Apakah Tubuhku Benar-Benar Milikku?

Eka: Kami di Lau Ne saat ini sedang membahas Ekspresi Politik/Politik Ekspresi melalui tiga parameter: ruang, tubuh, dan bahasa. Bagaimana ketiganya berpengaruh pada pilihan-pilihan ekspresi seseorang dan bagaimana melihat politik di baliknya. Dalam podcast kali ini kami ingin bahas bagaimana tubuh berhubungan dengan Ekspresi Politik/Politik Ekspresi.

Pertanyaan pertama saya itu sebenarnya berangkat dari workshop kita yang terakhir, workshop SOGIESC. Kenapa Mbak Khanis memulainya dengan mengidentifikasi tubuh?

Khanis: Kalau kita belajar gender atau seksualitas, yang sebenarnya diributkan orang itu basisnya adalah tubuh karena di luar non-heteronormativitas, di luar non-heteroseksual dan di luar gender biner, selalu bicara tentang moralitas.

Ketika orang bicara tentang moralitas, mereka sebenarnya individualis. Maka, ujungnya akan bicara tentang dosa. Dan sumber kedosaan dalam seluruh agama itu adalah seksualitas. Di Katolik sangat kencang soal itu. Katolik, Islam, dan agama samawi lain. Agama samawi itu sangat clear bahwa problem dosa itu sebenarnya berangkat dari individu. Tubuh yang tidak ditutupi, tubuhmu yang telanjang, itu awal dosa asal. Tubuh yang telanjang, lalu dia menjadi sumber pengetahuan dan menjadi sumber radikal, radix (Lat. akar), radikalisme revolusioner itu akarnya dari sana.

Nah, kalau kita mau belajar gender dan SOGIESC untuk menghentak orang, itu menurutku harus clear dulu dengan apa itu tubuh, terutama untuk teman-teman trans. Lalu, kalau bicara tentang orientasi seksual, hubungan seksual itu maka adalah hubungan kelamin. Nah, hubungan kelamin itu juga bicara tentang tubuh.

Tubuh laki-laki mana yang pantas bercinta dengan tubuh yang lain. Begitu juga sebaliknya, tubuh perempuan itu pantasnya bercinta dengan yang mana. Itu sudah ditentukan. Jadi, berangkat dari decolonizing, membebaskan dari jajahan pikiran dengan tubuh.

Selain itu, tubuh setiap orang yang belajar itu memiliki pengalaman ketubuhannya. Entah itu heteroseksual atau non heteroseksual itu pasti punya apa yang kita sebut sebagai ruang-ruang nakal atau ruang-ruang gelap, yang tidak pantas diceritakan karena ketabuan yang kita katakan dalam pembelajaran kita itu.

Jadi, tubuh itu selalu politis. Tubuh itu selalu politis ketika dia dihadirkan dalam ruang publik entah itu melalui cerita narasi dengan bahasa, atau entah itu ditampilkan dalam wujud gestur. Ekspresinya tidak selalu bebas terbuka tetapi dia harus ingat ada rambu yang membatasinya. Nah, kamu jadi paham kan kenapa harus dari tubuh?

Eka: Nah, itu kan semacam ada dua cara melihat tubuh; tubuh yang politis tapi juga ada tubuh yang personal, dan kenapa kita butuh decolonizing atau dekonstruksi soal tubuh. Untuk saya misalnya, bisa jadi ada anggapan bahwa, bahkan kita juga tidak sepenuhnya mengenal tubuh kita atas konstruksi-konstruksi yang kita bawa. Bagaimana sebenarnya proses yang berlangsung dalam lingkungan sosial tertentu, rumah atau keluarga sehingga kemudian membuat kita punya semacam beban moral tertentu pada tubuh kita sendiri?

Khanis: Walaupun tubuh itu individual tapi tubuh tidak belong to individuals. Tubuh adalah Bait Allah dalam konsep gereja, gitu kan? Maka dia harus dijaga. Artinya, dia harus suci. Kesuciannya itu sudah banyak kodenya, ada marker-nya. Dan ketika kita berjumpa, tubuh diekspresikan dalam tingkatan yang berlapis-lapis. Identitas tubuh berlapis-lapis, ketika saya bertemu kau itu akan berbeda dengan ketika saya bertemu Pater, dan begitu juga di ruang atau lokasinya yang berbeda.

Ketika saya duduk bersama dengan Pater untuk mabuk itu akan berbeda ketika saya berjumpa dengan Pater di ruang gereja. Jadi, kamu bisa lihat bagaimana perubahan-perubahan tubuh. Tubuh itu bukan milik kita.

