang pamer jadi aku tahu.
Mang Moel: Nggak kerasa ya, 15 tahun, Ya Allah…
Eka: Ada pengalaman apa setelah 15 tahun dan sudah sampai di mana kira-kira si Mogus?
Mang Moel: Sekarang Mogus itu posisinya lagi tur museum-museum di berbagai tempat. Sebelumnya di Korea, sekarang di AS, tahun depan juga di AS. Alhamdulillah ya, dari yang terakhir 10 tahun itu, kepake lho beneran jadi karya tur. Ke depannya sih masih banyak yang aku pengen ya. Mungkin final project-nya sih museum. Pengennya, si Mogus ini akan panjang meskipun aku nggak ada. Makanya, aku buat buku The Mogus Colony. Setiap orang punya pikiran tentang monster guritanya sendiri. Aku udah buat sekitar 150 dan itu bisa dikembangkan, bisa kolaborasi dengan misalnya penulis. Mogus itu, ya kalau ada yang mau ya pake aja. Dalam artian bisa jadi berkembang, membuat universe tersendiri buat si Mogus, Mogus World ini.
Dari awal, aku melihat potensi si karakter ini akan berkembang terus. Asal ada yang mau untuk menjalankannya. Aku mah sekadar ngawalin-nya lah, pembuatnyalah. Yang aku liat (respons) dari seniman lain, “ini menarik nih”. Dalam arti bisa jadi The Other Artist-nya sendiri. Aku nggak terkenal, nggak apa-apa.
Dulu memang si Mogus yang dikedepankan. Cuma, ada perasaan bimbangnya tuh, “aduh, aku pengen untuk sekarang, semasa masih hidup, kalau Mogus aja…” Seniman kan ingin bereksplorasi ya. Makanya kemarin nge-brand Mang Moel karena Mogus itu bagian dari karya aku. Makanya aku bisa mengeksplorasi lebih tapi jadi enggak fokus. Cuman beruntungnya, Si Mogus ini jadi penanda, ngawalin ke semuanya, semua perjalanan.
Dari satu karakter, aku buat buku yang projek awal, The Mogus Colony, kumpulan monster gurita, yang dibuat oleh teman-teman seniman. Udah gitu bisa ke Monster Day, acara yang aku buat, bazaar dan workshop yang bertemakan monster. Terus ke habitatnya, yang koral. Ternyata ketika rumahnya si Mogus dipisahin, udah punya cerita sendiri juga yang relate banget sama kita semua sebagai manusia. Bisa dibilang dekat, bisa terkoneksi. Kita semua terkoneksi dengan laut, dengan alam kita.
Nah, aku sendiri selesai dengan cita-citaku dulu yang pengen mengekspresikan diri, tidak terbatas dengan norma budaya manusia. Karena dia (Mogus) monster, aku bisa jadi apa aja. Misalkan, kalau aku yang tampil sebagai manusia, kalau menjadi cewe, dandan, pasti diejek-ejek. Tapi ini mah monster dan bisa jadi karakter apa aja. Kitanya juga jadi bebas kalau mau bercerita. Mau nakal, mau soleh, mau centil. Jadi aku bisa berekspresi. Buat aku sendiri, aku seneng banget menemukan si karakter monster gurita ini.
Eka: Nah, sebelum kita lanjut, aku perkenalkan, ada Dimas.
Dimas: Salam kenal, Mang Moel. Mang Moel mau ada pameran bulan Juli?
Mang Moel: Oh iya, di Kiniko tanggal 3. Tanggal 16 di Omah Budoyo di Jalan Prawirotaman. Ini lagi persiapan.
Eka: Mungkin aku akan turn back ke step by step perjalanan Mang Moel. Pertama sekali, momentum apa yang bikin Mang Moel kemudian, “oke, saya menciptakan Mogus.”
Dimas: Iya, sama saya juga jadi kepikiran mau nanya ini: kenapa sih monster gurita pilihannya?
Mang Moel: Momen pertama kali buat Mogus itu sebenarnya betul-betul ketidaksengajaan. Emang aku dari dulu senang yang namanya dunia bawah laut. Aku seneng buat ikan, pokoknya yang berhubungan dengan laut. Mungkin karena aku hidup di Bandung, jarang ketemu lautan ya. Tapi interesting aja. Apa apa yang kita lihat di TV, di internet itu jadi pengen tahu. Rasa penasarannya tinggi. Aku juga pelajari di pondok (pesantren, red.) ayat-ayat tentang kelautan. Idiom-idiom yang berhubungan dengan laut.
