Titik Temu Pain Haka dan Taiwan
Menelusuri kembali jejak masa lalu untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi bisa menjadi sebuah perjalanan penuh nostalgia romantis sekaligus penuh kejutan yang problematis. Apa yang selama ini tidak pernah diketahui, ternyata muncul dari hal-hal yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Begitupun sebaliknya. Apa yang terasa begitu akrab bisa tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang sama sekali asing. Itulah yang saya dan teman-teman yang terlibat dalam program Metaphors About Islands rasakan.
Metaphors About Islands merupakan program yang diinisiasi oleh Gudskul Studi Kolektif. Program ini berlangsung sepanjang tahun 2021 dan berpuncak pada Jakarta Biennale yang diselenggarakan pada Januari 2022. Dalam program ini, saya dan beberapa teman dari Komunitas KAHE bertemu dan berinteraksi dengan berbagai kolektif seniman yang tersebar di seluruh Indonesia. Sepanjang satu tahun, program ini diisi dengan berbagai kelas, presentasi materi, dan diskusi interaktif. Output dari program ini adalah kolaborasi dengan rekan-rekan seniman dari berbagai kolektif lainnya. Pada kesempatan inilah kami dipertemukan dengan Yuma Taru, seorang seniman tekstil dari Taiwan, dan juga Mehfal Pahlevi dan Rahmadiyah Tria Gayathri (Ama) dari Forum Sudut Pandang, Palu.
Taiwan, Palu, dan Maumere dipisahkan lautan yang luas dan ribuan pulau. Karena itu kesenjangan bahasa, budaya, dan pemahaman menjadi tantangan dalam kolaborasi kami dengan Yuma Taru. Pada setiap kesempatan diskusi dengan Yuma, kami mesti melibatkan penerjemah yang menerjemahkan bahasa Indonesia ke bahasa Inggris kemudian bahasa Inggris ke bahasa Mandarin. Meskipun demikian, kesulitan ini sama sekali tidak menyurutkan semangat kami untuk berkolaborasi.
Setelah beberapa diskusi via Zoom, kami akhirnya menemukan satu simpul yang dapat menyatukan Maumere, Palu, dan Taiwan. Simpul itu adalah Austronesia. Austronesia sebagai sebuah konsep sub kelompok etnis atau rumpun kebudayaan dan bahasa bukan merupakan pengetahuan yang akrab dengan kami. Dari pertemuan virtual dan diskusi itulah kami semua mulai pelan-pelan mendalami pengetahuan mengenai Austronesia.
Dalam salah satu tulisan yang diterbitkan oleh Jurnal Amerta – Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi – berjudul Prasejarah Austronesia di Nusa Tenggara Timur (NTT): Sebuah Pandangan Awal yang ditulis oleh Truman Simanjuntak, M. Ruli Fauzy, J.C. Galipaud, Fadhila A. Azis, dan Hallie Buckley, dijelaskan bahwa pada sekitar tahun 3000-2000 BP, berbagai pulau di Nusa Tenggara Timur telah dihuni oleh penutur Austronesia.
Para penutur Austronesia ini menghuni wilayah pantai dan bermata pencaharian sebagai pemburu-pengumpul-peramu yang memanfaatkan kehidupan biota laut. Berbagai bentuk, pola, serta variasi peninggalan arkeologis dan situs neolitikum di wilayah NTT menunjukkan bahwa komunitas antarpulau telah terlibat kontak dan interaksi yang intensif pada waktu itu. Data tersebut menjadi pijakan kami untuk berkolaborasi bersama Yuma Taru.
Kami memutuskan untuk membuat pameran berupa instalasi yang menghubungkan sejarah perkembangan penutur Austronesia yang ada di Flores (Pain Haka) dengan Taiwan. Karya tersebut berusaha menghubungkan kembali ingatan kolektif penutur Austronesia melalui instalasi peta migrasi, serta mendekatkan hubungan relasional dan emosional antara orang-orang Taiwan dan Flores. Keduanya dipertemukan melalui ketertarikan pada kerang di lubang arkeologi dan manik-manik kerang di museum yang kami temui selama proses diskusi dan persiapan presentasi program.