Kemudian, ketika dia tidak menjadi milik kita itu maka stigma itu akan terbangun dengan sendirinya ketika kita tidak mampu beradaptasi atau tidak mampu serupa dengan orang lain. Maka, ketubuhan itu akan dibicarakan dengan bisik-bisik. Apakah itu relasi seksual intimacy, apakah itu sekedar telanjang di kamar saja pun tidak semua orang berani, apalagi perempuan.

Sekarang pertanyaannya begini, apakah semua orang itu pernah meraba seluruh tubuhnya? Ketika kita memegang alat kelamin kita aja dimaknai dengan satu nama yang mengerikan atau bahwa itu bisa menjadi penyakit. Kecanduan seks itu tidak boleh. Sex pleasure yang luar biasa itu nggak boleh. Jadi, ketika orang menikmati ketubuhannya sampai “lupa” maka dia dianggap sama dengan binatang. Karena di momen itu dianggap akal budinya hilang.

Kamu bayangkan, kemanusiaan kita itu akan sama, ketika kita di dalam puncak seksualitas kita. Tetapi di sisi lain, ketika kita membaca tulisannya Yohanes Paulus tentang Man of Prayer. Tubuh kita ini adalah wujud dari wajah Tuhan itu sendiri. Dia melihat bahwa di titik itu, tubuh juga paling sakral. Ketika kita melihat dosa itu kadang-kadang ambigu. Dualisme itu selalu ada.

Jadi, kita tidak pernah bisa bilang, “ini tubuhku” karena di situ ada dualistic. Ketika ini tubuhku maka harusnya saya punya power atau kuasa untuk menggunakan tubuh ini atau bercinta dengan siapapun. Tapi ternyata, tidak. So this is not my body, ini bukan tubuhku. Sama dengan ketika kita mengatakan hidupku. My life. Itu nggak ada! karena kau juga gak punya kuasa atas hidupmu. One day, ketika dia harus harus pergi, diambil, maka dia tidak akan bisa apa-apa. Hidup itu bukan kau yang menguasainya tetapi ada satu kekuatan lain. Begitu juga dengan tubuh.

Tapi menariknya, tubuh itu luar biasa. Sampai mati pun tubuh itu selalu dijaga moralnya. Bahkan ketika dia harus diutak-atik, dipotong dalam etika kesehatan. Saya mau memotong susuku pun harus ada satu etika tertentu. Misalnya, ketika aku tidak menyukai ini, saya tidak punya kebebasan untuk membuangnya. Nah, ini yang terjadi pada orang-orang trans. Karena dia tidak memiliki tubuh itu. Jadi, nggak ada otoritas tubuh itu sebenarnya. Jadi itu illusion. Sama dengan hidup. My life itu nggak ada. Nonsense. My life itu sebenarnya dualism. Duality: life and my. Aku di mana dalam kehidupan? Aku itu penuh dengan pertanyaan karena aku sendiri itu tidak mengenal siapa diriku, bagaimana aku bisa memiliki tubuhku?

Eka: Nah, kita kembali ke workshop dulu. Ketika kamu menuntun kami, teman-teman di workshop, untuk mengenal tubuh masing-masing, sebenarnya apa ideal yang ingin kita proyeksikan dari pengenalan kita atas tubuh? Kalau kemudian tubuh tidak sepenuhnya pribadi tetapi juga eksperimen sosial?

Khanis: Kesadaran bahwa engkau punya rasa, mungkin ya. Ada teman-teman yang takut menggambar penis, atau bahkan bulu ketek aja mereka takut untuk menunjukkannya. Takut karena bentuk kiri-kanannya beda . Karena itu, semua orang mengatakan paling mudah menggambar di area mana? Wajah karena wajah itu yang selalu diperlihatkan. Sementara di balik baju, itu semuanya malu, gelisah. Kenapa perlu dipaksa ke sana? untuk decolonizing, untuk mendekonstruksi. Bahwa ini memang bukan tubuhmu sepenuhnya, tetapi setidaknya kamu sadar ketika kau bercinta dengan orang lain, ketika kau menutupinya dengan ekspresi yang bermacam-macam itu. Di satu sisi, ketika kita bermain drama dalam Goffman itu, kita punya ruang “kebebasan” tetapi kebebasannya tetap di dalam framework, dalam structure. Kita sebenarnya re-structure, atau reinforce structure yang sama dalam model yang berbeda. Jadi, tidak sepenuhnya bebas, tapi ada ruang untuk bermain. Sederhananya begitu. Ekspresi menurut saya adalah permainan. Politik itu kan permainan. Jadi, itu bukan kebebasan. Kebebasannya itu dalam konteks permainan.

