Berakar dan Menjalar: Lumbung sebagai Model Ekonomi dan Estetika Organisasi Seni

 

Tulisan ini pertama kali dibawakan sebagai Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta, 2022 di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, 10 November 2022. Diterbitkan ulang atas izin penulis dan Dewan Kesenian Jakarta.

***

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Selamat malam Bapak dan Ibu.

Sebelum memulai, saya ingin menghaturkan limpah terima kasih kepada Dewan Kesenian Jakarta yang telah mempercayakan podium dan malam ini kepada saya. Malam ini saya akan berbagi pengalaman, pikiran dan  pandangan, serta memberikan tawaran yang mayoritas muncul karena pergulatan saya dengan pengalaman tersebut. Pengalaman saya sebagian besar berkutat di dalam dunia seni rupa. Namun saya kira, cerita-cerita ini juga relevan untuk bidang seni lainnya. Bisa jadi, pengalaman-pengalaman yang saya sampaikan akan terasa sama, dekat, bahkan mungkin sangat intim dengan pengalaman sebagian yang hadir di sini. Bisa juga akan sangat berbeda dengan pengalaman sebagian yang hadir di sini. Saya berupaya semaksimal mungkin menikmati momen ini. Semoga Bapak-Ibu, dan teman-teman yang hadir di sini pun bisa menikmatinya.

Pengalaman saya di masa kecil terhadap kesenian, bukan sesuatu yang istimewa tentu saja. Seperti masa kecil kebanyakan anak Indonesia lainnya, ketika itu saya menghabiskan hari-hari dengan kegemaran coret-mencoret, bermain musik, dan banyak lagi aktivitas kesenian lainnya. Seperti fenomena umum masa kecil, saya menjadi bagian dari begitu banyak anak yang memendam cita-cita menjadi seniman. Jika mengenang masa kecil itu, sebagian dari hadirin sekalian mungkin memandangnya sebagai laku yang naif. Memang, di dalam konteks negara atau zaman saya dulu, cita-cita seperti itu naif adanya. Saya beruntung, karena lingkungan masa kecil memungkinkan saya untuk kemudian hari melanjutkan hidup di dunia naif itu, kesenian. Pada era 1980-an, Pak Tino Sidin–dengan penampilan ikoniknya–kerap muncul di layar televisi dan memupuk imajinasi seni visual pada anak-anak. Media massa cetak, seperti Pos Kota dan Harian Kompas salah duanya, juga memberi ruang untuk anak remaja menyiarkan karya-karyanya.

Sebagian anak-anak yang punya cita-cita menjadi seniman, termasuk saya, lantas melanjutkan kuliah ke sekolah tinggi seni. Cerita setelahnya kita tentu tahu; ada yang tak selesai, pindah jurusan yang lebih pasti untuk hidup, ada yang lulus dan tidak jadi apa-apa, namun ada banyak juga yang memasuki dunia yang tak pernah lepas dari situasi kritis ini; dunia seni. Mengapa kritis? Dunia seni kita bukanlah dunia di mana mereka yang berada di dalamnya dapat menaruh kepastian hidup; orang-orang yang bekerja di dunia ini mesti benar-benar pandai mengatur dirinya sendiri, sebab mereka akan selalu berada di antara satu kecemasan ke kecemasan lainnya, kecemasan “ada pekerjaan” dan “tidak ada pekerjaan”, kecemasan laku atau tidak laku, kecemasan dari “satu proyek”, jeda sedikit, lalu lanjut ke “proyek lainnya”. Bukan pemilik modal bukan pula pegawai atau buruh, tidak ada kepastian penghasilan rutin standar UMR, apa lagi asuransi. Prekariat sejati. Dan tentu saja tidak ada tunjangan ini-itu, apa lagi dana pensiun. Singkatnya, sebuah dunia yang serba tak pasti untuk untuk menumpangkan kehidupan.

Dalam kurun waktu beberapa dasawarsa ini contohnya, kebanyakan kita yang ada di dalam dunia seni hidup dari komodifikasi seni. Kita mempertukarkan nilai/karya seni dengan kapital/uang. Kita hidup dari menjual karya dan menyediakan jasa. Ada juga yang menjual jasa konsultasi artistik, mengajar atau mengajukan proposal proyek seni ke lembaga donor asing atau pun ke pemerintah daerah dan pusat. Dari beragam cara bertahan hidup yang demikian, nyatanya toh hanya 1% saja yang bisa betul-betul hidup dari kerja keseniannya. Sisanya atau sebagian besar yang lain harus nyambi ke industri-industri komersil yang terdekat dengannya.

Pada awal Orde Baru, Jakarta mengalami gelombang urbanisasi yang besar. Kembali pada kisah masa kecil, orang tua saya termasuk yang ikut dalam gelombang urbanisasi tersebut. Keduanya memulai hidup di Jakarta, dan  beruntung, karena berhasil memiliki sebidang tanah dan rumah kecil di wilayah timur Jakarta. Sebagaimana lumrah bagi rumah para keluarga perantau di Jakarta, kami menjadi tuan rumah dan rumah kami menjadi tempat transit, tempat tinggal sementara, untuk keluarga atau saudara jauh dari kampung yang ingin memulai kehidupan di Jakarta. Entah untuk belajar, bekerja, dan lain sebagainya. Rumah kami tidak sepenuhnya menjadi ruang privat untuk  keluarga inti. Kami selalu tinggal bersama “keluarga tambahan”. Di rumah, kami kerap berperan sebagai tuan rumah yang menjamu tetamu. Aktivitas menjamu ini saya kira sesuatu yang begitu mengakar di dalam kebudayaan kita.  Tidak heran, di dalam banyak kebudayaan di Indonesia, tamu dilihat sebagai berkah.

Dari ingatan masa kecil sederhana ini, saya kemudian berpandangan, bisa jadi rumah dalam konsep ruang kita tidak pernah benar-benar privat dan domestik; ia selalu berada di antara yang privat dan yang publik. Lebih jauh, ruang secara umum bagi kita tidak pernah secara tegas kita pisahkan antara “yang privat” dan “yang publik”. Atau kita tidak pernah memisahkan itu, kita tidak pernah melihatnya dalam oposisi begitu biner atau bertentangan.

Rumah pada dasarnya memang telah menunjukkan bagaimana cara masyarakat kita dalam menyikapi tubuh, ruang, interaksi personal, sosial, dan berorganisasi dalam skala kecil. Dari rumah pula, kita kemudian bisa melihat contoh-contoh baik praktik swakelola dari kolektif seni di pelbagai tempat di tanah air. Dari sana kita akan dapat menarik pelajaran bagaimana model lembaga dan organisasi seni skala kecil menengah dibayangkan, dirancang, dikerjakan, dan dianut.

Estetika Lembaga Seni Rumahan

Saya ingin melanjutkan cerita, bagaimana cara pandang saya terhadap rumah ini terus berlanjut dan berkembang. Pada 2010, saya bersama Rifky Effendi mengkuratori sebuah pameran di Pasar Seni Ancol Jakarta yang berjudul Fixer. Pameran itu menampilkan kerja dari 21 komunitas, ruang alternatif, dan kolektif seni yang tersebar di seluruh  Indonesia. Seperti misalnya dari Padang, Jakarta, Bandung, Cirebon, Jatiwangi, Yogyakarta, Semarang, Malang, Surabaya, dan Makassar. Mereka banyak bermunculan setelah reformasi, bersamaan dengan terbukanya keran ekspresi dan kebebasan berkumpul. Fenomena ini terjadi sejak akhir periode 90-an hingga awal 2000, dan menjadi penting untuk diamati, karena ragam model dan sebarannya. Sekarang, beberapa inisiatif tersebut ada yang bertahan hidup, sebagian tidak aktif lagi, atau bahkan sudah bubar.

