Galih Nugraha Su adalah seorang musikus, kritikus pendidikan, pustakawan, dan esais musik. Sejak 4 tahun belakangan, ia mulai menulis tentang persoalan dan eksploitasi di industri musik. Pada April 2022, buku kumpulan tulisan “Industri Musik yang Menjajah” terbit. Obrolan Aura Asmaradana dan Eka Nggalu bersama Galih berpusat pada gagasan kritis yang ada di dalam buku tersebut, serta pengalaman bermusiknya.
Aura: Selamat malam, Kakak Galih. Kita malam ini mau ngobrolin terutama tentang buku yang baru terbit di April 2022, terutama soal itu. Tapi, pengen tanya-tanya juga tentang perjalanan bermusikmu. Gimana kabar terbaru – terutama soal buku “Industri Musik yang Menjajah”- gimana respon para pembaca sejauh ini?
Galih: Ya bagus bagus aja. Kalau memang dari musik kan jarang membahas tentang industrinya, ya, (hal-hal, red.) di belakangnya, terus apalagi banyak ngomongin ekonomi, paling menonjol. Istilahnya lebih ke DIY (Do It Yourself, red). Terus juga kita tahu sendiri yang namanya musik itu kan sangat maskulin. Mungkin dunia seni yang paling maskulin dibandingkan yang lain, meskipun seni rupa juga cukup maskulin cuma di musik tuh mendarah daging maskulinnya, karena di industri musik populer aja itu sering dikritik. Misalnya di ranah punk, grunge, teman-teman itu pakai baju perempuan untuk memperlihatkan: penonton kalau nggak suka dan masih homophobic, mendingan keluar dari konser kami. Itu berarti kan di skena musik banyak banget yang masih berpikiran kolot. Meskipun berkali-kali dikritik oleh musikusnya sendiri.
Aura: Aku baca di sini (di buku, red) empat tahun terakhir, kan, mulai nulis-nulis soal musik. Emang kenapa sih? Hidupmu tuh di musik sudah ada kritiknya, ide-ide itu udah dalam musik, kenapa merasa perlu nulis lagi? Apa bedanya?
Galih: Nggak tahu ya, aku di musik enggak seserius itu. Ketika serius juga dalam keadaan nggak sengaja. Aku enggak mau jadi besar dan sempat besar, enggak suka. Aku lebih suka hidup kayak gini aja, ngajar. Aura juga tahu awalnya gimana hidup di Jatinangor, dikasih kehidupan yang lain, enggak paslah. Aku lebih suka yang kayak sekarang, tetap ngeliat dunia lewat mataku, enggak jadi tokoh sentral.
Aura: Nah, itu. Melihat dunia dari matamu itu menarik sih karena yang kubaca dari beberapa tulisan di awal itu, pengalaman bermusik dikenalin sama almarhumah Mamah, gitu ya? Musik Sunda, tapi yang aku kenal, waktu SMP itu albummu tuh aku dengar terus, mengeksplorasi terus kayaknya kalau dari jenis-jenis musik. Ceritain dong tentang itu, mengelaborasi dari genre ke genre, dari ide ke ide.
Galih: Mungkin kalau orang lain, sebagian besar, untuk referensi paling besar mungkin dari pendengaran musik populer ya. Sementara, aku dibesarkan sama Mamah, anak Mamah. Mamah dengerin apa, ya aku dengerin yang Mama sebut. Orang menerjemahkan itu grunge. Aku enggak tahu sama sekali grunge itu apa. Memang dikenalkannya kayak Leo Kristi, Ully Sigar. Yang paling menarik pasti Mang Mukti ya. Sebelum berangkat ke Bandung, aku tahu nama Mukti-Mukti dan Ary Juliyant itu dari Mamah. Itu aneh banget karena kita ada di kampung. Hahaha.
Jadi, skena musik yang dikenal oleh Mama itu out of the box. Nah, di situ sih sebetulnya eksplorasi paling besar. Hari ini, musik yang disebut oleh Mamah bisa disebut genrenya freak-folks atau neo-folks, sementara itu lawas banget. Yang aku mainkan itu sebetulnya genre dari lama, era 70-80an. Hari ini teman-teman mau bilang apa aja tentang genre musikku, bebas. Aku senang senang aja. Hahaha.
