KC

Bacot Santuy COVID-19: Elegi Pandemi dari Bantaran Kali

Oleh Elvan De Porres

Minggu pagi, 29 Maret 2020, tempat tinggal kami di RT 01/RW 01 di bantaran kali Code, Terban, Yogyakarta, riuh oleh bunyi mesin semprot disinfektan. Tiga orang petugas berjalan dari rumah ke rumah, mengkoordinasi warga dan sambil meneteng alatnya mereka menghamburkan gas pekat ke berbagai pojokan. Warga pun keluar dari rumah, berhamburan di jalanan sempit, menyaksikan adegan itu. Beberapa, warga -terutama anak-anak- sempat merekam, beberapa lainnya memilih menjauh, sementara sisanya menepi ke arah kali.

Lima menit berselang, gas berwujud asap tadi perlahan-lahan menghilang, orang-orang kembali masuk ke dalam rumah dan suasana kembali sepi. Memang hampir kurang lebih tiga hari belakangan aktivitas masyarakat di pinggir kali Code ini bergerak tak seperti biasanya. Nyaris tak dijumpai orang-orang yang memancing. Suara ibu-ibu yang sering merumpi di depan rumah pun tak lagi terdengar. Beberapa anak kecil masih terlihat sibuk bermain, tetapi hanya di sekitaran rumah saja. Orangtua melarang anak-anaknya bermain terlalu jauh.

Sementara itu, di gerbang masuk di dekat jalan raya, terbentang plang bertuliskan “Padukuhan Blimbingsari Lockdown. Boleh Keluar Tapi di Dalam”. Plang itu menutupi jalan masuk ke wilayah padukuhan, termasuk juga ke RT1/RW 1 Terban, seperti penjaga keamanan kecil tetapi punya pesan tak main-main. Dalam obrolan dengan sepasang suami istri pemilik sebuah warung, tempat saya biasa makan sehari-hari, terjelaskan bahwa semua orang memang sedang khawatir dan berusaha untuk waspada di tengah wabah corona virus COVID-19. Lockdown menjadi pilihan untuk berjaga-jaga.

Si bapak sempat bercerita, pernah ada orang yang tak dia kenal datang menanyakan sebuah alamat. Saking waspadanya dia menyuruh orang itu berhenti agak jauh baru kemudian memberikan jawaban. Ini soal hidup dan mati. Semoga di Blimbingsari ini tidak ada yang kena. Allah sudah melindungi, istrinya menambahkan.

Usaha warung makan keluarga itu memang masih tetap buka seperti biasanya. Toh selama ini yang sering makan atau minum kopi di situ merupakan para penghuni sekitar, termasuk pekerja bangunan dan anak-anak kosan seperti saya. Keluarga itu sepintas kilas kelihatannya tak terlalu khawatir dengan pendapatan mereka, meskipun si ibu sendiri katakan, beberapa anak kos telah pulang ke tempat asalnya dan jumlah pekerja bangunan kian hari kian sedikit.

Sisi lainnya, keluarga ini malah menaruh kasihan pada usaha perhotelan di samping warung mereka. Hotel itu mulai sepi, bahkan nyaris tak ada penghuninya sama sekali. Halaman parkir, yang biasanya penuh dengan kendaraan, tampak terbentang kosong dan lebih jelas menampilkan deretan kamar tidur tertutup kain gorden.

Namun, terdapat cerita lain di tengah situasi yang menegangkan ini, terutama di lingkungan warga di bantaran kali. Semenjak mereka mulai lebih banyak menyepi, suasana berbeda muncul dari sebuah rumah. Setiap pagi, siang dan sore hari penghuni rumah itu menyetel musik dan kualitas volumenya menjangkaui rumah-rumah lainnya. Penghuni rumah itu memutar musik gamelan, cerita perwayangan, lagu dangdut, pop, bahkan musik berirama remix. Baru kali ini -setidaknya dalam waktu setahun belakangan saya tinggal di sini- terdengar musik dengan volume bunyi yang agak besar dan berlangsung setiap hari.