Saat mempersiapkan pameran itu kami melakukan survei kecil dan sederhana dengan mengirimkan beberapa pertanyaan tentang gagasan kolektif mereka. Pertanyaannya seputar data-data organisasi dan meminta mereka mengirimkan beberapa foto yang merepresentasikan praktik mereka. Hampir semua foto yang dikirimkan sebagai representasi organisasi mereka adalah rumah dimana mereka tinggal sekaligus bekerja. Selain itu, salah satu karakter yang terlihat dari foto-foto tersebut adalah gambaran mereka sedang berkumpul dalam formasi melingkar. Gambaran tersebut memberikan sebuah pemaknaan, bahwa pertemuan dan saling berbagi dalam percakapan telah menjadi laku sekaligus praktik yang sangat penting. Dan rumah tentu saja adalah tempat yang sangat nyaman dan paling memungkinkan untuk membuat semua peristiwa itu terjadi.

Biasanya, peristiwa pertemuan terjadi di ruang tamu, karena ruang tersebutlah yang biasanya paling luas dari kebanyakan rancangan rumah tipikal Indonesia. Semua kelompok yang menjadi subjek dalam survei kami juga menggunakan rumah sebagai awal dan pusat kegiatan. Mereka mengubah dan mengadaptasi ruang domestik menjadi sebuah ruang yang lebih nyaman untuk publik. Adaptasi ini tampak dilakukan dengan menjadikan ruang tamu sebagai ruang berkumpul, ruang pamer; kamar tidur menjadi ruang kerja atau studio, atau perpustakaan dan ruang arsip. Laku menjadikan rumah sebagai ruang-ruang inisiatif ini bisa dikatakan sebagai ciri dari komunitas/kelompok/kolektif di Indonesia pasca 1998, dimana mayoritas ruang-ruang inisiatif tersebut mengawali aktivitas mereka dari rumah sewaan. Biasanya, rumah-rumah sewaan dari ruang-ruang inisiatif ini berada di area pemukiman warga kelas menengah pekerja; suatu area yang sekuler, berdampingan dengan berbagai macam latar belakang warga, etnis, dan agama.

Ada alasan praktis lain tentunya yang menyebabkan rumah tinggal menjadi pilihan untuk dijadikan ruang inisiatif: harga sewa yang cukup terjangkau dan mudah didapatkan. Dengan begitu, sebuah ruang inisiatif bisa bertahan lebih baik secara finansial, di samping juga membuktikan bahwa para seniman pengelolanya berasal dari kelas sosial ekonomi yang kurang lebih sama dengan warga di sekitar rumah sewaan mereka. Sistem penyewaan biasanya per-tahun dan pembayaran sewa didapat dengan cara mengumpulkan uang secara kolektif dari anggota kelompok. Rumah yang disewa biasanya juga dipakai, digabungkan, atau disesuaikan untuk kepentingan anggota kelompok, semisal sebagai tempat tinggal sekaligus tempat bekerja–hal yang membuat rumah sewaan mempunyai dua fungsi sekaligus. Secara mudah, kita bisa mengandaikan kemunculan ruang-ruang ini sebagai representasi dari kelas menengah pekerja tempat di mana ia tumbuh. Aktivitas pada ruang inisiatif ini kemudian menjadi semacam fenomena, di mana para pelaku ruang inisiatif ini turut membayangkan dirinya hidup dan melangsungkan kegiatan kesenian bersama dan di antara warga.

Dari ruang tamu sederhana, ruang inisiatif memposisikan diri sebagai pengisi infrastruktur pendukung yang vital, menjadi inisiatif warga yang berdikari. Keberadaan ruang di lingkungan pemukiman membuka tawaran sekaligus menuntut kemampuan dan kepekaan seniman untuk bernegosiasi dan berdialog dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat sekitarnya. Berada bersama warga menjadikan seluruh kegiatan ruang inisiatif tumbuh secara alami dan memantik kesadaran akan nilai-nilai sekitar. Nilai-nilai yang bisa saja dibuat berdampingan dan juga menjadi sebuah strategi eksplorasi dan eksperimentasi artistik yang berakar pada kelokalan yang spesifik.

Ruang inisiatif seniman ini paling tidak mempunyai dua kecenderungan praktik sekaligus yang saling mempengaruhi. Pertama, praktik kerja artistik yang dilakukan bersama secara kolaboratif maupun secara individu hadir sebagai sebuah pernyataan artistik kelompok, dalam bentuk proyek seni atau karya seni kolaboratif. Kedua, ruang-ruang ini mengambil peran sebagai salah satu sistem pendukung dalam ekosistem (atau medan kesenian).

Pengambilan peran ini kemudian diterjemahkan ke dalam kegiatan atau program berkesadaran publik. Mengapa dapat dikatakan berkesadaran publik? Mereka mengelola berbagai program dan kegiatan seperti mengadakan pameran, lokakarya, festival, diskusi, penerbitan, pemutaran film dan video, pembuatan website, penelitian hingga upaya pengarsipan yang kesemuanya ditujukan untuk publik dekatnya. Paduan dari kedua kecenderungan praktik ini menjadi pembeda peran dan jenis organisasi dan kelompok seniman yang berkembang saat ini dari generasi sebelumnya.

Meleburnya dua kecenderungan praktik di atas juga memberi warna spesifik dan lebih organik karena ia secara terbuka bisa disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kontekstual. Pengaruh pendekatan artistik yang lebih imajinatif telah banyak pula mempengaruhi bentuk-bentuk pengelolaan dan kegiatan. Kegiatan atau sebuah peristiwa dapat menjadi media ekspresi. Tidak hanya dalam sudut pandang penyusunan programnya, atau bagaimana isi program dirancang, tetapi bahkan dapat mempengaruhi keseluruhan peristiwa. Bagaimana sebuah kegiatan harus dikomunikasikan dan berdialog dengan ruang dan publiknya, serta bagaimana ia harus berada dan menjadi gagasan yang dialami oleh publik.

Sebuah kegiatan bisa dilihat sebagai peristiwa artistik yang di dalamnya terdapat bagian terbuka yang siap menjadi penampang organik bagi berbagai intervensi. Kejadian-kejadian tak terduga dan spekulatif adalah potensi-potensi baru, begitu pula beragam elemen lain yang muncul pada pertemuan-pertemuan itu. Peristiwa serupa ini juga akan menghasilkan penemuan-penemuan yang secara organik dan fleksibel dapat diapresiasi dan langsung diserap oleh publik. Dalam peran dan pendekatan inilah sebuah kegiatan menjadi bentuk ekspresi artistik tersendiri.

Kesemua fenomena di atas saya sebut sebagai Estetika Kelembagaan. Ia adalah keindahan yang muncul dari  eksperimentasi dan spekulasi koreografi pengelolaan kelembagaan, kreasi model ekonomi kolektif dan sumber daya sebagai sebuah pernyataan atau strategi artistik serta puitik yang melibatkan publik. Estetika Kelembagaan ini juga adalah usaha mengorganisir, menentukan prinsip dan nilai-nilai, manuver strategi keberlanjutan serta posisi dan peran sosial politik.

Ini adalah sebentuk estetika yang cukup kompleks. Ia tidak hanya berurusan dengan soal artistik, tapi juga masuk ke wilayah yang lebih luas; ruang, publik, dan pengelolaan. Bentuk berkumpul, interaksi sosial seperti festival,  pasar/bazar, pada dasarnya harus bisa dipertanggungjawabkan dalam konteks ruang dan publik. Bentuk-bentuk ini tidak hanya (dan sudah seharusnya) menjadi praktik artistik tapi lebih jauh lagi harus dapat menjadi praktik sosial sekaligus. Ia menjadi wadah bagi berkembangnya kerja-kerja lintas disiplin dan profesi, yaitu menggabungkan seni dan aktivisme; menggabungkan kepiawaian dalam pengelolaan dan kemampuan berjejaring; menantang kemampuan untuk mencari dukungan, mengasah rasa dan imajinasi untuk membaca sekeliling hingga mengaktualisasikan potensi sumber daya lokal.

