Trunojoyo, Di Antara Arsip dan Ingatan

Sebagai inisiator proyek Hari Ini Belajar Sejarah, saya mencoba menawarkan praktik artistik yang dikerjakan secara metodologis. Meski demikian, saya berusaha tetap terbuka pada metode yang dimiliki oleh masing-masing seniman yang terlibat dalam proyek ini. Narasi yang kerap dan berulang-ulang dilontarkan tidak lain adalah bahwa proyek Hari Ini Belajar Sejarah lebih berfokus pada kerja laboratorium. Artinya, karya tidak lagi menjadi sebuah prioritas yang mutlak, sementara praktik riset artistik dan kerja nalar (disiplin berpikir) berusaha lebih ditekankan dalam proses penciptaan. Tawaran-tawaran seperti ini juga diproyeksikan pada keberlanjutan pertumbuhan dan pengembangan ekosistem seni di Sampang, Madura.

Hari Ini Belajar Sejarah merupakan proyek seni yang bertolak dari kata kunci arsip dan ingatan sebagai pijakan gagasan. Arsip dan ingatan memiliki  kemungkinan-kemungkinan yang menarik sekaligus problematis. Arsip dalam pengelolaannya memiliki kemungkinan pengawetan dan penggandaan yang tak terbatas. Sementara, ingatan memiliki problem tersendiri, yaitu potensi untuk dilupakan atau terlupakan karena faktor manusiawi atau karena disengaja secara sistematis. Dua kata kunci di atas diproyeksikan pada narasi sejarah Trunojoyo yang menarik untuk dibaca atau dipelajari ulang, terutama tentang perspektif dan teknologi berpikirnya yang coba didialogkan dengan kenyataan hari ini.

Narasi tentang Trunojoyo yang dikenal oleh sebagian besar masyarakat Madura terbingkai dalam kisah perlawanannya di era Kesultanan Mataram Islam pada abad ke XVI. Dari narasi itu, versi tafsiran yang tumbuh kemudian mengklaim Trunojoyo sebagai pemberontak. Versi ini berbeda dengan pengetahuan yang ada dalam ingatan kolektif masyarakat Madura: Trunojoyo adalah pahlawan. Perjuangannya melawan Amangkurat I yang menduduki tahta Mataram dan memerintah dengan tangan besi kala itu dianggap sebagai sebuah pembebasan. Meski pada akhirnya Trunojoyo dikalahkan atas dukungan VOC, perjuangannya dianggap kisah kemartiran.

Dua versi tentang Trunojoyo ini berkelindan sampai sekarang. Versi yang lebih dominan yang menganggap ia sebagai pemberontak dan versi lain yang menempatkan dia sebagai pembebas berebut ruang untuk dinarasikan. Jika yang satu berpijak pada arsip/historiografi, yang lain berpijak pada ingatan. Generasi Madura dengan kenyataan hari ini menghadapi ‘sejarah’ dalam dua tegangan yang krusial, sebuah krisis. Oleh karena itu, pijakan awal gagasan proyek ini menempatkan Trunojoyo sebagai pintu pertama untuk kemudian melihat suatu yang lain, yang lebih luas: sejarah Madura dan kenyataan hari ini. Selanjutnya, gagasan ini coba dikerucutkan lagi menjadi Hari Ini Belajar Sejarah.

Untuk menelaah krisis yang disebutkan di atas, secara metodologis proyek ini melakukan semacam studi kasus yang dipantik oleh beberapa pertanyaan mendasar: apa yang paling memungkinkan narasi sejarah (Trunojoyo) didekati dan dibaca secara kritis? mengapa kurikulum sejarah dalam pendidikan di tataran SD sampai SMA tampak membosankan atau tidak begitu diminati? dengan cara apa (yang paling relevan) narasi masa lampau ditautkan dengan  konteks hari ini?

