Pada 6 April 2023, saya bersama Pamela Paganini – musisi – merilis lagu berjudul Bale Mengina melalui platform music digital. Saya menuliskan beberapa kalimat di media sosial terkait perilisan lagu tersebut, bahwa lagu Bale Mengina ditujukan sebagai upaya untuk mengarsipkan sekaligus memperkenalkan konsep konstruksi arsitektur tradisi pada bangunan rumah masyarakat adat Bayan. Meski lagu Bale Mengina terdengar cukup sederhana, namun terdapat proses penciptaan karya yang strategis dan sistematis. Diskusi, observasi, kontemplasi dan hal-hal lainnya menjadi bagian dari penciptaan karya lagu tersebut. Lantas mengapa rumah adat Bayan menjadi ide dasar pembuatan karya lagu? Saya mulai dengan membuka ingatan akan gempa Lombok 2018.
Di tahun 2018 lalu gempa bumi berkekuatan 7.0 SR mengguncang Pulau Lombok. Puluhan ribu unit rumah mengalami kerusakan. Laman Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menuliskan, dari sekian puluh ribu rumah yang hancur jumlah unit rumah yang rusak di Kabupaten Lombok Utara (KLU) sebagai pusat gempa berjumlah sekitar 20.000 unit. Meski menjadi titik sentral gempa, KLU yang sebagian wilayahnya dihuni oleh masyarakat adat Bayan memiliki model rumah yang mampu bertahan terhadap guncangan gempa. Bale Mengina, begitu masyarakat adat Bayan menyebut rumah tradisi warisan leluhurnya.
Di antara reruntuhan bangunan beton dan bata modern, Bale Mengina yang didominasi oleh bahan kayu, bambu dan alang-alang tetap kokoh berdiri. Bale Mengina menjadi bangunan rumah tradisional dari hasil peninggalan akumulasi pengetahuan lokal masyarakat sejak lama, yang berhasil menggabungkan faktor ekologis dan geografis serta struktur fisik bangunan yang tahan terhadap gempa bumi. Tak heran jika Bale Mengina menjadi salah satu dari 18 jenis model rumah yang direkomendasikan Dinas PUPR pada program bantuan pembangunan rumah terdampak gempa.
Kearifan Lokal Dalam Bale Mengina
Bale Mengina berbentuk ruangan tanpa sekat yang bahan utamanya adalah kayu dan bambu. Variasi ukurannya berkisar antara 5×5 hingga 9×9 meter. Ini yang menarik, di dalam bangunan Bale Mengina terdapat semacam lumbung yang berbentuk kotak/kubus dan dibangun tinggi dengan 4 kaki penyangga. Ruangan yang disebut Inan Bale itulah yang menjadi ikon utama dalam bangunan Bale Mengina.
Lebih istimewa dari sekadar lumbung, Inan Bale dianggap sakral karena selain untuk menyimpan beras dan bahan makanan, Inan Bale juga dijadikan tempat untuk menyimpan pusaka leluhur. Saking istimewanya, Inan Bale hanya boleh dimasuki oleh seorang inaq (ibu-red.) yang tinggal di rumah tersebut. Untuk mengambil hasil bumi atau pusaka dalam Inan Bale, seorang inaq harus melewati dua anak tangga yang dibentuk layaknya dipan bambu. Kedua anak tangga ini dibuat luas agar memiliki fungsi ganda sebagai tempat penyimpanan. Tangga paling bawah, Amben Beriq, dijadikan tempat penyimpanan barang dan peralatan rumah Tangga. Sedangkan tangga kedua, Amben Beleq, digunakan untuk menyimpan hasil bumi, seperti jagung, ubi, dan lainnya.
Inan bale memiliki satu pintu yang pendek. Jika ingin melewatinya maka seorang inaq harus menunduk dan melakukan sebuah ritual do’a sebelum mengambil barang dari dalam Inan Bale. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada roh leluhur yang menurut kepercayaan masyarakat adat Bayan masih berada di dalam Bale Mengina.