Eka: Kalau begitu, Mbak Khanis, bagaimana pendapatmu tentang kampanye “saya pemilik tubuh saya”? Sejauh mana kamu melihat kebebasan orang terhadap tubuhnya? Mereka memilih cara berekspresi bahkan yang sangat radikal (melakukan komodifikasi atas tubuh, ubah bentuk tubuh, dan lain-lain)? Ini seperti tegangan antara fenomena sosial dengan pandangan esensial terhadap tubuh.

Khanis: Kampanye “tubuhku, otoritasku” sebenarnya satu ilusi. Tapi, kalau bicara begini, aku dihantam orang. Kalau kamu membaca perlawanan terhadap determinisme, terhadap esensialisme itu kan mereka membangun dekonstruksi ruang-ruang kebebasan. Tetapi sebenarnya, kritik terhadap mereka itu juga membangun ilusi yang baru karena pada akhirnya dekonstruksi itu juga menjadi struktur yang menjajah, menjadi sesuatu yang normatif yang diberlakukan bagi kelompok-kelompok baru.

Kenapa penting ada  “my body is my authority” itu? Untuk setidaknya menarik orang dari rasa painful-nya, dari rasa sakit yang diciptakan oleh esensialisme. Esensialisme itu menimbulkan luka. Luka pada orang-orang atau kelompok tertentu; pada kelompok queer, pada kelompok perempuan, even trans, atau lelaki yang feminim, lelaki yang hetero, tetapi dianggap banci, atau lelaki yang harus bertubuh kekar dengan otot, mereka yang tidak punya otot pun bisa painful.

Jadi, otoritasku itu sebenarnya cuma untuk melawan esensialisme yang menimbulkan luka. Nah, sayangnya bangunan kebaikan ini kadang-kadang ditandai dengan ketakutan, kecurigaan sebagai bentuk kebebasan yang radikal. Orang seks bebas itu kan ujung dari tubuhku, diriku. Tubuh yang bebas itu menakutkan, mengerikan. Mengerikan bagi bangunan authority moralitas karena basis kontrol terhadap manusia itu adalah yang individual, tubuhnya. Kau harus membungkuk, kau harus angkat tangan ketika hosti diberikan, kau harus katakan “saya berdosa”. Kau harus berdiri di mana, kau berdoa dan lain sebagainya. Semuanya. Tidak hanya bicara tentang seks. Jadi, kalau kamu mau melihat ritual kemanusian itu adalah tubuh.

Itulah kenapa orang mati menjadi tidak berguna, yah di sana itu akarnya. Lalu kenapa orang harus bereproduksi sebanyak-banyaknya? Perempuan didorong untuk baby boom? Ada momen itu. Kenapa? Karena ada kuasa, control. Pada akhirnya, walaupun jumlah penduduk banyak, demografi itu menimbulkan persoalan tertentu. Tapi di sisi lain, dia menimbulkandan mempertahankan kekuatan tertentu juga.

Siapa bisa lawan Amerika? Siapa bisa lawan Cina? Siapa bisa lawan India? Dengan seluruh problemanya mereka, ini cara mereka. Cina jelas, bagaimana cara dia mengontrol tubuh. Amerika jelas bagaimana cara mereka mengontrol tubuh. Itu kan clear banget. Kalau kamu masuk ke Amerika, kita ini kan kaya penjahat. Yang diperiksa kan tubuh kita. Identitas ketubuhan kita. Semua yang melekat pada diriku.

Eka: Nah, kemudian berkaitan erat dengan identitas karena seperti yang kamu bilang, omong soal Negro, tubuh dulu yang pertama kali nampak.

Khanis: Kau Cina itu kan karena badanmu. Kau orang Timur karena keriting rambutmu, hitam kulitmu. Kau orang Papua itu kan karena hitammu, begitu kan? Walaupun saya bilang misalnya saya bukan Cina, tidak Cina, tubuh saya menunjukkan saya Cina.

Eka: Iya, itu sangat nampak. Performative begitu.

Khanis: Itu yang terjadi pada imigran-imigran di Eropa, di Amerika, begitu kan? Antropologi itu datangnya dari ketubuhan, dari kultur yang mencurigai.

