Mayoritas pendukuk Indonesia Timur adalah anggota dari salah satu Gereja Kristen.[1] Pertanyaannya: Apa yang dikatakan oleh Alkitab tentang kelompok keragaman gender dan seksualitas?
Ketertarikan seksual mendorong perilaku seksual, dan keduanya mempengaruhi identitas seksual. Kita lahir dengan orientasi seksual tertentu. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa seorang individu secara sadar dapat mengubah pola gairah genital, orientasi seksual, atau identitas seksualnya. Orientasi seksual bukan pilihan bebas. Karena itu – dan ini adalah fakta – homoseksualitas adalah satu variasi alamiah antara rentang seksualitas manusia.[2]
Petunjuk Vatikan
Dokumen-dokumen Vatikan memaparkan argumentasi biologis, yaitu bahwa secara intrinsik homoseksualitas “tidak teratur”, karena dalam relasi homoseksual “prokreasi biologis tidak mungkin”. Prokreasi dianggap sebagai “finalitas hakiki dari setiap hubungan seksual yang tidak dapat digantikan”[3]
Namun ilmu alam menyatakan bahwa sebagian besar hubungan intim heteroseksual tidak memiliki kapasitas biologis untuk prokreasi, dan oleh karena itu, prokreasi bukan tujuan dari sebagian besar hubungan intim. Dalam hal ini relasi intim pasangan LGBTIQ+ tidak berbeda dengan sebagian besar relasi intim pasangan heteroseksual. Entah LGBTIQ+ entah pasangan suami-isteri, sebagian besar relasi intim mereka tidak bisa menghasilkan keturunan. Dan seharusnya hal ini tidak menjadi masalah bagi orang Katolik. Karena teologi Katolik dan Hukum Kanonik resmi menyatakan bahwa kapasitas untuk prokreasi biologis malah tidak dibutuhkan untuk pernikahan sakramental. Mengutip Hukum Kanonik Gereja: “Sterilitas tidak melarang atau membatalkan pernikahan.”[4] Orang lansia boleh menikah, tak ada masalah.[5]
Argumen Alkitabiah
Vatikan menegaskan bahwa Alkitab mengutuk kegiatan seksual sesama jenis dengan berpedoman pada Kitab Kejadian 19: 1-29 dan Kitab Imamat 18:20 // 20:13 dalam Alkitab Ibrani; dan dalam Perjanjian Baru pada Surat Roma 1: 26-27, Surat 1 Korintus 6: 9-10, dan pada 1 Timotius 1:10. Namun ayat-ayat dalam lima perikop ini hanya merujuk pada jenis tertentu dari perbuatan seksual sesama jenis laki-laki, dan tidak ada satupun dari lima penggalan pendek ini yang mengutuk hubungan sesama jenis laki-laki secara umum.
Pada zaman Alkitab ditulis, perbuatan seksual sesama jenis laki-laki disalurkan melalui hubungan seksual yang biasanya (1) bersifat sementara (yaitu bukan seumur hidup), dan (2) tidak bebas bahkan bersifat eksploitatif, karena ketidakseimbangan usia, perbedaan status dan kekuasaan. Misalnya, relasi antar seorang kepala pasukan dengan bawahannya, atau anggota keluarga monarki dengan pelayannya. Begitukah kenyataan masa itu. Jadi, tidak mengherankan kalau tidak ada satu perikop pun dalam Alkitab yang mengutuk aktivitas seksual sesama jenis laki-laki yang relevan untuk mempertimbangkan secara moral hubungan sesama jenis laki-laki yang bebas dan setia. Pun pula tidak ada satu ayat pun dalam Alkitab yang secara eksplisit mengutuk perilaku sesama jenis perempuan.
Selanjutnya, tidak ada ayat dalam Alkitab yang mewajibkan tujuan prokreasi agar harus hadir dalam setiap perbuatan seksual. Alkitab menekankan bahwa seksualitas manusia pada umumnya, dan pernikahan secara khusus, bertujuan mempereratkan persahabatan dalam pola saling membantu (Kejadian 2:18-24).