Rumah itu mungkin ingin menghibur diri di tengah perubahan aktivitas sosial dan ruang geraknya. Mungkin juga penghiburan itu tidak ingin dinikmati sendiri, tetapi disebarluaskan ke rumah-rumah lainnya. Ketika selama ini “hiburan” didapatkan dari interaksi fisik melalui laku lalu-lalang, ngobrol ngalur-ngidul di ruang terbuka, ataupun mengaso di pinggir kali sambil memancing, kali ini warga tempatan yang melakukan askese diri mengalaminya dalam medium yang berbeda. Musik yang diputar seolah-olah memberi perekat untuk kebiasaan yang tiba-tiba berhenti.

Tentu, peradaban di kali Code punya sejarah yang panjang -dimulai sejak zaman kerajaan Mataram Islam- dengan spesifikasi berbeda-beda pada tiap pemukimannya. Berbagai situasi pun pernah dirasakan oleh orang-orangnya, mulai dari terdampak banjir, penggusuran, julukan sebagai “daerah hitam” karena rawan kriminalitas, hingga aktivitas-aktivitas kebudayaan yang bersifat kolektif. Memang sejak tahun 1980-an, tempat-tempat tinggal di bantaran kali mulai alami pembenahan guna ciptakan wilayah yang bersih dan rapi, meskipun sekarang ini jumlah penduduknya semakin bertambah dengan rumah-rumah yang makin padat.

Namun, karakter yang mudah dibaca dari orang-orang yang tinggal di wilayah kampung kota seperti ini -terlepas dari pelbagai stereotip sempit atasnya -ialah kuatnya ikatan relasi sosial antarwarga. Hampir setiap hari orang pasti bertemu, dalam beberapa kesempatan bekerja bakti bersama serta adanya keefektifan penyampaian informasi karena aktivitas warga yang cenderung homogen.

Dalam amatan yang dini, saya bisa secara enteng menyampaikan anggapan bahwa “modal sosial” masyarakat di tempat tinggal kami terbilang cukup kuat. Inisiatif untuk melakukan lockdown, beraktivitas di dalam rumah, melakukan penjarakan fisik, dan pengorganisasian yang cepat untuk penyemprotan disinfektan di rumah-rumah merupakan beberapa konteks yang dapat dipertautkan dalam kerangka norma sosial, jaringan, kepercayaan, dan solidaritas. Dalam tulisan berjudul “The Rural School Community Centre” (1916), Lydia Judson Hanifan, orang pertama yang mengenalkan istilah “modal sosial” (social capital), mengatakan bahwa modal sosial bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, melainkan lebih mengandung ke arti kiasan, tetapi tetap merupakan aset yang penting bagi masyarakat.

Pada lain hal, gerakan warga semacam itu, terutama untuk kasus local lockdown, bisa jadi akan diapresiasi dalam dua kutub. Pertama, orang melihatnya sebagai bentuk “modal sosial” a la Robert Putnam yang merujuk pada bentuk asosiasi informal bertipologi horizontal yang tidak bertendensi politis, misalnya disebabkan oleh respons serta merta karena kepanikan. Kedua, sebaliknya, reaksi semacam itu ditatap sebagai bentuk gerakan politis akibat ketidakpastian atau kelambanan dari struktur sosial yang lebih besar serentak memberi tekanan atas itu.

Konsepsi “modal sosial” ini memang masih membutuhkan pranala yang lebih panjang guna menemukan titik temu perkara genealogi, perdebatan-perdebatan dan amatan lain yang lebih relevan, terlepas dari apa yang ditawarkan pemikir modal sosial lainnya John Field bahwa itu bisa sangat kontekstual. Field membuat pengantar diskursus lanjutan tentang “modal sosial” ini usai menerepong gagasan pemikir sebelumnya, seperti Putman, Coleman dan Bourdieau.