Aura: Sampai sekarang masih menciptakan lagu kan? Cerita dong tentang prosesnya, biasanya ngapain? Maksudnya, lihat apa, terus ide itu diapain dulu sampai jadi sebuah karya?
Galih: Sebagian besar sebetulnya untuk lirik Deugalih itu kan naskah. Aku bukan orang yang sekreatif teman-teman gitu, menciptakan lirik. Kebanyakan ngambil dari teks lawas, diperbaharui. Istilahnya ditransformasi jadi bentuk yang baru. Mungkin itu juga yang bikin aku kelak tertarik dengan puisi Chairil Anwar, meskipun hanya satu, “Buat Gadis Rasid”. Tapi untuk lirik yang lain itu banyaknya ngambil dari naskah atau dari berita koran. Kalau zaman dulu ada potongan koran, ya aku ambil jadi lirik. Enggak tahu itu hari ini bisa disebut nyolong atau enggak, tapi sampai hari ini pun enggak ada yang protes tuh, berarti ya mungkin teman-teman jarang baca juga jadi ya selamet selamet aja. Hahaha.
Aura: Berita itu masih sampai hari ini? Berarti harus update terus kan, harus terus membaca, harus terus ada asupan?
Galih: Masih. Bahkan di album yang harusnya keluar tahun lalu, 2021, itu full dari naskah, prasasti, wejangan. Kalatidha, Kalabendu, terus dari Prasasti Karang Tengah, Bhagawadgita, yang aku ambil terus aku jadiin lagu. Itu mungkin akan jadi album terakhirku, dan aku enggak mau menulis lagu lagi.
Aura: Kenapa?
Galih: Mungkin mukaku aja yang kayak gini, tapi aku udah tua untuk ada di sini, udah enggak pantes ada di skena musik, menurutku.
Aura: Jadi, kapan launching-nya?
Galih: Nanti bareng sama bukunya.
Aura: Albumnya digital?
Galih: Fisik. Album itu bagian dari buku. Bukan buku bagian dari album. Albumnya itu ya bukuku.
Aura: Apa makna pendengar atau audiens buatmu?
Galih: Buatku, audiens…. Enggak tahu ya, aku enggak pernah mikirin. Serius. Aku main musik ya main musik aja, udah. Aku baru paham tentang arti fanservice itu dua tahun terakhir. Memanjakan penggemar, bikin merchandise, dan sebagainya. Sebelumnya enggak paham dan enggak suka juga sih untuk orang sampai menyukai tokoh. Enggak ada nilainya karena dia individu kan, dia melakukan kesalahan, dia punya power, dan terbukti kan banyak musikus melakukan pelecehan, terutama yang laki-laki, jadi ngapain sih kalian mengidolakan mereka? Mereka itu orang punya kuasa dan bisa sewenang-wenang dan kalian enggak tahu apa-apa. Mereka bisa menutupi itu.
Aura: Jadi menurutmu akan lebih ideal kalau si karya itu dilihat sebagai karya? Murni melihat karyanya doang?
Galih: Iya, tapi kan sebetulnya enggak terpisah. Katanya kan karya mesti dipisahkan dari senimannya. Enggak bisa dong. Itu bersatu. Itu cara pandang dia. Tapi kalau itu berbohong, buat apa? Enggak ada artinya dong. Enggak perlu sih menurutku.
Aura: Lalu, seberapa penting pasar atau audiens, karena kalau ngomong audiens ya pasti ngomong pasar enggak sih? Pasti ngomong soal konsumen. Seberapa penting pasar itu kalau dibandingkan dengan gagasan? Pasti ada tegangan antara kedua hal ini? Teori ekonomi gitulah ya. Ada permintaan. Gimana menegosiasikan ini, menurut pengalamanmu?
Galih: Untuk hari ini, kupikir, teman-teman mendingan DIY sih. Buat apa hidup di jalur yang besar dengan penghasilan yang kecil terus popularitas sebetulnya juga enggak terlalu menjawab apa-apa karena musik itu butuh modal besar. Kalau bertumpu sama hal-hal kayak gitu, yang menang ya orang-orang kaya, yang punya modal dari awal.