Dalam proses menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, proyek ini kemudian menghantarkan kami pada suatu pendekatan yang kami sebut  pendekatan ‘Biografi-Spasial’. Pendekatan tersebut mencakup manusia dan lanskap tempat hidupnya serta situs-situs di sekitarnya. Dari melihat manusia, lanskap, dan situs, kami memulai penelusuran kami atas sejarah.

Dengan mengamati manusia, lanskap tempat tinggal dan situs-situs spesifik yang ada di dalamnya, para seniman seakan-akan dimungkinkan untuk bermain-main dalam koreografi ruang, jarak, dan waktu. Beberapa kata kunci dihasilkan dari pengamatan atas unsur-unsur di atas.  Fadzil Shufina secara khusus menandai ‘jalan raya’ sebagai kata kuncinya.  ‘Monumen’ berusaha diselidiki dan didekati oleh Deni Aji. Sementara seniman lainnya menguliti kata kunci ‘biografi’.

Spasialitas atau keruangan tidak melulu merujuk pada yang material seperti ruas jalan, bangunan, dll. Spasialitas juga mencakup nilai-nilai seperti mitos, sejarah, dan kisal-kisah lainnya. Dalam konteks praktik kami, spasialitas coba kami lihat dalam kerangka masa silam sebagai  titik awal menuju saat ini. Sejarah masa lampau bukan sesuatu yang kosong tetapi sesuatu yang menggerakkan saat ini. Begitulah pendekatan ini dilakukan sebagai upaya untuk menemukan sebuah kemungkinan keterhubungan antara masa lalu dan masa kini, bahkan untuk hal-hal yang seolah-olah sama sekali tidak berkaitan.

Apakah kegagalan Trunojoyo di masa lampau juga memberikan bias tertentu dalam kenyataan hari ini?

Dalam proses pelacakan kami, Trunojoyo sengaja tidak didudukkan sebagai sosok  heroik. Ia kami perlakukan sebagai kata kunci, spirit perjuangan, pikiran dan kesadaran kritis. Dengan demikian, kami memiliki bentangan uji coba untuk mempelajari, melacak, dan memetakan nilai-nilai yang ditawarkan di masa lalu oleh peristiwa sejarah yang bisa dipantulkan pada kenyataan hari ini.

Pangeran Kajoran sebagai Brahmana (dalam kepercayaan Hindu), atau sosok bijaksana yang menguasai beragam pengetahuan, memiliki peran penting dalam pemikiran Trunojoyo pada masanya. Trunojoyo belajar banyak hal kepadanya. Namun, pengetahuan yang didapati oleh Trunojoyo terputus setelah kematiannya. Sementara itu berlangsung, Trunojoyo sebagai arsitektur pengetahuan tidak banyak dibicarakan. Oleh sebab itu, Trunojoyo dalam gagasan ini coba didudukkan sebagai ‘arsitektur pengetahuan’.

Dalam konteks ini, arsitektur tidak mengarah pada konsep perancangan atau bangunan sebagaimana definisi pada umumnya. Kami melihat kerja arsitektur secara umum sebagai kerja nalar untuk menciptakan bangunan. Nalar atau pengetahuan kami identifikasi sebagai sebuah entitas yang punya rancang bangun tertentu, oleh karena pembelajaran terus menerus dalam hidup. Dengan pemahaman demikian, pemikiran Trunojoyo kami tandai sebagai ‘arsitektur pengetahuan’.

Pembelajaran Sejarah

Mengapa pelajaran sejarah minim peminatnya? Apakah mereka juga merasakan hal yang sama dengan yang saya alami beberapa tahun silam, yaitu pelajaran sejarah itu membosankan? Apa mungkin ada masalah dengan metode pengajaran? Atau justru problemnya ada pada kurikulum dan metode penulisan  sejarah?

Saya tidak tahu apakah pertanyaan-pertanyaan tersebut melanggar kode etik atau tidak. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pertanyaan itu lebih mengarah kepada persoalan materi pelajaran dan sejumlah kegelisahan saya tentang minimnya pelajar hari ini yang menggemari pelajaran sejarah, khususnya sejarah lokal. Dalam proses riset, kami menemukan narasi-narasi sejarah dalam buku pelajaran sejarah misalnya, cenderung berasal dari narasi arus utama. Narasi global. Sialnya, kita dituntut untuk terus-menerus menghafalnya.

