Oleh Ryn Naru
Pada tanggal 17 Februari 2020, kelompok kami melakukan riset di Kampung Ujung Wuring. Riset yang kami sering sebut dengan jalan-jalan santai ini dilakukan guna melihat, mengamati dan merasakan kehidupan masyarakat Bajo dan Bugis yang berdomisili di Wuring.
Saya sering sekali datang ke sini untuk membeli ikan yang dijual di pasar senja Wuring dan jalan-jalan sambil berfoto selfie di tambatan perahu. Namun, untuk riset atau penelitian, ini adalah pengalaman pertama saya.
Menyusuri jalanan Kota Maumere menuju Wuring bersama dua orang kakak, motor yang saya kendarai melaju pasti memasuki pertigaan menuju perkampungan nelayan tersebut.
Hiruk-pikuk kendaraan berlalu-lalang ke sana ke mari menghiasi jalanan. Semakin ke tengah perkampungan, suasana semakin ramai karena adanya pasar senja di mana terjadi pertemuan antara papalele atau mamalele dengan pembeli atau nelayan setempat.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke Kampung Ujung. Sebenarnya tidak ada jarak atau tanda yang pasti yang membedakan antara kampung atas, tengah dan ujung. Sepintas kilas saya melihatnya hanya sebuah perkampungan nelayan biasa.
Namun, begitulah yang biasa disebut oleh masyarakat setempat, yakni ada beberapa nama tempat atau pembagian wilayah di Wuring itu sendiri, seperti Leko, Jalan Baru, Kampung Atas, Kampung Tengah dan Ujung.
Kendaraan kami pun berhenti tepat di sebelah bangunan yang lebih dikenal dengan nama masjid terapung. Akan tetapi menurut warga, bangunan itu belum bisa disebut masjid karena belum ada peresmiannya.
Kami langsung menuju ke rumah Amir, seorang anak muda Wuring yang nantinya bersama-sama dengan kami melakukan riset beberapa bulan ke depan. Namun, Amir tidak sedang berada di rumahnya. Kemudian, Inna, salah seorang dari kami, mengajak untuk pergi berkunjung ke rumah paman Roni.
Paman Roni sangat ramah dan terbuka dengan siapa saja dan memiliki jiwa sosial serta pengetahuan, yang menurut saya, sangat baik dan menyenangkan. Rumah paman Roni terletak di tengah perumahan terapung para nelayan Wuring, tepatnya di belakang rumah Amir.
Untuk menuju ke sana kami harus melewati jembatan bambu yang pastinya ini menjadi hal baru bagi saya dan timbulkan ketakutan tersendiri. Bambu yang terdiri dari 3-5 batang ini diikat saling berkaitan antara satu batang dengan yang lainnya dan kemudian dipaku dan diikat lagi pada tiang penyangga.
Tiang bambu itu langsung ditancapkan di dalam laut dan tingginya mungkin sekitar 1 meter atau lebih.
Inna duluan menyusuri jembatan bambu dengan langkah pelan sambil menjaga keseimbangan, sedangkan teman lainnya, Rendi, baru beberapa langkah saja dia langsung berbalik pulang. Tidak bisa, katanya.
Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan masing-masing mencari narasumber atau informan yang kami butuhkan. Tak lama kemudian Gee, yang merupakan koordinator lapangan dan kebetulan berkelompok dengan kami, datang dan ikut bergabung.
Ditengah perjalanan menuju ke sana, saya malah bertemu Aisya, keponakan dari Amir. Aisya baru pulang latihan taekwondo di Jalan El Tari Kota Maumere, tepatnya di halaman kantor Kecamatan Alok.
Aisya bersama dua orang temannya berangkat dan pulang ke tempat latihan itu menggunakan jasa transportaasi ojek. Saya salut dengan keberanian mereka, meskipun pada usia yang masih terbilang anak-anak sudah berani berpergian sendiri. Saya juga bercerita banyak hal dengan beberapa anak di sekitar situ. Kami duduk melingkar di tambatan perahu Wuring sambil bercanda, bercerita dan sesekali foto wefie bersama.
Dalam pada itu, saya lantas melontarkan beberapa pertanyaan kepada mereka. Biasanya kalian bermain dimana? Apa saja yang kalian lakukan di sekolah selain belajar? Apa cita-cita adik-adik? Kegiatan apa sehari-hari selain bermain?
Mereka sangat antusias menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Ada beberapa dari mereka memberitahukan kalau setiap harinya mereka bisa bermain di jalan dan di sekitar tambatan perahu karena tidak ada tanah lapang atau taman bermain untuk mereka.
Selain itu, mereka juga sering membantu orangtuanya, seperti mencuci piring dan menjaga adiknya (biasanya dilakukan oleh anak perempuan).
Adapun kegiatan di sekolah yang mereka sering ikuti adalah Pramuka. Selain itu, mereka juga rajin mengaji setiap sore menjelang adzan. Beberapa dari mereka ada yang bercita-cita menjadi guru, dokter, polwan dan ada juga yang mau jadi nelayan seperti orangtuanya.
Wajah-wajah polos mereka dengan sesekali tersenyum sambil bercerita membuat saya sulit melupakan meskipun tidak mengingat nama mereka satu per satu.
Cerita pun terus berlanjut mulai diselingi tawa dan sesekali candaan di antara mereka di tengah suara air laut dan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma khas laut.
Tak jauh dari situ, beberapa remaja laki-laki duduk berkelompok sambil bernyanyi dan bermain gitar, beberapa di antaranya berjalan lalu-lalang seakan ikut menikmati senja di ujung kampung nelayan.
Pada akhirnya, beriringan dengan sang surya yang tenggelam, kumandang adzan terdengar dari masjid di seberang.
Beberapa orang berpakaian putih dan berpeci berjalan menuju masjid. Anak-anak remaja yang sedari tadi bernyanyi dan bermain gitar berhenti sejenak. Saya juga ikut berhenti bercerita, merasakan syahdunya nuansa religiositas petang itu.