Akira Toriyama Mengajarkan Saya Arti Batas

Pertama kali saya mendengar kabar kematian Akira Toriyama adalah lewat postingan Instagram resmi AC Milan, klub sepak bola kesayangan saya. Klub Italia itu mengunggah selebrasi gol Rafael Leao dan seorang pemain lain dalam pose fusion. Rafael Leao berambut ala Goku dan rekannya ala Vegeta. Di caption, tertulis: we’ll try tackling life with as much energy as Goku! 🧡 We loved every minute. Rest in peace, Toriyama.

Akira Toriyama meninggal pada 1 Maret 2024. Ia didiagnosis mengalami hematoma subdural akut, sejenis pembekuan darah dalam otak. Ia wafat pada usia 68 tahun, kurang lebih 40 tahun setelah ia menciptakan karya fenomenalnya, Dragon Ball. 

Sebagaimana AC Milan adalah klub kesayangan yang mencuri hati saya sejak kecil, Dragon Ball pun demikian. Ia adalah tontonan wajib hari Minggu, jam 10  pagi di Indosiar. Saya dan teman-teman yang masih bocah saat itu akan berlarian dari kapel, berlomba-lomba menuju rumah untuk ganti baju, bahkan sebelum misa kudus benar-benar usai. Setelah ganti baju, tentu saja kami akan duduk manis di depan televisi, menikmati rangkaian film anak-anak.

Tak ada siaran lain yang bisa memalingkan hati kami dari serial Dragon Ball. Tidak Doraemon, tidak Sinchan, tidak Pokemon atau Digimon, atau Bakusō Kyōdai Let’s & Go!! yang sempat membuat kami sejenak meninggalkan sepak bola dan beralih ke Tamiya. Yang lain, yang juga personal buat saya adalah saya harus menonton serial Dragon Ball di rumah tetangga. Bapak dan mama tak punya cukup uang buat membeli parabola untuk dipasang di rumah kami.

Manga Dragon Ball terbit secara berseri di majalah mingguan Shonen Jump tahun 1984. Kelebihan Toriyama dalam manga-manganya adalah deskripsi visual dan tekstual yang detail. Tidak heran jika Dragon Ball sukses diadaptasi ke anime dan tayang pertama kali di Jepang pada 1986. Dragon Ball juga melahirkan manga sekuel, spin-off, adaptasi dari film animasi  ke layar lebar, sampai video games. Dragon Ball menjadi salah satu waralaba terlaris sepanjang zaman dan amat mempengaruhi generasi muda mangaka.

Dalam beberapa peristiwa, impian kami nonton Dragon Ball harus pupus karena orang-orang dewasa menguasai remote televisi dan lebih memilih siaran langsung tinju Mike Tyson. Perasaan geram tentu menyelimuti hati kami sebagai anak-anak. Namun, apa boleh buat. Kami harus menahannya. Kami tak punya hak buat onar atau melawan. Juga kami tentu kalah suara, sebab penonton tinju adalah bapak-bapak sekompleks. Kalau ribut atau rusuh, kami diancam tak diizinkan nonton untuk pekan depan dan seterusnya. Bahkan kami dilarang bermain oleh bapak atau kakak-kakak yang lebih tua.

Jika kami ketinggalan satu sesi Dragon Ball, kami tak bisa mengejarnya. Tak ada alternatif, siaran ulang atau lewat Youtube seperti sekarang ini. Kami berusaha mengalah, menahan ego kami karena harus ada ‘kepentingan banyak orang’ yang diutamakan. Ini tak selalu jadi kebajikan sebab kadang kami hanya kalah karena ada relasi kuasa di sana.

Di kasus lain, kami harus rela menonton lewat celah-celah ventilasi dinding, seperti jendela berukiran tertentu, sebab pemilik televisi tak membukakan pintu untuk kami. Dia menonton, dia tahu kami di luar, tapi untuk alasan yang tak disampaikan, dia tak membukakan kami pintu dan membiarkan kami berebut celah-celah ventilasi untuk mengintip demi melihat aksi Son Goku dan teman-teman. Kadang, kegaduhan timbul dan kami diusir. Kami harus berkelahi satu sama lain karena satu orang yang buat rusuh, semua kena dampaknya.

Pada masa yang lain, ketika saluran televisi tak lagi mudah diakses dengan winersat dan berganti media (di Flores yang paling familiar adalah Indovision) sehingga tak semua kelas menengah mampu membeli dan membayar iurannya, kami kehilangan akses kepada Dragon Ball. Kami tak punya kemewahan seperti teman-teman di Jawa yang bisa mengakses siaran televisi swasta hanya dengan antena biasa atau jaringan tivi kabel.

Saya adalah satu orang yang beruntung karena tak sengaja bertemu dengan Taman Bacaan Mawar yang kala itu menyewakan komik-komik. Di masa SMP, saya rajin meminjam komik. Seribu sampai seribu lima ratus rupiah per komik, tergantung judulnya. Tentu, Dragon Ball yang lebih dahulu saya lahap habis, sesekali diselingi Kung Fu Boy atau Doraemon. Dragon Ball hanya sedikit teralihkan oleh Captain Tsubasa, juga karena kala itu pemilik taman baca tak selalu bisa segera meng-update judul-judul. Ia harus menunggu jadwal kapal dan kerap rela mengantre hingga cetakan berikutnya karena kehabisan stok.