Dalam konteks kisah Trunojoyo, narasi-narasi lokal dan ingatan kolektif tentangnya tidak banyak diketahui oleh pelajar hari ini. Ingatan kolektif tentangnya hanya diketahui oleh generasi sebelumnya atau generasi tertentu yang memang memiliki disiplin bacaan di luar kurikulum sekolah. Ingatan kolektif soal Trunojoyo tidak menyebar secara merata dan tidak berhasil diwariskan lintas generasi. Pengetahuan tentang sejarah boleh dibilang terbatas. Ingatan kolektif ini terputus, membentuk sebuah ekosistem yang tidak mengenal sejarahnya sendiri.

Namun, apakah penting belajar sejarah, dalam hal ini sejarah Trunojoyo? Menurut saya, bukan soal penting atau tidak penting. Yang menarik dalam belajar sejarah sebenarnya adalah bagaimana merespons kisah secara bebas, tanpa terjebak pada narasi hierarkis, sebagaimana historiografi pada umumnya. Atau lebih jauh, narasi historis itu direkonstruksi lewat perspektif kenyataan hari ini.

Belajar sejarah mestinya membuka kemungkinan produksi pengetahuan baru yang dilandaskan pada kerja eksplorasi pikiran dalam menemukan inti dari peristiwa yang terjadi di masa lampau. Dalam prosesnya, daya kreatif dalam kerja nalar dikembangkan. Dengan begitu, berlangsung upaya membangun sikap kritis untuk generasi berikutnya, untuk sebuah masa depan yang sehat. Dengan bahasa yang lebih lugas, mempelajari sejarah bukan lagi untuk menarasikan ulang kisah perjuangan Trunojoyo, tidak juga menghafal nama kerajaan-kerajaan di Nusantara atau nama raja-raja yang memerintah. Bukan lagi menghafal tahun peristiwa peperangan tetapi lebih daripada semua itu, membangun sebuah kesadaran untuk menyusun masa depan yang rekonstruktif.

Seberapa pentingkah mengusulkan Trunojoyo sebagai pahlawan nasional, sementara kita tunduk pada sistem negara? Mengapa sangat percaya diri mengusulkan Trunojoyo sebagai pahlawan nasional, sementara proyek Jalan Raya Lingkar Selatan terus berlangsung, merampas hidup dan masa depan generasi mendatang dengan membabat lahan pertanian membuka akses bagi urbanisasi?

Mengapa sibuk mengurusi sejarah Trunojoyo, sementara sistem pendidikan di negara kita tidak peduli dengan sejarah Trunojoyo? Mengurusi bantuan rakyat miskin saja dibuat rumit. Lalu, kita bermimpi mengusulkan Trunojoyo sebagai pahlawanan nasional? Apalagi bermimpi menjadi bangsa yang demokratis. Sementara, kita lupa bahwa kita hidup dalam keadaan tunggang langgang. Sikap kritis Trunojoyo terputus dan tidak berlangsung dalam tubuh realitas masa kini.

Teks di atas saya ambil dari bagian penutup performance lecture saya, yang diproyeksikan sebagai presentasi karya yang bertolak dari kritik atas problem hari ini yang sangat kompleks dan beragam. Pertanyaan-pertanyaan ini membantu saya menempuh cara pikir yang anti-mainstream atau sebagai upaya keluar dari narasi sejarah yang semakin lama terasa semakin klise: sejarah yang melulu bersifat seremonial belaka, tanpa menawarkan pengetahuan Trunojoyo itu sendiri untuk didistribusikan pada generasi selanjutnya sebagai gambaran pengetahuan tentang kenyataan hari ini yang serba membingungkan. Sebuah realitas yang tunggang langgang. Sebuah disorientasi sikap dan nalar: sekelumit ‘arsitektur yang gagal’.