Kita lihat misalnya di dokumenter, semakin dalam, makhluknya semakin aneh tapi indah banget. Kalau ke Sea World, ngeliat aquarium gede itu dan warna-warnanya. Aku mungkin percaya sama keyakinanku sekarang, sama Mister X, Tuhan, Allah menurut aku. Tuhan tuh menciptakan laut keren. Makhluknya bisa aneh-aneh, kayak bermain-main tapi juga indah dan manfaatnya banyak banget. Buat manusia itu sendiri tuh banyak manfaatnya. Dari hasil laut, kita bisa makan.
Menariknya, itu semua nggak bisa terjamah dengan mudah, kan? Bagus ketika tidak terjamah karena manusia punya potensi merusak. Ya sudah dijelaskan, kata malaikat, ‘kenapa Kamu menciptakan manusia sedangkan manusia itu perusak?’. Emang benar, sangat perusak. Makanya nggak dimudahkan, perlu kelengkapan khusus khusus. Kalau mudah, pasti dirusak habis-habisan. Orang udah enggak mudah juga dirusak. Nah, di sini menarik dan akhirnya ya refleks aja itu tentang laut.
Ketika belajar rajut pun gitu. Waktu itu aku di Tobucil, gabung 2005. Awalnya belajar bikin origami. Tapi ketika udah sedikit menguasai tentang origami modular, ada kejenuhan dan karya itu rapuh karena kertas. Kemudian aku belajar rajut sambil nunggu toko. Ada klubnya juga. Ini si rajutan keren banget. Maksudnya, dari satu benang bisa dibentuk sesuatu. Kebetulan waktu aku belajar knitting itu ada namanya bola pompom. Biasanya tuh aksesoris buat kupluk, yang bulet-buletnya itu.
Nah, Tobucil sendiri punya event tahunan, namanya Crafty Days. Di tahun 2008 , temanya Recycle Attack. Jadi, yang berhubungan dengan recycle, upcycle. Kebetulan ada benang-benang sisa yang nggak kejual. Keideanlah, pas aku lagi senang membuat rajutan , sama bola pompom. Yang aku pikirkan, makhluk apa yang lucu, unik. Ya gurita karena tangannya banyak. Cara merangkainya terbayang. Aku coba dan kemudian berhasil. Dipamerin di Crafty Days. Pada suka orang-orang. Butek warnanya itu, item.
Dalam perjalanan, di sekitar temen ada isu, “lu mau jadi seniman atau jadi guru?”
Aku merasakan ketika menjadi guru, susah nih. Anak zaman sekarang, ngurusnya susah. Aku kayanya pengen jadi seniman.
“Oke. Kalau lu mau jadi seniman, lu harus punya kekhasan tertentu”.
Nah, akhirnya si makhluk ini aku jadiin alter ego. Simpel aja memilih siapa namanya. Awalnya Mogu, cuma monster gurita. Karena Mogu itu banyak dipakai, ada Mogu Doll, ada Mogu-Mogu minuman, ya Mogus aja deh. Monster Gurita Sigarantang. Siga rantang itu ‘seperti rantang’ tapi kayak Batak. Seperti punya marga tapi sebenarnya tuh Sunda juga. Ada dua makna.
Eka: Berarti pertama kali muncul di Crafty Days. Dari situ kamu menandai munculnya.
Mang Moel: Iya. Kemudian dari situ mulailah ke cerita karena waktu itu lagi musim blog. 2008 sampai 2010 itu pada nulis Blogspot, Multiply. Ya udah, aku jadiin karakter. Jadi ke mana-mana aku buat. Pertama kali ke Malaysia, masih pompom terus kemudian lanjut ke Vietnam.
Jadi, ketika membuat pompom, Mbak Tarlen itu baru pulang dari AS. “Udahlah buat rumahnya!” Karena ini makhluk laut ya buat koral-koralnya, sama Teh Upi, guru rajut aku. Mulai belajar crochet.
Ketika belajar crochet, tambah menarik. Awal belajar, di Tobucil ada (kumpulan) cowok-cowok merajut sama berkebun, namanya The Man Unite. Salah satunya, jago banget tuh Mas Dani. Dia buat boneka kecil beruang yang diajarin neneknya.
“Ini teknik apa? Rajut?”
“Rajut tapi satu jarum”
Ini tambah keren lagi. Aku belajar, terus aku ngulik sendiri. Pertama kali ngulik sendiri buat semua fiturnya dari si crochet. Wah, tambah bagus dan nggak boros. Kan kalau pompom boros benang. Ini tambah bagus lagi. Kuat dan irit benang, terus bisa di-apa-apain. Akhirnya, aku eksplor bentukannya, eksplor cerita. Jadi tugas akhir aku.