Yuma menyampaikan ketertarikannya untuk menelusuri lebih jauh kerang dan beragam manik-manik. Menurutnya, benda-benda tersebut merupakan aksesoris yang penting bagi orang-orang Taiwan di daerahnya. Beberapa sumber juga menyebut tentang pemanfaatan kerang dan manik-manik di tempat sisa-sisa jejak Austronesia ditemukan.
Kami akhirnya sepakat memilih kampung Pain Haka sebagai lokasi riset kami. Bagi kami, Pain Haka merupakan salah satu langkah lokasi penting untuk dijadikan langkah awal penelusuran peninggalan bangsa Austronesia di wilayah Indonesia Timur karena wilayah tersebut juga tercatat dalam beberapa dokumen yang memberi informasi tentang keberadaan jejak peninggalan penutur Austronesia – meskipun masih sedikit dokumen dan penelitian yang memberi informasi tentang hal itu. Selain itu, lokasi Pain Haka yang dekat dari Maumere membuat kami merasa tidak akan kesulitan untuk bepergian. Namun, jarak yang kami kira dekat itu justru membawa kami pada suatu perjalanan panjang dan penuh kejutan.
Menelusuri Pain Haka, Pesisir yang Tidak Berpenghuni
Pain Haka adalah salah satu lokasi yang menjadi bukti dan menyimpan jejak peninggalan penutur Austronesia. Daerah tersebut terletak di Desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur. Dua hari perjalanan menuju Tanjung Bunga adalah waktu tempuh yang terlalu lama jika dihitung berdasarkan jarak antara Maumere dengan ujung timur Pulau Flores. Biasanya, jika menggunakan kendaraan roda dua, Maumere menuju Larantuka bisa ditempuh dengan waktu 2,5 sampai 3 jam perjalanan. Jika menuju Tanjung Bunga, kita membutuhkan waktu sekitar 45 menit perjalanan lagi. Namun, bagi saya, Ama, Mehfal, dan Aldo yang menggunakan dua sepeda motor, perjalanan yang lebih lama adalah konsekuensi yang harus kami tanggung jika ingin sampai di tujuan dengan aman.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan akibat dihantam hujan dan angin sepanjang perjalanan ke Tanjung Bunga, kami akhirnya tiba di Desa Waibao sehari sesudah perjalanan dari Maumere, tepat pukul 11. 46 WITA. Warga Desa Waibao telah menunggu kami sehari sebelumnya. Kedatangan kami ternyata sudah dinanti warga Desa Waibao.
Bapak Hery Aran, ketua kelompok pemuda Waibao dan calon kepala Desa Waibao (per Desember 2021, Bapak Hery menjabat sebagai kepala Desa Waibao) mengatakan, setelah mendengar rencana kedatangan kami ke Waibao dan menuju ke Pain Haka, dia bersama kelompok pemuda berdiskusi dan menyiapkan armada (sebutan untuk motor laut) untuk rencana keberangkatan kami menuju Pain Haka.
Menurutnya, setelah mendengar informasi mengenai kedatangan kami, ia bersama kelompok pemuda Waibao menelusuri identitas komunitas kami melalui media sosial. Maksud dari penelusuran itu adalah agar mereka dapat mengenal lebih jauh profil kami dan bisa menyiapkan kemungkinan agenda bersama anak muda dan tetua kampung di desa mereka. Setelah proses itu, ia menemui para tetua adat dan menyampaikan rencana kunjungan kami ke Pain Haka kepada tuan tana Pain Haka. Hal ini penting agar perjalanan kami diberi restu oleh leluhur dan mereka dapat ikut bersama kami dalam perjalanan ke Pain Haka.
Tentu saja segala persiapan dan sambutan ini di luar dugaan kami. Masyarakat Nusa Tanggara Timur memang pada umumnya memiliki upacara khusus untuk menyambut tamu yang datang ke tempat mereka. Namun, kami tidak menyangka bahwa warga Desa Waibao sudah mencari tahu lebih dahulu siapa kami dan aktivitas apa yang kami kerjakan dalam kolektif kami.
