Oleh Megs Seto –
Ketika sedang duduk santai di pelabuhan Wuring, saya tiba-tiba memperhatikan beberapa orang buruh sedang mondar-mandir dengan wajah lusuh. Mereka tampak serius mengikuti mobil pikap yang masuk ke pelabuhan. Kulit mereka kecoklatan dan menyala -barangkali karena pancaran terik matahari- dan saya mengikuti langkah mereka guna mencari tahu dan melihat lebih dekat aktivitasnya.
Seorang ibu dan bapak kemudian keluar dari mobil, berbicara dengan seorang buruh kapal dan sepertinya tengah bernegosiasi tentang beras yang akan dibeli. Beberapa menit pun berlalu, para buruh tampak sabar menunggu di samping kapal dan bercerita satu sama lain.
Mobil pikap itu kembali tanpa membawa apa-apa. Saya duga, negosiasinya kurang berjalan bagus. Para buruh kemudian mulai meninggalkan tempat itu satu per satu. Sore memang akan segera berakhir digantikan oleh pekatnya malam. Saat itu saya memang agak sedikit enggan mengajak mereka bercakap-cakap. Maka, saya pun pergi dari tempat itu untuk mencari buruh yang lain.
Kedatangan saya tersebut ditemani oleh dua anggota Komunitas KAHE lainnya, yakni Kartika Solapung dan Theresia Nay. Observasi kami bertujuan untuk mengetahui perbedaan kelas sosial dan pengaruhnya terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat Wuring, terutama bagi mereka yang bekerja di pelabuhan dan pasar. Kami bertiga sepakat berpencar untuk kemudian berbaur dengan aktivitas yang terjadi di dua lokasi itu.
Saya akhirnya mendekati beberapa pria yang cukup tua. Mereka sedang duduk melingkar dan terdapat botol moke di hadapannya. Tanpa basa-basi saya langsung mencoba mendekat dan membaurkan diri bersama mereka. Saya menyapa ramah dan berharap bisa saling mengenal satu sama lain dan paling tidak saya bisa mendapatkan cerita dan informasi dari mereka. Cerita lantas mengalir begitu saja seiring dengan beberapa gelas moke yang diteguk; mulai dari perkenalan nama, status, asal, pekerjaan, dan candaan garing lainya. Saya kira, tidak ada yang saling membedakan dalam perkumpulan itu.
Menurut Abunawas, salah seorang buruh pelabuhan, upah para buruh kebanyakan didapat dari seberapa banyak barang yang diangkat ke kapal. Adapun dari cerita buruh lain bernama Abdul -dia bekerja di kapal- upah yang didapatnya diberikan oleh juragan (pemilik kapal) sesuai dengan kuantitas kerja mereka. Hasilnya dibagi secara adil lewat perhitungan bersama. Sejauh ini, menurut Abdul tidak terjadi salah paham dalam pembagian hasil, karena si juragan cukup transparan soal pemasukan-pengeluaran beserta kebutuhan administrasi kapal.
Kami sempat mengobrol lama, tetapi hari sudah mulai malam sementara Kartika dan Nay menunjukkan raut cemas sebab kami masih punya rencana pergi ke pasar Wuring. Perkara lainnya masih terdapat satu botol moke untuk dihabisi dan terpaksa saya tidak bisa meneruskan duduk minum semacam itu. Saya lantas berpamitan dengan para buruh tadi.
Pasar Senja Wuring Bikin Kami Heboh
Pasar senja Wuring akan ditutup, demikianlah isu yang tengah beredar di masyarakat dan sempat dimuat oleh beberapa media lokal di Maumere. Hal ini seakan-akan memaksa kami untuk menghentikan penelusuran tentang pasar Wuring. Namun, dalam penjejakan malam itu, kami mendapatkan cerita mengenai keluh kesah para pedagang yang tidak ingin pasar itu ditutup. Dari keluhan-keluhan itu, kami menginformasikan kepada teman-teman komunitas agar ada gerakan ataupun aksi advokatif untuk melakukan negosiasi perihal operasional pasar Wuring. Kami tidak hendak melakukan subversi, tapi kami ingin keadilan ditegakkan. Minimal mengenai kebijakan itu, suara orang Wuring turut didengarkan.
Sesungguhnya perbedaan dan pengaruh tingkat kesejahteraan masyarakat Wuring di pelabuhan dan pasar merupakan tema yang ditetapkan bersama oleh kelompok kami. Kelompok kami terdiri dari Kartika, Nay, Silvano Keo, Irfan, dan saya. Kami memang telah memutuskan, observasi kami akan lebih berfokus pada pasar Wuring.
Pada malam sebelum observasi, kami telah membahas perkara aksi sosial yang akan kami lakukan, termaksud distribusi kerja untuk semua tim riset yang dipimpin oleh Eka Putra Nggalu. Kami pun sepakat untuk membuat aksi sosial di pasar Wuring, tepatnya sehari sebelum pasar itu ditutup. Beberapa hal yang kami pelajari dan rencanakan berkelindan mulai dari sejarah pasar, pertemuan dengan pemilik tanah dan badan pengelola pasar, wawancara para pedagang, pertemuan dengan lurah dan orang-orang di Disperindag daerah beserta kemungkinan aksi serta dokumentasi. Kami semua menyatakan siap dan bertanggung jawab atas tugas masing-masing.
Sesudah itu, observasi kami terus berjalan dengan menajamkan fokus pada isu yang sama. Namun, kami kemudian mendapat informasi bahwa Bupati Sikka sampaikan pengumuman kalau pasar Wuring tidak jadi ditutup. Kami tentu bersyukur sebab para pedagang bisa kembali mencari nafkah di situ.
Dari beberapa pengalaman di atas, saya mendapatkan pelajaran berharga.
Sebelumnya saya keluar masuk Kampung Wuring hanya untuk membeli ikan segar, tetapi sekarang perasaan saya terasa berbeda. Saya kerap akrab dengan warga Wuring, mendengarkan cerita-cerita mereka, diundang ke pesta nikahan, bahkan dipanggil untuk mengikuti upacara adat suku Bajo. Saya juga menjadi pribadi yang lebih peka dalam mengidentifikasi kegelisahan dan persoalan-persoalan hidup mereka.
*Megs Seto, penjual nasi bungkus sekaligus aktor di Studio Teater KAHE. Sesekali mengurus pengarsipan di perpustakaan dan ruang baca Komunitas KAHE.
Buruh, nelayan dan pasar wuring. Kesenjangan kesejahteraan yang terlihat sangat jelas sejak dlu hingga sekarang. Kami menantikan karya2 seni yang lain yang berkaitan dengan “wuring”.. Thanks
Buruh,nelayan dan pasar wuring merupakan gambaran kecil karakter masyarkat sikka sebebarnya.bekerja keras,suka keramaian..tapi sikka juga butuh pemimpin seperti juragannya abdulah yang transparan dalam urusan finensial.karena biasanya sudah berurusan dengan raja dunia yang satu itu kebanyakan kita menjadi lupa diri.