Akiq AW adalah seniman yang menekuni fotografi dan seni media dalam hal praktik artistik maupun gagasan. Praktik seninya juga mencakup kekuratoran dan direksi artistik dalam sejumlah peristiwa-peristiwa seni rupa di Yogyakarta. Kapasitas Akiq sebagai pelaku seni pun tercatat dalam keterlibatannya di MES 56, sebuah kolektif di Yogyakarta yang banyak berkegiatan dalam ranah fotografi kontemporer. Dalam percakapan bersama Chabib Duta Hapsoro, Akiq membahas beberapa seri karyanya yang berhubungan dengan relativitas memori kolektif serta bentuk-bentuk negosiasi dan daya tahan warga atas perubahan-perubahan akibat gejolak sosial dan kebijakan politik.
Chabib: Aku tidak terlalu update perkembangan kekaryaanmu sekarang-sekarang ini. Namun, setelah aku memperhatikan dengan lebih saksama seri-seri karyamu sebelumnya, terutama The Order of Things (2011) dan Lima Cerita Dari Rumah (2012), kamu sebenarnya tertarik dengan praktik pengarsipan warga, meskipun secara kebetulan atau tidak langsung ya.
Di seri-seri karya itu kamu merepresentasikan atau menampilkan kembali, bahkan secara konkret, semacam ‘arsip-arsip’ warga: susunan benda-benda yang kasat mata aneh dan berserak tapi itu ternyata berdasarkan sentuhan manusia juga atau kamu mendayagunakan foto-foto keluarga dari subjek-subjek riset artistik kamu. Bagaimana pendapatmu tentang pembacaanku sekarang ini? Apakah benar begitu atau kamu baru menyadarinya belakangan?
Akiq: Aku melihat kekaryanku bukan bertolak dari praktik pengarsipan oleh warga. Justru aku lebih sering membicarakan tentang keluarga yang latar belakangnya adalah keluargaku sendiri. Di sana aku memiliki persoalan besar pada bagaimana hal-hal masa lalu itu diingat.
Daya ingatku terhadap masa lalu itu sangat buruk. Ibuku lebih punya ingatan yang kuat. Sementara bapakku cenderung tidak tertarik itu menyimpan benda-benda untuk memelihara nostalgia. Kalau aku itu tidak banyak ingat tentang masa lalu. Kecuali kalau diajak ngobrol seseorang akan suatu topik lantas tiba-tiba aku bisa ingat sebuah cerita di masa lalu. Perlu ada pemicunya dan ingatan itu muncul di luar kontrolku. Misalnya pun pengalamanku dengan MES 56 saja aku banyak yang tidak bisa mengingatnya. Selalu sumir. Di sisi lain, bagiku setiap benda yang kumiliki atau yang kutemui di manapun itu seperti mencoba ngomong sesuatu. Jadi responnya berbeda dari misalnya praktik seniman yang bertolak dari ingatan seperti misalnya seniman Filipina, yang aku lupa namanya [Ling Quisumbing-ed]. Dia mengumpulkan benda-benda karena dia keluarga dia punya penyakit apa namanya…
Chabib: Demensia? Alzheimer?
Akiq: Nah alzheimer. Kemudian dia jadi hoarder, mengumpulkan benda-benda seperti itu. Praktikku tidak seperti itu. Aku lebih berusaha keras untuk membentuk imajinasiku sendiri, atau ingatanku. Tapi aku kalau melihat suatu benda itu kaya menurutku. Makanya aku suka sekali memotret benda-benda apa adanya dengan tatanan-tatanan yang katakanlah organik sedemikian rupa. Bisa tatanan kursi dan lain-lain. Aku suka sekali tatanan-tatanan benda itu karena itu menjadi sebentuk cara benda-benda itu berbicara denganku. Dan bagiku benda-benda, apapun itu dan tatanannya adalah satu-satunya jalan bagiku untuk terkoneksi dengan suatu tempat.
Chabib: Justru kamu tidak terkesan dengan cerita-cerita dari orang ya?
Akiq: Nah, bukan dari orangnya. Bagiku sulit sekali untuk melihat sejarah atau mengingat masa lalu itu melalui orang. Paling mudah itu melalui benda-benda yang pernah ada dan terlewat di masa lalu itu. Hal-hal itu sederhana itu bagiku menyenangkan. Melihat sebuah kursi saja bagiku menyenangkan. Aku pernah berada di sebuah titik ketika aku menganggap semua hal yang berada di pinggir jalan itu seni lho.
Chabib: Bisakah kamu menceritakan antusiasmemu saat melihat benda-benda di lingkungan sekitarmu?