Eka: Oke. Memang dalam sejarah banyak sekali dualisme soal tubuh: tubuh dan jiwa; tubuh dan roh yang menempatkan tubuh sebagai buruk dan tubuh sebagai yang jahat, dan itu kebanyakan datang dari konteks Barat. Apakah kamu punya contoh-contoh budaya lain yang memandang tubuh sebagai satu kesatuan yang mungkin tidak terpisahkan atau benar-benar satu kesatuan begitu?

Khanis: Sebenarnya kultur-kultur Asia itu melihat tubuh kita itu tidak sepenuhnya tubuh kita karena gak ada my body. Itu sebenarnya ilusi semua. My mata is my body, yang ada itu sisirku.

Sisirmu juga kadang-kadang juga gak punya kesempatan juga ketika dia dicuri orang. Gini, kalau kita melihat bagaimana di Jawa, walaupun tidak terlalu detail Jawa mana, atau di Sulawesi dan di Timur mungkin, misalnya ketika acara di Ledalero itu, bagaimana sebuah tarian, orang menggerakan tubuh–mau itu sensual, atau mau itu gak sensual, mau itu berpakaian warna-warni yang semuanya bercampur. Itu sebenarnya kadang-kadang kan tubuh tidak lagi menjadi penanda kelompok tertentu, tetapi tubuh bersatu di dalam pemujaan itu.

Misalnya, di Jawa banyak kasus ketika saya mau jadi orang sakti maka saya harus bercinta dengan berbagai kategori orang. Sementara di Barat itu kan tak boleh. Haram. Haram jadah itu istilahnya. Nggak benar. Atau monogami itu kan datang dari samawi. Abraham bapak kita itu aja istrinya gak satu kok. Kita juga punya persoalan perceraian, karena menurutku mungkin manusia itu tidak bisa berpasangan dengan satu orang. Cuma kita dipaksa untuk berhadapan dengan hanya satu orang.

Aku pikir, Barat itu menemukan caranya untuk terbebas dari monogami, yaitu dengan living together yang sebenarnya dilakukan oleh orang-orang Timur. Dan fine sebenarnya karena perkawinan seumur hidup itu sebenarnya, ya di satu sisi mungkin ada baiknya, of course. Setiap hal ada kebaikannya. Tetapi juga, mungkin kepada orang-orang yang tidak cocok, nanti kemudian ditandai sebagai dosa.

Misalnya begini, ketika Gereja Katolik berhadapan dengan umatnya yang bercerai, lalu di ekskomunikasi, lalu kemudian akhirnya gereja ditinggalkan. Itu kan ujungnya duit. Gereja harus berpikir secara serius terhadap itu. Pada akhirnya ada konferensi pers berkaitan dengan itu. Di Eropa, Gereja Katolik dalam pengalamanku, kau masuk, kau mau Katolik atau bukan, sepanjang kau Kristen dan kau ingin terima komuni, kau diberi. Di sini gak boleh. Jadi, ada konteks-konteks pastoral itu yang membedakan kita dan itu cukup fleksibel sebenarnya. Jadi, tubuh itu bukan hanya soal dualisme mungkin tapi multiplism.

Eka: berlapis-lapis gitu, layernya berlapis-lapis.

Khanis: Iya. Ketika dia di-treatment itu berdasarkan lokasi. Yang menarik gini misalnya, kalau kamu membaca yang kemarin aku tulis, bagaimana si Oncu itu diratapi. Dan aku punya pengalaman itu. Tapi kemudian, aku tidak boleh melakukan itu, dengan ajaran Katolik Jawa bahkan ketika mamaku tidak ada, aku dilarang untuk menangis keras padahal betapa pentingnya sebagai sebuah perpisahan. Bukan untuk dia, bukan untuk mamaku, tapi sebenarnya untuk aku. Ratapan itu kan ekspresi belong to me ya, ekspresi kepemilikan. Yang ditampilkan, yang ditunjukan. Kadang-kadang orang membutuhkan itu. Dalam ajaran Kristen karismatik ternyata yang sebenarnya mengatakan bahwa gak boleh menangis. Orang itu sudah di surga maka dia tidak layak ditangisi. Tetapi kan di sisi lain artinya kematian itu sendiri nggak ada dalam konteks itu. Kematian itu, orang itu hanya berpindah tempat, pergi dan kematian itu nggak ada. Menarik itu. Di satu sisi tubuh itu jadi nggak ada. Jadi, dalam momen itu, yang dipentingkan adalah roh atau jiwanya.

