Menemukan Arsip, Menguak Cerita Masa Lalu Pulau Bunga

 

Awal Perkenalan

Ketertarikan saya dengan arsip bermula saat menjalankan praktik sebagai wartawan di surat kabar “Flores Pos”. Saat itu, saya bertugas meliput berita setiap hari di lapangan. Pengalaman bertemu banyak orang dengan berbagai karakteristik membantu saya belajar menulis pengalaman-pengalaman yang ada di lapangan. Namun, tidak jarang, pengalaman-pengalaman itu seolah-olah berulang. Ide yang disampaikan dan informasi dari narasumber hampir selalu mirip, bahkan seringkali klise. Akibatnya, berita yang dipublikasikan sering tidak mendalam. Sajian informasi yang dibaca publik menjadi tidak menarik.

Di sela-sela rasa jenuh itu, saya membongkar kembali arsip-arsip berita yang pernah diberitakan di “Flores Pos” dan “Dian”, dan menemukan beragam informasi penting dan menarik yang bisa dijadikan bahan pembanding untuk diberitakan kembali ke para pembaca. Selain itu, kemungkinan untuk mengolah berbagai data yang terdapat dalam Flores Pos dan Dian menjadi alternatif yang menarik untuk menyajikan informasi dan pengetahuan para pembaca.

Pergumulan yang intens dengan arsip  dimulai ketika saya terlibat dalam proyek “Re-Imagine Bikon Blewut” pada tahun 2021. Saat itu, bersama dengan teman-teman komunitas KAHE, kami mengumpulkan sekian banyak data berupa lembaran koran, foto, buku, video, cerita, catatan harian,  dan surat yang dibutuhkan untuk dipresentasikan dalam bentuk pameran, seminar, nonton film, dan pertunjukan musik.

Pengalaman mengumpulkan data-data ini membuka cakrawala berpikir saya tentang arsip sebagai material penting pengetahuan yang bisa dimanfaatkan untuk kerja-kerja kesenian dan kebudayaan yang sedang kami kerjakan bersama di komunitas KAHE. Lebih jauh, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pengetahuan dalam arsip-arsip itu bisa terdistribusi di masyarakat sekitar kami?

Selain pengalaman di lapangan, pengalaman membongkar kembali arsip-arsip yang bertebaran di surat kabar tempat saya bekerja pun turut membentuk ketertarikan saya dengan arsip. Arsip yang saya temukan di surat kabar itu, tidak hanya saya gunakan untuk penulisan berita di surat kabar, tetapi juga untuk program-program yang kami kerjakan di Komunitas KAHE seperti pameran “Re-Imagine Bikon Blewut” dan “M7,8 SR: Pameran, Diskusi, dan Pertunjukan (Refleksi Tsunami di Maumere dalam Memori, Perubahan, dan Ancaman)”.

Di surat kabar “Dian”, saya mulai dengan mengidentifikasi satu per satu kebutuhan yang saya cari untuk pameran di Museum Bikon Blewut. Memindahkan bundelan-bundelan koran yang dijilid per bulan, membuka lembaran-lembaran kusut koran yang mulai rapuh, scan, memotret, memfotokopi adalah pekerjaan yang saya lakukan seorang diri. Kadang-kadang, saya berbaring tegak untuk meluruskan tulang punggung saya yang sakit karena bungkuk untuk mengambil gambar dan scan menggunakan printer. Saya mengerjakan itu sejak pukul delapan pagi hingga enam sore. Saya tidak pernah merasa jenuh karena semua berita yang ada di dalam bundelan-bundelan itu sangat penting dan berharga.