Kalau buatku DIY aja. Basis ekonominya jelas, duitnya juga jelas, terus produksinya lebih sedikit, modalnya lebih kecil, terus sustainability-nya juga panjang karena modal yang kembali juga seimbang, meskipun produksi kecil karena kamu pegang sendiri, enggak dibagi-bagi. Seratus persen buatmu, paling juga dibantu teman-teman yang memang suka dengan musikmu, dan uangnya juga teman-teman bagi hasil dengan adil.
Industri label yang hari ini independen semua yang besar, manajemennya juga jelas, keur naon oge sih? (buat apa juga sih?, red.) Kalau di industri, itu pilihan. Tapi kupikir teman-teman mesti ngeliat di akar rumput karena musik baru banyak lahir di bawah daripada di atas. Di arus utama, sedikit pembaruannya, sementara di bawah selalu muncul yang baru. Hanya saja, basis ekonominya yang kacau balau, karena untuk menikmati musik juga mesti gratis aja padahal kan bisa bayar ya, bisa barter, bisa bikin zine. Macam-macamlah yang bisa dijual di akar rumput, enggak sekadar musik kita cari duit. Kita menghidupi orang lain juga, yang satu jalan. Itu menarik. Dibanding di industri yang besar, itu kan jelas udah ada cara mainnya sendiri.
Aura: Dirimu sempat bilang soal pergerakan ekonomi, menurutmu sejauh mana sih musik kolektif, komunitas, bisa berperan penting untuk menggerakkan atau membangun kesadaran akan isu-isu sosial?
Galih: Kesadaran bisa dijawab sama mereka sendiri. Kalau skena musik itu maskulin, ya bakal susah menanyakan keberpihakan teman-teman kita yang ada di skena bawah. Di kolektif itu kan udah biasa banget ngomongin yang namanya kasus pelecehan seksual. Mungkin teman-teman bakal bilang, instansi pendidikan yang anu melakukan pelecehan, kamu juga sama.
Kalau ekonomi masih bisalah dicari, tapi kalau kesadaran aku udah hampir enggak punya kepercayaan apa-apa, sejujurnya. Industri musik mau di bawah, di atas sama aja sih, menjajah menjajah juga. Karena pelibatan perempuan dan queer di musik bawah atau atas sama jarangnya. Skenanya memang lelaki banget buatku, tidak aman.
Aura: Apa sebenarnya yang paling ingin disampaikan dari buku “Industri Musik yang Menjajah” ke pembaca?
Galih: Industri yang sehat. Mau di arus utama sampai akar rumput. Tapi kan persoalan mau di akar rumput dan arus utama sama-sama congkak, ya. Di kacamataku, beberapa tahun terakhir, baru akan dibilang keren musik dangdut ketika dicampur sama jazz, bahkan bilang “wow, musik dangdut naik kelas.” Di skena indie aja elitis pikirannya. Itu kan lucu. Dari hal kayak gitu udah geli, gimana mereka mau belajar tentang independensi yang dikerjain sama teman-teman dangdut?
Memang di dangdut juga ada eksploitasi. Musik dangdut itu lebih besar daripada industri musik populer yang kita kenal. Duitnya gede banget. Satu hari, mereka bisa manggung berkali-kali dan duitnya puluhan juta. Kita enggak ada apa-apanya, sebetulnya, dibandingkan dangdut. Tapi mereka sadar, untuk ngebentuk basis ekonomi yang bisa menghidupi mereka sebagai player, sebagai bagian dari komunitas atau masyarakat, bagaimana musik mereka bisa menghidupi desa, bahkan kalau ditarik sampai kota, ada. Di Banyuwangi, kotanya dihidupi oleh dangdut. Hal itu kan enggak terjadi sama genre musik lain yang ber-fafifu, ber-wasweswos tentang kepeduliannya kepada masyarakat. Mereka sendiri enggak dekat sama masyarakat. Benar-benar terpisah. Enggak mau belajar tentang dangdut aja udah bikin ketawa sih.
Aura: Di era digital ini makin ngeri ya gerakan kelas-kelas musik ini. Bullying tuh sekarang udah ke ranah musik, kalau aku lihat. Ada sekelompok orang yang mengaku diri lebih oke karena mendengarkan apa, dibandingkan dengan orang lain yang mendengarkan apa.
Terus, cerita lagi dong soal buku ini, setahuku ada satu tulisan yang di Jurnalruang, yang “Buat Gadis Rasid”, kalau sisanya itu belum pernah dipublikasikan di manapunkah?