Secara umum, ruang-ruang ini mampu bertahan karena secara sadar atau pun tidak, mereka telah menerapkan konsep lumbung. Di mana sumberdaya dikumpulkan dan dibagi serta dikelola secara kolektif. Lumbung-lumbung kecil telah dimulai dan tercipta dari ruang-ruang tamu rumah mereka.

Dari Lumbung Rumahan Menuju Eksperimentasi Model Edukasi dan Desentralisasi Pengetahuan

Kerja-kerja dan wadah yang diciptakan kolektif seni ini mempertemukan dan menjalin transaksi serta relasi sosial yang secara perlahan terus membesar dan menemukan sifat kepublikan dan posisinya di masyarakat. Ia membesar, bersamaan dengan dukungan dari masyarakat, sekaligus keterlibatan masyarakat lebih jauh di  dalamnya. Ketika sebuah peristiwa telah diselenggarakan beberapa kali dan mendapat sambutan dan keterlibatan masyarakat, otomatis ia menjadi relevan dan menancapkan posisinya yang penting. Perlahan, ia menjadi sebuah kekuatan lain yang menawarkan imajinasi dan pengetahuan di tengah kekuatan-kekuatan yang telah ada.

Posisi ‘hidup bersama warga’ ini adalah bayangan ideal saya bagaimana sebuah lembaga seni harusnya mengakar dan menjalar di dalam masyarakatnya: ia berada di dalamnya dan menjadi bagian dari masyarakatnya; suatu strategi dibangun berdasarkan kedekatan, kesulitan dan kesenangan bersama. Hal ini membuat seni mendapatkan posisinya dengan alami di tengah masyarakat tanpa usaha-usaha tendensius yang penuh strategi formalistik.

Ruang inisiatif sebagaimana saya bahas di atas, biasanya diawali oleh sekelompok seniman atau mahasiswa seni, lalu pada perkembangannya terkini semakin banyak dikelola tidak hanya oleh seniman tetapi kolaborasi lintas disiplin ilmu; ilmu sosial, budaya dan politik serta lintas profesi atau pekerjaan–buruh, pekerja, pegawai, nelayan, petani, dll. Hal ini menciptakan pertemuan lintas disiplin ilmu dan praktek yang saling memperkaya strategi dan model kerja mereka. Pada awalnya ruang inisiatif dibayangkan oleh para seniman tersebut sebagai kerja inisiatif mandiri karena tidak adanya peran signifikan dari negara. Namun, posisi sebagian besar ruang inisiatif seni dan kelompok seniman tidak hadir sebagai oposisi langsung dari negara, bukan pula sebuah antitesis, perlawanan, maupun reaksi langsung atas medan seni rupa arus utama yang masih didominasi medium utama seperti seni lukis, patung dan lain-lain. Kemunculan ruang inisiatif dan kelompok seniman tersebut, lebih tepat dilihat sebagai usaha menanggapi perubahan masyarakat, demi mengembangkan gagasan praktik seni yang lebih relevan dan terlibat langsung dengan kenyataan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakatnya.

Selama ini, sebagaimana kita ketahui bersama, produksi gagasan seni rupa sangat tidak diimbangi dengan dukungan dan pengembangan elemen lain dalam seni seperti kritik, kajian, dan pendidikan. Juga minimnya fasilitas ruang sebagai sarana pembentukan wacana, absennya dukungan apresiasi, serta penyebaran informasi dan komunikasi yang kurang, baik dalam skala lokal, nasional apalagi internasional. Ketimpangan dan terputusnya mata rantai itu seiring sejalan dengan sangat sedikitnya individu dan organisasi mandiri yang terkelola dengan baik—baik dari pemerintah atau non pemerintah—dan dapat mengambil peran itu. Sejumlah inisiatif seniman yang muncul  kemudian, pada akhirnya berusaha untuk melengkapi dan memperbaiki terputusnya mata rantai siklus produksi pengetahuan tersebut.

Inisiatif ini sekaligus berupaya untuk membawa gagasan seni rupa dan elemen lain di dalamnya ke dalam konteks masyarakat yang lebih luas. Tak heran jika akhirnya praktik-praktik seni rupa tersebut kemudian berjalan secara mandiri dan tidak terlalu peduli dengan keberadaan infrastruktur seni rupa pemerintah, lembaga swasta lainnya, dan juga lembaga pendidikan seni yang telah ada sebelumnya. Kinerja kelompok seniman yang sangat aktif mengelola gagasannya ini tidak terlalu terpengaruh secara langsung dengan ada atau tidaknya sebuah pusat kesenian di kota tertentu. Keterpisahan ini terjadi karena sebelumnya memang tidak pernah terjadi hubungan saling mengikat dan mempengaruhi di antara keduanya. Kita dapat melihat persoalan ini sekaligus sebagai gambaran kegagalan dan ketidakmampuan infrastruktur seni pemerintah dalam memahami pergerakan gagasan di sekitarnya.

Persoalan keterpisahan ini juga dapat kita lihat dari hubungan institusi pendidikan seni dengan inisiatif seniman di sekitar institusi tersebut berada. Pendidikan seni modern yang dimulai awal kemerdekaan yakni di ITB (1947), ISI Yogyakarta (sebelumnya ASRI, 1950), dan IKJ (sebelumnya LPKJ, 1970) selain begitu memusat di Jawa, juga tidak terlalu memperlihatkan upayanya mengakselerasi pembacaan perkembangan realitas sosial, budaya, ragam kerja, dan praktek kesenian di tanah air. Sangat ironis kalau perguruan tinggi seni menjadikan praktik dan pengetahuan seni menjadi cabang ilmu yang paling konservatif. Atau bahkan saya khawatir, kita sedang mereduksi pendidikan seni menjadi penghasil birokrat seni dan seniman berorientasi pasar. Soal keterpusatan, tentu saja ada kampus seni lain di luar Jawa yakni ISI Padangpanjang (sebelumnya ASKI, 1965) dan ISI Denpasar (sebelumnya ASTI, 1967). Namun keterpusatan di Jawa itu tetap saja kuat. Kebanyakan lembaga pendidikan formal dan perguruan tinggi seni telah memutus hubungan atau memberi jarak yang lebar antara praktek seni di dalam dinding kampus dengan  kenyataan dan imajinasi warga di luar dinding kampus.

Jarak inilah yang juga menjadi faktor mengapa banyak ruang alternatif dalam dua dekade terakhir juga tumbuh di luar Jawa. Hal ini membuktikan bahwa ada semangat dan kebutuhan yang sangat kuat untuk belajar bersama dari ruang-ruang yang tercipta ini. Kita bisa melihat fenomena kemunculan ruang-ruang dan praktek kolektif di banyak tempat, tidak hanya sebagai upaya untuk menampung kebutuhan tawaran imajinasi dan ekspresi warga, tetapi juga sebagai salah satu upaya untuk melengkapi siklus pengetahuan yang terputus atau tidak lengkap di konteks  ekosistem seni di lokalnya. Usaha membaca fenomena dan praktek-praktek yang ada serta pengalaman menjadi cerita, lalu dikelola menjadi pengetahuan yang bisa dipelajari dan dimaknai lebih lanjut, dan akhirnya bisa disebarkan untuk menciptakan narasi serta imajinasi demi keberlanjutan kebudayaan.