Kerja Nalar

Untuk masuk pada poin ‘arsitektur sebagai kerja nalar’, saya ingin menyoroti praktik riset artistik Fadzil Shufina yang memilih untuk menatap Jl. Trunojoyo di kota Sampang. Melalui lanskap Jl. Trunojoyo ini, Fadzil semacam hendak melakukan napak tilas atas narasi historis Trunojoyo lewat aspek ekonomi kelas bawah. Kata ekonomi di sini menjadi kata kunci yang menghubungkan realitas hari ini dengan spirit Trunojoyo di masa lalu. Fadzil, memetakan Jl. Trunojoyo lewat dua pertanyaan: “tahu ini jalan apa?” dan “siapa Trunojoyo?”.

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mengharapkankan jawaban ‘iya’ sebagai tanda pengetahuan. Pertanyaan itu dilemparkan tanpa dibebani dengan pretensi apapun. Fadzil berlaku layaknya seorang yang polos dan lugu, seperti seorang yang memang tidak tahu apa-apa. Sebagian besar warga yang ada di sepanjang jalan itu memang tidak mengetahui siapa Trunojoyo. Warga lebih banyak mengenal Trunojoyo sebagai sebuah nama jalan. Atau sebuah monumen. Ironis. Sungguh sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan gagasan ambisius dalam mengusulkan Trunojoyo sebagai pahlawan nasional. Sebuah keadaan dengan ekosistem yang gelap. Sebuah narasi historis yang terputus-putus.

Fadzil cukup berani mempertunjukkan hasil temuannya itu secara gamblang lewat film dokumenternya yang berjudul GERBANG. Melalui karyanya, Fazdil seolah ingin membawa audiens memasuki gapura yang bertuliskan “Selamat Datang di Kota Sampang”. Atau semacam sebuah ajakan untuk menatap kenyataan Sampang lewat layar laptop. Fadzil seperti mempersiapkan karyanya untuk membongkar kenyataan ekosistem kota yang ‘aneh’. Keanehan itu dibiarkan hadir begitu saja. Dengan begitu, karya Fadzil Shufina ini secara tegas melontarkan kritiknya terhadap sistem (pemerintah) yang penuh ambiguitas.

Selain itu, Fadzil melihat sebuah ‘peperangan’ yang terjadi di dalam warung nasi bebek. Fadzil melihat bahwa sepasang suami-istri memerangi kemiskinan. Hubungannya dengan narasi Trunojoyo, Fadzil menganggap bahwa Trunojoyo juga memerangi kemiskinan yang sedang/akan terjadi saat itu. Spirit Trunojoyo itulah yang ditempuh oleh Fadzil kemudian diwujudkan dalam bentuk karya dokumenter.

Sementara itu, Deni Aji menatap hubungan narasi historis spirit Trunojoyo dengan generasi Z hari ini lewat monumen di pusat kota di Sampang. Pilihan objek tatapan ini tidak serta-merta disasar oleh Deni. Pemilihan objek ini diawali dengan wawancara terhadap siswa maupun pelajar lewat kuesioner. Dalam hasil wawancaranya, suara terbanyak merujuk pada monumen. Deni lantas melanjutkan riset wawancaranya di monumen Trunojoyo sebagai tempat plesir para muda-mudi generasi hari ini.

Deni membangun sebuah komposisi bunyi dengan pendekatan arsitektur (dimensi ruang). Ia merekam bunyi benda-benda yang dipilihnya, seperti kayu, besi, plastik, arus listrik, dan suara hasil wawancara yang dikumpulkan oleh Deni. Semua unsur bunyi melalui tahap mixing dan mastering menggunakan Cubase. Karya bunyi itu menjadi bagian yang mengisi ruang kosong pada sebuah kanvas, dengan sebuah paku tertancap tepat di bagian tengah, menggantung headphone. Karya ini diberi judul Rekonstruksi.