Jadi, kesimpulannya jelas: Tidak ada dasar alkitabiah, yang mendukung petunjuk Vatikan bahwa setiap relasi seksual mesti memiliki makna prokreatif, dan karena itu relasi antar sesama jenis “secara intrinsik tidak teratur” karena relasi sesama jenis tidak memiliki signifikansi dan finalitas prokreatif.
Kriteria untuk mempertimbangkan hubungan homoseksual dan tindakan seksual secara moral harus sama dengan kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi hubungan dan tindakan heteroseksual secara moral.
Hubungan homoseksual bisa memberi makna pada kehidupan dan membawa berkat bagi pasangan gay sama seperti bagi pasangan heteroseksual. Bagaimana? Karena pasangan LGBTIQ+ memenuhi satu atau lebih makna seksualitas manusia, antara lain kesenangan, cinta, perayaan kenyamanan, keintiman, persekutuan, dan persahabatan.
Sebetulnya, argumentasi Vatikan bertentangan dengan pandangan alkitabiah tentang berbagai tujuan seksualitas manusia. Alkitab Ibrani (PL) menegaskan bahwa finalitas seksualitas manusia terdiri dari persahabatan dan saling membantu (Kejadian 2:18, 24), dan kesenangan fisik (Kidung Agung 5: 1, Amsal 5: 18-19).
Coba perhatikan: tujuan prokreasi tidak nampak dalam ayat-ayat tentang penciptaan: “Tuhan Allah berfirman: ‘Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (Kitab Kejadian 2: 18-24). Memang dalam Kejadian 1:28 prokreasi disebut dan di situ, prokreasi digambarkan sebagai berkat. Demikian juga, dalam Perjanjian Baru tidak ada kapasitas, atau niat prokreasi yang diamanatkan sebagai syarat penting untuk pernikahan secara umum apa lagi untuk setiap relasi seksual secara khusus. Oleh karena itu, petunjuk Vatikan bahwa “keterbukaan terhadap prokreasi” sebagai persyaratan hakiki dari setiap hubungan seksual tidak didukung oleh Alkitab. Singkatnya, Alkitab mendukung tujuan moral dari relasi seksual selain prokreasi. Relasi seksual sesama jenis dapat memenuhi tujuan moral non-konseptif dari seksualitas manusia.
Disiplin ilmu lainnya menegaskan bahwa seksualitas manusia memiliki tujuan penting selain prokreasi. Bahwa seksualitas manusia mencakup tujuan non-konsepsi yang terlepas dari prokreasi dan sebaliknya bertujuan untuk memper-kuat persekutuan pasangan, dan tujuan ini dikonfirmasikan oleh berbagai ilmu termasuk ilmu biologi, psikologi, dan sosiologi.
Jadi, ada kontradiksi mendasar dalam teologi Gereja arus resmi yang ditegaskan dalam Hukum Kanonik, pun dalam pedoman Vatikan itu sendiri, karena Vatikan tidak menganggap ketidaksuburan sebagai penghalang pernikahan. Sejalan dengan ajaran alkitabiah, teologi Gereja arus utama, maupun dalam Hukum Kanonik, semuanya menyatakan bahwa kapasitas untuk prokreasi biologis tidak dibutuhkan untuk pernikahan sakramental: “Sterilitas tidak melarang atau membatalkan pernikahan”.[6]
Ayat-Ayat yang Disalahtafsir
Vatikan salah menafsir berbagai perikop dalam Kitab Suci sekitar perilaku sesama jenis, secara khusus dalam Kejadian 19: 1-29, Imamat 18:20 // 20:13, 1 Korintus 6: 9-10, 1 Timotius 1:10, dan Roma 1: 26-27.
Satu catatan: seksualitas pasangan sama jenis perempuan tidak disinggung sekali pun dalam seluruh Kitab Suci. Kelima ayat di atas hanya merujuk pada perilaku sesama jenis laki-laki. Tidak ada satu bagian pun dalam Alkitab yang menyebutkan perilaku sesama jenis perempuan yang secara eksplisit dilarang atau dikutuk. Benar, dalam Perjanjian Baru, Surat kepada Umat di Roma 1:26 menyebutkan “hubungan tidak wajar” perempuan tanpa spesifikasi lebih lanjut. Sangat mungkin “hubungan tidak wajar” merujuk pada perempuan ante-diluvian yang berhubungan dengan makhluk malaikat (Kejadian 6: 1-4).