Galih: Beberapa. “Dari Chairil Anwar, Buat Gadis Rasid” dan “Snobisme di Indonesia” itu pernah di Jurnalruang, overwork tentang musikus itu pernah di Pop Hari Ini, di Whiteboard Journal.
Aura: Mengulang pertanyaan di awal, sebenarnya, penasaran sama respon ketika kamu kritik terhadap ekosistem musik yang tidak sehat, ada enggak sih yang ke-trigger atau tersinggung?
Galih: Enggak berharap apa-apa sih dari buku itu. Itu sebetulnya bukan buat musikus, buat orang umum. Itu bisa dipraktikkan siapa aja, kalau mau bikin ruang aman kesenian. Intinya itu. Tapi aku pakai perspektifnya musik karena musik kan dekat dengan film, dekat dengan teater tapi lapisan eksploitasinya paling kentara dan di industri kreatif dia yang paling bawah. Paling atas film, kuliner, buku, pokoknya yang terakhir itu musik yang ditindasnya paling parah, tapi paling congkak.
Aura: Selain soal maskulinitas, ada lagi enggak yang menurutmu jadi patokan bahwa “ini ekosistem yang aman dan sehat”?
Galih: Kalau di hari ini, buatku, yang ideal adalah DIY. Kita perlu belajar banyak hal. Aku berkali-kali menyebutkan di situ tentang keunggulan dangdut, meskipun dangdut banyak celahnya. Cuma, gerakan ekonominya menarik banget dan enggak tahu malu. Itu yang paling penting dari musik, enggak malu akan kelas. Dia bisa keliling desa, bisa ngomongin tentang tabu, perceraian, putus sekolah, dan masih banyak lagi, sambil keliling kampung. Kita sendiri, aku sendiri, masih punya gengsi untuk itu. Ketika ada di band, manggung di kampung-kampung, malu. Jalan dorong speaker, ketika tangan biduan itu bersentuhan dengan konsumen, dia ngambil rupiah, dia ngasih CD. Buatku itu keren. Itu yang bikin mereka dekat sama sumbernya, sama masyarakat. Mereka joget bareng. Ngomongin kesedihan lho jogetnya. Menurutku itu sangat politis yang mereka lakukan. Menurutku itu sehat. Enggak berkelas sama sekali.
Eka: Saya dengar lagu-lagumu dan pernah ikut satu session di Bandung. Di lagu-lagumu kamu ngomong banyak soal tanah, soal kemanusiaan. Kalau sosok Galih bermusik, apa yang paling ingin dia omongkan?
Galih: Tentang pengalamanku sendirilah. Bukuku juga gitu. Enggak berani aku ngomongin tentang hal yang enggak aku alami. Di buku itu aja aku paling banyak nyebut Indramayu karena itu tempatku dibesarkan, paling banyak pengalaman di Indramayu dan Jatinangor. Dua tempat itu yang image-nya paling dekat. Pengalaman di mana aku hidup, kuceritain. Pasti orang lain juga punya pengalaman yang serupa dengan tempat yang lain. Yang namanya pengalaman mirip, pasti ada. Kita bisa merasakan pengalaman di Roma, bandingannya di Indramayu, kan bisa. Kayak novel fiksi, ngomongin apa yang ada di Jepang, di dieu ge aya (di sini juga ada, red.). Aku mah kampungan dalam memperlakukan musik. Pengen banget bikin lagu jelek. Sumpah.
Eka: Masalahnya, kemudian indie dianggap genre bukan modus. Indie berarti omong soal sore, gitu. Ada banyak miskonsepsi soal indie.
Galih: Tapi menurutku di sana indie banget. Caca, joget, disko, menurutku indie dan itu menubuh sesuai dengan masyarakatnya yang suka joget. Ngapain lu bikin musik yang enggak sesuai sama masyarakat. Kamu itu alien. Musisi indie yang kita kenal itu alien, makhluk asing. Hahaha.
Eka: Sayangnya, ada miskonsepsi soal indie. Indie dikira genre, dikira suatu aliran tertentu. Padahal, indie juga kan bicara soal produksi musik, soal bagaimana modusnya, bagaimana pendekatannya. Itu menurutmu gimana?