Informasi seperti  riset etnografi yang dikerjakan oleh Pater Piet Petu, SVD yang diterbitkan oleh media ini membuka pintu masuk bagi pencarian saya selanjutnya. Tulisan-tulisannya tentang pentingnya museum sebagai tempat belajar bagi kaum muda, lokasi riset yang dikerjakan oleh Pater Piet, narasumber yang ia temui, buku yang ia tulis, hingga perdebatannya tentang motif sarung yang ada di Flores menjadi materi yang sangat penting. Selain itu, informasi-informasi seputar Flores pada masa lalu yang mendapat pengaruh Portugis dan Belanda, serta gereja Katolik dan politik di Timor Leste diinformasikan cukup lengkap. Ini menjadi referensi pengetahuan yang sangat penting dan berguna, tidak hanya untuk saya dan teman-teman di KAHE, tetapi juga bagi masyarakat Flores umumnya.

Arsip yang tersimpan di dalam bundelan surat kabar “Dian” memberikan banyak informasi yang selama ini dibicarakan atau dicari. Informasi-informasi itu tersaji dengan rapi dan menarik. Akan tetapi, manajemen kepengurusan arsip yang tidak dikelola dengan baik menyebabkan banyak arsip yang rusak dan informasi-informasi pentingnya hilang. Arsip-arsip surat kabar itu dibiarkan saja di antara rak-rak tanpa diurus dengan baik. Narasi-narasi di dalam terbitan koran itu rusak dan sebagian lainnya tidak bisa diakses lagi.

Saya lantas bertanya-tanya, jika sumber di surat kabar “Dian” yang diterbitkan sejak tahun 1973 itu menjadi salah satu sumber informasi yang sangat penting bagi generasi saat ini untuk mempelajari sejarah Flores itu rusak dan hilang, maka sumber media cetak mana lagi yang bisa dipakai untuk mengakses informasi Flores masa lalu? Sementara itu, kita tahu bahwa surat kabar “Dian” adalah salah satu media cetak pertama yang ada di Flores. Koran ini memuat informasi dan pengetahuan yang cukup lengkap, tidak hanya narasi berita dan opini, tetapi juga lengkap dengan gambar dan foto-foto yang tersedia di sana.

Pada waktu mengerjakan proyek “M7,8 SR: Pameran, Diskusi, dan Pertunjukan (Refleksi Tsunami di Maumere dalam Memori, Perubahan, dan Ancaman)”, pengalaman yang sama juga saya hadapi. Informasi-informasi seputar gempa dan tsunami yang melanda Flores pada tahun 1992 banyak saya temukan. Liputan-liputan  yang ditulis oleh para wartawan saat itu memberi gambaran yang jelas tentang Flores sesudah gempa. Duka warga kampung Wuring di Maumere yang kehilangan keluarga mereka, aktivitas pendidikan yang macet, kunjungan presiden Soeharto ke Maumere menyaksikan peristiwa ini, bantuan pemerintah yang tidak sampai ke warga, siasat arsitektur bangunan yang tahan gempa, dan berbagai informasi penting lainnya hadir di sana. Arsip berita itu lengkap dengan foto, menangkap dari dekat duka dan kesusahan warga Flores, khususnya di Maumere dan Ende.

Dua pengalaman ini memberi pelajaran yang amat berharga bahwa kerja-kerja pengarsipan merupakan suatu pekerjaan yang perlu dikerjakan dengan satu semangat, disiplin, pengetahuan, dan pengelolaan teknis yang baik, tidak hanya untuk suatu lembaga pemerintah atau swasta yang bekerja mengolah arsip-arsip itu, tetapi juga bagi kelompok masyarakat yang menjadi bagian dari arsip-arsip tersebut. Sebab, pengelolaan arsip yang baik pada akhirnya akan bermanfaat menjadi produk pengetahuan bagi perkembangan masyarakat itu sendiri.