Akiq : Iya, selalu ada excitement. Pernah suatu hari saat aku menjemput anakku dari sekolah, aku seperti kerasukan, begitu semangatnya jemput anak sekolah dan melihat semua hal di perjalanan itu indah lho. Makanya aku sering memotret apa saja di jalanan. Beberapa dari mereka aku unggah di Instagram tanpa caption karena bagiku itu sudah cukup bagus dan bercerita. Itulah kenapa karyaku banyak mengabadikan benda-benda. Karena sedari awal mereka bisa ‘berbicara’. Mereka bisa menuntunku kepada cerita ini dan itu. Jadi awalnya bukan dari narasi. Jadi mungkin dalam konteks arsip dan praktik pengarsipan itu aku kesulitan menempatkannya.
Chabib: Kamu bisa tergugah dengan melihat benda-benda dalam kondisi apa adanya. Apakah itu juga menuntunmu pada ingatan-ingatan tertentu?
Akiq: Iya, meskipun sebenarnya nyaris tidak banyak menolong juga.
Chabib : Berarti mengingat itu tidak terlalu penting buatmu ya? Atau bagaimana?
Akiq: Iya betul, itu tidak terlalu penting sebenarnya.
Chabib: Kok bisa begitu ya? Apalagi misalnya bangsa kita justru bermasalah dengan ingatan. Misalnya dalam konteks 65.
Akiq: Mungkin diksi ‘tidak penting’ kurang tepat. Namun, sudah menjadi hal mustahil bagiku untuk kemudian berusaha memelihara ingatan-ingatan tertentu. Yang kurasakan itu kan sebenarnya persoalan yang aku sadari; mungkin lima tahun, atau sepulah tahun terakhir ini lah. Ini waktu yang belum lama tapi kenapa tidak banyak memori-memori pada masa ini yang aku ingat. Apalagi memori-memori saat aku SMA. Pada masa kuliah pun, ketika Mes 56 masih berada di Jalan Kolonel Sugiono itu aku juga tidak banyak ingat. Lantas, kenapa aku terus tertarik pada benda-benda itu, [meski] itu sebatas berusaha mengumpulkan foto-fotonya. Di sisi lain banyak orang, yang ingatannya pendek, punya dedikasi untuk mencoba merawat memorinya dengan dengan benda-benda. Kalau aku tidak sebegitunya.
Chabib: Berarti menurutmu ilmu sejarah atau konstruksi sejarah itu tidak penting atau bagaimana?
Akiq: Bukan tidak penting. Maksudnya sejarah itu catatan kan? Tapi sebenarnya yang lebih penting bagaimana misalnya seniman katakanlah memakai sejarah. Memakai sejarah itu penting. Tapi lebih penting lagi bagaimana kemudian bisa membawa situasi atau suasana, atau memacu ingatan-ingatan tersebut jadi relevan ke banyak orang. Karena aku lihat karya-karya dengan catatan sejarah itu, terutama yang menampilkan arsip cenderung dingin banget. Itu teronggok saja, terserah mau dibaca atau tidak. Kalau kita tidak punya ketertarikan sendiri atau punya kepentingan dari sejarah yang ditampilkan, kita akan melihatnya secara sambil lalu saja.
Menurutku yang lebih penting adalah kepada individu-individunya sendiri. Apakah sejarah itu kemudian berkolerasi sama hidupnya dia sendiri. Misalnya belum tentu 65 itu kepentingan setiap orang. Tapi ketika orang membicarakan dalam lingkup yang lebih luas dari pribadi dan hidup kita, beberapa orang merasa berkepentingan. Kita tidak bisa memaksa setiap orang untuk melihat arsip atau sejarah itu seperti kitab suci. Seolah-olah bahwa sejarah yang ditulis itu semacam suci sekali. Atau ada ungkapan “Kita tidak punya masa depan tanpa sejarah!”. Menurutku tidak sebegitunya. Hidup praktikal kita kan pendek banget.
Chabib: Menarik juga ya.
Akiq: Kalau kita ngomong dalam level individu hidup itu pendek banget. Kalau kita terlalu pusing pada persoalan-persoalan yang kemudian kita sendiri tidak paham, kita tentu akan kesulitan untuk menanganinya. Mungkin orang sangat sedih ya melihat misalnya kasus A, kasus B dan seterusnya. Di sisi yang lain ada orang-orang yang melihat sejarah sebagai pengetahuan, jadi macam-macam. Bisa kita sebut mereka ini punya dedikasi untuk sejarah dan membongkar ini dan itu. Maka orang ini tahu cara memasukkan hidupnya ke situ. Dan tidak setiap orang punya kelebihan seperti dia.