Bale Mengina dibangun secara berkelompok bersama orang-orang dari berbagai wilayah adat. Setiap perwakilan wilayah memiliki tugas masing-masing. Setiap dinding Bale Mengina haruslah dibangun/dibuat oleh orang yang berbeda yang berasal dari wilayah adat yang berbeda pula. Bukan tanpa maksud, hal ini dilakukan agar hubungan sosial dan silaturahmi masyarakat antarwilayah adat tetap terjalin dengan baik.
Jika dilihat dari tata letak bangunan, Bale Mengina memiliki ciri khas dibangun secara berderet dan berhadapan. Arah yang dipilih adalah arah timur atau barat agar setiap bangunan mendapatkan sorot cahaya matahari, baik matahari terbit maupun matahari terbenam. Di antara dua deret Bale Mengina yang saling berhadapan, biasanya akan berderet pula berugak dengan 6 tiang, sebagai ruang publik.
Proses pembangunan Bale Mengina harus melewati perhitungan yang matang, baik dari tata letak bangunan, bahan bangunan, hingga tata ruangnya. Bale Mengina juga harus dibangun di atas tanah yang aman, padat/tidak lembek, tidak berpotensi longsor, dan dapat terhindar dari banjir atau bencana lainnya. Tidak hanya itu, bahan bangunan Bale Mengina dipilih dari bahan alam terbaik sesuai umur dan waktu panen terbaik. Bahan-bahan seperti kayu, bambu, dan alang-alang harus memenuhi kriteria perhitungan hari baik. Sekalipun terkesan sakral dan mistis perhitungan hari baik ini sebenarnya sangat masuk akal. Misalnya hari baik yang berkaitan dengan musim atau cuaca tertentu; saat intensitas hujan tinggi, kayu tidak baik atau layak ditebang dan digunakan karena mengandung banyak kadar air. Kayu tersebut akan menjadi kayu yang mudah berjamur dan rapuh. Perhitungan hari baik juga dilihat dari waktu tanam kayu.
Dengan mengetahui waktu tanam kayu, masyarakat Bayan akan mudah memperhitungan kapan usia kayu tersebut layak panen dan digunakan. Kesiapan usia sebuah kayu akan menentukan tingkat kekokohan kayu. Penghitungan seperti ini juga berlaku untuk semua bahan bangunan Bale Mengina.
Masyarakat adat Bayan memiliki wilayah khusus yang ditanami segala kebutuhan bahan bangunan pembuatan Bale Mengina. Bahan alam yang dihasilkan dari wilayah tersebutlah yang digunakan oleh masyarakat adat Bayan dari berbagai wilayah. Sayangnya, seiring dengan berkurangnya lahan tanam dan oknum yang menjual bahan alam tersebut secara diam-diam, beberapa bahan bangunan Bale Mengina harus diperoleh dari daerah lain agar tetap dapat memenuhi kebutuhan, misalnya kebutuhan alang-alang.
Kegelisahan Sekolah Adat Bayan (SAB)
Bagi masyarakat adat Bayan bencana gempa Lombok menjadi pengingat akan pentingnya menjaga dan melestarikan kearifan lokal – berupa pengetahuan arsitektur tradisional, demi meminimalisir dampak dari gempa tersebut. Upaya pelestarian kearifan lokal tampak dari didirikannya Sekolah Adat Bayan (SAB), yang berfungsi menginternalisasikan nilai dan norma di masyarakat adat kepada generasi penerus.
SAB didirikan dengan motif adanya kegelisahan dari beberapa tokoh adat, Renadi adalah salah satunya. Menurutnya, generasi muda saat ini hampir tidak tahu dan tidak peduli tentang kearifan budaya mereka sendiri. Padahal Menurut Renadi kearifan-kearifan budaya pada masyarakat adat Bayan masih sangat relevan dan kompatibel di masa sekarang. Bahkan ketidaktahuan ini dialami oleh anak-anak muda di kalangan masyarakat adat itu sendiri.
Bale Mengina hanyalah satu dari sekian banyak hal filosofis dari setiap unsur budaya yang ada di Bayan. Meski SAB telah berdiri cukup lama Renadi mengungkapkan bahwa masih terdapat banyak kendala dalam proses pembelajaran, khususnya terkait media pembelajaran.
Selama ini strategi pembelajaran yang digunakan ialah meminta para tokoh adat menjadi guru dan menceritakan segala macam unsur budaya tradisi beserta kearifannya pada para siswa. Metode yang digunakan tentu kebanyakan adalah ceramah, dan Renadi merasa bahwa metode tersebut belum efektif.