Eka: Di UPI ya…
Mang Moel: Iya. Daripada susah susah, iya nggak? Aku ajuin ke dosen, nanya-nanya “bisa nggak?” Ternyata bisa juga. Akhirnya tugas akhir si Mogus. Nah, udah blog, jadi tugas akhir. Terus ngapain ya? Ya udah, dipamerin.
Akhirnya coba dipamerkan 2012 di Galeri Gerilya. Sambutannya bagus. Dulu di Bandung, tanda keberhasilan satu pameran itu, kurator datang. Terus ada liputan juga. Ya udah, akhirnya diterusin sampai pindahlah si pameran ke Kedai Kebun dan mendapat respon yang bagus juga. Ini aku yakin pasti akan berkembang dan memang benar, feeling-nya. Selama perjalanan itu, kita sambil nyari bahan, masa cuman lucu-lucu doang? Kenapa ya aku bisa tanpa sadar memilih si gurita ini?
Eka: Sebenarnya di fase cerita, kamu mau omong apa lewat Mogus?
Mang Moel: Aku ingin bebas berekspresi. Dulu tuh aku di-bully. Dulu aku nari, femininnya lebih kuat. Dulu diomongin kayak “tante”. “Nyai Dasima” disebutnya karena suka yang berbau cewek. Dulu SMP, maunya jadi fashion designer. Mungkin orangtua agak, “ini gawat nih”. Makanya SMA-nya dipesantrenkan. Tapi aku tuh merasa beruntung karena di pesantren nggak boleh ngejek. Kalau ngejek bisa diskors, bisa dikeluarin. Jadi aku merasa terlindungi. Aku pengen punya teman tapi enggak bisa karena aku beda di SD, SMP itu. “Eh elu kan cowok”. Kalau cowok aku nggak cocok. Gimana ya?
Akhirnya seni rupa itu menjadi bagian dari healing aku. Awal mula aku sadar bahwa kayaknya aku dikasih kelebihan disitu, waktu kelas 2 SMP. Aku ikutan lomba Tazos di seberang Taman Lalu Lintas. Aku ngumpulin tazos dari ciki. Udah gitu Lego. Lego mah kan mainan anak orang kaya ya. Ngumpulin ciki, terus rangkai, terus tanpa didaftarkan, semua sendiri, nggak tahunya pulang-pulang aku juara 1. Aku perwakilan dari Bandung untuk ke tingkat nasional, ke Jakarta. Tapi aku kalah sama anak SD. Aduh, kesel banget karena si anak SD itu bapaknya arsitek. Wah aku kesel banget kan. Aku nggak ada background keluarga seni. Aku ada bangga tapi ada kesel juga. Akhirnya aku berusaha. Gimana ya? Aku enggak mau gagal lagi. Lagian, kalo kamu gagal, belajar!
Seni juga jadi penolong waktu di pesantren. Kalau di pondok, jadi tukang dekornya. Aku merasa terpakai. Akhirnya aku memutuskan bahwa seni itu jadi penolong, teman baik istilahnya. Makanya aku milih pokoknya harus nerusin ke seni rupa. Ke UPI juga sama. Aku menikmati aja. Enjoy ketika itu. Aku jadi ada temen juga. Orang pengen tahu, “lu buat apa sih?” Jadi ngobrol. Emang suka ngobrol, jadi punya temen.
Ketika membuat karakter itu, aku bisa bebas. Makanya waktu ke Vietnam kubuat namanya Vera, Mogus yang centil. Tapi sebenarnya nyeritain tentang aku. Aku bisa nggak nampilin aku, tapi ekspresinya tersalurkan. Jadi nggak terpendam. Itu kan sehat ya buat diri pribadi.
Eka: Mogus memang jadi semacam temanmu, self extend-mu.
Mang Moel: Yes!
Dimas: Aku tergelitik dengan apa yang tadi disampaikan. Mang Moel sempat bilang, ini (mogus) cara saya agar bisa berekspresi. Aku mau menampilkan diri seperti ini, tapi kan ada ada norma dan sebagainya. Pokoknya ribet lagi deh. Tapi kalau ekspresinya Mogus kan enak, bisa macam-macam.
Saya sendiri kepikiran, makanya saya tanyakan soal pemilihan itu. Gurita itu karakter hewan yang bisa menyesuaikan bentuk di mana aja dia berada. Gurita itu fleksibel. Terus, gurita itu salah satu hewan yang kecerdasannya paling tinggi kalau saya enggak salah. Jadi dia bisa cari jalan keluar dimana aja dia ditempatkan.