Namun ilmu alam menunjuk bahwa sebagian besar hubungan heteroseksual tidak memiliki kapasitas biologis untuk prokreasi (perempuan hanya subur selama seminggu sebulan selama duapuluhan tahun). Oleh karena itu, relasi antar suami-isteri tidak dapat memiliki prokreasi sebagai tujuan satu-satunya. Dalam hal ini relasi LGBTIQ+ tidak berbeda dari relasi heteroseksual selama tiga minggu sebulan ketika isteri tidak subur dan sesudah isteri mati haid. Dalam situasi ini baik pasangan hetero maupun pasangan homo, secara biologis tidak mampu menghasilkan anak.
Kejadian 19: 1-29 Sering kisah Lot ditafsir sebagai kutukan atas tindakan seksual sesama jenis laki-laki, namun tafsiran itu bertentangan dengan teks Kitab Suci. Bagian itu tidak menggambarkan perbuatan seksual suka sama suka, melainkan percobaan pemerkosaan oleh sekelompok orang Sodom terhadap tamu Lot, sebuah kejahatan yang diperparah oleh pelanggaran kewajiban orang Sodom untuk menerima tamu dengan ramahtamah (Kejadian 19: 7-8). Peristiwa itu juga tidak menentukan nasib Sodom: pada saat itu terjadi, Allah sudah memutuskan untuk menghancurkan Sodom dan Gomora atas dasar bahwa semua penduduknya – baik perempuan maupun laki-laki – telah bersalah kendatipun Abraham mohon belas kasihan dari Tuhan. Allah bahkan tidak dapat menemukan sepuluh orang benar di antara mereka (Kejadian 18: 16-33).[7]
Kitab Imamat 18:20; 20:13: Tafsiran tradisional dalam Kitab Imamat bahwa aktivitas sesama jenis laki-laki dikutuk, berdasarkan terjemahan yang salah yang tidak dapat dipertahankan lagi. Sebaliknya, larangan tersebut terbatas pada jenis tertentu dari hubungan sesama jenis laki-laki. Itu kemungkinan besar adalah hubungan dengan laki-laki yang sudah menikah (dikutuk sebagai perzinahan), atau belum menikah tetapi di bawah wali perempuan Yudea (dikutuk sebagai inses). Terlepas dari objek pastinya, fakta bahwa larangan tersebut ditujukan pada jenis tertentu dari hubungan sesama jenis laki-laki, menunjukkan bahwa hubungan sesama jenis dengan laki-laki di luar kategori terlarang itu bisa dipandang sebagai relasi yang diperbolehkan.
1 Korintus 6: 9-10 dan 1 Timotius 1:10 adalah bagian dari dua “Daftar Kejahatan” yang merinci tipe-tipe pendosa yang tidak akan masuk surga. Kedua bagian ini memasukkan istilah Yunani yang langka, yaitu “arsenokoitai” (harafiah “ranjang laki-laki”). Dalam 1 Korintus 6: 9 ini diawali dengan istilah “malakoi” (harafiah “orang lembek” atau “banci”). Kata “arsenokoitai” sangat langka, tetapi penelitian menunjukkan bahwa kemungkinan besar kata ini merujuk pada pasangan aktif dalam hubungan sesama jenis laki-laki. Makna tulisan harus dipahami dalam konteks budayanya. Dalam dunia Yunani-Romawi pada zaman rasul Paulus, laki-laki yang dominan secara sosial, umumnya menikah, dan sering berhubungan seks secara teratur dengan budak atau pelacurnya, termasuk anak laki-laki, dan biasanya dia sendiri mengambil peran aktif/dominan. Bawahannya memiliki sedikit atau sama sekali tidak ada pilihan. Mengingat konteks ini, kecaman Paulus terhadap “laki-laki ranjang” kemungkinan besar mengacu pada mereka yang punya peran dominan secara sosial dan laki-laki dominan pada masa itu bisa saja mengadakan hubungan seks dengan sesama jenis secara eksploitatif dan seringkali berzinah.