Untuk menikmati karya ini, pengunjung harus menggunakan headphone layaknya menikmati karya rupa lewat bebunyian. Deni memberikan sebuah tawaran bahwa seni visual tidak hanya memakai sudut pandang tatapan (penglihatan), tetapi bagaimana seni bebunyian juga dapat bekerja dalam skena seni rupa sehingga seni rupa tidak terbatas pada gambar, garis, atau sebuah permainan warna di atas kanvas, melainkan juga bunyi.

Rekonstruksi mungkin memberi efek bosan dan memancing tawa satir. Deni semacam memberikan suatu kritik terhadap ekosistem kota yang ruwet, noisy, semrawut atau tunggang-langgang. Pada gambar di atas, monumen yang memiliki sejarah atau konsep artistiknya sendiri diintervensi oleh bangunan yang lain. Tubuh (tugu) monumen berhadapan dengan dua tugu yang lain yang tidak sesuai dengan konteks narasinya maupun secara spasial. Pada poin tersebutlah Deni semacam mendapatkan kesadaran kritis atas distribusi pengetahuan yang juga terputus.

Di samping Deni, ada karya Hidayat Raharja yang memanjang menyerupai garis horisontal. Hidayat bertolak dari beberapa konstruksi bangunan lama sebagai sebuah ingatan atas arsitektur kota di masa lalu. Bangungan itu meliputi sebuah stasiun  yang menyimpan bunyi lengkingan peluit penjaga parkir, sebuah gereja yang sudah sekian lama membeku, dan bangunan lama lainnya yang masih berdiri tegak di tengah perubahan wajah perkotaan yang terus tumbuh dan berkembang.

Hidayat melihat dari perspektif yang lain soal pertumbuhan kota. Hidayat Raharja melihat kota Sampang  yang lamban. Jika kebanyakan warga beranggapan bahwa perkembangan kota Sampang cepat seperti kota-kota yang lain, Hidayat justru sebaliknya. Ada situs yang terekam dalam ingatannya sekaligus eksis hari ini, meski tidak maksimal.

Sketsa-sketsa yang dibuatnya tidak lantas mencoba membangun kenangan tetapi tengah menatap perkembangan kota yang terus tumbuh. Sesuatu yang khas yang tidak ditemukan di daerah lain. Sebuah gereja berdiri di dekat pertokoan tetap kukuh berdiri tanpa ada papan nama. Sebuah stasiun yang pernah menjadi tempat singgah  kereta api dari Sumenep menuju Kamal, masih kokoh berdiri dengan suara peluit kereta mengiang dalam ingatan. Saat peluit terdengar, waktu menunjukan pukul tujuh lewat seperempat dan Hidayat Raharja sudah berada di dalam ruang kelas, siap menerima pelajaran di SMP 1 Sampang. Dari kejauhan terlihat lokomotif menyeret gerbong ke arah barat. Gerbong yang menggerakkan peradaban, bunyinya menyeret seluruh ingatan masa lalu. Dalam teks deskripsi karya sketsanya, Hidayat Raharja tampak ingin berkata, “kota ini tidak pernah mati” di balik berbagai masalah mulai dari sosial, ekonomi, politik, agama, dan budaya.

Ingatannya yang lain adalah tentang suara musik yang riuh di malam-malam puasa. Sebuah musik sahur yang lebih dikenal sebagai “Daul Combo”, musik sederhana dengan iringan kendang, bedug, dan pianika. Corong yang terbuat dari kertas kardus jadi pelantang suara penyanyinya. Musik ini masih bertahan di setiap Ramadhan tiba.

Beberapa tempat di kota ini tak banyak berubah, menyimpan seluruh ingatan yang pernah terekam jejaknya. Kota ini terus tumbuh dan dari ujung timur dari bukit Pababaran, dari Sitinggil, terus bergerak dengan seluruh ingatan yang kekal dalam sejarah. Inilah bangunan  yang mengusiknya tentang Trunojoyo: keteguhan, kesepian, sekaligus kegaduhan.