Mang Moel: Nah, betul tuh. Itu tuh aku tahu ketika dapat si Mogusnya, ketika belajar tentang si gurita. Gurita itu ternyata kayak gitu ya. Ini kayak dijodohin.
Dimas: Berarti memang sejak awal tidak menyadari karakter gurita ini, makanya dipilih?
Mang Moel: Nggak. Asalnya cuma lucu, banyak tangan doang. Itu kayak dijodohin aja. Cuma, akhirnya nyari-nyari. Sebelumnya yang soal kartun itu, kenapa ya si gurita ini selalu terinspirasi dengan tokoh jahat? Atau di berita kayak Gurita Cikeas, jadi yang jahat. Kenapa? Karena tangannya banyak. Oke, karena seni rupa ini punya alat untuk memberikan pandangan lain, maka, kalau aku tangan banyak, aku pengen si gurita ini menyebarkan kebaikan yang banyak manfaatnya. Jadi aku kayak reverse-nya. Kalau monster asalnya serem, aku buatnya yang lucu-lucu. Jadinya ya udah, breaking stereotype aja. Cowok rajut juga jarang. Kayanya ini seru, bisa jadi wacana juga. Aku juga seneng, enggak memaksakan. Akunya emang seneng. Akhirnya bisa ke isu gender, isu lingkungan. Akhirnya nyambung.Ada masukan-masukan, “oh ternyata kayak gitu ya.”
Eka: Bertemu sepanjang perjalanan.
Mang Moel: Bertemu sepanjang perjalanan. Sampai terakhir tuh ada dokumenter yang di Netflix, My Octopus Teacher, itu aku sampai nangis ngelihat bagaimana si gurita itu hidup. Keren banget itu. Aku senang karena mendukung ide bahwa kita bisa belajar banyak dari gurita, sampai dibuat film dokumenter itu, gila! Aku ada temannya lagi, jadi perpaduan monster sama gurita.
Eka: The Mogus Colony, itu konsepnya gimana? Apa kamu pingin Mogus ini semakin punya banyak teman, lalu melibatkan orang lain? Gimana idenya atau apa yang ingin kamu sampaikan lewat The Mogus Colony?
Mang Moel: Aku yakin bahwa aku nggak akan di Bandung. Terus aku pengen memberikan hadiah buat teman-teman kampusku, angkatanku. Sesuatu yang mereka ingat. Apa ya? Aku punya karakter monster gurita ini. Aku mikirin gimana caranya?
Aku minta teman-teman itu, sambil maksa. Kebanyakan teman angkatan sih yang ikut. Ini kenangan aku buat mereka, mereka buat aku. Jadi aku bisa mengenang. Dan ternyata alhamdulillah. Aku lihat, balik lagi ke yang namanya amaze sama ciptaan Tuhan. Beda manusia, beda kreativitas. Ternyata kita bisa belajar dari karakter di gambar, dari goresan, dari cerita yang mereka buat. Jadi aku juga belajar. Ketika kita sharing, dapetnya banyak banget. Aku percaya, sharing bisa membawa lebih, bisa membawa impact yang banyak.
The Mogus Colony itu pengen berbagi aja dan hadiah untuk teman-teman. Makanya konsepnya doa. Mendoakan supaya saya dan teman-teman suksesnya bareng. Aku bisa ngenalin ketika aku ke luar negeri atau kemanapun itu, aku membawa teman-teman juga. Kalau mereka tertarik dengan karya temanku, aku akan mengenalkan. Jadi kayak silaturahmi. Aku membawa yang belum punya kesempatan. Kita bawa di buku itu, kita kenalin ke orang lain. Ada nih orang yang berbakat gambarnya, desainnya, ceritanya. Tapi itu juga sebenernya buat aku sendiri. Jadi aku sambil belajar juga. Kayak membuat workshop. Kita jadi nambah ilmu. Makanya itu the power of sharing. Ada yang mengatakan, “sebaik-baiknya belajar adalah mengajar”. Sebenernya ketika mengajar itu kita belajar lho.
Eka: Kamu bikin katalognya sendiri? Bukunya The Mogus Colony.
Mang Moel: Iya. Jadi the power of ngajar. Kalau di muslim, di keyakinanku mengajar itu amal jariyah. Buat apa kita punya ilmu tapi nggak ditularkan. Yang penting ilmu kita bermanfaat, nggak hanya stuck di satu orang. Ketika kita share, orang tuh jadi lebih bisa menghargai. Apalagi kalau merajut. Kalau di luar negeri itu kayak, “I appreciate more about your art,” karena susahnya. Makanya aku selalu ngebarengin pameran-pameran gede dengan workshop, dengan mengajar.