Galih: Kayaknya itu enggak usah diperpanjang sih bahasannya. Mungkin penerimaan mereka tentang.… Ya kayak gitu, romantik. Nyeritain hal yang tidak kita punya. Itu juga bentuk penjajahan. Eksotik sekali. Padahal di mana-mana, adanya perampasan ruang hidup. Kalau kamu ada di kelas menengah atas, mungkin kamu enggak merasakan yang namanya ditindas. Kalau sampai masyarakat kelas menengah bawah ngomongin tentang sore yang indah, itu enggak punya bargaining politic. Menurutku itu omong kosong, enggak mungkin. Dangdut ngomongin cinta aja politis, masa kamu ngomongin tentang sore hari yang tidak kamu punya. Kayak “Sepotong Senja untuk Pacarku”-nya Seno, kan tidak kamu punya. Kamu mendambakannya bahkan ingin sekali dimasukkan ke dalam kantong kamu. Tapi kamu enggak punya. Sebetulnya, begitu musik-musik yang kamu maksud kan, kayak cerpen Seno? Ketawa aja, mereka memang patut ditertawakan. Enggak tahulah ini snob atau bukan, tapi itu kenyataan.
Eka: Pertanyaan soal audiens lagi, karena ini penting. Kalau di Timur ada rapper Timur yang pendengarnya sangat spesifik, viewers-nya berjuta-juta, menurutmu gimana fenomena kayak gitu?
Galih: Ya enggak apa-apa. Semua juga enggak apa-apa, sebenarnya. Tapi kalau diseret ke soal kesadaran dan merujuk ke buku, ya itu bermasalah karena enggak punya kesadaran. Kalau jutaan viewers ngomongin hal yang oke ya enggak apa-apa ya. Yang bikin gemas di musik itu ketika orang makin punya kuasa itu enggak ada kritik, malah dipuja-puja. Kecuali, nunggu dia kepeleset, salah ngomong, baru diserang. Padahal, sebelum diserang pun mereka udah punya salah, yaitu bagaimana mereka memperlakukan industri. Mereka punya dampak apa? Kita ini udah jadi media yang bisa ngomong apapun, bisa menyesatkan tentu saja, dan seberapa sadar kita punya kuasa. Galih itu punya kuasa, makanya bisa diajak ngobrol sama teman-teman. Ini sih soal kesadaran aja, mau tutup mata, gitu? Kalau iya, ya udah. Hal yang toksik itu adiksi. Kayak dulu cabe jadi racun sekarang orang-orang semua nikmati rasa pedas dan tidak meninggal. Saking terbiasanya dengan toksik.
Eka: Kalau kamu sendiri, masih percaya, masih ingin bermusik?
Galih: Enggak, cita-citaku itu bikin apapun yang aku mau. Ini kan soal kepercayaan aja ya. Meskipun aku hidup, nyari duit dari korporat. Terserah orang mau bilang apa, tapi ini soal moralku aja sebagai tenaga pengajar. Aku menjadi dangdut itu ketika menjadi guru. Bisa ketemu keragaman usia di situ. Itu yang membuatku bisa tetap sadar dan bisa meninggalkan musik kapan saja, ketika itu jadi racun untuk diriku sendiri, aku enggak peduli. Karena itu poinnya, itu yang paling penting, dan aku bisa ngomongin musik, apapun.
Di dunia pendidikan semuanya ada. Udah sentral semua yang kupegang, udah pusatnya, milky way yang aku punya. Ketemu orangtua, ketemu anak-anak, gimana mendesain sekolah yang ramah semua kelas. Kalau bisa, yang enggak punya duit enggak bayar; yang punya duit, abis-abisin duitnya. Aku enggak setuju pendidikan itu sepenuhnya gratis. Bagi orang kaya, bayar harus mahal.
Aura: Masuk ke pendidikan kayak nemu kegelisahan baru enggak sih?
Galih: Iya, semua ada. Bayangin aja, setiap ketemu orangtua ngomongin tentang “gua nggak bisa ketemu anak gua karena udah tidur.” Itu problem buatku. Nyari duit terus, pengen anaknya senang tapi lu ngorbanin enggak ketemu sama anak. Belum yang lain. Orangtua muridku, misalnya, adalah musuhku sendiri. Ketika di Jogja, aku tidak menyukai adanya YIA (Yogyakarta International Airport, red.) sementara orangtua murid tahu. Kamu itu enggak suka sama apa yang kukerjakan, sementara aku orang yang harus membangun YIA, kalau enggak, anak gua enggak bisa makan, anak gua enggak bisa sekolah di sekolah lu.