Kegelisahan Renadi akan sistem pembelajaran pada SAB itulah yang kemudian memunculkan gagasan untuk melakukan pendekatan seni dalam sistem pembelajaran SAB. Saya bersama Renadi kemudian bersepakat untuk membuat ragam karya seni dalam bentuk audio maupun visual mengenai Bale Mengina dengan tujuan menjadi media pembelajaran yang bisa digunakan di SAB.
Lagu ‘Bale Mengina’ Untuk Bahan Ajar
Sebagai seorang penggiat musik, saya memulai gerakan dengan kemampuan yang dimiliki: melagukan konsep dasar Bale Mengina. Setelah proses observasi – melihat, mengamati dan mendengar secara langsung berbagai informasi tentang Bale Mengina, saya mulai mencari model lagu yang cocok. Saya mengingat salah satu lagu anak ciptaan A.T. Mahmud berjudul Layang-Layang. Betapa kini di era digital layang-layang semakin sulit ditemui di kota besar. Dengan lahan bermain yang juga semakin sempit, anak-anak memilih memainkan game online daripada bermain layang-layang. Mungkin bertahun-tahun ke depan sudah tidak ada lagi orang yang memainkan juga membuat layang-layang.
Jeniusnya A.T. Mahmud mengabadikan pembuatan layang-layang dalam sebuah lagu anak yang mudah diingat, bahwa layang-layang terbuat dari buluh bambu yang dipotong sama panjang, lalu diraut dan ditimbang dengan benang. Lagu tersebut akan menjadi arsip pengetahuan pembuatan permainan tradisional layang-layang.
Pun dengan Bale Mengina, harapan untuk tetap diingat dan dipelajari oleh generasi penerus menjadi pertimbangan utama dalam membuat teks lagu. Maka nilai kelokalan mesti tetap menonjol dalam karya lagu tersebut.
Pertama, saya memutuskan untuk menulis teks lagu dalam bahasa asli masyarakat adat Bayan, harapan adanya keterikatan emosional antara lagu dengan para siswa SAB sebagai target pendengar utama. Dengan begitu pesan dalam lagu lebih mudah meresap secara subliminal ke dalam diri pendengar.
Teks terbagi menjadi empat bagian: (1) menyebutkan berbagai bahan utama dalam membangun Bale Mengina, (2) menyebutkan manfaat dari memiliki Bale Mengina, (3) mengajak pendengar untuk merawat dan melestarikan Bale Mengina sebagai warisan leluhur, dan (4) teks berbahasa Indonesia yang menyebutkan fungsi dari bahan-bahan yang telah disebutkan di bagian satu: “kayu bambu menyangga, bilik jadi dindingnya, jerami alang-alang menjelma atap. Di waktu yang telah tentu, pada tanah yang indah, kita bangun tempat tuk kita tumbuh”.
Kedua terkait pemilihan nada. Tidak jauh berbeda dengan masyarakat suku Sunda, Jawa, dan Bali, Suku Sasak juga kerap menggunakan Tangga nada pentatonis dalam setiap lagu daerahnya. Ada beberapa pilihan susunan tangga nada pentatonis yang biasa digunakan: Pelog, Slendro, dan lain-lain, namun saya memilih menggunakan susunan nada nyalendro (mendekati Slendro). Dalam musik barat susunan nada yang saya gunakan yaitu: Do, Re, Mi, Sol, dan La atau dalam not angka 1, 2, 3, 5 dan 6, dengan nada dasar Do = C. Bagi saya susunan nada tersebut memiliki rasa dan suasana yang lebih adaptif baik bagi penikmat musik barat juga bagi pendengar musik daerah di Nusantara, cukup familiar dengan masyarakat adat tetapi juga tidak asing bagi pendengar lagu-lagu pop modern.