Di sisi lain dalam kehidupan real kita, tubuh itu menjadi sangkar kita. Padahal ini sesuatu yang tidak penting karena yang kita tuju adalah Tuhan. Untuk berjumpa dengan Tuhan, maka kita harus meninggalkan tubuh karena tubuh adalah penjaranya. Ada di Perjanjian Lama, engkau tidak akan berjumpa dengan-Nya tanpa engkau meninggalkan tubuhmu. Nah, tetapi lewat ketubuhanmu juga, kebaikanmu merawat tubuh maka engkau juga akan bisa menjumpai-Nya.

Di satu sisi tubuh itu dibuang, tetapi dia menjadi kantongnya, tetapi di sisi lain pada akhirnya yang dipentingkan itu adalah jiwa. Ketika teman-teman trans itu mengatakan “jiwaku adalah jiwa perempuan dan aku mau menampilkan itu dalam wujud tubuhku”, itu kan ditentang. Gimana?

Aku masih belum menemukan satu perlawanan yang bagaimana begitu, karena di satu sisi Gereja itu menekankan tentang kelamin biner itu sebagai kebenaran. Jadi, percise ya. Kalau tubuhmu perempuan maka engkau harus menjadi perempuan. Tidak ada abu-abu karena abu-abu itu mengerikan buat kita.

Eka: Jelas. Berarti ketika seseorang mengekspresikan dirinya dengan dorongan jiwa, atau mengidentifikasikan dirinya ekspresi-ekspresi itu valid. Dalam arti, seringkali orang melihat bahwa itu sebuah negosiasi, sebuah cara dia bersiasat dengan lingkungan sosial. Bagaimana kamu menilainya? Ada banyak situasi di mana teman-teman waria, mereka kesulitan mengekspresikan diri dalam konteksnya, butuh ruang sendiri. Maksudnya, lingkungan sendiri yang menerima ekspresi mereka. Ini dalam kaitannya dengan “tubuh selalu ada pada lokasi tertentu” itu seperti apa? Bagaimana kemudian siasat-siasatnya sehingga tubuh tetap bisa kontekstual?

Khanis: Itu yang dibilang oleh Butler sebagai doing gender. Jadi, kita itu doing gender. Karena tubuhku ini tubuh perempuan, maka aku akan melakukan hal-hal yang sesuai dengan identifikasi gender perempuan, walaupun ini sebenarnya juga ilusi. Gender itu ilusi. Kemudian Cornell juga menambahkan bahwa doing gender is not only doing gender, tetapi lokasinya itu juga penting. Jadi, gender is not what you’re doing, you’re performing, tetapi location itu menentukan how you perform your gender. Jadi, kalau saya mengatakan bahwa saya perempuan dan ketika teman-teman trans atau waria itu bilang “Saya perempuan”, maka ketika mereka berhadapan dengan para pejabat atau undangan formal, maka mereka harus tampil sebagai perempuan yang baik. Kenapa? Karena bahkan perempuan biasa pun tidak pantas berpakaian begitu pada situasi itu.

Itu yang aku bilang bahwa waria itu tidak sekadar mimikri perempuan saja, tetapi betul-betul mengadopsi rules perempuan itu. Dia mencoba menjadi perempuan, meniru perempuan. Tetapi tidak berhenti di situ saja, dia mengadopsi peran itu dalam hidupnya. Ketika dia punya laki, maka dia akan merawatnya sebagaimana istri merawat suami, ketika dia punya anak maka dia menjadi mama untuk anaknya, ketika dia berhadapan dengan kelompok-kelompok perempuan lain dia akan mencium pipi perempuan-perempuan itu.

Kenapa dia mimikri? Karena di sisi lain, dia tidak akan meninggalkan struktur kelaki-lakiannya itu ketika misalnya, dia harus berhadapan dengan orang yang perlu dihajar atau ketika mabuk bersama. Itu ruang mimikri gender mereka. Mereka itu seharusnya melakukan gender laki-laki, tetapi mereka memilih melakukan gender perempuan. Itu yang Serano bilang dengan istilah subconscious sex. Jadi, kelamin itu bukan di badan tetapi di otak. Rasa bahwa saya punya kelamin perempuan itu ada di kepala saya gitu. Persoalan teman-teman trans itu bukan sekadar gender, tetapi soal seks, soal badan. Kenapa? Karena saya mau bertransisi. Apakah transisinya itu permanen? Apakah transisinya itu tidak permanen?

Jadi, at the end, ya tubuh itu. Itulah kenapa agama menolak hal ini. Karena mereka percaya ini bukan gender. Ini tubuh. Tubuh yang diubah-ubah, yang diutak-atik. Jadi, kalau saya bilang saya laki-laki, yah tidak masalah karena ekspresi saya tetap perempuan. Omongan saya itu cuman omongan, tidak membuktikan apapun. Tetapi, tidak dengan teman-teman trans. Omongan mereka itu diekspresikan.  Ekspresi politiknya itu jelas.