Beda orang, beda negara, dan budaya itu beda juga hasilnya. Itu seru sih kalau dilihat dari situ. Waktu di Tobucil, aku megang Crafty Kids. Beda banget antara grup anak-anak yang kurang mampu—biasanya aku gratisin—sama orang-orang yang orang tuanya berlebih. Waduh, kasian banget kalau yang kurang, terbatas itu ini, dibanding dengan yang orang tuanya berlebih. Itu bisa jadi lahan untuk belajar juga.
Dimas: Dari tadi kita fokus soal karya, latar belakang penciptaan Mogus. Tapi tadi juga Mang Moel sempat singgung, yakin tidak akan di Bandung. Saya pernah baca, di Jogja pendekatannya lebih community based. Saya mau mencari apa sih yang melatarbelakangi? Apakah Mang Moel punya kegelisahan soal karya seni yang dikerjakan dengan pendekatan lain dan kemudian sekarang dengan community based . Kira-kira apa pengaruhnya kemudian ke karya-karya Mang Moel?
Mang Moel: Pengaruhnya besar banget sih. Aku yakin, membuat suatu instalasi itu nggak bisa sendirian ya. Di Bandung, aku merasakan—ya mungkin perasaanku aja atau pengalaman yang lain—tapi aku merasakan kalau di Bandung dulu cenderung individualis. Ketika pindah ke Jogja, ada tawaran, “Mang Moel mau dibantu?”. Wow, mereka itu nawarin loh, nggak dipaksa loh. Itu benar terjadi. Awal-awal aku banyak bantuan banget dari teman-teman komunitas di sini. Sampai aku join di komunitasnya. Setiap bulan, minggu keempat, mereka kumpul bareng, share pattern, share tempat toko, konsep, share apapun itulah. Kalau ada stand bayarnya berapa yang pantas, yang standarnya. Share semuanya di situ tentang rajutan. Di Jogja ini banyak yang bisa crochet gara-gara memang mereka produksi tas. Banyak kalau di Jogja. Jadi dasarnya udah punya sebenarnya. Kalau kerja segini, dibayar segini.
Itu ngebantu banget buat aku karena dulu sebelum aku terjun sebagai fulltime artist aku sempat bantu orangtua usaha katering. Ibuku selalu bilang bahwa dia punya komunitas sendiri, kayak asosiasi, ikatan, grup, komunitas katering di Bandung. Penting membangun jejaring itu kenapa? Karena ketika kita punya orderan, kita hanya mampu 100, terus orderannya ada 200, kita bisa share ke teman kita yang udah sevisi. Jadi saling berbagi.
Nah, aku praktekin di Jogja. It works sampai sekarang. Aku perlu bantuan komunitas, mereka bantu. Mereka juga perlu bantuan, aku bantu. Itu tuh indahnya komunitas, baiknya based on community. Meskipun biasalah kalau ada gosip, tapi kebaikannya banyak. Akhirnya karya bisa selesai dengan jangka waktu nggak lama. Kalau banyak orang bisa begitu, kebantu aja sih. Semuanya kaya begitu. Aku belajar.
Eka: Saya ingat, yang pas di Selasar kamu libatkan beberapa ibu juga.
Mang Moel: Iya. Sampai sekarang masih pada kerja juga di sini, masih ngebantu. Mbak Dian itu. Aku bantu, dia juga bantu aku. Jadi saling silang karena dia juga udah punya asisten. Kebayang nggak? Jadi, aku nih lagi banyak banget, “asisten kamu aku pinjam”. Jadi kita begitu, bagi-bagi. Di Jogja kuatnya di situ. Makanya banyak yang based on komunitas.
Eka: Aku pengen ngulik soal instalasi. Kamu kemudian memutuskan, Mogus enggak bisa jalan cuma sebagai karakter, tapi dia butuh rumah. Lalu kamu buat Underwater World. Sebenarnya apa pendapat kamu soal ruang? Soal ruang bersama? Mengapa Mogus butuh rumah?
Mang Moel: Rumah itu penting. Basic manusia itu rumah . Pasti setiap orang punya idealisme sendiri tentang rumah, pengen yang nyaman, bagus, segala macam. Makanya awal-awal, aku buat yang bagus-bagus dulu sebelum yang koral mati itu, yang abu segala macam. Itu menjadi penting. Isi rumah itu.
Eka: Itu menarik tuh, waktu di Selasar Sunaryo, kamu bilang yang hitam kurang diminati, sampai ada gagasan soal koral mati.