Sekolah itu jadi banyak cerita dan konflik. Kalau bahasanya Arian, “lu itu problematik!” Ya memang problematik. Hahaha. Aku berkali-kali pindah sekolah. Mulai dari sekolah yang elit, sekolah yang baru dibangun, di situ portalnya manusia bertemu. Riil. Aura pasti ngerasain yang namanya di-bully. Dengan keadaan yang aku enggak minta itu ada, tapi ya serba salah. Riil, itu gambaran masyarakat Indonesia. Pemikiran orangtuanya nempel di anak. Kadang-kadang gurunya juga sama.
Sekarang, guru itu enggak semuanya punya kesadaran. Ngomongin gender, susah banget sampai hari ini. Tapi aku setiap hari bergulat dengan itu. Istilahnya, aku di sekolah orang yang berkuasa, guru. Guru orang yang berkuasa, berusaha menguasai pikiran yang berkembang, yaitu anak-anak. Ada pro-kontra. Yang satu bilang, misalnya, “enggak bisa mengucapkan natal. Itu haram.” Sementara guru lain, “it’s fine.” Anak-anak kena racun. Gimana kamu menghadapinya? Aku enggak perlu jauh-jauh kan untuk jadi orang yang power gede banget untuk mengubah dunia.
Sebenarnya, di sekolah juga enggak mengubah apa-apa. Kesadaran itu tumbuh sendiri dari anak. Guru itu cuma ngasih referensi, terserah mau dibaca apa enggak. Sama dengan masa kecil Aura yang kuperhatikan, karena lingkungannya banyak buku, aku masih ngelihat Aura waktu masih SD baca Freud. Itu pengaruh lingkungan juga, gimana lingkungan bisa dibikin sehat, sebelum ngomong yang muluk-muluk.
Aura: Pertanyaan selanjutnya, di tengah semua itu, apa strategi hidupmu supaya tetap waras? Waras dalam arti tetap mempertahankan, menjadi dirimu yang sekarang?
Eka: Bahasa lainnya, selalu punya strategi untuk bernegosiasi dengan kekuasaan.
Galih: Bernegosiasi dengan kekuasaan kan permisif. Aku mah enggak permisif. Enggak suka ya enggak suka aja. Sesederhana itu kok. Kamu dibenci, ya emang kamu bener. Ya enggak apa-apa. Terserahlah, suka-sukamulah. Enggak ada kerugian buatku juga. Yang punya kerugian itu orang yang punya agenda. Aku enggak punya agenda. Aku dipecat besok aja aku enggak apa-apa. Aku bisa cari kerjaan lagi, enggak punya ketakutan apa-apa.
Aura: Ya, selalu merasa sudah cukup, gitu ya? Gimana caranya supaya mikirnya bisa kayak gitu?
Galih: Kayak ginilah, di produksi buku itu aja kan sebetulnya dari tangan yang pemikirannya sama. Pro Public, pikirannya sama dengan aku, kita kerja sama. Penerbit yang pikirannya sama. Enggak suka dengan hal-hal permisif, hal-hal yang bisa dinegosiasikan. Misalnya, penerbit yang menerbitkan karya penulis yang sebetulnya memperkosa, misalnya. Itu kan udah sikap. Enggak ada yang namanya negosiasi. Negosiasinya udah selesai. Jalanin aja. Enggak ada duitnya? Kata siapa? Karena yang kerja juga cuma dikit kan, cuma dua orang, antara Pro Public dan Orange Head. Itu mungkin bisa jadi trik ekonomi.
Aura: Terus cita-citamu apa? Karya selanjutnya yang lagi disiapin?
Galih: Aku mau bikin buku. Lagu-lagunya udah selesai, tinggal bukunya. Paling cuma cetak 100, terus aku pensiun. Udah 40.
Aura: Udah 40? Baru 40. Boomers kan identiknya sama post power syndrome ya, ketika kamu memutuskan bahwa ada masanya untuk berhenti, itu oke sih. Karena hasrat untuk terus bikin sesuatu itu selalu ada.