Ruang-ruang inisiatif ini menjadi potensi untuk menulis narasi dan sejarah kesenian lokal–karena pendidikan seni, wacana, dan medan seni berpusat di Pulau Jawa telah menyedot banyak potensi pelaku seni untuk bekerja di Pulau Jawa. Ia menjadi tempat belajar yang  berusaha melihat kenyataan di masyarakat sebagai konsentrasi pembelajarannya. Maka tidak heran, ia menjadi lebih relevan bagi konteks lokal. Ruang-ruang inisiatif ini mengubah relasi guru-murid dengan hubungan yang lebih horizontal dan egaliter. Ia menawarkan ‘kurikulum’ berbasis pada pengetahuan di sekitar. Menawarkan pendekatan belajar dari pengalaman keseharian. Menggabungkan teori dan praktek secara integral dan paralel. Pembelajaran ruang alternatif dibangun dengan format yang sederhana dan terbuka, tanpa kurikulum yang klinis, dengan pendekatan belajar bersama, tanpa keberlimpahan dana, dikelola dengan sederhana, bahkan kebanyakan gratis. Beberapa poin di atas ini saya sarikan secara sangat ringkas dari riset Fixer kedua yang dilakukan di tahun 2019-2021.

Model yang dikembangkan oleh ruang-ruang inisiatif ini berasal dari kebutuhan yang mendesak. Dan apakah ia dapat menjadi solusi untuk jangka panjang? Mungkin tidak. Yang pasti ini adalah sebuah upaya untuk melengkapi siklus pengetahuan. Ini merupakan potensi yang besar dan sangat penting di tengah dinamika warga kita yang beragam. Upaya-upaya pembelajaran alternatif yang dilakukan ruang-ruang inisiatif dalam kurun waktu satu dekade terakhir penting sebagai sebuah keragaman wadah dan model pembelajaran seni. Upaya ini perlu terus didukung, dikritik, dan dirayakan. Adalah sebuah pemiskinan ekosistem kesenian, ketika kita hanya mempunyai sedikit ragam model pendidikan seni dan juga sedikit dalam jumlah di tengah rentang lanskap geografi Indonesia yang luas. Sudah seharusnya kita mempunyai keragaman jenis dan model pendidikan serta pembelajaran seni di Indonesia yang beragam pula praktek seni budaya lokalnya.

Terkait dengan infrastruktur seni bangunan pemerintah, salah satu kegagalan mendasarnya adalah kegagalan merelevansikan perannya secara terus-menerus dalam merespon percepatan praktik medan seni dan percepatan perkembangan/perubahan kenyataan sosial, budaya, dan politik di masyarakat. Infrastruktur semacam ini seharusnya bisa bekerja terus-menerus, membangun dengan perlahan dan mengelola kerja-kerja yang relevan meliputi aspek apresiasi, kritik, pendidikan, mediasi, fasilitas, dan tentu saja dalam bentuk dukungan pengelolaan
yang baik. Minimnya dukungan dan pemahaman pemerintah terhadap perkembangan dunia seni membuat kondisi ini bertambah buruk. Keberadaan institusi seni bentukan atau bagian dari pemerintah tidak banyak membantu pergerakan wacana kesenian dalam masyarakat––sebab minimnya kemampuan sumber daya manusia, fasilitas, dukungan dana, birokrasi, dan tentu saja minimnya imajinasi dan kreativitas. Hal yang sama juga terjadi pada lembaga pendidikan seni.

Sepertinya kita sedang gamang dan bingung dalam perubahan atau gamang memaknai perubahan dan keberlanjutan, yang bisa membuat kita sangat mudah terjebak dalam sistem yang eksploitatif. Hal ini membuktikan bahwa  pendanaan dan fasilitas bukan jawaban utama, yang kita butuhkan adalah menjaga keberlanjutan gagasan dan nilai-nilai.

Contoh lain dapat kita lihat dari Taman Ismail Marzuki (TIM), tempat kita berada saat ini. TIM sebelumnya menjadi rumah bagi banyak seniman. Ke depan ia mungkin akan berubah menjadi industrial– infrastruktur yang dibayangkan dapat menjadi profesional dan bisa menjadi wadah yang lebih baik bagi seniman. Pertanyaan yang muncul kemudian, adalah: Apa yang bisa diharapkan dari ruang-ruang baru ini?; Relasi dan percakapan seperti apa yang dibayangkan terjadi dari konstruksi dan struktur yang telah dibangun?; Mampukan ia menjadi ‘rumah’ atau ‘sekumpulan rumah’ yang aman dan nyaman bagi seniman lintas bidang, lintas generasi, dan beragam warga untuk hidup dan berbagi bersama? Sistem operasi apa yang cocok dan baik?

Keberlanjutan dan Spekulasi Model Ekonomi

Dari perjalanan jatuh-bangunnya ruang-ruang tersebut dalam dua dekade terakhir, kita dapat melihat berbagai  usaha dilakukan untuk melengkapi, membangun, dan mengembangkan bentuk infrastruktur seni rupa yang berasal dari kebutuhan percepatan gagasan seni rupa dan gagasan sosial, politik, dan non komersial. Setiap kota atau daerah dengan segala komplikasinya sebagai sebuah situs sosial, politik dan budaya, telah membuat medan seni  terfragmentasi dengan intensitasnya masing-masing. Ini merupakan sebuah fenomena menarik yang tercipta dari begitu kompleksnya visi (dari yang komersial hingga yang berdarah-darah dengan ideologinya) dan agenda dari setiap pelaku seni yang pada akhirnya berjalan sendiri-sendiri serta berusaha memenuhi kebutuhan akan  infrastruktur menurut urgensinya masing-masing. Meski berasal dari kebutuhan yang nyata dan aktual dari para pelaku dan publiknya, ia tidak dengan sendirinya menjadi infrastruktur yang vital, karena faktor intensitas,  keberlanjutan, dan daya tahan sebuah infrastruktur juga menjadi sangat mempengaruhi.

Tapi, tentu saja tidak semua inisiatif cukup beruntung dan dapat bertahan mereposisi kuasa seni rupa kontemporer, serta melakukan praktik yang melampaui sebagaimana saya maksud di atas. Ada juga inisiatif yang terlanjur bubar sebelum mereka dapat mewujudkan mimpi-mimpi mereka untuk turut serta berbagi praktik dan wacana dalam dunia seni rupa. Ada beberapa alasan mengapa beberapa ruang inisiatif tidak mampu bertahan. Mereka tidak berhasil membentuk orientasi yang baik sehingga mudah kehabisan tenaga karena terus-menerus tersasar, tidak mampu membentuk peran kepublikan, kehabisan dukungan atau sumber dana, para anggotanya sibuk bekerja di industri komersial, dan lain sebagainya. Tentu saja, tantangan dari keberlanjutan dan kebertahanan ini juga dirasakan oleh kolektif tempat saya beraktivitas, ruangrupa dan Gudskul Ekosistem.

Keberlanjutan merupakan pertanyaan paling utama dalam praktek kolektif seni. Bukan saja perkara ekonominya, tapi yang terpenting adalah keberlanjutan gagasan dan ide, termasuk bagaimana ia bisa meregenerasi gagasan;  bagaimana memperluas ide dan mengartikulasikannya sehingga terus relevan dan penting di dalam konteks kebudayaan. Kesinambungan gagasan dan relevansi menjadi yang pertama, barulah diikuti oleh kebutuhan akan kesinambungan dana dan struktur. Gagasanlah yang sudah seharusnya menentukan dan mendefinisikan struktur, bukan sebaliknya. Yang menjadi masalah utama dan klasik adalah ketidakmampuan kita untuk membayangkan dan mengambil peran, serta ketidakmampuan kita untuk mengelola ide-ide dan mengartikulasikannya. Pertanyaan  lanjutan yang perlu diajukan di tengah-tengah semangat kita, pemerintah, atau pihak-pihak yang berkemampuan sibuk dengan pembangunan infrastruktur fisik, cultural hub, dan sebagainya; “Apakah pendanaan dan dukungan struktural menjamin keberlanjutan?”.