Mang Moel: Iya, itu tuh ceritanya berkembang. Kenapa aku milih instalasi? Aku suka penasaran. Karena aku suka nonton film, aku tuh suka, “ih gila ya, kita bisa ngerasain perasaan orang lain”. Atau di musik. Beda dengan lukisan. Bisa juga sih, cuma susah. Jadi yang paling mendekati menurut aku instalasi karena orang bisa merasakan, “oh ini tuh di laut,” tapi kita nggak ke laut. Kebayang nggak?
Terus aku pilih modular karena sistemnya, istilahnya sustainable. Dulu emang dari sisa. Nyicil, bisa berkembang, tumbuh aja terus. Punya duit, kerjain itu, nambah lagi karyanya, terus dipamerin. Kalau nggak kejual, itu bisa dicacah lagi, terus bentuk karya baru.
Terus ruangan juga. Tiap ruang jadi beda-beda. Aku lihat, sistem modular itu, yang aku pelajari di origami atau Tazos atau Lego, itu tuh menarik karena kita bisa me-recreate atau…
Eka: Adaptasi dengan ruang?
Mang Moel: Iya, adaptasi dengan ruang. Dan itu menjadi tantangan tersendiri buat aku sebagai seniman. Ini ada ruang segini, gimana cara menaklukkan itu biar nggak terlalu lebay, biar nggak terlalu kosong, biar pas. Itu menjadi tantangan sendiri. Jadi, itu juga melatih pikiran kita, imajinasi kita untuk menaklukkan ruangan itu. Akhirnya, aku merasa berhasil ketika Sea Remembers (Artjog, 2018). Kan ada nyinyiran, “wah, si Moel mah nggak menyelam.” Tapi tukang menyelam itu sendiri memuji aku. “Gila, kok lu bisa ya?” Itu dari penyelam lho. Aku nggak menyelam. Itu suatu kebanggan sendiri. Bisa menampilkan sesuatu, orang bisa dapat vibes-nya.
Eka: Nah, kalau secara teknis apa yang rumit dari instalasi. Dari gagasan, kemudian kamu turunkan sampai…
Mang Moel: Instalasi yang rumit sebenarnya itu ngatur orang, dapat orang. Menurutku ya, yang berat itu ya karena kita berhubungan dengan banyak orang. Terus si karakter itu harus sama dengan karakterku, untuk menyamakan visi. Apalagi banyak. Untuk sevisi, semisi itu kan emang susah. Terus ada drama-drama berhubungan dengan orang banyak, kan.
Sekarang tuh zaman kolaborasi ya. Seru sih. Kayak kemarin selesai kolaborasi sama Tulus (video klip Hati-Hati di Jalan, red.), karakter tuh bisa jadi hidup. Kesulitannya kadang nyari ide awal sih ya.
Eka: Soalnya yang aku lihat di Selasar, kalau di ruang monokrom, yang hitam atau putih kamu sudah punya gambar awal. Tapi kalau di ruang yang beragam, kamu masih pindahin sendiri, atur komposisinya sana-sini.
Mang Moel: Oh, iya! Itu menarik karena aku suka karya interaktif. Sekarang ini yang Modular Monster itu kayak merangkum bagaimana aku berkarya. Jadi, untuk membuat suatu karya, aku kan nge-direct oranglah. Nah, Modular Monster ini menarik karena orang itu bisa men-direct. Dia nggak akan bisa membuat suatu monster kalau nggak ada orang lain. Itu pertama. Terus dia bisa belajar men-direct bagaimana meminta ke orang lain untuk membuat monster yang dia inginkan.
Begitu juga dengan aku. Belajar itu tuh kayak merangkum semua. Terus kami bisa switch kan. Jadi kita enggak selalu men-direct, bisa jadi pembuatnya juga. Aku juga sama. Aku kadang memberi saran sama orang lain. Ini bagusnya kayak gini. Nggak apa-apa juga kan? Jadi si karya itu, buat aku, sangat bisa dikembangkan lebih jauh lagi. Itu yang membuat aku suka. Modularnya bisa macam-macam. Ternyata itu seru banget. Hasilnya, sama kayak The Mogus Colony itu. Modularnya beda-beda, jadi monsternya berbeda. Itu karya yang aku suka banget.
Eka: Kalo mimpi soal Mogus Universe, atau mungkin multiverse itu gimana?