Pada karya yang lain, Rokhi Al Farizi, seniman muda asal Sampang mencoba merespon tema Hari Ini Belajar Sejarah melalui sebuah objek monumen dan tata ruang kota Sampang. Rokhi melahirkan empat karya dan semua karyanya terpayungi dibawah judul Tersesat dalam Sejarah.

Sebagai seniman muda yang hidup di zaman milenial dan tidak begitu banyak tahu tentang narasi historis Trunojoyo, Rokhi tampak kebingungan ketika melacak Trunojoyo melalui platform digital seperti google atau wikipedia. Narasi-narasi yang didapati selalu tak sama. Kebingungannya itulah yang ia pindahkan ke dalam karya berupa kolase. Ia menuliskan ulang beberapa kalimat pendek yang dijumpai di google maupun wikipedia. Pada kolase itu, ia juga menggambar situs-situs penting yang ada di kota Sampang. Setidaknya ada tiga situs yang segera ditatapnya: Masjid, Monumen dan tempat ari-ari Trunojoyo diletakkan. Tiga situs ini tak terlalu jauh letaknya satu sama lain.

Sementara pada salah satu karya Rokhi yang lain, sebuah lukisan monumen seakan hendak ditenggelamkan oleh banjir. Rokhi menyoroti tata ruang kota yang sangat bermasalah. Hal ini juga berkaitan dengan pengelolaan drainase yang buruk sehingga ketika musim hujan tiba, banjir tidak dapat dihindari. Sampang kerap mengalami banjir tiap tahunnya. Rokhi sangat gamblang memunculkan imaji tersebut lewat estetika Van Gogh yang amat intens goresannya dalam sebuah garis kurva.

Empat karya Rokhi dipajang di ruang yang terpisah. Dua dipamerkan di ruang pamer utama (berlatar hitam) bersama karya seniman yang lain. Dua karya itu berupa kolase dan sebuah lukisan yang tampak buram tetapi ketika dilihat dengan jarak lebih dekat, kita dapat menangkap garis dan tekstur. Di sini, estetika Van Gogh muncul lagi. Benar belaka, Rokhi begitu mengagumi karya-karya Van Gogh. Namun, ia tidak banyak tahu hubungan sejarah estetika dan karya-karya Van Gogh.

Lukisan lain diletakkan di ruang lain  tanpa background hitam. Ruang itu diproyeksikan seolah studio tempat Rokhi bekerja. Saat pembukaan pameran, secara bersamaan, Rokhi sedang menjalankan lokakarya yang diniatkan menjadi peristiwa/performance yang secara terbuka dapat ditonton oleh para pengunjung. Dalam lokakarya itu, tidak ada gagasan spesifik apalagi ideal. Dari siang sampai sore Rokhi hanya bergumul dengan garis dan warna. Hal ini dilakukan sebagai respons atas niatnya untuk keluar dari estetika Van Gogh dan mencari sekaligus memperkuat estetikanya sendiri, berbasis pada profesinya sebagai seorang barista pada sebuah cafe dan cintanya pada vespa.

Hal yang menarik dari keseluruhan proses para partisipan adalah kesediaan mereka untuk melakukan riset dan observasi mengenai tema yang diusung. Meski observasi dan riset berlangsung dari hal-hal yang sederhana, kesadaran akan proses memperoleh, mengolah, dan memproduksi pengetahuan menurut saya menjadi perjalanan kreatif yang perlu dirayakan.

Pada akhirnya, hal yang juga masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi semua partisipan adalah mengupayakan obrolan perihal Trunojoyo secara lebih masif di Sampang dan Madura. Narasi dan cerita yang telah diperoleh harus diusahakan untuk beresonansi dan menemui pemirsa-pemirsanya secara lebih luas dan dengan penuh kesadaran mengenai betapa pentingnya nilai-nilai kritisisme terhadap arsip dan sejarah untuk masa depan bersama yang lebih adil.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Rabu, Oktober 30th