Dari yang Menggunung, Kembali ke Hidung: Catatan Residensi Festival Bantargebang 2025

Sebelum saya benar-benar dekat dengan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang dalam agenda residensi singkat sebagai seniman di Festival Bantargebang 2025 pada 1-12 Mei yang diselenggarakan oleh Artery Performa, saya terlebih dahulu membayangkan Bantargebang sebagai tempat pembuangan sampah yang monumental. Berbagai pendapat di media mengatakan kondisi sampah di sana dapat disejajarkan dengan hotel berlantai 10, lantai 20 dan bahkan Candi Borobudur. Analogi tersebut dipakai untuk memvisualkan gunungan sampah di Bantargebang yang sudah mencapai 60 meter.

Kondisi monumental ini memunculkan persepsi bahwa Bantargebang berbeda dengan tempat pembuangan sampah lainnya. Bantargebang memiliki daya tarik seperti tempat wisata dengan banyaknya influencer yang mengulas, didatangi selebriti Korea, bahkan menarik perhatian Leonardo Dicaprio.

Monumen Bantargebang

Saya mencoba melebarkan imajinasi saya perihal agenda Jalan-jalan di Bantargebang yang menjadi judul dari salah satu mata acara Festival Bantargebang 2025. Seperti akan staycation di hotel 10 lantai yang tentu saja terdapat beberapa tipe kamar seperti standart room, superior room, deluxe room dan lain-lain; juga ragam fasilitas yang didapat sesuai harga kamar dari yang paling rendah dan yang paling tinggi, barangkali di Bantargebang, sampah-sampah juga memiliki berbagai tipe dan harga–standar pengelolaan yang berbeda-beda tergantung pihak-pihak yang mampu membayar mahal. Hotel dan Bantargebang, sama-sama tempat transit. Setiap lapisan sampah berangkat dari berbagai jenis rumah dan ruang, lalu bermuara di Bantargebang. Selayaknya transit, diharuskan kembali ke rumah. Sampah seharusnya dikembalikan ke semula dengan daur ulang dan kembali bermanfaat.

Bagaimana ketika jalan-jalan di Bantargebang, lalu membayangkan gunungan sampah mempunyai struktur filosofi seperti Candi Borobudur? Di tingkat paling bawah masuk ke zona instingtif yang terasa segar dan basah, banyak sisa-sisa makanan. Mungkin masih hangat dari dapur atau yang tidak pernah sampai ke meja makan. Asal ambil, asal buang, asal muasal. Naik sedikit ke tengah, masuk ke zona produktif yang bikin sampah mulai bergerak. Terlihat para pemulung seperti arsitek yang mengubah bentuk gunungan. Sampah bukan melulu tentang akhir, tapi awal dari peristiwa. Lalu di tingkat paling atas, kita masuk ke zona kontemplatif. Semakin ke atas, bertemu sampah yang semakin absurd. Kalimat filosofis yang seketika berbunyi “Adakah seni memiliki? Yang kita buang belum tentu yang tidak kita inginkan”.

Metafora arsitektur terhadap Bantargebang, seakan-akan menjelaskan bahwa bangunan-bangunan tersebut tidak mungkin dihancurkan. Sebagaimana monumen, nilai filosofis menjadi bagiannya, tentu nilai ekonomi pun menjadi sangat penting.

Saya sampai di Bantargebang pada 1 Mei 2025 lalu mengikuti serangkaian pembukaan festival. Imajinasi terkait Bantargebang sebagai tempat wisata seakan-akan dipertegas oleh pernyataan stakeholder setempat yang merasa tidak mungkin kehilangan monumennya. Gunungan sampah adalah ikon dari wisata Bantargebang yang tidak ditutup-tutupi kenyataannya. Mereka mempersilahkan orang-orang untuk berkunjung ke Bantargebang. Tentunya ada pelajaran berharga dan keindahan yang lain dari kecanggihan teknologi pengolahan sampah.