Mang Moel: Sekarang aku lagi kolaborasi dengan penulis karena bikin semua udah nggak bisa, capek. Penulisnya banyak, ada dewasa, ada anak-anak dan segala macam. Dan ternyata seru juga. Aku kasih clue-nya, terus dikembangkan. Waah, bisa jadi kayak gini ya ceritanya. Ternyata, yang membedakan, ini bisa jadi karya, punya ilmu di dalamnya yang bisa dikembangkan lagi. Menjadi sesuatu dan ada manfaatnya. Dulu kata orang, ini mah apa unyu-unyu, ternyata…
Dimas: Mungkin ini yang terakhir dari saya. Pasti perjalanan karya Mang Moel selain dari satu tempat berpindah ke tempat lain, tapi udah bertemu dan berinteraksi dengan banyak komunitas, banyak seniman dari tempat lain. Dari pertemuan dan perjumpaan itu, ada tidak semacam pikiran untuk proyeksi karya-karya ke depannya? Apakah selain Mogus, mungkin nanti ada muncul yang lain lagi ke depannya? Atau mungkin Mogus bertransformasi menjadi sesuatu yang lain? Kenalan sama monster yang lain?
Mang Moel: Sangat memungkinkan karena kemarin aku ada perasaan, kenapa Mogus gini aja, stuck? Karena Mogus bentuknya statues, boneka. Makanya kenapa aku sekarang lagi senang membuat kostum karena jadi dinamis. Ketika aku belajar kostum, tahu-tahu aku dapat dapat kolaborasi sama videoklipnya Tulus. Ternyata bisa hidup! Ini menarik.
Si Mogus sudah mulai jenuh, bertransformasi jadi manusia yang lebih dekat lagi. Bisa jadi tambah relate lagi. Dulu tuh bingungnya karena aku merasa nggak berhasil dengan cerita-cerita yang aku ceritain. Meskipun itu tentang aku ya. Tapi nggak berhasil mungkin karena, “ah, ini mah apaan, monster?” Aku tuh selalu kesal dengan teman-teman yang buat karakter tapi masih ada unsur manusianya. Kayak punya tangan, dua kaki. Ya mungkin karena cerita aku aja yang kurang. Tapi ketika aku buat (krakter mosnter) bertransformasi jadi seperti manusia, oh ternyata kayak gini rumusannya. Oh, ternyata berhasil juga, bisa diginiin. Kalau dinamis, itu bisa ke performance, bisa jadi film juga. Jadi enggak hanya melulu soal si Mogus.
Eka: Tadi Mang Moel sempat singgung soal museum Mogus. Apa idenya? Gagasannya?
Mang Moel: Gara-gara akhir-akhir ini aku sering ke luar. Tujuanku pasti ke museum. Aku banyak banget dapat inspirasi dari museum. Kita bisa ngeliat berbagai seniman, kita belajar seniman ini gimana, cara mereka berpikir. Meskipun ada juga yang kecil kayak di Korea. Ya museum itu kecil, tapi koleksinya tuh komplit. Kita bisa belajar banyak mediumnya. Aku kira Mogus ini bisa jadi bahan belajar. Dari segi perjalanannya, dari segi mediumnya. Orang, ketika keluar dari situ, semoga bisa mendapat inspirasi dari museum Mogus. Karena aku juga merasa begitu ketika aku pergi ke museum. Ada aja. Bisa juga ya. Aku pengen. Mungkin karena jiwa keguruanku tuh pengen berbagi.
Eka: Nggak bisa lari dari guru ya?
Mang Moel: Nggak bisa karena waktu SMA juga Kulliyatul Mu’allimin dididik untuk jadi guru ngaji. Terus masuk UPI, itu juga guru lagi. Itu mungkin udah digariskan. Meskipun aku nyoba ke ITB, sampai dua kali gagal terus. Akhirnya ya gitu jalannya, “lu harus ke UPI nih, ini jalan lu, lu harus lewat sini”. Meskipun ke situ, aku bisa jadi seniman. Itu membuktikan bahwa nggak perlu ke jurusan seni untuk jadi seniman. Kesempatannya bisa banyak, pattern-nya bisa banyak, nggak hanya selalu di kuliah seni aja. Aku dari pendidikan bisa jadi seniman, bisa menjadi bukti.
Eka: Di 10 menit terakhir, aku kelewat beberapa hal soal teknis. Soal merajut itu sendiri. Apa sih yang menurutmu paling sulit dari disiplin merajut, apa tantangannya?
Mang Moel: Istiqomahnya sih. Orang tuh nyerah karena ya belum dicoba aja. Aku mah karena suka kali ya. Kadang kesulitan juga, ya udah nanya aja ke yang bisa. Gimana caranya? Masih banyak yang bisa dieksplor malahan. Karena kalau kita bicara tentang kesulitan, pasti adalah awal-awal. Aku bingung, maksudnya semua itu bisa dikerjain sih sebenernya. Kebayang nggak. Nggak ada yang impossible. Bisa aja sih.