Dalam 1 Korintus 6, tujuan dari daftar ini adalah untuk menggambarkan argumen rasul Paulus yang lebih luas bahwa menjadi Kristen berarti bertindak dengan adil (1 Korintus 6: 7-8). “Laki-laki ranjang” hanya dapat dianggap sebagai tindakan tidak adil jika rujukannya adalah pada jenis aktivitas seksual sama jenis laki-laki yang paling umum di dunia Yunani-Romawi pada zaman Paulus, yaitu tindakan seksual yang bersifat eksploitatif.
Dalam 1 Timotius 1: 10 penulis alkitab menyebutkan “orang yang melakukan percabulan, ranjang laki-laki, pedagang budak …”[8] Telah lama diperhatikan bahwa struktur daftar ini dari ay.9-11 sepertinya mencerminkan Dekalog. Jika referensi ke Dekalog dimaksudkan penulis, ini menunjukkan bahwa penulis Surat 1 Timotius menganggap “laki-laki” (bersama-sama dengan “percabulan”) sebagai pezinah, yaitu mereka yang bertindak melawan Firman Ketujuh. Oleh karena itu, “laki-laki-ranjang” kemungkinan adalah pasangan aktif dalam hubungan seksual sesama jenis laki-laki yang sudah nikah secara heteroseksual tetapi yang, karena posisi sosialnya dominan, dapat dan memang melakukan hubungan seksual dengan budak laki-laki atau dengan pelacur secara teratur. Hal ini selanjutnya didukung oleh fakta bahwa istilah yang mengikuti “laki-laki ranjang” adalah “pedagang budak” yang terkenal terlibat dalam perdagangan seks.
Roma 1: 26-27. “Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.”
Ayat-ayat ini umumnya dianggap sebagai kutukan paling jelas atas perilaku homoseksual dalam Perjanjian Baru. Itu merupakan penggalan dari satu bagian yang lebih besar, yaitu Roma 1: 18 – 2: 11, di mana rasul Paulus membangun argumen untuk mendukung prinsipnya bahwa semua orang berdosa, entah orang asing entah orang Yahudi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ayat 26-27 kemungkinan besar merujuk pada topos retoris apokaliptik “penghakiman ganda” yang kemudian terkenal. Itu terdiri dari dua contoh dari sejarah Yahudi tentang kejatuhan manusia dan penghakiman ilahi. Ayat 26 sepertinya tidak merujuk pada homoseksualitas perempuan tetapi pada perempuan yang tidur dengan makhluk malaikat sebelum Air Bah (tradisi sastra yang diilhami oleh Kejadian 6: 1-4). Kemungkinan besar ayat 27 merujuk pada perilaku homoseksual spesifik laki-laki di Sodom zaman dulu (tradisi sastra yang diilhami oleh Kejadian 18: 16-19: 29).
Menafsirkan Roma 1:27 sebagai kutukan universal atas hubungan homoseksual laki-laki yang bebas, setia, dan seumur hidup berarti membaca sesuatu yang tidak dikatakan di dalam teks. Penafsiran seperti itu juga akan bertentangan dengan toleransi perilaku homoseksual konsensual yang tersirat di mana pun dalam Kitab Suci.
Sulit menentukan secara pasti apakah Paulus dan penulis 1 Timotius merujuk pada hubungan suka sama suka atau hubungan eksploitatif dalam 1 Korintus 6: 9-10 dan 1 Timotius 1: 9-10. Tafsiran antar-teks menunjukkan bahwa Roma 1: 26-27 hampir pasti merujuk pada motif penilaian ganda retorika apokaliptik mengenai perempuan kuno dan laki-laki Sodom.
Dalam kasus-kasus ini, Vatikan menafsir bahwa rasul Paulus menawarkan kutukan normatif atas perilaku homoseksual konsensual, tetapi sebetulnya tafsiran ini tidak mungkin. Dalam kasus mana pun, sama tidak mungkin untuk menetapkan suatu kepastian absolut.