Sebagian dari Temuan Arsip Flores

Menelusuri dan membongkar kembali arsip-arsip Flores untuk kepentingan proyek “Re-Imagine Bikon Blewut” seperti membuka satu diskusi penting berkaitan dengan sejarah masyarakat Flores yang terus berkembang hingga hari ini. Tulisan-tulisan dalam Lau Ne yang dikelola Komunitas KAHE ini, yang sedikit banyak menulis tentang Flores, umumnya merupakan bagian dari proses penelusuran dan penemuan terhadap beragam arsip yang kami kerjakan dalam proyek “Re-Imagine Bikon Blewut”.

Pertanyaan-pertanyaan seputar bagaimana Flores pada masa lalu, sejarah masyarakatnya, pertemuannya dengan bangsa lain dalam sejarah kolonialisme Portugis dan Belanda yang terangkum dalam cerita, gambar, foto, rekaman, dan narasumber, semua itu kami temukan dalam proses pencarian arsip-arsip yang bertebaran di berbagai tempat.

Proses penelusuran itu tidak kami kerjakan sendiri. Kami melibatkan teman-teman diskusi dari Larantuka, Solor, dan mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero – sejak tahun 2022 berubah nama menjadi Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero. Arsip-arsip itu ditelusuri bagian demi bagian sesuai kebutuhan yang kami kerjakan. Menarik bahwa temuan-temuan itu terus membuka wacana pengetahuan yang baru dan selanjutnya diolah dengan ragam pendekatan yang berbeda, seperti dimanfaatkan untuk produksi film pendek dan beragam pertunjukan.

Dalam proses penelusuran itu, kami menemukan banyak hal yang penting yang disajikan sebagai perspektif baru untuk pengetahuan yang selama ini kita peroleh sekadar sebagai informasi tanpa pembanding. Nama Flores misalnya, yang juga dikenal dengan sebutan Pulau Bunga atau Nusa Nipa. Nama itu memiliki sejarah dan narasi-narasi yang cukup panjang.

Mungkin tidak banyak yang tahu jika nama Nusa Nipa itu diberikan oleh Pastor Piet Petu, SVD. Nama tersebut lahir dari riset etnografi yang komprehensif dan panjang terhadap kebudayaan di Flores. Atau mengapa Flores lalu dikenal dengan pulau yang mayoritas masyarakatnya beragama Katolik Roma juga menarik untuk dibaca kembali latar belakang dan sejarahnya. Kita juga dapat mengetahui banyak hal berkaitan dengan kondisi-kondisi politik Indonesia sejak awal kemerdekaan, seperti Flores pada tahun 1945-1950 pernah menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur semi-independen, atau Gereja Katolik di Indonesia yang mudah menyesuaikan terminologinya sesuai perubahan wacana ideologi negara Indonesia, seperti ‘nasionalis’, ‘pembangunan’, dan ‘reformasi.’

Selain itu, ada begitu banyak tokoh intelektual Flores yang ide-idenya sangat bermanfaat bagi pembangunan dan pembentukan masyarakat Flores hingga hari ini. Kalangan intelektual itu tidak hanya berasal dari kaum klerus yang punya privilese ke akses pendidikan dan sumber-sumber referensi, tetapi juga intelektual awam seperti para guru dan jurnalis serta para petani dan buruh. Pikiran dan kerja-kerja mereka berperan besar dalam pergerakan dan kemajuan di Flores.

Semua temuan itu berangkat dari kegelisahan dan pertanyaan tentang Flores hari ini, pulau tempat kami tinggal saat ini, dengan berpijak pada pertanyaan seputar bagaimana Flores pada masa lalu dan visi masa depan apa yang perlu dilakukan untuk Flores di masa yang akan datang. Pertanyaan dari tiga garis waktu yang berbeda itu lalu dipertemukan, direfleksikan, dan dikritisi. Semua aktivitas itu berpijak pada temuan material berupa arsip-arsip sebagai data awal yang selanjutnya kami olah lagi. Arsip-arsip itu memang benda mati, tetapi sumber hidup yang ada di dalamnya dapat dimanfaatkan sebagai teropong dan pijakan hidup masyarakat saat ini dan di masa depan.

