Apa kenangan yang paling melekat tentang bapakku?
Jika diingat-ingat, yang pertama muncul adalah perjalanan bersamanya ke pasar.
Sepanjang duduk di sekolah menengah pertama, setiap dua minggu sekali pada hari Jumat pukul satu atau dua siang, aku dan bapak pergi ke pasar. Itu adalah momen yang paling kutunggu. Di masa itu, bagiku, setiap hari adalah usaha memindahkan satu kebosanan ke kebosanan lainnya. Kecuali hari di mana aku pergi ke pasar. Di sana, aku dapat merasakan suasana lain selain sekolah, Madrasah Diniyah, pengajian malam, dapur, kamarku, dan bukit samping rumah yang saking seringnya kukunjungi, tidak lagi dapat kulihat keindahannya.
Selain itu, dengan pergi ke pasar, aku dapat nimbrung obrolan teman-teman di sekolah. Bagi remaja Desa Sukatani dan Desa Cipanas generasiku, pasar Cipanas dan sekitarnya adalah tempat gaul. Membicarakannya membuatku tampak keren dan tentunya dapat masuk ke lingkaran geng populer. Aku akan mengingat apa saja jajanan enak di daerah Balakang, toko baju trendy di lantai 4 pasar, atau pemuda macam apa yang asik nongkrong depan kantor pos samping istana presiden.
Berbeda denganku, bapak tampaknya kurang begitu suka ke pasar. Pundaknya selalu turun saat ibu memberitahu apa-apa saja yang perlu dibeli. Kadang bapak menghabiskan setengah jam untuk bersiap-siap. ‘Padahal cuma ke pasar’, heranku kala itu.
Maka suatu waktu aku mengintipnya.Yang kulihat, ia hanya melamun sambil memegang pintu lemari. Sepertinya ia mengulur waktu. Demikian simpulku.
Selain itu, bapak tak suka aku ikut. Ia lebih suka kalau aku berangkat ke Madrasah Diniyah saja. Tapi ibu mengharuskanku ikut karena bapak kerap lupa daftar belanjaan sementara aku jadi pengingat yang baik.
‘Nilaina ge geus alus di sakola, bae atuh sasakali mah libur’, bela ibuku. Terima kasih ibu!
Setiap berangkat, kami menuruni kaki gunung Gede ke jalan Kayumanis, lalu ke jalan Pahlawan dengan Supra X PGM-FI yang bapak dapatkan akibat tertipu pegadaian. Sampai di pasar, kami selalu kesulitan mendapatkan tempat parkir. Parkiran selalu saja penuh. Bapak lebih sering parkir di depan warung bakso malang. Ia membayar parkiran dengan membeli tiga bungkus bakso untuk dibawa pulang.
Pasar Cipanas tak pernah mati. Ia selalu hidup dari subuh sampai subuh. Satu dan lain pedagang datang dan pergi silih berganti.
Belanja di pasar Cipanas sepaket dengan berdesakan. Lantaran itu, bapak tak pernah lepas memegang tangan atau pundakku. Harus kuakui, itu juga bagian yang kusuka. Dalam keramaian, aku bisa berduaan dengan bapak, leluasa menegurnya sambil mengingatkan tentang apa saja yang belum dibeli.
Pengalaman inilah yang kemudian membuatku tertarik dengan pasar. Pada intimasi yang selalu muncul tetapi sulit kujelaskan perasaannya.
Sepanjang tinggal di Yogyakarta, pasar Talok sangat akrab dengan pagiku. Ke pasar Talok jadi peristiwa pertama ke pasar pagi hari tanpa harus menunggu bapak pulang dari kebun. Ketika tinggal di Bali, pasar Badung di samping pantai dan Rumansa, selalu jadi tempat aku menghibur diri. Kini di Jakarta, perpanjangan pasar Kramat Jati (pasar pinggir jalan 😂) jam dua malam jadi opsi kunjunganku saat aku kesulitan tidur. Pergi ke pasar kini tidak lagi dengan daftar belanjaan di kepala. Sekonyong-konyong membeli atau tanpa membeli sesuatu pun. Seperti saat ke pasar Wuring di Maumere, aku hanya tertakjub-takjub dengan ikan-ikan besar berwarna biru, merah, atau bertutul-tutul selayaknya macan. Tanpa membeli apa pun.
Tapi pasar Sarijadi berbeda. Segala bentuk romantisme yang aku bangun selama ini tentang pasar: runtuh!