Sedangkan, sebagian besar pendanaan saat ini berdasarkan pada logika produksi atau logika proyek, berorientasi pada hasil akhir dan bukan pada dukungan proses. Sedikit atau tidak ada sama sekali dukungan untuk seniman baik individu maupun kolektif yang akan fokus pada spekulasi model keberlanjutan pada konteks lokalnya masing-masing.

Kita tahu bahwa pendanaan kerap datang dari segelintir pihak yang menguasai sumber daya. Dan mereka bukanlah penderma yang bebas nilai; ada nilai-nilai tertentu yang dikampanyekan. Ketergantungan pada para pemilik sumber daya ini kerap menimbulkan keterbatasan bagi pelaku seni untuk mengerjakan atau memperjuangkan idealismenya. Tidak bisa dipungkiri, bahwa dunia seni kontemporer global termasuk juga Indonesia, adalah sebuah medan ekonomi. Pertanyaannya, siapakah yang paling diuntungkan dari praktik seni kontemporer global? Mungkinkah kita dapat menciptakan model distribusi lebih adil, di mana ketergantungan asimetris yang berakar pada hubungan kekuasaan yang tidak adil tidak direproduksi?

Ketergantungan global lembaga-lembaga seni-budaya terhadap sistem pendanaan—salah satunya pendanaan asing—menciptakan bahaya terhadap keberlanjutan dan keberadaan lembaga-lembaga ini. Apalagi, sebagian besar, jika tidak semua, lembaga pendanaan internasional ini didirikan atau berasal dari negara-negara bekas penjajah yang bukan kebetulan masih menguasai sebagian besar sumber daya global hingga saat ini. Kondisi ini telah menciptakan demoralisasi dan melemahkan daya tawar lembaga seni budaya. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa hubungan kekuasaan yang direproduksi melalui hubungan antara pemberi dengan penerima hibah dirancang untuk memperluas imperialisme—di mana hubungan kekuasaan bersifat asimetris dan logika ekstraksi-akumulasi menggarisbawahi praktik kontemporer kita. Segala sifat yang dilabeli ‘dosa’ mengemuka di dalam kenyataan praktek ini. Kita sulit untuk tidak menjadi manusia yang penuh kecemburuan, kerakusan, ketamakan, nafsu, kesombongan, kemalasan dan kemarahan.

Perkara lainnya, sudah menjadi sifat sistem kapitalisme yakni kemampuan untuk menyerap dan mengubah apa saja menjadi komoditas. Demikianlah, seni rupa kontemporer saat ini pun bisa menelan dan mengaduk apa saja menjadi produknya. Bersamaan dengan itu, seni rupa saat ini masih hegemonik, ekstraktif dan eksploitatif. Bagaimanakah cara agar siklus tersebut bisa kita putus, sehingga seni rupa kontemporer bisa lebih bermanfaat, terutama bagi mereka yang berkontribusi? Barangkali pemaknaan sumber daya sekadar pada dana atau uang telah memiskinkan pemahaman kita akan sumber daya itu sendiri. Padahal, waktu, modal sosial, jaringan yang ada, dan berbagai bentuk pengetahuan adalah juga sumber daya. Bagaimana kita mengoperasikan sumber-sumber daya jenis ini di dalam kerja-kerja ekosistem seni kita?

Mengkritik dan bersungut-sungut belaka terhadap sistem pendanaan sebagai reproduksi baru imperialisme kuno tentu sudah lama dilakukan dan itu melelahkan. Praktik kita terlihat baik-baik saja hanya karena kita  menyembunyikan banyak hal di bawah meja. Bersamaan dengan itu, entitas negara, sebagai sebuah sistem yang berdaulat dan menjanjikan untuk warganya, kehilangan cengkeramannya. Berlandaskan kesadaran atas dua fenomena tersebut yang memang dirasakan di dalam keseharian kerja-kerjanya, kolektif seni perlahan-lahan mengupayakan kemerdekaannya dari lembaga donor asing dan juga dukungan negara.

Berdasarkan survei untuk penelitian FIXER 2022 yang dikirimkan oleh para penelitinya ke kolektif-kolektif seni, 40 dari 49 kolektif seni menyatakan bahwa mereka mengembangkan usaha mandiri, di samping sumber-sumber pendanaan lainnya seperti iuran anggota, arisan, koperasi, hibah dari lembaga donor luar negeri dan pemerintah (untuk kasus donor swasta maupun pemerintah ini, banyak kolektif seni yang tidak bisa mengaksesnya karena kendala legalitas lembaga serta kendala-kendala birokrasi lainnya. Dari 50-an lebih kolektif seni yang disurvei di dalam Fixer 2020, 59,5%-nya belum punya badan hukum), hibah perorangan, dan sponsorship dari brand-brand swasta.

Begitu beragam jenis usaha mandiri yang dikembangkan dan diupayakan kolektif-kolektif seni dari seluruh Indonesia itu: proyek artistik komisi dengan swasta dan pemerintah; penjualan alat-alat grafiti dan merchandise; mengerjakan event branding dan company branding; usaha kuliner dan coffee shop; membuat studio foto; mengelola toko buku; penjualan olahan pangan lokal; berjualan benih dan bibit sayur; usaha travel agent; pengerjaan mural pesanan di cafe-cafe; jasa foto dan videografi; art handling; penyewaan ruangan; menjadi event organizer kecil-kecilan; menyelenggarakan pertunjukan musik kecilkecilan; lokakarya berbayar; tentu saja menjual karya seni dengan harga terjangkau; penyewaan sound system; bahkan mengerjakan design, dokumentasi, buku program NGO koleganya; membuat bazaar; menjual hasil pertanian dari kebun yang mereka kelola; kelas seni berbayar untuk anak-anak; jasa ekowisata dan penjualan produksi sandang lokal; membuat toko kecil; menjadi agen seniman; ngelapak di kegiatan-kegiatan tertentu… Dengan kata lain, di dalam konteks usaha mandiri, kolektif seni adalah UMKM Palu Gada.

Dana Abadi

Saya ingin membahas lebih lanjut perihal kehadiran pemerintah di dalam kerja-kerja seni budaya. Pada tahun 2021 sebuah upaya panjang dari masyarakat seni untuk mendorong kehadiran pemerintah di dalam pendanaan seni  budaya akhirnya tercapai. Dan di tahun ini, Dana Abadi Kebudayaan itu mulai bisa dimanfaatkan. Ini menjadi sejarah bagi hubungan antara pemerintah, pelaku seni dan warga. Dana publik yang berasal dari pajak warga untuk pertama kalinya dikelola dengan model Dana Abadi lewat sistem review atas pengajuan terbuka dengan kategori tertentu.

Kehadiran Dana Abadi Kebudayaan ini tentu patut disambut oleh pekerja seni dan budaya. Sejak lama pemerintah menggunakan seni budaya untuk membangun identitas nasional dengan karakteristik terpusat dan top down. Di pihak lain, warga mengartikulasikan ekspresi seni budaya sebagai sebuah bahasa ekspresi kritis, merayakan suka duka kenyataan, dan ritual kebersamaan. Sekian lama pula kita yang bergerak di seni budaya tidak mendapat dukungan pemerintah. Dan warga juga mengambil sikap bahwa seni budaya adalah milik warga dan kuasa serta kontrol pemerintah janganlah ikut campur di dalamnya.