Ketiga tentang pemilihan instrumen. Keinginan saya untuk menjadikan lagu ‘Bale Mengina’ dekat dengan masyarakat adat Bayan mengharuskan saya untuk mempertimbangan warna suara yang juga dekat dengan masyarakat, atau yang terbiasa didengar oleh mereka. Namun di sisi lain lagu ini juga harus mampu menggugah pendengar di kalangan generasi muda yang terbiasa dengan lagu-lagu popular. Saya membuatnya dalam dua versi: (1) cenderung modern, seluruh instrumen yang digunakan ialah instrumen musik barat seperti Gitar, Flute, Strings, Bass, dan Piano, sedangkan versi lainnya, (2) mendekati unsur tradisi dimana seluruh instrumen menggunakan alat musik asli Lombok seperti: tetabuhan Perkusi, Suling Bambu, Genggong Sasak, dan Penting/Gambus Sasak. Pihak pengajar di SAB yang akan memutuskan hendak menggunakan lagu dalam versi yang mana, yang jelas saya merasa yakin kedua versi akan dapat didayagunakan untuk kebutuhan pengenalan dan arsip Bale Mengina.
Keempat soal suara penyanyi antara laki-laki dan perempuan. “Bale” berarti rumah dalam Bahasa Sasak, sedangkan “Meng-ina” kemungkinan berasal dari kata Inaq yang berarti Ibu. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa unsur utama dari Bale Mengina ialah adanya Inan Bale – ruang ibu – yang memang hanya bisa diakses oleh para ibu. Pada masyarakat Bayan perempuan memiliki peran yang penting dalam kehidupan. Perempuan adalah rahim yang melahirkan kehidupan itu sendiri. Tak heran jika di setiap prosesi ritual di Bayan perempuan selalu didahulukan untuk membuka jalannya setiap prosesi ritual.
Saya menggunakan dua jenis suara dalam lagu Bale Mengina: suara perempuan dan suara laki-laki. Pembagian dominasinya pun ditentukan sedemikian rupa. Di bagian verse lagu yang bercerita tentang pengenalan Bale Mengina, volume suara perempuan dibuat lebih keras, sedangkan suara laki-laki hanya menjadi bayang-bayang dari suara perempuan tersebut. Saya hendak menegaskan bahwa Bale Mengina indentik dengan perempuan. Namun pada bagian chorus yang mengajak pendengar untuk menjaga dan melestarikan Bale Mengina, volume suara penyanyi laki-laki dibuat lebih dominan. Hal tersebut dimaksudkan bahwa laki-laki harus menjadi pihak paling depan dalam menjaga dan melestarikan Bale Mengina – menjaga perempuan.
Pada bagian lain dalam teks lagu berbahasa Indonesia yang menjelaskan fungsi dari setiap bahan alam Bale Mengina, volume suara penyanyi laki-laki dan perempuan dibuat seimbang sebagai representasi bahwa laki-laki dan perempuan harus saling menyangga seperti kayu pada Bale Mengina, saling melindungi seperti dinding bilik dan alang-alang pada Bale Mengina, serta menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik seperti halnya bagian-bagian yang ada dalam Bale Mengina.
Kelima konsep tentang pembuatan Bale Mengina yang selalu memperhitungkan hari baik sebagai waktu yang tepat untuk membangun rumah mensugesti pola pemikiran saya agar lagu Bale Mengina dirilis pada waktu yang tepat, di hari yang baik sesuai perhitungan waktu masyarakat adat Bayan. Berbagai pertimbangan dalam proses penciptaan lagu Bale Mengina di atas semata untuk memenuhi orientasi saya terhadap karya lagu yang tetap harus etis, estetis, logis dan memiliki daya spiritualis, yang diharapkan mampu membangun dan menghidupkan imajinasi pendengar terhadap rumah adat Bayan, Bale Mengina.
Sebagai ruang hidup Bale Mengina berkontribusi pada tumbuhnya nilai spiritual, integrasi sosial masyarakat, hingga keterhubungan manusia dengan alam. Maka, semoga lagu Bale Mengina dapat memenuhi segala sisi kehidupan dengan kebermanfaatannya. Karya lagu tersebut bisa didengarkan melalui berbagai platform music digital. Link: https://push.fm/fl/balemengina
[…] kreatif Yuga Anggana dalam menciptakan sebuah lagu diceritakan secara kontekstual dalam “Bale Mengina”, Hidupkan Imaji Rumah Tradisi. Satu lagi fragmen budaya yang menunjukkan kesigapan tradisi terhadap mitigasi bencana gempa, […]