Chabib: Bisa kamu beri satu contoh?
Akiq: Misalnya ada aktivis yang membongkar peristiwa 65, membongkar 98. Dia bisa memposisikan hidupnya di situ. Dia berprofesi di situ, mencari makan di situ, membangun idealisme hidupnya di situ. Tapi bagaimana kalau orang yang lain? Aku tertarik dengan isu 65, tapi aku tidak punya gambaran membangun hidupku di seputar isu itu. Aku harus mencari yang lain. Maksudku betul bahwa sejarah itu penting secara kebangsaan, secara komunitas, secara kemasyarakatan. Dan biarkan orang-orang yang bisa memposisikan hidupnya di situ.
Chabib : Maksudmu ini berlaku juga untuk seniman?
Akiq: Betul. Menurutku tidak semua orang atau seniman harus membicarakan arsip. Aku kan kemarin sempat berada di sebuah diskusi di sebuah pameran yang diselenggarakan oleh sebuah galeri di Yogyakarta. Berdiskusi tentang arsip dan pengarsipan. Pikirku, kok sudah sekitar sepuluh tahun ini kita membicarakan arsip, arsip dan arsip terus ya. Sepertinya semua orang selalu melihat arsip itu menarik banget. Tapi ternyata ya masih di sekitar situ saja. Kita lihat saja nanti apakah itu kemudian jadi sesuatu yang mengubah cara kita hidup dan cara kita berkesenian.
Chabib: Jadi memang konsep pengarsipan itu memang memerlukan kontekstualisasi juga ya? Dan disesuaikan dengan kebutuhan kita juga.
Akiq: Aku jadi lebih rileks dan bagaimana ya mengungkapkannya…Jadi tidak terlalu apa ya… Sebetulnya warga itu sudah mempraktikkan pengarsipan dengan benar. Setiap peristiwa yang penting difoto dan disimpan di album foto yang bagus. Itu sudah menjadi tradisi. Saat lebaran dilihat lagi album fotonya dan kemudian sambil cerita-cerita gitu. Di keluarga bapakku setiap lebaran orang tua-tua bercerita tentang masa lalu. Aku sempat juga ditanyain. Tapi kan pihak-pihak tertentu saja di keluarga kita yang selalu punya paling banyak kesempatan untuk menceritakan masa lalu.
Chabib: Aku cukup paham dan terhubung dengan pengalamanmu. Karena kamu sudah berbicara tentang pengarsipan atau katakanlah pelembagaan memori dalam keluarga. Bagaimana kamu menghubungkannya dengan seri karya Lima Cerita Dari Rumah?
Akiq: Sebetulnya mereka adalah keluarga dari istriku. Ada yang keluarga jauh dan ada juga yang dekat. Misalnya keluarga yang di Parangtritis. Nah, konsep mereka tentang foto, arsip keluarga itu tidak ngoyo (memaksakan diri) untuk menjadikan hal-hal itu sebagai tradisi. Mereka punya foto keluarga, foto album kecil, tapi ya tidak jelas periodisasinya bagaimana.
Chabib: Bagaimana kamu menemukan keluarga-keluarga ini dan menjadikan subjek dalam seri karya ini? Apa saja yang menarik perhatianmu?
Akiq: Awalnya adalah karena mereka adalah saudara-saudara istriku dan setelah cukup lama berinteraksi dengan mereka, aku memahami bahwa hidup mereka dinamis sekali. Aku tertarik tentang bagaimana mobilitas dan naik-turunnya kehidupan warga di daerah Parangtritis yang seringkali menguji batas-batas ketahanan mereka.
Daerah Parangtritis itu dinamis sekali saat Jembatan Kretek dibangun yang membangkitkan potensi pariwisata di sana. Lantas kemudian mobilitas warga jadi luar biasa, yang tadinya mereka hidup di kebun dan punya sawah, mereka kemudian rela menjual tanah-tanah mereka dan berpindah lebih dekat ke pantai untuk mencari nasib yang lebih baik dengan memanfaatkan potensi wisata di pinggir pantai. Lantas kemudian ada penggusuran yang membuat banyak warga berpindah lagi dan menjauhi pantai. Itu yang mendasari proyek Lima Cerita dari Rumah. Dan mereka rata-rata tidak punya arsip tentang rumah pertama, kedua mereka dan seterusnya. Yang ada hanya ingatan-ingatan yang kemudian mereka ceritakan.