Dari Desa Waibao, kami harus naik armada (kapal motor) menuju Pain Haka. Bapak Hery bersama beberapa perwakilan kelompok pemuda, ibu-ibu dan beberapa bocah, dua orang tetua Pain Haka ikut bersama kami menuju kampung yang saat ini tidak berpenghuni lagi. Sebelum naik armada di pesisir Waibao, pada dahi kami masing-masing dibuat tanda salib menggunakan air laut. Saya sontak menoleh pada Ama dan Mehfal yang beragama Islam. Mereka bisa saja salah paham akan praktik tersebut.
Di Flores, sulit sekali memisahkan agama (Katolik) yang menjadi bagian dalam praktik-praktik kebudayaan seperti ritus merecikkan air untuk menerima tamu di Pain Haka. Air laut tidak saja direcikkan di kepala kami, tetapi kami diberi tanda salib sebagai simbol perlindungan yang mirip dengan praktik berkat dalam Gereja Katolik. Dalam hati kecil, saya berharap Ama dan Mehfal bisa memahami hal ini, bahwa mereka tidak sedang dibaptis menjadi Katolik.
Setelah ritual itu, kami naik armada menggunakan sampan. Jarak dari sampan menuju armada sekitar 20 meter. Armada tidak mampu mencapai bibir pantai karena gelombang yang cukup besar. Insiden kecil terjadi saat menuju armada. Mehfal, karena gelombang yang besar, sempat terpeleset dan jatuh ke dalam laut sebelum berpindah ke armada. Beruntung, beberapa barang elektroniknya bisa diselamatkan. Sebelum armada berlayar, layar harus kami turunkan setelah bergerak beberapa meter. Angin kencang dan gelombang tinggi di siang hari membuat perjalanan kami terasa begitu mencemaskan. Saya semakin gugup dengan perjalanan yang memiliki banyak kejutan ini.
Butuh waktu enam puluh menit untuk mencapai wilayah Pain Haka menggunakan kapal motor dan melewati enam tanjung yang membentuk kelopak bunga. Salah seorang tetua adat yang keturunannya pertama kali mendiami Pain Haka, Bartolomeus Ole Belen (Bapak Meus) mengatakan wilayah tersebut tidak lagi berpenghuni. Warga berpindah ke Waibao setelah gempa dan tsunami melanda Flores pada tahun 1992. Sebagian dari kampung itu tenggelam. Warga Pain Haka akhirnya pindah setelah dipaksa oleh militer.
Dalam bahasa warga setempat, pain berarti ajakan; mengajak ke sini, mari, ke sini. Menurut warga setempat, tidak heran jika dahulu kala, wilayah Pain Haka sering menjadi tempat singgah orang-orang dari wilayah barat dan timur. Salah satu penanda penting yakni peristiwa yang terjadi di pesisir Belo Wait Ebe Laba Wain, sebuah tanjung sebelum ke Pain Haka. Pantai itu bersejarah karena sebuah kapal armada laut milik Jepang tenggelam di lautan ini karena diledakkan oleh militer Amerika.
Tiba di pesisir Pain Haka, kami bergegas turun dari kapal motor dan bersiap ke lokasi yang menyimpan beberapa jejak peninggalan Austronesia. Waktu kami di Pain Haka sangat singkat. Apalagi, musim saat itu tidak menentu. Menurut tetua adat, ada dua titik yang menjadi tempat penggalian yang dilakukan oleh para peneliti. Bersama Bapak Bertolomeus, Hery, Fransiskus, Ama, Mehfal, Aldo dan saya, kami menemukan titik pertama yang terletak persis di bibir pantai. Kami mulai dengan membersihkan semak belukar yang menutup lokasi penggalian itu.
Setelah membersihkan lokasi itu, Bapak Bertolomeus dan Fransiskus bercerita pengalaman penggalian dan penemuan di lokasi pertama. Ada banyak hal yang ia ceritakan, mulai dari proses penggalian, ritual adat, hingga temuan berbagai benda yang menurut mereka terasa begitu asing. Menurut Bapak Bertolomeus, selama bertahun-tahun mereka tinggal di perkampungan itu (sebelum dipindahkan karena tsunami 1992), ia dan warga Pain Haka tidak tahu apa yang tersimpan di balik tanah pesisir itu. Bahkan, sampai penelitian selesai dilangsungkan, mereka tidak banyak tahu informasi yang tersimpan dalam penggalian itu. Titik pertama itu kini begitu dekat dengan pesisir laut. Jika gelombang pasang datang, dataran itu sesekali tersapu ombak.