Mereka itu seperti yang dikatakan Goffman itu,  kapan saya dengan pakaian ini, laki-laki yang ini, atau dengan pakaian perempuan, mau itu transman atau transpuan sama. State-nya itu yang menentukan ekspresi mereka. Ekspresi pakaiannya bagaimana, berdramanya bagaimana. Itu kan mengikuti skenario. Jadi, teman-teman trans itu punya script, punya skenario di kepalanya karena mereka itu anggota masyarakat.iD kepala mereka ada script atau skenario sebagai anggota masyarakat, ada skenario tentang merasakan tentang dirinya, skenario dengan komunitasnya itu ada, yah, itulah kehebatan mereka. Kita semua kan juga punya script.

Eka: Yang kamu bilang gender itu ilusi juga dalam kaitannya dengan sesuatu yang dimainkan juga sebenarnya konstruksi konteks tertentu.

Khanis: Iya. Misalnya begini, saya waria. Saya berdandan dengan rambut panjang, dengan lipstik, berkebaya. Itu kan fantasi tentang perempuan ideal. Itu tidak ada sebenarnya. Selain pasar, ideologi agama juga menciptakan ini. Ketika di sekolah juga harus pakai seragam yang ditentukan.

Eka: Nah, bagaimana soal pendisiplinan? Dalam konteks yang lebih kontemporer, misalnya, dalam olahraga. Pesepakbola adalah profesi yang pendisiplinan tubuhnya kuat sekali. Dalam konteks yang lain, misalnya, kita juga menjumpai banyak sekali komodifikasi tubuh dalam berbagai bentuk. Bagaimana menurutmu dalam kaitannya dengan ini?

Khanis: Tubuh itu harus didisiplinkan kalau kamu mau sukses. Mau jadi apapun itu. Kalau kamu mau belajar kau harus bisa hidup di meja, disiplin. Kalau kau mau jadi romo kau harus bangun pagi, doa pagi. Tanpa kedisiplinan, maka kau tidak akan bisa karena kehidupan sosial kemanusiaan kita itu membutuhkan irama yang sama untuk memudahkan kontrol.

Komunalitas itu sebenarnya untuk memudahkan kontrol. Itu yang terjadi di seminari kan? Kau itu harus patuh pada seluruh aturan tetek bengek yang kadang-kadang tidak lagi esensial. Tetapi, ya itu untuk mengatakan bahwa this is power, this is a way, this is how to say “betapa hebatnya komunitas”. Itu juga yang diatur oleh teman-teman lewat heteronormativitas, lewat homonormativitas, lewat transnormativitas. Kalau kamu mau jadi waria kamu harus bisa dendong, kalau kau nggak bisa dendong, ya kamu bukan waria.

Perlawanan yang dilakukan oleh teman-teman muda itu lewat SogieSC dan lain sebagainya adalah aku boleh kok jadi waria tanpa aku harus dendong karena itu identitas. Perempuan aja macem-macem kok. Ada yang susunya gede, ada susunya yang nggak gede. Jadi, aku boleh injeksi, boleh tidak. Boleh pakai bedak A, boleh tidak. Kalau dulu kan nggak. Seolah-olah semua orang itu melakukan hormon pills, lalu injeksi, dan lain-lain. Dulu, kalau kita lihat wajah waria agak serupa bentuk hidung, pipi, dahinya karena itu sebagai awal untuk membentuk suatu komunitas yang kuat. Maka kontrol ke dalam itu penting. Disiplin itu mau nggak mau akan dibutuhkan kok.

Sebuah company yang sukses harus punya karyawan yang disiplin karena disiplin akan membentuk kultur yang sangat kuat. Orang Yahudi sangat kuat karena disiplinnya mereka. Membaca Torah, lalu Torah itu diperdebatkan, Torah itu dibicarakan gitu. Kamu bayangkan, orang Yahudi yang nggak punya tempat, nggak punya rumah berabad-abad. Mereka keluar dari wilayahnya tapi mereka tetap bilang kalau mereka adalah orang Yahudi. Itu yang menyatukan mereka apa? Ritual. Ritual orang Yahudi yang dilakukan lewat apa? Lewat tubuh. Orang harus membungkuk, harus membaca, duduknya bagaimana. Dia harus disiplin karena tubuh ini robot. Mau bilang sehebat apapun engkau, ada kepatuhan-kepatuhan yang unconsciously udah kebentuk.