Seketika saya menyadari bahwa berwisata dekat dengan aktivitas memperbanyak sampah. Lalu, apakah kehadiran saya sebagai seniman di Bantargebang malah menambah sampah? Atau kehadiran saya memang tepat, untuk membuang sampah pada tempatnya?

Mengkerdilkan Bantargebang

Dalam masa residensi hari ke 6, saya mencoba untuk meninggalkan bayangan monumental tersebut. Hal yang cukup berat, karena saya harus kehilangan visual sampah yang eksotik dan ikonik. Bahkan bukan lagi seperti seperti Borobudur tetapi piramida Teotihuacan di Mexico dan pegunungan Alpen di Swiss.

Kemudian pertanyaan cheese yang saya lontarkan ke manager Festival Bantargebang 2025, ketika saya pertama kali diajak menjadi seniman untuk melakukan riset artistik di gunungan sampah jadi terasa penting, “Kerasa ga baunya, Mbak?” tanya saya.

Saya melakukan upaya mengkerdilkan Bantargebang yang monumental menjadi momental. Kembali pada pengalaman sensorik saya pribadi dengan memilih bernapas lewat mulut ketika menyikapi bau sampah-sampah basah di pasar, atau sampah-sampah rumah tangga yang bercampur aduk. Kembali pada “bau” dan bagaimana bau tersebut menjadi timeline ingatan warga? — pertanyaan awal yang juga menginsipirasi saya adalah artikel yang ditulis oleh Shayla Love di Vice yang berjudul “What Smells Can Teach Us about History?”. Shayla mempertegas peran indera penciuman dalam mengungkap sejarah dari suatu wilayah.

Adapun momen yang saya pilih setelah menggeser bayangan monumental tersebut adalah kegiatan ibu-ibu Posyandu di Kelurahan Cikeuting Udik, Kecamatan Bantargebang. Kegiatan yang menarik perhatian saya sebagai agen kesehatan yang paling dekat dengan warga.

Kembali pada “bau” artinya kembali pada dampak terdekat sampah bagi kesehatan warga, yang barangkali tidak lagi menjadi prioritas utama. Saking bau menjadi biasa, dan tidak adanya solusi untuk menghilangkan bau, – saya merasa anatomi hidung saya tidak berarti apa-apa dibandingkan punya warga Cikeuting Udik. Indera penciuman warga sudah adaptatif terhadap bau-bau sampah yang semakin beragam.

Agenda Posyandu di Kelurahan Ciketing Udik dari setiap Rukun Warga (RW) rutin terjadi satu bulan sekali. Saya sempat mendapatkan pernyataan dari kader Posyandu saat melakukan cek grafik perkembangan anak di RW.06, bahwa warga di Kelurahan Ciketing Udik tidak ada yang mengalami masalah kesehatan yang serius di tengah fakta sampah yang semakin menggunung. Peran kader Posyandu sudah membantu menghidupkan imajinasi warga tentang gaya hidup sehat, terutama bagi balita, ibu hamil dan lansia. Selain kegiatan rutin posyandu, ibu-ibu di Kelurahan Ciketing Udik sangat aktif melakukan senam pagi setiap Minggu di Taman Polder Bantargebang— fasilitas infrastruktur kesehatan dari Pemerintah Kota Bekasi.

Saya sebetulnya sedikit khawatir, apakah masih penting membahas bau? Warga sudah menjalin hubungan dengan bau begitu lama, bahkan sejak 1989. Kemungkinan warga sudah tidak lagi menjadikan bau sebagai masalah utama. Mereka telah berdamai lewat uang bau–  konpensasi dari dampak bau sampah yang sebetulnya tidak sepadan.  Peran saya sebagai seniman ditengah-tengah warga yang hadir secara sementara, cukup menambah imajinasi lain yaitu Bantargebang tidak hanya memiliki bau sampah, tetapi mempunyai bau-bau yang lain.