Aku cukup menyorot bagaimana catatan kuratorial Pseudo Entertainment; Apa yang Tersisa dari Masa Depan, yang diadakan oleh Bandung Performing Arts Forum (BPAF) melampirkan cara pandang ana-dialektika Enrique Dussel, sebuah dialektika yang menempatkan kaum-kaum tersisihkan sebagai ahli waris sah sejarah dan masa depan dunia. Lalu dalam lokakarya daring, Ayos Purwoaji menyoroti bahwa selain yang tampak (visible), ada juga yang tak tampak (invisible) di kota. Ia sengaja disembunyikan oleh kekuasaan demi menjaga ‘citra’ kota.
Jika meninjau ana-dialektika Dussel, memunculkan yang tak tampak ke permukaan, menggelarnya di meja publik untuk menciptakan narasi tandingan di hadapan ideologi dominan penguasa jadi satu agenda dan laku yang penting. Alasan tersebut turut membuatku fokus mencari apa yang tak tampak di kota, khususnya di kota Bandung, saat menjalani residensi penelitian artistik Pseudo Entertainment.
Singkat cerita, aku bertemu pasar Sarijadi. Pertemuan ini tidak akan terjadi tanpa sebelumnya aku nongkrong di Toko Buku Pelagia. Obrolan dengan mbak Galuh Pangesti amat memberi inspirasi. Eko Sutrisno sebagai koordinator riset juga banyak membantu memetakan sejarah dan situasi pasar Sarijadi.
Pasar Sarijadi berlokasi di Jl. Sariasih No. 54, Sarijadi, Kec. Sukasari, Kota Bandung, Jawa Barat. Pertama kali, aku datang sore hari ditemani Eko. Kami sempat kebingungan. Seturut google map, kami sudah sampai di titik yang dituju. Namun, kami tak melihat apa pun yang berbentuk pasar di titik yang ditunjuk. Setelah sekian waktu mencari-cari, ternyata yang kami ingin tuju ada tepat di depan kami.
Bangunan pasar Sarijadi sama sekali tak seperti pasar yang selama ini melekat di memoriku. Sepintas, ia seperti kafe. Tak ada lapak pinggir jalan atau apa pun yang memberi tanda bahwa itu pasar. Satu-satunya penanda adalah banner Selamat Datang di Sehat Pasar Sarijadi yang telah usang.
Tangga yang cukup panjang serta jalan yang sedikit menanjak ke dalam jadi pemandangan muka. Kami masuk melalui jalan tersebut untuk kemudian mencari tempat parkir.
Kami parkir tepat di samping lantai paling bawah. Terdapat beberapa lapak yang tampak, tapi hanya dua yang buka. Penjual plastik dan sembako. Di belakangnya hanyalah kegelapan. Tidak ada kepadatan di tempat parkir. Semuanya lengang. Aku sempat ragu ketika berjalan masuk. Mungkin pasarnya sudah tutup.
Pemandangan di lantai pertama sangat kontras dengan pemandangan di luar yang terang dan terkesan megah. Hamparan lapak yang kosong dan kegelapan mengisi penuh lantai pertama. Sore itu hanya beberapa lapak yang buka, mungkin tak sampai sepuluh. Kami menghampiri lapak sayur yang ternyata tak ada penjualnya. Kami didatangi seorang ibu pemilik lapak sembako di sampingnya, katanya lapak sayur tersebut dititipkan padanya.
Adalah ibu Dede Rohmah namanya. Ia sudah berjualan di pasar Sarijadi sejak tahun 1986, satu tahun setelah pasar Sarijadi pertama kali berdiri. Mulanya ia berjualan kelapa, ‘sekarang mah saya jual apa pun yang bisa dijual,’ jelasnya.
Selanjutnya ia bercerita panjang lebar mengenai pasar Sarijadi. Pengalaman ini tidak aku temukan saat ke pasar bersama bapak atau saat aku ke pasar di kota-kota lain. Obrolan kami dengan pedagang hanya seputar dagangan, harga dan upaya tawar menawar. Aku tak pernah membayangkan akan bertemu sepi di pasar. Apakah itu juga barang dagangan yang bisa aku tawar?
Kota, oleh penguasa, kerap dibentuk dengan intensi penciptaan citra. Namun, pada saat yang sama, pemerintah kerap luput memahami bagaimana warganya mengalami ruang.
Pasar Sarijadi sebelumnya adalah pasar tradisional yang berdiri sejak tahun 1985. Sebagaimana pasar tradisional lainnya, pasar Sarijadi sangat ramai. Menurut penuturan ibu Dede Rohmah, satu hari saja bisa ratusan kelapa yang ia jual kala itu.
Pasar Sarijadi pada tahun 2015 direvitalisasi sebagai bagian dari program pemerintah saat itu. Revitalisasi ini dilakukan oleh Perusahaan Daerah Pasar Bermartabat Kota Bandung, merujuk pada Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Perusahaan Daerah Pasar Bermartabat. Program revitalisasi ini bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan potensi pasar tradisional sebagai bagian dari strategi penguatan ekonomi lokal.