Saya kalau makan harus pakai sendok dan garpu. Bingung aku kalau nggak ada garpu. Setelah aku di Surabaya, kami dibentuk oleh makan dengan garpu. Atau kalau ada mie, ya aku harus makan pakai sumpit atau garpu. Pakai sendok, pusing kepalaku, walaupun bisa melakukannya. Pulang dari Belanda, kebiasaan nggak ada sendok, makannya semua pakai garpu, nasi pun aku bisa makan dengan garpu. Flexibility itu menjadi penting untuk bilang bahwa “Khanis, kau itu orang sombong, kau itu punya kelas karena kau makan pakai garpu.” Nggak bisa. Borju betul, karena itu menunjukan kelas tersendiri tetapi di sisi lain, kelas itu juga memang kultur. Pulang dari Belanda, aku nggak bisa makan roti kok. Walaupun di sana makan roti, tapi aku gak bisa makan roti Indonesia karena roti Indonesia itu kempes. Kamu tahu sendiri, roti di Barat itu kalau dilempar, sakit tuh badan kita. Dan roti itu sangat kenyang, cukup makan satu. Seperti kompiyang.

Disiplin itu penting. Disiplin, kepatuhan dan di sisi lain ketertundukan. Tapi ya, mau gimana, kita itu bagian dari ketertundukan itu sendiri. Hadir sebagai manusia, maka kau harus patuh. Jadi perempuan lebih parah lagi. Perempuan miskin jauh lebih parah lagi.

Eka: Bagaimana kamu melihat tubuh dan pasar? Orang menjual tubuh, tubuh juga digunakan sebagai media untuk dapat uang . Sejauh mana itu tegangannya?

Khanis: Sebenarnya, kita semua ini bekerja dan dapat uang dengan tubuh kita.

Eka: Persis!

Khanis: Kita bekerja dengan tubuh. Ketika bagian tubuh seperti alat kelamin itu dimaknai sebagai yang sangat suci, kemudian muncul pertanyaan “sebenarnya kelamin itu ada di mana?” Apakah kelamin itu cuma penis, kelentit, vagina, atau otak kita juga adalah kelamin. Kalau kau tidak bisa membangun suatu desain kenikmatan dengan otakmu, maka alat kelaminmu itu tidak ada gunanya. Perkara kenikmatan atau sexual pleasure itu melibatkan otak. Saya coba menteoritisasikan yang disebut kelamin dengan apa yang selalu dipandang bagus dan pantas dibayar.

Apakah pekerja seks yang menggunakan tubuhnya untuk membuat orang lain puas dan nikmat bahkan sampai ke surga lalu tidak boleh dihargai? Lalu, ketika ada orang yang membutuhkan itu, kenapa itu menjadi buruk? Karena alat reproduksi itu bagian kontrol yang besar dari agama. Ketika, misalnya, saya hamil, kehamilan saya itu harus ditandai dengan berkat karena hubungan seksual itu harus diberkati. Ketika tidak diberkati, ia menjadi dosa.

Jadi, di sini simbolisasi karir, profesionalitas mengelabui. Kita itu memberi kategorisasi,  membedakan kelas: mana yang rendah, mana yang lebih tinggi. Padahal, gak gampang orang itu menjadi pekerja seks dalam kepalanya .Coba bayangkan, kadang-kadang dalam sehari mereka bisa melayani 5 sampai 12 orang dan itu bukan orang yang sama. Bahkan dalam satu hari misalnya, dalam sehari dia dapat 8 orang. 8 kali 7 atau 8 kali 6 itu berapa orang?  Dan orang itu orang-orang yang berbeda. Lalu, kau bayangkan konstruksi kita bahwa harus cinta dalam ini, cinta itu harus setia. Bagaimana itu cara mereka mengadaptasi pikiran-pikiran itu dan mengatakan bahwa i’m doing fine. It’s not easy. Itu gak gampang. Resikonya kematian. Saya ngomong seperti ini saya bisa dapat 2 juta gitu. Nah, teman-teman pekerja seks itu  satu jam kadang-kadang cuman 50 ribu. Bayangkan itu!

Eka: Ini pertanyaan terakhir. Apa pendapatmu soal moralitas tubuh? Dari sekian banyak penjelasan dan obrolan kita spektrumnya begitu luas dan pada titik tertentu bisa jadi sangat relatif. Apa yang bisa kemudian jadi pijakan kita sebenarnya?