Saya memutuskan untuk membuat pertunjukan bersama ibu-ibu kader Posyandu Delima 9 di Kelurahan Ciketing Udik- Bantargebang. Pertunjukan yang berfungsi untuk menghubungkan aktivitas posyandu dengan ruang untuk berbagi ingatan spasial Bantargebang lewat bau-bauan sebelum dan sesudah menjadi gunung sampah. Sejarah indera dari Ibu-ibu kader posyandu akan dibagikan sebagai alasan untuk berpikir bersama. Apa saja bau-bau yang ada dan tidak pernah diperhatikan? Bagaimana bau-bau tersebut membuat ibu-ibu bertindak dan memahami lingkungan mereka?

Persepsi udara segar dan imajinasi dunia yang harum menjadi penting untuk kembali menyadari pencemaran udara yang berdampak pada kesehatan bayi dan balita serta para ibu hamil dan menyusui yang menjadi perhatian utama Posyandu. Keadilan udara yang tidak lagi menjadi prioritas, ditengah-tengah kondisi bahwa 75% dari sampah dari Jakarta yang menggunung di Bantargebang berada di lingkungan Ciketing Udik.

Observasi Rasa

Lokakarya Seni adalah salah satu agenda dari Festival Bantargebang 2025 sebagai proses inkubasi atau latihan sebelum pentas/presentasi. Saya mengarahkan agenda lokakarya pada peristiwa untuk merespon kebiasaan ibu-ibu kader Posyandu di Kelurahan Ciketing Udik—kebiasaan seperti ngerumpi di halaman rumah, memasak bersama, sampai botram.

Agenda observasi rasa hanya diselipkan diantara kebiasaan tersebut. Berisi materi yang berfungsi untuk memunculkan narasi dari kebiasaan diri yang taken for granted (yang sudah wajar, yang sudah semestinya, yang dianggap biasa saja). Dari narasi tersebut kemudian akan diolah sebagai rekontruksi peristiwa sosial-budaya.

Lebih jauh lagi, observasi rasa dilakukan untuk membocorkan pengetahuan komunitas perempuan terutama tentang fungsi perawatan ruang publik, cara menghadapi pencemaran, dan membayangkan ulang ruang hidupnya.

1). Observasi lewat pertanyaan

Sesi ini dimulai dari perkenalan posisi saya sebagai seniman yang berada di tengah kebiasaan ibu-ibu. Saya memberikan pertanyaan yang bisa membuka percakapan tentang peran seniman yang hadir ditengah kegiatan warga.

  • Seniman itu apa menurut ibu-ibu?
  • Apa pentingnya seniman dalam kehidupan sehari-hari?
  • Siapa seniman yang ibu tahu atau kenal di sekitar lingkungan?
  • Lalu, untuk apa saya berada di tengah-tengah ibu-ibu?

Dari pernyataan tersebut, saya lempar isu soal impresi pertama saya ketika diundang ke Bantargebang: soal bau. Bau yang memancing rasa takut dan ketidaksukaan.

Kami lalu berdialog lewat pertanyaan-pertanyaan berikut:

  • Apa tanggapan ibu tentang Bantargebang sebagai tempat yang bau?
  • Bau apa saja yang ibu temui di sana?
  • Bagaimana menggambarkan atau membahasakan bau-bau itu?
  • Bau apa yang disukai dan yang tidak disukai?
  • Apa bau pertama yang diingat dari tempat tersebut?
  • Apa persepsi orang terhadap bau-bau ini? Emosi apa yang muncul?
  • Bau mana yang jadi fokus perhatian dan mana yang diabaikan?
  • Bagaimana ibu-ibu membayangkan dunia yang harum?
  • Bagaimana cara-cara mengurangi atau menyiasati bau tak sedap?
  • Apa peran kader Posyandu dalam isu kesehatan udara?
  • Produk atau bentuk apa yang bisa muncul dari pengalaman terhadap bau?