Aku pikir cara mereka memandang tragedi dan perubahan-perubahan hidup itu sangat rileks. Kecuali Paklik (paman) istriku yang istrinya meninggal dahulu, lantas hidup dia menurun. Dia punya toko lantas tokonya sepi. Dia yang begitu kehilangan istrinya, hidupnya makin berat dan tahu-tahu menyusul meninggal. Tapi untuk yang lain, ada saudara yang meninggal atau tragedi-tragedi lainnya mereka sangat rileks memaknainya. Semacam mengulang-ulang kehidupan pagi, siang, sore, malam saja. Sebagai orang Jawa, aku melihat orang Jawa itu seperti rileks akan hidupnya. Contoh yang lain misalnya orang Jawa tidak punya tradisi penelusuran silsilah keluarga yang ketat. Tidak seperti orang Arab.
Chabib: Sebagai orang Jawa aku juga merasa begitu.
Akiq: Bahkan orang-orang Batak penelusuran silsilah keluarganya juga ketat to. Marga-marganya terus dirawat. Orang Jawa aku pikir tidak sebegitunya. Aku tidak tahu, mungkin ada tulisan atau penelitian yang menjelaskan penyebab orang Jawa demikian.
Chabib: Gagasan besar Lima Cerita Rumah itu memang untuk menangkap fase-fase perubahan hidup ya?
Akiq: Iya awalnya itu perubahan hidup itu. Dalam kehidupan manusia itu kan beberapa peristiwa yang mengubah banyak hal kan. Misal orang pindah rumah, itu mengubah banyak hal. Tidak hanya itu, ganti pekerjaan, pernikahan, kematian, dan seterusnya. Makanya biasanya ada tradisi untuk menandai peristiwa-peristiwa itu. Ada upacaranya. Ada selamatannya, karena perubahannya dianggap radikal. Nah, cara-caranya kan seperti itu. Mereka tidak mencatat dalam bentuk arsip. Arsip ada di ingatan dan mulut. Tapi pada setiap peristiwa besar selalu ada penandanya. Nah, dalam konteks riset proyek Lima Cerita dari Rumah itu gagasan besarnya migrasi dan mobilitas yang karena intervensi lingkungan, perubahan-perubahan itu terjadi dengan sangat cepat. Dalam rentang waktu kurang dari lima tahun itu mereka pindah rumah, ganti profesi dan seterusnya. Aku melihatnya sebagai sesuatu yang dramatis.
Chabib: Tapi aku melihat bahwa mobilitas manusia hari-hari ini itu malah lebih cepat lagi kan. Hal-hal yang menjadikan manusia untuk menjadi mapan di suatu tempat dan rutinitas itu sepertinya makin berkurang. Apalagi misalnya ada konteks bahwa harga-harga tanah dan properti yang makin mahal tidak karuan, kerusakan lingkungan dan seterusnya.
Akiq: Pindah rumah itu jadi makin biasa banget ya?
Chabib: Betul.
Akiq : Atau sekarang perubahan-perubahan jadi semakin seamless ya? Terutama bagi orang-orang seperti kita yang hubungan profesionalnya sudah sedemikian cair, dan bukan seperti profesi orang-orang yang basisnya tradisional seperti petani, guru, atau yang hubungan sosialnya berdasarkan wilayah. Makanya kita sekarang makin tidak bisa menengarai sebagai perubahan hidup seseorang. Eh, kamu tahu-tahu sudah begini. Atau dia tiba-tiba sudah begitu. Seamless sekali.
Chabib: Seperti juga terjadi pada lingkaran pertemanan, yang lima tahun lalu dekat, tiba-tiba sekarang sudah tidak dekat lagi.
Akiq: Ada kemudian peristiwa yang membuat lingkaran pertemanan itu berubah. Pelan-pelan tapi tidak disadari teman yang tadinya dekat lantas jadi tidak dekat. Apakah menurutmu itu berkaitan dengan praktik pengarsipan? Tidak kan? Namun, sebetulnya aku masih dihantui dengan sebuah rasa bersalah, perihal kekuranganku untuk tidak bisa mengingat. Aku menaruh curiga dengan diri sendiri bahwa aku tidak pernah menghargai apapun yang kualami. Aku sampai sekarang berpikir jangan-jangan aku kurang respek kepada orang lain, kurang respek dengan hal-hal di sekitarku. Aku kadang bisa sampai ketakutan sendiri saat memikirkan hal itu.
Chabib: Kita kembali lagi ke proyek Lima Cerita Dari Rumah ya. Sebenarnya sebelum kamu turun ke lapangan, kamu tidak tertarik dengan arsip-arsip foto keluarga-keluarga itu ya?