Khanis: Satu, harus ada rasa hormat pada tubuh. Penghormatan terhadap tubuh kita itu penting. Kenapa? Karena tubuh itu dalam spiritualitasnya atau dalam harga dirinya esensinya adalah penghormatan. Entah engkau hetero, entah engkau queer, kau trans atau kau gay dan lain sebagainya itu adalah penghormatan pada tubuhmu itu perlu dilakukan karena tubuhmu itu menjadi ekspresi dirimu. Karena itu, menghormati tubuhmu artinya juga menghormati dirimu secara tidak langsung. Itulah yang coba dilakukan beberapa teman waria.

Ada yang bilang “Kalau kakak itu bukan perempuan, kenapa kakak harus berdandan?” Dia bilang apa? “Saya berdandan bukan untuk mencari lelaki seperti perempuan lain.” Ada juga perempuan lain yang kadang tidak berdandan karena dia sudah tua. Sudah cukup, selesai di situ. Nah, itu sebenarnya bentuk penghormatan diri. Bukan sekedar ekspresi atau bagaimana saya berinteraksi dengan orang lain itu juga menjadi bagian dari moralitas tubuh.

Lalu, yang lain lagi kalau bicara tentang moralitas tubuh adalah kita perlu membela tubuh kita. Kenapa? Karena kau yang merasakan tubuhmu: rasa sakit, rasa susah dan lain sebagainya. Dan kau juga yang punya tanggungjawab untuk menyembuhkan tubuhmu. Kenapa? Karena tubuh yang sehat, tubuh yang baik itu akan membawamu pada kebahagiaan yang intrinsik, terlepas dari agama apapun. Pengalamanku setidaknya mengatakan itu.

Ketika tubuh nyaman dan sehat membuatmu sehat secara psikis juga. Kondisi psikis yang sehat itu sangat penting. Lihat saja, kalau orang jatuh cinta itu wajahnya bisa jadi cantik, bisa ceria, yang biasanya kelihatan jelek itu juga bisa cantik. Itu munculnya dari dalam. Kebahagiannya itu ekspresif. Tapi setelah setahun, dua tahun, bahkan tidak sampai setahun itu berubah. Makanya, aku selalu bilang cinta itu pendek karena yang lainnya itu kebiasaan. Kebiasaan itu menimbulkan gejolak, konflik, kejengkelan-kejengkelan dan akhirnya dia tidak mampu lagi bertahan.

Kita itu selalu sibuk dengan orang lain, tidak dengan diri kita sendiri. Jadi, kadang-kadang yang kita sebut sebagai individual it’s not individual. Karena yang individual itu seharusnya mampu menciptakan kreativitas-kreativitas tertentu. Kita tidak bisa. Kita itu seragam. Tapi, kalau kau perhatikan para petapa, para biksu atau orang yang melakukan meditasi, orang yang menemukan balance, itu menurutku adalah kebahagiaan, bukan joyful, euforia. Wajah mereka itu akan muda terus, ekspresinya akan menyenangkan. Tapi, kalau kau lihat orang lagi berantem, patah hati, sedih duka, itu mukanya jadi jelek.

Aku rasakan dan perhatikan itu pada mamaku. Semakin dia tua, wajahnya semakin bersih, semakin bersinar, kulitnya semakin bagus, karena gak ada kekhawatiran. Makanya, Tuhan bilang “Supaya engkau itu punya sukacita.” Tapi sukacita itu gak mudah. Walaupun kau berdoa itu belum tentu ada sukacita. Orang berdoa rajin, teratur, berjam-jam itu belum tentu ada sukacita. Lalu kemudian mereka bilang “Karena saya lagi begini makanya saya harus lebih banyak berdoa.” Itu berarti doa itu kan bukan obat yang mujarab. Doa itu hanya menjadi ruang perpindahan saja. Kau tidak bisa masuk di ruang ini lalu kau masuk ke ruang doa. Begitu keluar dari ruang doa, kau menjadi jengkel lagi karena kau belum selesai.

Doa, terutama dalam Kristen, tidak menekankan perubahan perspektif, perubahan cara melihat. Para pastor berkhotbah cuma menekankan kepatuhan-kepatuhan.

Eka: Terima kasih untuk obrolan malam ini.

Khanis: Jangan lupa hormati badanmu, jaga dia baik-baik.

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] dan seksualitas, seperti yang disampaikan Khanis Suvianita dalam percakapan di rubrik Nahkoda, Apakah Tubuhku Benar-Benar Milikku? Dalam percakapan dengan Eka Nggalu itu, ia menyampaikan soal pemaknaan tubuh, di tengah kultur dan […]

Kalender Postingan

Rabu, Oktober 30th