2). Simulasi praktik saling mengobservasi

Simulasi praktik saling mengobservasi merupakan metode latihan dan pembentukan peristiwa berdasarkan hasil eksperimentasi saya dan cukup sering diaplikasikan dalam beberapa workshop dan penciptaan karya sebelumnya. Dalam tulisan ini, saya meringkasnya ke dalam tiga bagian yaitu Bodies Observe (mine and yours), Spaces Observe dan Props Observe. Observasi ini dilakukan berdasarkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang dibahas dalam observasi lewat pertanyaan.

a. Bodies Observe (Mine and Yours)

Latihan tubuh dua orang: satu sebagai observer, satu sebagai respondent. Fokus pada gerakan tangan sehari-hari dan ekspresi emosinya. Observer mencoba menirukan dan dikoreksi langsung oleh respondent. Contoh praktik: respondent melakukan gerakan untuk menghindari bau, dan observer menjelaskan jenis bau yang ada di sekitar respondent.

b. Spaces Observe

Latihan tubuh dua orang: satu sebagai observer, satu sebagai respondent.  Respondent membangun peristiwa emosional (misalnya kepanikan) lewat gerak dan ruang. Observer mengamati, lalu ikut masuk dalam ruang dan emosi yang sama, sambil tetap saling koreksi. Contoh praktik: respondent melakukan peristiwa kemarahan terhadap bau dan observer masuk ke dalam peristiwa respondent dengan menambah adegan memperburuk atau memperbaiki keadaan.

c. Props Observe

Setiap peserta membawa benda miliknya. Respondent membaca benda lewat fungsi, material, dan kenangan. Gerak yang muncul dari pembacaan benda diamati dan diinterpretasi oleh observer. Lalu dikoreksi kembali oleh respondent untuk menjaga kejujuran pengalaman. Contoh praktik: respondent membaca fungsi, material, dan kenangan dari botol minyak angin, respondent mempraktikan gerakan hasil dari pembacaan benda kemudian diamati oleh observer dengan menambahkan logika benda yang tidak terbaca dari gerakan tersebut.

3). Penyusunan skenario bersama & being happy

Sesi ini adalah sesi terakhir dari rangkaian lokakarya dengan  menyusun hasil dan membayangkan ulang realitas ibu-ibu. Apa peran ibu-ibu dalam keseharian? Apakah ada yang perlu digeser demi kebutuhan presentasi? Bagaimana logika posyandu sebagai ruang publik? Apakah fungsinya bisa atau perlu digeser? Apa yang ingin dilakukan ibu-ibu berdasarkan hasil observasi rasa ini? Apakah ibu-ibu merasa senang melakukannya?

Peristiwa bau dalam “Hompimpa Alaium Hambreng”

 “Hompimpa Alaium Hambreng” dijadikan sebagai judul presentasi/pertunjukan kolaborasi saya dengan para kader Posyandu. Judul tersebut terinspirasi dari bahasa gaul Bantargebang yang sering diucapkan oleh Khairul Anam (aktivis Bantargebang) “Hambreng bet sih ini!”, yang artinya “bau banget sih ini”. Frasa “Hompimpa alaium gambreng” yang digunakan untuk menentukan siapa yang menang dan kalah dengan telapak tangan saat kita bermain, diplesetkan menjadi “Hompimpa alaium hambreng” – difungsikan untuk mengutarakan saling jaga dan menunggu giliran untuk menjalankan misi hidup sehat dalam agenda Posyandu di Kelurahan Ciketing Udik sebagai momennya ibu-ibu menjalani bagian dari kehidupan di Bantargebang yang menyenangkan, layaknya bermain.

“Hompimpa Alaium Hambreng” merupakan pertunjukan di lokasi spesifik yaitu posyandu RW.06 Kelurahan Ciketing Udik tanpa mengubah setting apapun, selayaknya kondisi ruang nyata para kader melakukan agenda Posyandu. Pertunjukan sebagai aktivasi baru posyandu lewat skenario yang disusun bersama dalam rangkaian lokakarya. Beberapa peristiwa yang tercatat sebagai berikut:

  1. Saya terlibat dalam peristiwa sebagai penyuluh tamu kegiatan Posyandu, yang juga berperan sebagai pemandu acara.
  2. Pengumuman kegiatan posyandu lewat toa mesjid di samping Posyandu.
  3. Kegiatan diawali dengan melakukan senam sehat, dan melakukan latihan pernapasan dengan memakai helm untuk mengungkapkan perlindungan sehari-hari dari bau yang dimiliki.
  4. Kader Posyandu mengajak warga/penonton untuk mengikuti rangkaian kegiatan posyandu pada umumnya dengan melakukan pendaftaran, penimbangan, pencatatan dan tensi darah.
  5. Pemandu acara membuka kegiatan dengan mengajak ibu-ibu untuk yel-yel.
  6. Pemandu acara meminta Ibu Encih (Kader Posyandu) menceritakan udara pertama yang ia hirup pertama di Bantargebang pada tahun 80an yang masih asri dengan pesawahan.
  7. Ibu Putri (Kader Posyandu) kemudian menambahkan cerita tentang bau sampah yang menghilangkan nafsu makannya selama berbulan-bulan dan harus berlari jauh bermeter-meter dan berlindung ke bawah pohon untuk menghindari dari bau.  Begitupun Ibu Marni (Kader Posyandu) menyambung obrolan terkait pengalamannya terhadap bau. Mereka menggambarkan bau lewat perasaan.
  8. Pemandu acara kemudian mengajak ibu-ibu bermain tebak-tebakan bau secara berpasang-pasangan untuk menebak jenis-jenis bau yang ada di Bantargebang yang amat dibenci, seperti bau pembakaran plastik biji, bau pembakaran styrofoam, bau kol busuk, bau tulang, bau bulu-bulu ayam, bau limbah minyak sawit dan lain-lain.
  9. Pemandu acara meminta Bu Bona (Kader Posyandu) menyebutkan bau-bau yang lebih baik menurut versi dia dan bau yang disukai. Ia menyebutkan bau ketiak suami, bau pembakaran daun  serta bau asap sate.
  10. Pemandu acara kembali lagi mengajak yel-yel.
  11. Pemandu acara meminta Ncing (Kader Posyandu) untuk memberikan edukasi cara menghabiskan uang bau sebesar Rp.400.000,- untuk mendapatkan hari-hari yang segar seperti membeli masker, freshcare, kipas angin mini, minyak telon, minyak kayu putih, terasi, goreng asin, sabun favorit, parfum favorit, angin puncak bogor, angin gunung fuji beli di shopee, dan angin di cafe favorit.
  12. Para kader kemudian mempraktekkan cara mengurangi bau dengan praktik menanam pohon lavender, bunga melati, lidah mertua, mengolah sereh dengan minyak telon, mencampurkan air panas dengan minyak kayu putih dan membuat remasan daun jeruk.
  13. Para kader memberikan hasil dari praktiknya ke pengunjung Posyandu untuk menghirupnya bersama-sama.

Pertunjukan “Hompimpa Alaium Hambreng” telah mengungkap sensibilitas ibu-ibu kader Posyandu terhadap bau yang dapat dideskripsikan dalam perasaan. Tingkatan lain dari sebuah bau yang diungkap sebagai hal yang pahit, sesak, menusuk, tajam, perih, mual dan sakit.

Bau-bau ini juga yang mendeskripsikan proses adaptasi mereka dari penolakan sampai pada penerimaan. Proses dari kebiasaan mencium bau tanah, bau air irigasi dan bau padi yang hilang. Mempraktekkan cara mengurangi bau dalam pertunjukan hanyalah sebagian kecil simulasi dari ribuan kebiasaan mereka dalam menghindar dari bau, dan sampai pada perasaan mereka saat ini yang merasa aneh ketika orang-orang baru yang datang ke Bantargebang merasakan bau yang tidak enak dan mual.

Dari yang menggunung, kembali ke hidung, dari monumen kembali ke momen. Bantargebang yang semakin menjulang tinggi, tidak boleh menghilangkan tong sampah di sudut rumah. Uang bau yang semakin disemprot parfum mahal, harus semakin bau. Bau yang kemudian semakin berfungsi sebagai penunjuk jalan sampai ke rumah.

***

Bagikan Postingan

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kalender Postingan

Kamis, Agustus 21st