Galih: Terkecuali kalau untuk nulis, aku bakal nulis, meskipun produksinya tetap kayak gini. Aku mau di jalanku aja, mau nyoba jalur alternatif. Ingin konsisten kepenulisan tanpa editor. Orang-orang dapat kekuranganku, apa adanya. Bukan berarti aku mengecilkan editor ya. Itu cuma caraku aja.
Aura: Lucu juga kalau suatu saat bikin workshop. Ketika orang-orang berlomba-lomba untuk bikin rekaman, kirim demo musik, terus tiba-tiba ada workshop Galih ngomong tentang bagaimana caranya bermusik dengan jelek.
Galih: Iya, mau aku kalau itu. Silakan, boleh dicoba. “Itu Galih bikin musik jelek, kok bisa dikenal di komunitasnya?” Hahaha. Menurutku itu menyenangkan.
Eka: Apa pesan untuk generasi pemusik muda?
Galih: Selama ini kan selalu dibatasi tentang standar kualitas produksi ya. Aku agak enggak suka dengan itu sih. Tapi itu pilihan. Kalau ada orang-orang sepertiku, yang memang terganggu dengan lo-fi secara alami bukan buatan, kalau lo-fi buatan kan biayanya gede. Rekam dengan alat seadanya dan ya udah, bikin-bikin aja. Aku berharap itu bisa jadi power. Menurutku dari kualitas musik aja udah ngomongin, kamu berasal kelas mana. Kalau misalnya harus terikat dengan standar kualitas musik, orang kelas menengah bawah mau ngomongin apa dong? Berkarya yang kayak gimana dong? Duitnya gede banget loh untuk produksi dengan kualitas yang oke. Sementara kualitas yang sedang-sedang saja dan bahkan lo-fi, yang jelek, itu politis. Jelek itu politis, dan itu bagus. Karena sejelek itulah kamu bagus. Itu udah kritik tanpa ngomong. Dari sound sendiri udah ngomong.
Aku harap teman-teman yang ada di luar Jawa enggak terikat dengan itu dan mulai berjejaring dengan sehat. Aku orang yang dimanja oleh dunia, sebagai laki-laki. Tahu cara DIY kayak gimana. Dari segi pengetahuan, itu udah ditindas, tidak punya kebebasan. Itu juga jadi alasan kenapa queer dan perempuan banyak yang tidak muncul ke permukaan. Karena geraknya pun dibatasi oleh budaya kita juga, budaya abang-abangan, bro culture.
Eka: Menurutmu penting tidak teman-teman musisi-musisi di daerah atau teman-teman yang bergiat di seni kemudian menulis tentang dirinya sendiri?
Galih: Kupikir, kalian mesti ngomong itu juga dengan lantang, bahwa standar musik Jakartasentris ini harus berakhir. Itu yang ngomong mesti kalian, jangan orang dari Jawa dong. Orang dari Jakarta ini enggak punya power. Justru yang punya power ngomong kayak gitu teman-teman yang di luar Jawa. Aku nulis “Industri Musik yang Menjajah” sebagai penduduk Jawa power-nya kecil, tapi kalau itu yang nulis adalah orang Timur, it’s different thing. Itu efeknya lebih besar, buatku.
Orang Bandung, Jakarta, atau kota-kota besar yang ada di Jawa, ketika dia nulis bagus, itu jelek, Bro, Sist. Karena apa? Mereka dekat dengan sumbernya, jadi mereka harus bagus sekali. Mereka sudah dimanja dengan perpustakaan pusatnya. Kalau elu masih nulis di tahap standar, berarti jelek bukan main. Apalagi enggak berani mengkritik, it’s coward, pecundang. Semoga pikiran kayak gini nyebar.
Kayak kita waktu di Jatinangor. Jatinangor kota kecil tapi kami punya banyak perpustakaan: Nalar, Batu Api, Ngeumong, begitu banyak sumbernya. Terus kamu nulis, kualitasnya bagus, musiknya bagus, ya itu biasa karena dekat dengan sumbernya dan punya akses untuk jadi besar. Teman-teman di Jakarta, nyadar enggak kalian ini kayak tai karena kalian punya sumbernya, terus songong. Kalau cara pandangnya masih lihat orang-orang Timur itu eksotik, apalagi harus bikin musik yang kontemporer dari bentuk sebelumnya, sucks!