Petunjuk Vatikan juga berpendapat bahwa persatuan sesama jenis “berbahaya” bagi pasangan itu sendiri dan untuk “perkembangan yang tepat dari masyarakat manusia” pada umumnya, dan melakukan “kekerasan” terhadap “perkembangan normal anak-anak.”[9]
Jadi, sulit mengambil kesimpulan etis atau teologis yang jelas, apa lagi tegas, dari eksegese yang tidakpasti seperti ini. Jika tidak ada kepastian tentang jenis tindakan homoseksual laki-laki yang dimaksud rasul Paulus – apakah suka sama suka atau kasar/eksploitatif – juga tidak mungkin kita bisa menarik norma etika yang pasti daripadanya. Doktrin teologis dan aturan etis tidak dapat didasarkan tafsiran eksegetis melulu.
Kesimpulan
Tidak ada perikop mana pun dalam Alkitab yang mengacu pada perilaku sesama jenis yang relevan untuk meninjau secara moral hubungan sesama jenis yang bebas dan setia. Dalam dunia yang dihuni oleh para penulis Kitab Suci, perilaku sesama jenis laki biasanya diungkapkan melalui hubungan seksual yang bersifat sementara (yaitu bukan seumur hidup), tidak bebas, dan bahkan eksploitatif, karena ketidakseimbangan usia, status dan kekuasaan. Oleh karena itu, tidak ada bagian Alkitab yang mengacu pada perilaku sesama jenis yang relevan untuk mengevaluasi secara moral hubungan sesama jenis laki-laki yang bebas dan setia. Kitab Suci tidak melarang atau mengkutuk hubungan sesama jenis yang bebas, setia, dan seumur hidup.
John Mansford Prior, SVD,
Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero,
Maumere, Flores-NTT
[1] Mayoritas penduduk beragama Kristen di Provinsi NTT, Sulawesi Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
[2] “Pernyataan Asosiasi Medis Dunia tentang Variasi Alami Seksualitas Manusia”, Oktober 2013. Juga, Dinesh Bhugra dkk., “Posisi WPA tentang Identitas Gender dan Orientasi, Ketertarikan, dan Perilaku Sesama Jenis”, Psikiatri Dunia 15, no. 3 (2016): 299-300.
[3] Persona Humana par.7; Humanae Vitae par.3; Katekismus Gereja Katolik par. 2357 & par.2366.
[4] Codex Iuris Canonici par.1084.3.
[5] Dalam Amoris Laetitia par.36, yang merangkum kesimpulan dari Sinode Para Uskup di Roma pada tahun 2016 yang bertemakan keluarga, Fransiskus mengutuk presentasi pernikahan “sedemikian rupa sehingga makna persatuannya, seruannya untuk tumbuh dalam cinta dan cita-citanya untuk saling membantu dibayangi oleh pernyataan yang hampir eksklusif, yaitu desakan pada tujuan prokreasi.”
[6] Codex Iuris Canonici par.1084.3, “Kemandulan tidak melarang atau pun menggagalkan perkawinan, dengan tetap berlaku ketentuan Kan. 1098”. (Kanon 1098 ada ketentuan tentang penipuan.)
[7] Tafsiran ini dikonfirmasi di tempat lain dalam Kitab Suci Ibrani, di mana ada referensi ke Sodom. Misalnya, nabi Yehezkel mengatakan bahwa Sodom dihancurkan sebagai hukuman atas keangkuhan, dan sikap tidak peduli terhadap orang miskin (Yehezkiel 16: 48-50).
[8] Terjemahan LBI “bagi orang cabul dan pemburit [pakai anus], bagi penculik, bagi pendusta, bagi orang makan sumpah dan seterusnya segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran sehat…”
[9] Pertimbangan Mengenai Proposal untuk Memberi Hukum Pengakuan untuk Persekutuan antara Orang Homoseksual, par.7-8. CDF, Roma, 15 Maret 2021.