Nonton Dragon Ball di televisi tetangga tentu bukan pengalaman yang terlalu luar biasa. Saya yakin sekali, di luar sana, banyak anak generasi ‘90-an atau sesudahnya yang juga punya pengalaman serupa. Bahkan, ada yang harus membawa kayu api sebagai bayaran tiket masuk. Atau memikul air satu jerigen bagi pemilik televisi untuk bisa nonton satu film. Pengalaman menonton seperti ini sering sekali saya dengar, diceritakan oleh teman-teman dari kampung. 

Meski saya pernah mengalami hal serupa dengan kadar yang tak seberapa, saya tetap merasa punya privilese karena bisa mengakses Dragon Ball pada medium yang lain. Namun, saya menyadari bahwa ada situasi sosial ekonomi, yang lebih besar dari kesenangan menonton anak-anak, yang turut mengontrol cara kami mengakses hiburan yang kecil dan sederhana ini. 

Belasan tahun setelah pengalaman menonton Dragon Ball  lewat kisi-kisi ventilasi dinding, saya dan teman-teman mendapat rejeki untuk mengontrak sebuah rumah guna dijadikan studio, tempat kami bekerja. Saya kenal baik rumah itu dan ruangan-ruangannya. Dahulu, pada salah satu ruangannya diletakkan televisi dan winersat tua, tempat kami menghabiskan masa-masa kecil yang menyenangkan bersama Goku, Krillin, Vegeta, Gohan, Piccolo, dan para android. Empat tahun kami menempati rumah itu sebelum pindah karena rumah itu akan digusur dan dijadikan tempat usaha waralaba.

Mimpi Akira Toriyama mungkin sederhana, “saat saya menggambar serialnya, yang ingin saya capai hanyalah menyenangkan anak-anak di Jepang.” 

Namun, tak sadar ia membuat anak-anak kecil di berbagai belahan dunia mengalami pelajaran berharga tentang hidup dalam dinamika sosial yang tak selalu stabil. Bahwa siapapun rentan dalam sistem sosial ekonomi yang selalu berubah-ubah. Meski kesadaran ini baru bisa saya ucapkan sekarang, ketika menulis ini, perasaan menonton dari kisi-kisi ventilasi dinding masih bisa saya panggil dan rasakan dengan jelas. Perasaan gelisah itu sama persis dengan yang sering saya alami belakangan ini ketika harus berpikir soal masa depan seorang seniman-aktivis bersama dengan teman-teman yang memilih jalan serupa: berdiri di atas dan berpijak pada ‘an always -fucking- shifting ground.’

Meski begitu, Akira Toriyama mengajarkan saya soal batas. Sebagai suatu keadaan yang menuntut kita terus rendah hati dan belajar bersabar ketika harus menghadapi situasi tak berdaya. Ada kenyataan yang membuat langkah kita terhenti. Kita terhalang oleh sesuatu di luar atau di dalam diri kita.

Namun, kerap pada saat yang bersamaan, kita tetap bisa mengintip aksi Son Goku lewat kisi-kisi  ventilasi. Sebagaimana batasan, tak selalu berarti akhir dari segala-galanya sebab dari sana kita bisa melihat keluasan yang lain, yang bisa kita raih dengan jalan memutar, dengan menambahkan kaioken menjadi beberapa kali lipat, memasrahkan diri pada dinamika energi internal super saiyan, atau meminjam energi semesta, kekuatan kolektif dari orang-orang yang setia seperjalanan dengan kita. 

Hal kecil yang juga saya pelajari dari Goku adalah ia bisa melampaui batas-batas diri dan kekuatannya karena ia mengingat orang-orang yang ia cintai dan mencintainya. 

Ketika sedang memikirkan cara mengakhiri tulisan ini, saya melihat sebuah ilustrasi yang menarik di status whatsapp Abang Johnson, kepala rumah tangga Komunitas KAHE. Goku dan Vegeta memikul peti mati Akira Toriyama, dengan tujuh bola naga terletak di atasnya. Perjalanan Akira Toriyama mungkin sudah mencapai batas, tetapi ia tetap hidup lewat Dragon Ball, bola naga yang ia ciptakan, yang bisa mengabulkan apapun permintaan setiap orang, termasuk membangkitkan yang sudah mati.

Apakah memang, yang kita cintai dan yang kita lakukan dengan penuh cinta tak pernah benar-benar mati?

Terima kasih banyak, Akira Toriyama!

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] penghormatan dan rasa terima kasih pada Toriyama Sensei, rubrik Nahkoda menampilkan Akira Toriyama Mengajarkan Saya Arti Batas, sebuah obituari yang ditulis oleh Eka Putra Nggalu. Eka menunjukkan pada kita tidak saja warisan […]

trackback

[…] Nahkoda menghadirkan teks wawancara dua arah mengenai profil para aktivis budaya, seniman, manajer seni, membahas karya dan kerja-kerja kesenian yang relevan. Rubrik ini juga menerima obituari dan biografi tokoh. Jumlah kata: 2000-3000 kata. Contoh tulisan Nahkoda: Akira Toriyama Mengajarkan Saya Arti Batas […]

Kalender Postingan

Rabu, Oktober 30th