Revitalisasi pasar Sarijadi selesai dan dibuka secara resmi pada Mei 2017. Pasar Sarijadi didesain oleh Andra Matin dan menghabiskan 19.5 miliar untuk seluruh pembangunannya. Hasilnya adalah gedung empat lantai yang kemudian dinamai Pasar Kontemporer Sarijadi.
“Pasar tradisional Sarijadi ini dulunya becek, gak ada ojek, kumuh dan kotor. Sekarang sudah beres, keren kekinian, penuh kejutan ruang, dihujani cahaya dan ventilasi alami,” tulis Ridwan Kamil, mantan Gubernur Jawa Barat di akun Facebooknya pada 15 Februari 2017.
Penguasa, digerakkan oleh logika developmental capitalism, mengimajinasikan bahwa pasar tradisional yang becek dan kumuh semakin kehilangan pamornya, bahwa membangun pasar dengan model yang lebih modern akan meningkatkan produktivitas pasar.
“Percuma bersih kalau sepi, saya gak butuh bersih, saya butuh orang beli. Lagian namanya juga pasar, ya pasti kotor”, tanggap salah satu pedagang ketika aku meminta pendapatnya.
Pagi keesokan harinya, aku kembali datang ke pasar Sarijadi sambil berharap mungkin akan menemukan sedikit keramaian. Aku duduk sejak pukul 06:00 hingga 09:00 sambil menghitung pembeli. Tidak sampai dua puluh orang yang datang sedangkan lapak yang buka hanya tiga belas.
Lalu ibu-ibu pedagang, mereka berkumpul di lapak kosong, meninggalkan lapaknya masing-masing dan asyik mengobrol. Sedangkan penjual sayur berulang kali membenahi susunan sawi. Ia susun dari yang terbesar ke yang paling kecil dari kiri ke kanan, kemudian ia lakukan sebaliknya. Ia menyimpan jengkol di keranjang, lalu memindahkannya ke keranjang lain, begitu seterusnya. Para pedagang melakukan apa pun untuk membunuh bosan sambil berharap ada pembeli datang.
Saat proses revitalisasi berlangsung, pedagang pasar Sarijadi dipindahkan ke pinggir jalan sekitar pasar. Selama dua tahun lebih, pedagang membangun konsumennya masing-masing di sana. Setelah revitalisasi selesai dengan total 194 unit lapak, hanya sekitar 40 pedagang yang masuk kembali ke pasar Sarijadi. Sisanya lebih memilih pindah ke pasar Cibogo yang lokasinya berdekatan.
Keputusan pedagang ini bukan tanpa alasan. Sejak awal menempati lapak, pedagang diminta membayar biaya sewa sebesar 5 juta untuk tiga bulan. Tentu itu bukan nominal yang kecil. Banyak pedagang yang akhirnya memilih mengalokasikan biaya tersebut untuk modal barang dagangan alih-alih menyewa lapak.
Selain itu, pedagang yang memilih kembali ke pasar Sarijadi diwawancarai terlebih dahulu. Pertanyaannya seputar kegiatan apa yang akan dilakukan, apa yang akan diperdagangkan. Setelah masuk, pedagang diharuskan mengikuti aturan yang sama sekali baru. Seperti tidak diperbolehkan merokok di dalam area pasar serta harus menjaga kebersihan dengan ketat. Pedagang yang kedapatan merokok atau di sekitar lapaknya ada puntung rokok akan dikenakan denda.
Pasar kontemporer Sarijadi dibersihkan secara rutin. Pengurus menghadirkan petugas kebersihan untuk membersihkan lantai pasar secara berkala. Namun, pada titik tertentu hal itu memberi ketidaknyamanan pada pembeli. Berdasarkan testimoni pedagang, pembeli selalu diikuti petugas kebersihan, mereka merasa diawasi. Hingga tidak sedikit pembeli yang akhirnya mencopot alas kaki saat belanja di pasar padahal tidak ada aturan tersebut. Pembeli dan pedagang menjadi kagok, sebuah anomali yang membuat kegiatan belanja ke pasar tidak lagi menyenangkan.
Salah satu alasan pedagang bertahan di pasar Sarijadi kini adalah lokasi pasar yang kebetulan dekat dengan kampus sehingga masih ada mahasiswa yang belanja. Buntungnya, saat kampus libur, pembeli jadi lebih sepi dari biasanya, bahkan tidak ada sama sekali. Gedung pasar empat lantai yang sebelumnya diproyeksikan untuk lapak dagangan basah di lantai pertama, lapak dagangan kering di lantai kedua, pujasera di lantai tiga, dan galeri di lantai empat kini tidak berfungsi sebagaimana tujuannya. Semua pedagang dipusatkan di lantai pertama. Lantai dua sampai empat disewakan pada agensi tenan yang menjual berbagai produk. Lantaran itu, keramaian hanya berpusat di lantai dua sampai empat. Juga kios samsat yang terdapat di area belakang pasar.