Eka: Kalau ngejar bentuknya itu gimana sulitnya?
Mang Moel: Ya tinggal kita aja coba-coba. Kalau salah ya dedel lagi, buat lagi.
Eka: Aku pernah ikut workshop itu, waduh, memang melatih kesabaran.
Mang Moel: Itu dia, mungkin hanya cara menikmatinya aja sih.
Eka: Ada semacam stereotype kalau merajut itu sangat domestik dan kerjaan perempuan. Kamu punya gagasan lain soal ini?
Mang Moel: Nah, itu dia. Aku pengen breaking stereotype. Udah nggak zaman itu. Rajut itu beneran bisa melatih otak, itu sesuatu yang sulit lho. Melakukan pekerjaan itu melatih kita sabar, melatih pikiran. Ngitung, pattern. Kita juga berkomunitas. Bagaimana kita berhubungan dengan sesama. Bisa jadi healing karena kita butuh konsentrasi dan fokus. Itu nggak ada hubungannya dengan pekerjaan wanita. Bodoh aja itu. Itu sesuatu yang basic, kalau bisa, enak itu. Kayak jahit. Bisa bikin kantong sendiri. Yang asalnya pakai kresek, kita bisa rajut, bisa jadi lebih kuat. Aku pengen sih ke depannya, karena dari kebisaan itu, kita bisa membuat sesuatu yang lebih baik, kuat, lebih long time nyawa kebendaannya.
Eka: Pameran-pameranmu selalu sebisa mungkin zero waste.
Mang Moel: Iya, sekarang lagi kayak gitu. Ya, ilmu nggak ada yang jelek. Belajar rajut tuh apa susahnya? Eh, ya emang susah sih. Ya nggak sabar aja orang-orang itu.
Dimas: Satu lagi nih, sebelum saya lupa. Ya mungkin enggak harus dijawab sekarang juga. Tadi ngomong soal tantangan, sekarang tuh zamannya AI, bahkan udah ada orang bisa pakai mesin buat kneeting. Gimana Mang Moel? Next time ada kemungkinan untuk kolaborasi dengan produk-produk teknologi yang akan berkembang di masa depan atau gimana? Atau Mang Moel punya pendapat sendiri soal ini?
Mang Moel: Kalau untuk mesin, yang lurus sekarang udah ada tapi untuk ngebentuk kayak crochet itu belum ada. Kalo ada mau aku beli, beneran. Kalo untuk bentukan-bentukan, sekarang banyak patung-patung pakai rajutan, itu foto aja, bukan real, tapi kita juga bisa buat real-nya sih. Tapi itu nggak pake mesin. Pakai mesin mungkin pakai resin, 3D printing, tapi untuk rajutan belum ada, beneran. Kalo ada, udah aku beli dari kemaren. Mempermudah.
Dimas: Berarti si manusianya ini masih belum tergantikan ya?
Mang Moel: Pasti nggak akan tergantikan. Beneran. Yakin deh. Maksudnya, tetap feel-nya beda. Mesin sekarang bagus banget, karena aku juga banyak terinspirasi dari situ, dari AI. Banyak sekali sekarang karya rajutan-rajutan. Oh, ternyata bisa diginiin ya, aku bisa nge-real-innya, mereka mah foto-foto. Jadi kebayang.
Eka: Nah, Mang, ini pertanyaan agak romantis. Setelah 15 tahun. Apa doa-doa paling utama untuk Mogus? Untuk kamu dan Moguslah.
Mang Moel: Selain museum, ya. Sekarang Alhamdulillah aku sudah ada rumah, ada studio. Sekarang proses ngumpulin buat bikin gudang, terus yang bikin museum, bikin playground. Panjang aja sih. Kalau bisa, juga bikin film. Pokoknya panjang aja, meskipun aku nggak ada. Bismillah.
Eka: Kata Chairil Anwar, aku mau hidup seribu tahun lagi.
Mang Moel: Iya bener itu bisa sih. Aku penasaran, kenapa ya seniman Indonesia, senimannya mati, karyanya mati? Tapi aku enggak mau. Aku mati ya nggak apa-apa, aku nggak terkenal. Semoga si Mogus akan terus berlanjut.
Eka: Kami yakin dia menemukan jalannya sendiri.
Mang Moel: Iya, Insha Allah. Mudah-mudahan nanti akan ada The Choosen One, nggak tahu siapa. Hahaha.
Eka: Oke, terima kasih banyak, Mang Moel. Ini percakapan bikin semangatlah. Terima kasih sekali Mang Moel mau menyediakan waktu sejam untuk kami.