Setelah berada di titik pertama, kami lalu bergerak ke titik kedua. Sebelum sampai ke titik kedua, kami singgah di kuburan simbolis berupa tumpukan batu, tempat banyak warga Pain Haka meninggal dunia disapu tsunami 1992. Bapak Bertolomeus mengajak kami berdoa dan membuat ritual kecil, memohon agar kami semua diberkati dalam perjalanan ini.
Titik kedua berjarak sekitar 100 meter ke timur dari lokasi pertama. Fransiskus Lado Aran (Siku) salah seorang tetua yang juga terlibat dalam penggalian itu mengatakan, di lokasi itu ditemukan periuk yang berisi tulang belulang. Hanya ada satu tulang belulang manusia yang utuh. Sebagian besar tulang belulang itu tersimpan di dalam periuk dan terserak akibat disapu lautan setelah tsunami.
Penggalian itu berhasil mengumpulkan manik-manik dan gelang, kapak batu, arang (arang berlapis) yang diperkirakan berusia 3000-4000 tahun. Selain itu, mereka juga menemukan gelang yang dibuat dari siput lola – jenis siput yang cukup berharga. Ada juga jenis yang dibuat kalung. Mereka juga menemukan kendi, kumbang, dan manik-manik yang dipastikan milik pembesar kelompok itu.
Kami tidak dapat melihat tembikar dan kaca yang sudah ditimbun oleh warga. Perlu ritual adat penyembelihan hewan dan doa-doa jika timbunan temuan-temuan itu kembali digali. Siku mengatakan, pernah salah seorang perwakilan pemerintah mengambil dan mengoleksi beberapa temuan itu. Namun, koleksi itu dikembalikan setelah setiap malam ia didatangi hantu dalam tidurnya dan menderita sakit yang panjang. Setelah menelusuri dua titik penggalian itu, kami kembali menemui rombongan yang menanti kami di pesisir Pain Haka, menikmati pisang rebus, rumpu rampe, dan seekor musang hutan bakar hasil buruan warga di kebun.
Berbagai kisah menyatakan, sejarah perkampungan Pain Haka bermula dari kedatangan suku-suku dari wilayah Selatan, Timur, dan Utara. Setelah berlabuh di Pain Haka, mereka meminta izin untuk tinggal di wilayah tersebut kepada pemerintahan kerajaan Larantuka yang menjadi penguasa wilayah. Setelah mendapat izin dari kerajaan Larantuka, mereka mengusir penduduk asli beretnis Paji. Memindahkan warga asli ke tempat yang lain bukanlah perkara mudah. Mereka harus berperang untuk mendapatkan tanah baru yang mereka inginkan. Tak ada penanda apapun di lokasi peperangan selain ilalang kering, seolah menegaskan bahwa tempat ini memang penuh dengan kematian. Lokasi itu dikeramatkan warga. Penduduk asli lalu berpindah ke pesisir utara.
Membayangkan Kembali Pain Haka
Perjalanan pulang kami menyusuri pesisir ujung timur Pulau Flores terasa begitu romantis. Melihat beberapa tanjung yang mirip kelopak bunga membangkitan ingatan tentang Flores, yang meski begitu panas dan gersang diberi nama “Pulau Bunga” oleh orang-orang Portugis. Segala sesuatu terlihat begitu jelas di depan mata, tetapi pada saat yang sama membangkitkan begitu banyak pertanyaan tentang Flores hari ini, suku-suku yang tersebar, agama, budaya juga apa yang sedang dihadapi saat ini. Banyak hal masih tetap dikubur atau ditutupi dan dijadikan sebagai sesuatu yang keramat. Apa yang mesti kami lakukan dengan semua yang kami temui di Pain Haka? Apa memang harus dibiarkan saja demikian? Pertanyaan-pertanyaan itu mengendap dalam ingatan saya sepanjang perjalanan pulang.
Berbekal riset singkat dan temuan kami di Pain Haka, kami menyusun proyek dalam kerangka membayangkan kembali (reimagine) sejarah kedatangan, pertemuan, pertukaran masyarakat yang ada di dunia, khususnya Flores dan Taiwan. Ide ini ingin menegaskan bahwa selalu ada sesuatu yang menggerakan yang lain sebagai peristiwa masa lalu; ia yang meninggalkan jejak sekaligus pada saat yang sama mempertemukan satu masyarakat dengan masyarakat lainnnya.