Berdasarkan penuturan ibu Dede Rohmah, pasar Sarijadi pasca revitalisasi bertahan ramai hanya lima bulan saja. Itu pun tidak seramai sebelum revitalisasi. Setelah itu semakin sepi, pedagang yang berjualan juga semakin sedikit. Beberapa pihak yang menyewa dua sampai tiga lapak karena dianggap potensial pun tidak pernah menempati lapak tersebut.
Banyak taktik yang dilakukan oleh pedagang yang masih bertahan, seperti menjual dagangan di luar yang biasa dijajakan atau menjual dagangan di tempat lain. Seperti salah satu penjual ayam yang berkeliling setelah memastikan tidak ada lagi pembeli di pasar. Cara lain adalah membuka lapak lebih lama, dari pagi hingga malam. Bagiku, ini sangat merugikan. Di saat pedagang pasar Cibogo – mungkin juga pedagang pasar lain yang sudah buka sejak pagi– sudah menutup lapaknya pada siang hari, pedagang pasar Sarijadi masih menunggu, berharap ada tambahan pembeli yang minimal membantu menghabiskan seperempat persen barang dagangannya. Di saat yang pedagang lain sudah istirahat, pedagang pasar Sarijadi masih berjibaku dengan sepi.
Keberadaan pasar di lantai pertama dan tak langsung tampak di muka justru lebih sering tidak disadari. Pasar yang telah berdiri puluhan tahun yang seharusnya menyejarah di memori masyarakat kini kian terlupakan. Bahkan saat aku dijemput ojek online, pengemudinya baru tahu kalau tempat tersebut adalah pasar. Padahal, ia tinggal tidak jauh dari pasar Sarijadi.
Betul bahwa bangunan pasar Sarijadi kini tampak megah dan modern dengan desain tropisnya. Betul bahwa jumlah lapak dilipatgandakan sebagaimana Ridwan Kamil menuliskannya di sosial media. Betul bahwa kini pasar Sarijadi tidak kumuh dan kotor. Tapi dalam prosesnya, terkait bagaimana masyarakat mengalami ruang, apakah pernah ditinjau? Atau jika ditarik lagi, jika masalahnya ada pada soal pasar yang kumuh, apakah solusinya harus lompat pada revitalisasi? Mengapa tidak membuat sistem kelola sampah yang baik alih-alih menghilangkan ruang, kebiasaan, dan memori yang sudah melekat bersama masyarakat?
“Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi.” — Pidi Baiq
“Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.” — M.A.W. Brouwer
Adalah dua kutipan ikonik berukuran besar yang dipajang di jembatan Asia-Afrika, Bandung. Kutipan itu terus diromantisasi, diglorifikasi, dan dianggap cukup untuk merepresentasikan Bandung. Seolah Bandung melulu mengenai yang indah dan romantis. Ada gagasan puitika tertentu yang dibangun oleh penguasa untuk tampilan kota.
Dalam kerangka ini, kota bukan hanya sekadar tempat atau ruang fisik, tetapi sebuah teks yang dipahat dengan cermat. Setiap elemen – dari bangunan hingga ruang publik – berbicara dalam bahasa citra yang terkontrol. Penguasa menciptakan narasi kota melalui strategi estetika yang bertujuan untuk membentuk persepsi publik, merancang ruang agar dapat “dibaca” sesuai dengan keinginan mereka.
Hal ini sejalan dengan konsep power/knowledge dari Michel Foucault, yang melihat bagaimana kekuasaan tidak hanya terlihat dalam bentuk kekuatan fisik atau hukum, melainkan juga dalam bentuk kontrol terhadap pengetahuan dan representasi. Dengan merancang ulang kota, penguasa tidak hanya membentuk citra luar, tetapi juga mengatur cara orang-orang memandang dan memahami kehidupan mereka di dalamnya.
Lebih jauh, gagasan puitika ini mengimplikasikan bahwa kota adalah sebuah performativitas yang harus terus dipertahankan, dibentuk, dan dimodifikasi agar tetap sesuai dengan narasi yang diinginkan.
Kenyataannya, di balik estetika kota yang dibangun, ada ketimpangan yang disembunyikan. Estetika menjadi sejenis kekerasan halus (soft violence)—ia membungkam yang tidak sesuai, mencabut yang telah tumbuh lama, dan mengganti yang hidup dengan yang sekadar indah.
Sambil berjalan, merasakan anehnya kesunyian dan gelap pasar Sarijadi meneror perasaanku, aku teringat bapak. Apakah bapak akan tetap memegang tangan atau pundakku jika pasarnya sesepi pasar ini?