Tantangan

Proses penelusuran terhadap arsip bukan tanpa kesulitan. Ada begitu banyak tantangan, terutama berkaitan dengan arsip-arsip tertulis berupa sumber-sumber cetak, seperti buku, tulisan tangan, surat, dan sejenisnya. Arsip-arsip itu banyak yang rusak dimakan rayap dan hancur karena suhu yang selalu berubah.

Selain itu, data-data seperti foto, gambar, lukisan yang tidak dirawat dengan baik pun menyebabkan banyak kesulitan saat dikumpulkan dan diolah lagi. Pemulihan kembali data-data itu butuh waktu yang cukup panjang, apalagi alat-alat teknis yang dibutuhkan masih sangat terbatas di Flores. Jika dapat diakses pun, harganya cukup mahal.

Data-data khusus yang tidak diizinkan untuk diakses juga menjadi kesulitan tersendiri. Apalagi, membaca sejarah Flores berarti membaca sejarah Gereja. Artinya, dalam proses penelusuran itu kita mesti berhadapan dengan institusi gereja yang ruang-ruangnya tidak sepenuhnya bebas. Ada informasi yang bisa diakses, ada informasi yang tidak bisa diakses publik. Akibatnya, informasi yang dapat diakses sangat terbatas, ditambah lagi distribusi pengetahuan tidak dilaksanakan secara tepat dan merata.

Sejarah bisa saja terjebak menjadi sebuah cerita dengan versi tunggal. Jika institusi gereja tidak mempunyai gairah dan kapasitas untuk mengolah arsip-arsip itu untuk kepentingan masyarakat, maka sejarah tetap menjadi kata benda mati yang hari demi hari habis dimakan rayap, habis digusur perubahan zaman. Masyarakat tinggal kaku, sejarah berulang, tetapi berjalan tanpa topangan kaki yang kuat dan pandangan matanya kabur, terperosok masuk lubang karena gelap di sekelilingnya.

Saat program publik “Re-Imagine Bikon Blewut” berlangsung, pengunjung datang dari berbagai tempat dengan latar belakang yang beragam. Anak-anak sekolah dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi yang datang menyaksikan pameran bertanya dan mendengarkan cerita tentang Flores masa lalu, tentang sejarah kampungnya sendiri. Ada yang memberi kritik mengapa sejarah Flores seperti yang ada di dalam surat kabar, gambar, lukisan yang terpampang di pameran itu tidak diajarkan di sekolah, sementara itu guru-guru mengeluh soal kurikulum pendidikan yang tidak ramah karena tidak memberi akses ke pendidikan sejarah lokal. Ada banyak pertanyaan yang muncul. Ada banyak diskusi yang berlangsung. Tetapi siapa yang mau peduli?

Flores punya sejarah dan kebudayaan yang khas. Hal ini yang membuatnya berbeda dengan suku bangsa yang terdapat di berbagai belahan Indonesia. Sejarah dan kebudayaannya yang khas tidak bisa diukur dengan cara-cara dan ukuran yang terjadi di daerah lain. Ukuran itu hanya bisa digunakan sesuai dengan tempat ia berada. Hanya dengan memahami masyarakat Flores, ukuran-ukuran itu bisa terlihat.

Arsip adalah salah satu cara mengenal dan memahami masyarakat Flores. Ia tidak hanya berguna bagi orang-orang yang ingin mencari tahu tentang masyarakat Flores, tetapi juga penting bagi masyarakat Flores sendiri, sebagai rujukan atas identitasnya. Identitas berarti jati diri. Dengan jati diri yang mantap, seseorang bisa melangkah dengan pasti menghadapi realitas kehidupan. Kita harus mulai untuk mengolah semua arsip itu, sehingga kita punya wacana sejarah dan pengetahuan tentang masyarakat kita hari ini. Siapa yang bertugas mengerjakan tugas-tugas ini?

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Kamis, November 21st