Proses persiapan berlangsung singkat. Jarak Maumere, Flores, dan Jakarta menyebabkan persiapan berbagai kebutuhan pameran diminimalisasi. Jumlah kerang dan muatan pasir harus realistis. Pihak penerbangan menghentikan kerang-kerang yang akan kami gunakan sebagai material pameran di bandar udara Maumere. Kerang dengan bobot 70 kg harus diterbangkan keesokan harinya dari Maumere ke Jakarta. Material pasir terpaksa kami datangkan dari Jakarta. Kami harus menunda waktu produksi hingga pembukaan pameran karena instalasi Yuma Taru tertahan di Bea dan Cukai.
Instalasi yang kami kerjakan merupakan perpaduan antara karya Yuma Taru berupa jahitan benang yang disulam di antara kawat dan dibentuk menyerupai gelombang dan jahitan senar untuk membentuk renda-renda. Renda-renda tersebut merespon instalasi yang kami kerjakan berupa tumpukan pasir dan berbagai jenis kerang yang kami bawa dari Flores. Di atas kerang-kerang dan tumpukan pasir itu berdiri instalasi Yuma berupa benang-benang yang ditata di dalam kaca dan menancap pasir.
Metaphors About Islands adalah proyek seni kolaboratif antarlokalitas yang dirintis dan diko-kuratori oleh Gudskul (Jakarta) dan Sandy Lo (Taipei) serta didukung oleh Taiwan National Culture and Arts Foundation. Proyek ini adalah usaha adaptasi, pemulihan dan solidaritas dalam ranah seni, di mana kondisi pandemi global memacu kita untuk mencari daur baru untuk kerja-kerja bersama antarlokalitas. Dengan tajuk Metaphors About Islands, beraneka pandangan dan kiasan akan “pulau” menjadi gagasan untuk berdialog, memaknai ulang, berspekulasi dan menguji arti kedekatan, kediaman, keberlangsungan hidup, kebersamaan, keberagaman, kehadiran, keterhubungan dan kesetaraan dari lingkup “pulau” masing-masing dan zona waktu yang berbeda pula.
Ring Project #1 memasangkan 20 seniman dan kolektif seni dari Bangkok, Bangladesh, Hanoi, Jakarta, Kathmandu, Kuala Lumpur, Phnom Penh, dan Taipei, dengan 22 kolektif seni Indonesia yang merupakan peserta Gudskul Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer angkatan ke-3 2020/2021, yang tersebar di Bandung, Batu, Cirebon, Gresik, Kuningan, Jakarta, Makassar, Maumere, Nganjuk, Palu, Sidoarjo, Solok, Sukabumi, Surabaya, dan Yogyakarta.
Mengerjakan proyek ini seperti halnya membongkar kembali tumpukan lama penutur Austronesia yang hampir tidak pernah dikerjakan. Proses yang panjang dengan waktu yang singkat setelah diskusi, riset, dan produksi harus kami alami. Di antara diskusi-diskusi persiapan hingga presentasi karya di Museum Nasional Jakarta, ada banyak pertanyaan muncul di dalam benak saya, misalnya: apakah kesenian masih relevan untuk dikerjakan jika ia berjarak dari masyarakat, kampung halaman, dan teman-teman sekampung?
Hari itu, selepas maghrib, kami kembali dari Pain Haka ke Desa Waibao. Kapal motor menderu kencang melawan gelombang. Kami diam, hening, menatap ke arah Timur menyaksikan bulan yang muncul di balik Gunung Ile Mandiri. Kepala saya penuh pertanyaan dan rasa gelisah mengingat ucapan Bapak Bertolomeus, “Kalau nanti tahu betul-betul apa yang ada di Pain Haka itu, kasih tahu kami. Kami mau tahu pastinya itu apa. Nanti kalau kami tahu, biar kami yang kelola sendiri.” Setelah perjalanan itu, kami kembali ke Maumere. Ama dan Mehfal, setelah singgah, akan terus ke Palu, Sulawesi Tengah.
Sumber