Akiq: Tidak berpikir ke situ sama sekali. Semuanya terjadi ketika ada di lapangan yang akhirnya menuntunku ke beberapa pilihan eksekusi. Tidak hanya saat aku menemukan foto, tetapi benda-benda lain yang lantas aku rekonstruksi. Misalnya saat aku menemukan kain jarik milik nenek istriku. Aku memutuskan kain jariknya aku rentang saja dan seolah jadi seperti berhantu. Aku melihatnya dalam konteks migrasi lokal yang kemudian meninggalkan reruntuhan bangunan bekas rumah mertuaku. Itu aku foto reruntuhan rumahnya dan aku rekonstruksi beberapa benda-bendanya karena reruntuhan rumahnya masih ada. Tapi ada juga yang bersih sama sekali tapi masih ada di ingatan bekas penghuninya. Aku bergantung terhadap bahan-bahan yang bisa aku temukan saja.
Chabib: Jadi upaya mengingat itu banyak tantangannya ya? Dalam konteks karyamu, kamu membuat rekonstruksi-rekonstruksi dari rumah-rumah yang hancur itu aku melihatnya selain puitik melainkan juga ironis. Karena pada akhirnya rumah atau upaya warga untuk merawat atau mengingat sesuatu itu kalah di hadapan gejolak sosial atau kebijakan politik ya?
A: Betul. Namanya juga aturan sekecil apapun pasti berpengaruh sekali ke warga. Tidak hanya di Yogyakarta. Di Jakarta malah ngeri banget kan? Ada kebijakan tertentu yang sifatnya langsung. Makanya, yang paling riskan terdampak itu orang-orang bawah. Misalnya kebijakan Ahok tentang sungai yang dulu itu. Itu sontak membuat kehidupan warga yang terdampak jadi berantakan.
Jadi persoalannya, semakin kita tidak bisa mengontrol kehidupan kita, semakin kita tidak mau lagi berurusan dengan ingatan-ingatan yang merujuk kepada hal-hal yang berada di luar kontrol kita. Ngapain, hal yang tidak menyenangkan kok diingat-ingat. Seperti juga malam tirakatan 17an. Sebenarnya itu ingatan yang digerakkan oleh tentara kan. Untuk merenungi kemerdekaan sebagai achievement bangsa semacam itu. Tapi sekarang malam tirakatan malah berwujud dangdutan, karokean, dan lain-lain yang terkesan jauh dari praktik renungan.
Chabib: Betul juga ya. Praktik mengingat yang dilembagakan dari atas ke bawah lantas diretas oleh warga.
Akiq: Itu resistensi namanya. Sekarang kalau ada warga yang serius untuk mengajak tirakatan betulan ya tidak berlaku lah. Wong hidup masih seperti ini, apa yang mau disyukuri. Kemudian diretaslah sama warga. Kita having fun saja mumpung ada dana dari desa.
Chabib: Aku jadi ingat seri karyamu yang menampilkan foto-foto patung Keluarga Berencana itu (Seri Potret Keluarga Indonesia—2017). Menurutmu pada patung-patung KB itu apakah ada bentuk resistensi warga juga? Karena itu itu kan mekanismenya top-down juga. Selain patung KB, gapura, patung-patung tentara, patung-patung bambu runcing. Itu kan jadi semacam token setiap kampung di Jawa lah. Warga harus patuh dan submisif untuk membangun monumen-monumen itu. Itu kan menjadi semacam ajang cuci otak karena yang awalnya tidak relevan dengan kehidupan warga lantas bisa relevan sendiri karena dampak propaganda.
Akiq: Iya, betul. Tapi yang lebih menarik buatku adalah praktiknya yang mencerminkan bagaimana birokrasi Orde Baru itu bekerja hingga lingkup mikro. Misalnya RT dan RW. Itu kan semi negara sekaligus semi swasta dan lingkupnya komunal. Dan RT/RW dipilih warga sendiri. Seolah-olah warga juga menghendaki birokrasi yang seperti itu. Hal ini yang menguntungkan Orde Baru karena sangat efisien. Pada akhirnya warga menjadi submisif sendiri tanpa ada intervensi negara yang berlebihan. Seolah-olah monumen-monumen itu dibangun atas kehendak dari warga sendiri. Padahal sebenarnya tidak. Tapi ada juga peristiwa di mana intervensi negara lewat militer nampak di kehidupan desa. Dulu di tempatku Koramil itu sampai ikut menggerakkan masyarakat untuk menanam padi, menanam tebu. Karena awalnya ada resistensi dari warga sehingga tentara ikut diturunkan.