Dana Abadi Kebudayaan menghadirkan beberapa potensi yang menjanjikan. Dengan penekanan pada kebudayaan lokal atau tradisi, ia bisa menjadi pendorong spekulasi model keberlanjutan berbasis lokal. Dengan Dana Indonesiana riset atas tradisi Indonesia tidak boleh hanya berhenti pada pengkajian ilmiah saja. Ia mesti didorong untuk menghasilkan spekulasi model pengorganisasian yang berbasis lokalitas. Pemanfaatannya juga mesti meningkatkan kolaborasi antar lokal–bukan kolaborasi antar ‘lokal-lokal’ dengan pusat; dengan bahasa yang lebih familiar, menciptakan kolaborasi antar daerah dan bukan hubungan pusat daerah. Kolaborasi, saling bertemu, saling berdialog secara artistik, saling bercakap-cakap antar lokal sudah cukup lama absen. Pengembangan budaya berbasis sumber daya lokal dimungkinkan dengan keberadaan Dana Abadi ini. Pelibatan publik yang semakin luas di dalam kegiatan seni budaya pun sangat dimungkinkan. Dan paling terpenting menurut saya adalah kemungkinan untuk mendesentralisasi praktik seni yang selama ini memusat di Jawa.

Namun demikian, bukan berarti kehadiran dana tersebut tak berisiko. Relasi seniman dan pemerintah akan berubah serta berkemungkinan untuk menciptakan ketergantungan seniman terhadap pemerintah. Ia bisa terjebak pada keputusan-keputusan yang memusat dan rentan transparansi. Ia juga bisa jadi instrumen dan alat kontrol negara, ia bisa mengontrol ekspresi kritis yang mandiri. Dengan kata lain sensor atau yang paling kejam self-censorship. Di kalangan seniman, jika tidak dikelola dengan baik, bisa menciptakan kompetisi antar pelaku kesenian. Kerentanan model ini juga dibayang-bayangi oleh ketakutan perubahan situasi politik atau intervensi kuasa politik yang sangat bisa mempengaruhi arah kebijakan dan tentunya dapat merugikan pelaku seni.

Penggunaan Dana Abadi di dalam konteks seni budaya ini tentunya bukan hal baru. Kita bisa melihat banyak sekali contoh bagaimana negara-negara lain menjalankan strategi pendanaan ini sebagai bagian dari strategi pembangunan kebudayaan mereka. Resiko-resiko yang saya kemukakan tadi bisa kita lihat pada pengalaman di negara-negara yang telah menggunakan model Dana Abadi ini.

Untuk menghindari resiko-resiko yang demikian, sekali lagi, kita perlu mencari model  pengelolaannya yang berakar di dalam kebudayaan dan kosmologi kita. Mungkinkah kita melihat dan menyikapi Dana Abadi ini sebagai lumbung sumberdaya yang dikelola secara bersama oleh para pelaku kesenian secara setara dan transparan? Saya kira ini salah satu jalan menarik yang dapat kita tempuh bersama untuk pemajuan  kebudayaan; jalan yang ditempuh bersama oleh warga, pelaku dan pemerintah secara setara, bukan relasi kuasa  antara pemilik sumber daya dan peminta dana.

meLumbungkan documenta

Dalam mencari model pengelolaan sumberdaya, yang berakar dari kebudayaan dan kosmologi lokal, saya mungkin  bisa kembali menceritakan pengalaman saya dan kawan-kawan. Sejak 2000, bersama kawan-kawan, saya bekerja dan belajar di ruangrupa, mempraktekkan langsung pembangunan lembaga seni sebagai juga bentuk artistik. Kami juga membuat unit usaha milik bersama untuk menghasilkan pendapatan dari berbagai sumber. Hal ini kami lakukan untuk menyangga program-program agar bebas dari intervensi artistik sponsor atau penyandang dana. Tidak sepenuhnya berhasil memang.

Pada 2018, ruangrupa, Serrum, dan Grafis Huru Hara pindah ke Jagakarsa, Jakarta Selatan dan di sana kami  membentuk Gudskul Ekosistem dengan konsentrasi kerja pada pendidikan. Kami menyebutnya studi kolektif dan ditujukan untuk semua pelaku seni yang ingin belajar bersama soal praktek kolektif. Ini adalah wadah pendidikan berbasis pengalaman tentang praktik kolektif. Ia menjadi tempat belajar bersama perihal kolektif seni; mempelajari tumbuh kembangnya dan juga mengkritisinya. Kami percaya, wadah edukasi adalah tempat terjadinya kritik dan otokritik yang konstan. Dengan terus menerus dikritik dan ditantang, keberlanjutan sistem kolektif seni dimungkinkan karena ia bisa menghindar atau lepas dari tantangan-tantangan baru seturut situasi dan kondisi di sekitarnya yang terus berkembang.

Ketika berada di Gudang Sarinah Ekosistem (2016 – 2018), ide dan sistem Lumbung mulai kami uji cobakan.  Lumbung dalam interpretasi kami adalah wadah kolektif, di mana semua sumber daya yang dimiliki oleh setiap kolektif/kelompok disimpan dan dikelola secara bersama. Lumbung ini menjadi kekuatan pendorong utama dan mendasari kerja kolaborasi kami untuk memaknai dan mengelola sumber daya, baik yang berwujud (uang, ruang dan peralatan, arsip misalnya) dan yang tidak berwujud (ide, program, pengetahuan, tenaga, waktu, dan lain-lain).

Secara metaforis, Lumbung bisa dilihat sebagai ruang tamu sederhana sehingga siapapun bisa datang dan membangunnya dari bawah ke atas, sehingga memiliki ruang itu sendiri. Dengan demikian, jelaslah bahwa asal usul Lumbung berasal dari konsepsi rumah pada umumnya di Indonesia hingga pemanfaatan rumah oleh kolektif-kolektif seni di Indonesia. Ruang ini harus bisa menjadi ruang baru, yang dibentuk oleh persimpangan elemen, tanpa  menyerap–yang berpotensi menghilangkan– identitas orang-orang di dalamnya. Lumbung adalah ruang eksplorasi inovasi, tanpa batasan formal kelembagaan.

Dalam pengalaman menjadi direktur artistik di documenta fifteen, Kassel (2022), ruangrupa menerapkan lumbung bukan sebagai slogan, retorika ataupun tema, yang biasanya menjadi pusat di mana karya dan seniman bereaksi terhadapnya. Tetapi lumbung hadir sebagai sebuah konsep dengan nilai-nilai yang kemudian dipraktekan secara menyeluruh ke dalam seluruh proses artikulasi artistik dan pengorganisasian documenta fifteen. Ini seperti meng-install sebuah operating system baru ke dalam documenta yang sebelumnya sudah mempunyai operating system, tradisinya, serta sejarah dan mekanismenya sendiri.

Mengapa jalan itu yang kami ambil? Kami lebih memilih untuk mengundang balik documenta ke dalam perjalanan lumbung kami, daripada terseret ke arah jalan documenta yang kita tahu mempunyai tradisi kuratorial dan event yang sangat eurocentric dan memusat. Lalu kami mendorong pembagian sumber daya moneter documenta, dan kuasa kuratorial kepada banyak praktek sejenis lumbung di lokal-lokal lain di belahan bumi yang berbeda, dengan tujuan untuk saling belajar, berjejaring dan saling memperkuat antar ekosistem.