Akan tetapi, jika masih mengikuti konsepsi seperti itu, beberapa potongan narasi lain barangkali bisa memberikan cara pandang lain. Seorang teman mahasiswa terpaksa harus pulang ke tempat asalnya. Dia dijemput oleh keluarganya sendiri. Kompleks kosannya alami lockdown dengan ruang keluar satu pintu dan siapa saja yang lewat di situ harus diperiksa, bahkan disemprotkan disinfektan. Selain merasa kurang nyaman, teman itu juga mengalami kesulitan akses makanan; beberapa tempat makan sudah tutup dan dia harus berjalan agak jauh ke gerbang penjaga kalau memesan makanan lewat pengemudi online. Uangnya tentu tak cukup untuk terus bertahan dalam situasi itu.

Di Blimbingsari sendiri, meskipun usaha makanan lebih berskala industri rumahan, tetap saja ada yang harus tutup karena ketiadaan konsumen; mahasiswa yang terlanjur mudik, para pekerja bangunan yang berhenti bekerja (mungkin juga pulang ke tempat tinggalnya), juga warga yang biasanya memanfaatkan warung kopi/makan sebagai ruang interaksi sosial kini lebih banyak menetap di dalam rumah.

Di bantaran kali Code, walaupun warga bersama-sama bersolidaritas untuk melakukan penjarakan fisik, urusan lain yang muncul ialah rapatnya hunian yang berpotensi bagi sebaran penyakit sebagaimana sempat disentil oleh geografer David Harvey. Di sini beberapa keluarga (baca: rumah) memang hanya dipisahkan oleh satu dinding.

Barangkali karena kondisi semacam itu, kedisiplinan warga untuk tinggal di dalam rumah dan melakukan penjarakan fisik benar-benar coba diupayakan demi menghindari diri dari risiko penularan wabah. Mereka mungkin punya anggapan yang sama dengan ibu penjaga warung tadi; COVID-19 ini berkaitan dengan hidup dan mati. Atau bisa juga, ini tentang bertahan hidup dan mempertahankan kehidupan dengan pengorbanan seperti bola dadu yang sukar ditebak kepastiannya.

Pertanyaannya; sampai kapan solidaritas itu bertahan, terutama dalam kaitannya dengan pasokan pangan untuk kebutuhan perut? Orang-orang kampung kota, meskipun berasal dari desa, tidak mengembangkan kehidupan bercocok tanam yang berpatok pada tanah, tetapi mengusahakan jasanya untuk mencari nafkah dalam level manufaktur juga industri. Ketika ruang-ruang pencarian nafkah ataupun pertukaran nilai (baca: uang) untuk sementara waktu tak lagi tersedia, mereka boleh jadi akan kebingungan harus mencari makan dari mana.

Melompat lebih jauh, pertanyaannya bisa berubah begini; apakah negara ini memiliki ketahanan pangan yang kuat, yang secara sumir dan simbolik bisa dikonfrontasikan dengan tindakan penguasaan atas lahan milik petani atau masyarakat tempatan (desa) sejauh ini?

Salah seorang kawan pernah bilang, corona virus ini sebenarnya adalah kita. Saya kira, apabila kalimat itu disampaikan ke petani di desa, mungkin hidungnya akan ditonjok dan setelah itu dia disuruh pulang kampung untuk menjadi penjaga hutan adat. Tapi, pertanyaan terakhir itu masih membutuhkan uraian yang lebih panjang dan kompleks, dan mungkin menyedihkan mengingat sejarah panjang gerakan para petani di Indonesia, terutama di Jawa.

Di rumah itu musik masih terdengar. Kali ini penghuninya menyetel sebuah lagu milik Didi Kempot.

Ra maido sopo wing sing ora trenyuh
Ra kepethuk sawetoro pingin weruh
Percoyo aku, kuatno atimu
Cah ayu entenono tekaku

….

Saya tak terlalu paham artinya, tapi teman indekos memberitahu bahwa lagu itu berbicara tentang kerinduan atas hubungan jarak jauh. Saya kira, rumah itu barangkali sedang merindukan suasana desanya. Mungkin juga dia sedang menghibur atau mengolok-olok saya yang saat ini jauh dari kampung halaman.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, Juli 27th