Di dalam mengupayakan sistem atau mekanisme lumbung ini perlahan-lahan kami menyadari adanya nilai-nilai yang secara organik muncul di dalamnya atau menjadi pra kondisinya. Kami merumuskan sep di mana hanya dalam nilai-nilai inilah praktek lumbung bisa tumbuh. Tentu saja teman-teman lain yang sedang dan akan mempraktekkan sistem lumbung bisa menambahkan atau menguranginya sesuai penemuan teman-teman di dalam prakteknya
masing-masing. Kesepuluh Nilai Lumbung itu adalah:

  • Humor

Humor membuat kita bisa menjalankan sistem tersebut dengan penuh kegembiraan. Hal ini penting dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan demi kesulitan dan menjadi pelumas untuk komunikasi di dalam kerja kolektif. Ia juga menjadi wadah untuk eksperimentasi dan inovasi ide-ide baru.

  • Kemurahan Hati

Lumbung bisa hidup jika semua orang di dalam mekanisme itu bekerja untuk berbagi dan mengupayakan  kesejahteraan bersama. Ia seumpama “kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”. Lumbung akan macet jika orang bekerja dengan  imajinasi akumulatif sebagai timbal baliknya.

  • Keingintahuan

Sebagai sebuah platform saling berbagi dan menerima, Lumbung membutuhkan komitmen nyata untuk mengenal yang lain, mendengarkan, memahami, dan menjadi bagian dari yang berbeda, serta menikmati bekerja dengan orang atau sesuatu yang berbeda dengan dirinya.

  • Sikap Memadai

Anggota Lumbung bisa kecil, besar, tua atau muda. Mereka perlu merasa memadai dengan hidup dan kondisi mereka. Dengan atau tanpa sumber daya mereka dapat hidup dan mereka menyadari kekuatan itu. Mereka tidak bergantung pada yang lain di luarnya atau Lumbung untuk keberadaan mereka.

  • Kemandirian

Agenda atau program kerja dikembangkan sebisa mungkin bukan sebagai tanggapan atas tekanan dari luar; pihak komersil, pemberi dana, pemerintah, atau pun rekan sejawat. Meski kita tahu bahwa kemerdekaan yang sesungguhnya adalah sebuah fiksi.

  • Berakar Pada Lokalitas

Organisasi dibangun berdasarkan kebutuhan dan praktik di lokasi tertentu dan dalam kolaborasi terus-menerus dengan berbagai orang dan komunitas di lokasi tersebut. Dari sana akan muncul pengalaman dan pengetahuan yang spesifik.

  • Keberlangsungan

Keberlangsungan menjadi penting, tidak hanya baru dan segar. Durasi menandakan kebertahanan. Tidak perlu harus di dalam sebuah organisasi, bisa jadi dilihat dalam komitmen dari waktu ke waktu seorang individu. Di mana  semangat lumbung terbawa dan terkait dengan durasi keterlibatan mereka dalam pelbagai konteks.

  • Transparansi – Kepercayaan

Membangun kepercayaan adalah nilai lumbung terpenting. Kepercayaan tidak bisa berjalan tanpa tingkat  transparansi tertentu.

  • Regenerasi

Organisasi berada dalam proses refleksi terus menerus dalam kaitan dengan konteks keberadaannya. Ia mencari cara untuk beradaptasi/menemukan kembali/meregenerasi dirinya sendiri dalam menanggapi dan dalam  hubungannya dengan orang lain di sekitarnya (ekosistem). Regenerasi ini tidak hanya pada manusia (yang sosial), tetapi juga dengan lingkungannya (alam).

  • Etika dan Politik

Etika dan keberpihakan Politik dalam lumbung merupakan cerminan yang sejalan dan inheren dalam organisasi.

Kesepuluh nilai lumbung ini, singkat cerita, yang kemudian juga kami install ke dalam proses arah artistik documenta fifteen.

Penginstalan konsep lumbung yang sirkular dan berkelanjutan ini kami mulai dengan melihat atau menempatkan 100 hari documenta di Kassel sebagai perjalanan lumbung yang panjang. Ketika lumbung diterapkan secara  menyeluruh sebagai sebuah konsep dengan nilai-nilainya, otomatis ia mengubah cara kami melakukan riset artistik.

Dalam prosesnya, kami tidak mencari dan memilih karya yang cocok untuk mengilustrasikan lumbung, tapi kami mencari dan melibatkan kolektif seni dan seniman-seniman yang menerapkan nilai-nilai lumbung dalam praktik mereka. Lebih tepatnya, kami lebih melihat siapa yang bisa diajak kerja sama; mereka-mereka yang praktiknya dapat menginspirasi dan kita bisa belajar dari praktik-praktik itu. Kami hampir tidak terlalu berpikir perihal  menyelenggarakan pameran. Kami lebih melihat dan mencari sesiapa yang bisa diajak kerjasama secara setara dan mutual dalam durasi panjang, berkelanjutan, bahkan melampaui documenta fifteen sendiri sebagai sebuah event. Dengan pendekatan prinsip lumbung seperti ini, kami tidak melihat pameran dan pelibatan di Kassel sebagai  perhentian terakhir. Ia menjadi bagian awal dari perjalanan lumbung dan akan terus berproses bahkan setelah documenta fifteen; lewat terbentuknya jaringan, kolaborasi, solidaritas dan pertemuan-pertemuan yang sudah digagas selama ini. Karena documenta fifteen itu pendek melumbung itu panjang (lumbung longa documenta fifteen brevis).

Kami lebih tertarik pada tawaran-tawaran model dan praktik dari seniman ataupun praktek kolektif seni yang sudah, sedang dan akan mereka kerjakan. Kami percaya pada seniman dan kolektif yang terlibat untuk juga bekerja bersama dan melibatkan seniman serta pelaku lain yang berakar dalam ekosistem mereka. Proses seperti ini membuat keterlibatan berbagai pihak makin berlapis, seperti pusaran yang meluas. Dalam pencarian itu, kami bertemu dengan praktek sejenis lumbung di tempat-tempat yang kurang lebih senasib dalam sejarah dan kondisi sosial-politik–Eropa Timur, Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Tengah, Timur Tengah, Afrika, dan Pasifik.

Di beberapa wilayah tersebut ada model-model menyerupai lumbung; seperti Mali dengan Maaya, Kalaka di Hungaria, dan Minga di Amerika Latin. Seniman dan kolektif seni dari wilayah-wilayah tersebut–sama seperti kita–menghadapi problem kerentanan ekonomi, krisis lingkungan, tertindas dan terpinggirkan, eksploitasi kapitalisme global, ketahanan tanah dan teritori, konflik kelas, otoritarianisme, ketidaksetaraan gender, perlawanan masyarakat asli, dan diskriminasi ras. Model berbagi sumberdaya secara kolektif seperti lumbung menjadi cara bertahan dan strategi perlawanan di dalam krisis dan problem-problem tersebut.

Karenanya, banyak karya yang ada di documenta fifteen adalah hasil akumulasi pengalaman atau proses yang terus menerus dari komunitas atau kolektif tersebut. Karya-karya yang ada dalam documenta fifteen kemudian hadir sebagai bentuk-bentuk dari pertautan praktik artistik dan aktivisme. Karya-karya ini bisa dilihat sebagai bentuk perjuangan atau model ekonomi dan edukasi yang berakar pada sebuah komunitas seni atau pada sebuah ekosistem tertentu.

Di dalam documenta fifteen yang ditawarkan tidak hanya pameran seperti selama ini berlaku, tetapi juga mengalami konteksnya dan pertemuan fisik serta silang pengetahuan yang beragam. Perihal inilah yang kami sasar, di mana pelaku seni dan warga (atau penonton) bisa saling bertukar, berbagi pengetahuan, dan belajar bersama. Maka yang terjadi adalah sebuah pameran yang tidak representatif. Ruang, karya, pameran, peristiwa dan kehadiran digunakan sebagai alat berbagi, bercakap, belajar dan berinteraksi. Documenta fifteen menjadi sebuah konferensi besar selama 100 hari.

Kerap, ruang, peristiwa, dan event kesenian menjadi sangat ekstraktif dan memusat. Ia mencerabut banyak hal dari kelokalannya dan ketercerabutan itu dibawa dan dipertontonkan pada ruang tertentu secara representasional.  Apakah event berskala besar seperti biennale, festival, bahkan documenta, dll., peduli dengan apa yang terjadi pada ekosistem–negara atau lokal-lokal lain? Di dalam documenta fifteen hal ini kami tantang dengan selalu mengajukan model kerja dengan penekanan agar semua sumberdaya dalam segala bentuk (dana, pengetahuan, pengalaman, material, dll.) bisa secara sirkular berputar kembali ke tiap lokal, tempat praktek kesenian itu berasal. Jadi, kami membayangkan bagaimana sebuah event tidak hanya mengambil keseluruhan benefit dari sumberdaya dan  maknanya, tetapi bagaimana sebuah event bisa bermakna secara signifikan dan bisa dinikmati secara setara dalam konteks lokal masing-masing.

Upaya untuk itu bisa terlaksana dengan sistem Lumbung yang di dalam praktiknya dioperasikan dengan prinsip-prinsip berikut:

Menyediakan ruang untuk berkumpul dan mengeksplorasi ide melalui mekanisme majelis. Secara swakelola, seniman lumbung bertukar pikiran dan gagasan serta membuka diri pada kolaborasi, serta pengambilan keputusan lewat majelis;

  • Tidak memusat, tanpa struktur dan terus berotasi;
  • Bermain-main antara bentuk formal dan informal;
  • Berkumpul dan bertemu menghabiskan waktu bersama;
  • Menyediakan tempat untuk peleburan pelbagai pikiran, energi, dan ide;
  • Menyediakan arsitektur dan konsep spasial yang memungkinkan terjadinya percakapan;
  • Menjadi tuan rumah yang menjamu.

Prinsip-prinsip di atas kami terjemahkan ke dalam mekanisme, desain, dan protokol. Melalui pelibatan berbagi kuasa serta mekanisme pengambilan keputusan bersama lewat majelis, kami mengubah relasi kurator dan seniman, seniman dan seniman. Lebih jauh lagi, kami juga mengubah relasi kuasa tidak setara yang selama ini terjadi dalam dunia seni budaya secara umum.

Beberapa contohnya antara lain; mengubah relasi antara lembaga event seni dan publik dengan menghargai publik sebagai peserta yang aktif; mengubah relasi lembaga seni, seniman dengan funder (pendonor)–dengan mengundang pihak pendonor menjadi bagian dari lumbung dan berbagi sumber daya mereka kepada seniman yang tidak didukung oleh negaranya; menerapkan kesadaran lingkungan dalam mendesain pameran dengan hanya menggunakan  material-material yang dapat dipergunakan ulang (reuse) dan, setelah pameran, material-material itu didistribusikan kepada yang membutuhkan, seperti sekolah dan ruang inisiatif di Kassel; mengubah beberapa bagian ruang pamer menjadi tempat tinggal untuk seniman/kolektif dan para kolaborator dari ekosistem masing-masing. Seniman lumbung secara bersama-sama juga mengelola sebagian ruang pamer yang diubah menjadi ruang bersama untuk aktivitas-aktivitas seperti konferensi, lokakarya, forum diskusi hingga pementasan musik dan karaoke. Kami juga melumbungkan sebagian pengelolaan dana documenta dengan menerapkan alokasi dana tanpa syarat bagi kebutuhan dasar tiap kolektif dan seniman. Selain itu juga kami menyamaratakan dana produksi untuk setiap seniman alih-alih dana produksi itu dialokasikan seturut hasrat seniman. Kami juga mengalokasikan sejumlah dana ke dalam lumbung yang dikelola bersama oleh seluruh seniman melalui mekanisme majelis.

Lumbung kami terapkan di documenta fifteen karena model ini sudah dan sedang kami jalani. Ia menjadi konsep kelola dan estetik kami, sebagai collective of collectives. Ia juga diterapkan karena kenyataannya seni rupa kontemporer saat ini–termasuk di sana ekonominya, pelakunya, dan cara pengelolaannya–didefinisikan oleh kapitalisme modern. Pendefinisian yang sangat asimetris, eksploitatif, ekstraktif, kompetitif, dan dalam banyak hal operasinya memusat di barat. Ia juga opresif, bahkan rasis. Buat sebagian orang, model Lumbung ini menginspirasi, bahkan dibutuhkan demi berubahnya medan dan model ekonomi seni dunia. Bagi organisasi dan seniman yang terlibat, lumbung dalam documenta fifteen telah menyediakan ruang belajar dan menguatkan solidaritas atas perjuangan-perjuangan di lokalitas masing-masing.

Yang terjadi kemudian adalah benturan keras antara dua operating system (OS) dari dua kosmologi yang berbeda. Yang satu merayakan kesetaraan dan pembagian kuasa dengan pelibatan banyak pihak atas dasar kepercayaan dan kemurahan hati, yang lain melihatnya sebagai sebuah ancaman bahkan kekacauan dan berusaha menanganinya dengan bertumpu pada kepercayaan atas supremasi kontrol. Yang satu melihat tamu sebagai berkah dan merayakannya dengan perjamuan, yang lain melihat tamu sebagai ancaman atas teritori dan sumberdaya. Konsep lumbung menjadi tawaran radikal dalam tatanan Eropa yang narsistik, self centered, dan paranoid akan kehilangan sumberdaya serta kuasa yang mereka kumpulkan selama ratusan tahun dari daerah jajahan. Terlepas dari benturan itu, documenta fifteen telah berakhir dengan mencatat lebih dari 738.000 pengunjung (angka tertinggi kedua selama penyelenggaraan documenta) yang berasal dari 38 negara, lebih dari 1.500 seniman yang terlibat, dan lebih dari 1.700 event atau aktivasi terselenggara dalam 100 hari.

Beberapa pihak, setelah melihat apa yang terjadi di Kassel, mengganti nama documenta fifteen dengan Lumbung Pertama. documenta fifteen tidak memberikan kita pekerjaan rumah, tetapi Lumbung Pertama menyisakan banyak pekerjaan rumah. Pekerjaan rumah itu adalah mengimajinasikan dan lantas mempraktekkan mekanisme Lumbung sehingga ia bisa beradaptasi dan mendapatkan masukan-masukan baru dari lokalitas masing-masing. Model ekonomi yang ditawarkan di dalam Lumbung Pertama perlu diuji dan dieksperimentasikan lebih lanjut. Faktor waktu menjadi sangat penting dalam proses ini di mana kepercayaan dan percakapan sebagai pengganti sistem kontrol berbasis kuasa membutuhkan waktu untuk dibentuk. Yang lain adalah soal skala, di mana seperti sel, ia harus menentukan skala tertentu yang tepat untuk membelah diri dan menciptakan unit yang baru untuk menjaga kemanusiawian relasi-relasi di dalamnya. Tidak bertumbuh dengan ambisi menjadi satu entitas besar dan dominan, tetapi harus dijaga agar tetap kecil menengah tetapi banyak, berbeda-beda, dan terkoneksi. Berakar dan menjalar. Lumbung Pertama di Kassel telah berakhir 25 September lalu. Telah terbentuk jejaring lumbung interlokal, lumbung artists, dan lumbung Indonesia. Seperti yang kami gagas sebelumnya, praktek Lumbung telah terus berlanjut di beberapa kota dan tempat, dan tentunya nilai-nilai dan konsep Lumbung terbuka untuk diterapkan di manapun, oleh siapapun.

Semoga, perjalanan panjang menghidupkan kembali tradisi lumbung, dapat menjadi bagian dari pencarian model hidup bersama yang lebih setara dan adil dalam konteks dunia hari ini.

Terima kasih, selamat malam,
wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th