Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, sejak terjadinya pandemi Covid-19, warga banyak mengalami perubahan hidup. Mulai dari pemutusan kerja di sana-sini, terisolasi di rumah atau wilayah tertentu, hingga timbul kesadaran akan pentingnya kesehatan diri dan lingkungan. Warga mulai memikirkan sesuatu yang bisa dilakukannya secara mandiri di rumah. Salah satu yang populer adalah berkebun (menanam aneka sayuran dan buah atau tanaman hias). Pilihan ini tidak hanya mengusahakan soal pemenuhan bahan makanan, tetapi juga soal kualitas bahan yang akan dikonsumsi. Menanam bahan makanan sendiri di rumah menjadi pilihan yang dipercaya lebih sehat dan hemat.
Salah satu fenomena yang akhir-akhir ini pun berlangsung secara masif adalah gerakan mengolah kembali pangan lokal. Prinsip-prinsip kembali ke alam, epistemologi-epistemologi tempatan dari gastronomi tradisional, menanam untuk kebutuhan pangan rumah tangga, praktik memasak, serta pendokumentasian kuliner lokal marak dilakukan.
Jika menilik lebih jauh ke belakang, politik pangan cenderung menyeragamkan pola konsumsi warga. Swasembada beras, kampanye empat sehat lima sempurna dan politik bulog masa itu menyeragamkan pola konsumsi warga dalam satu standar baku yang normatif dan cenderung represif. Penyeragaman pola konsumsi ini juga adalah praktik kecil dari persoalan agraria yang lebih besar, yang turut mendorong pengelolaan kebutuhan-kebutuhan pangan lokal dalam monopoli negara. Apakah gerakan kembali ke pangan lokal itu jadi respons atas penyeragaman ini?
Negara yang memiliki tugas memenuhi kebutuhan pangan begitu responsif terhadap urusan perut warganya. Urusan penting dan mendasar ini tak pelak menjadi dagangan politik negara terhadap warganya. Jika terjadi krisis pangan, maka dampaknya akan meluas dari ekonomi hingga politik. Dengan alasan ketahanan pangan, food estate diekspansi di berbagai wilayah yang tidak sedikit merugikan warga sekitar lahan, khususnya petani atau penjual makanan-makanan lokal. Industri pangan ini dirajai oleh para investor, dan di baliknya tentu saja ada negara yang menjamin aturan hukumnya. Mau tidak mau warga terus berada dalam lingkaran politik pangan dan terus mengonsumsi apa yang dihasilkan oleh industri pangan ini.
Di sisi lain, pemerintah terus mendorong masyarakat untuk mengembangkan sumber pangan selain beras untuk dikonsumsi. Ini paling gencar dilakukan melalui kampanye dan kegiatan para ibu PKK. Salah satu misi PKK adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari lingkup terkecil yaitu keluarga. Pelatihan-pelatihan inovasi pangan lokal diarahkan menjadi ekonomi kreatif warga, dan juga menjadi menu PMT (Pemberian Makanan Tambahan) bagi keluarga. Pengelolaan pangan lokal di setiap wilayah diharapkan dapat mengatasi ancaman krisis pangan. Namun, seefektif apa itu dilaksanakan dalam kegiatan-kegiatan yang dicanangkan? Kita tetap saja bergantung pada nasi. Jika ini bertujuan demi kesejahteraan masyarakat, maka ketersediaan pangan lokal di pasaran mesti menjadi perhatian pemerintah dan semua elemen masyarakat.
Selain pemerintah, warga atau komunitas-komunitas yang memiliki perhatian khusus pada isu ini pun membuat inovasi dalam mengelola bahan makanan lain seperti jagung, singkong, pisang, sorgum, sagu, dan lain sebagainya. Tidak sedikit pun aneka kuliner dari hasil inovasi tersebut dibawa untuk dipercakapkan di perhelatan kesenian dan kebudayaan. Apakah ini juga termasuk salah satu cara yang bisa dilakukan komunitas/warga untuk mengatasi krisis pangan? Ataukah merupakan kreativitas untuk menampilkan pangan lokal secara lebih menarik? Dan mungkin prospek bisnis yang menjanjikan jika dikemas lebih estetik?
Dalam kerangka editorial kali ini, Lau Ne ingin melihat lebih dekat dan kritis mengenai praktik-praktik pendokumentasian pangan dan pelestarian kuliner lokal yang belakangan marak dihadirkan dalam acara-acara seni budaya dan festival-festival. Apa modus dan motifnya? Apakah bertumpu pada usaha bersama dalam satu ekosistem yang sadar akan kerentanan ketahanan pangan di Indonesia, ataukah berlangsung secara fragmentaris dan tersegmentasi? Atau bahkan, apakah praktik-praktik ini hanya tren, mengulang ironi slogan dan kampanye pemerintah tentang pangan lokal tetapi tidak menjamin ketersediaan bahan-bahan pangan itu di pasaran?
Membaca tulisan Maria Ludvina Koli, “Sako Seng dan Cerita Musim Tanam”, membawa kita untuk melihat kebun yang dulu dan sekarang. Masyarakat di Kabupaten Sikka pada umumnya berkebun dengan menanam tanaman hortikultura seperti jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan, dan lain sebagainya. Tradisi ritus yang kental menjadi penuntun dalam menanam hingga memanen. Tidak hanya sampai tahap memanen, tradisi menyimpan hasil panen di lumbung di dalam rumah juga diperhatikan dengan baik agar ketersediaan bahan makanan terjaga demi kelangsungan hidup dan juga menyimpan benih terbaik yang akan ditanam kembali. Kepercayaan akan tanah yang sakral menumbuhkan tanaman-tanaman tersebut yang menghidupkan, memberi arti yang cukup bagi masyarakat untuk meyakini bahwa jagung, ubi, pisang, kacang, dan lain-lain adalah makanan (selain nasi) yang sejak dahulu dikonsumsi masyarakat.
Lain halnya dengan warga Jatiwangi. Hal menarik diungkapkan Bunga Siagian dalam rubrik Nahkoda, “Badan Kajian Pertanahan: Komitmen Seumur Hidup Warga Kampung Wates”. Bunga menceritakan bahwa tanah tidak memiliki arti yang sakral dalam tradisi masyarakat mereka, sehingga ia dan rekan-rekannya di Jatiwangi Art Factory bersama-sama membangun kebudayaan serta tradisi atau ritual baru bagi mereka untuk menanam di tanah tersebut. Menciptakan kebudayaan merupakan sebuah jalan memutar untuk memperjuangkan hak milik warga atas tanah. Badan Kajian Pertanahan menjadi proyek seumur hidup Jatiwangi Art Factory. Melalui proyek ini, mereka berupaya menghadapi masalah-masalah di tempat mereka, khususnya sengketa tanah. Konsep-konsep gerakan lain yang menarik juga akan kita jumpai, seperti supranatural farming dan mother bank.
Pengetahuan menarik tentang sajian dan makanan dihadirkan Wilda Yanti Salam. Ia mencoba mendalami makna dari kehadiran makanan–sajian dalam ritual yang berhubungan dengan kehidupan dan kematian dalam budaya Toraja dan Bugis. Membaca tulisan Wilda, membuat saya teringat akan tradisi Krowe yaitu memberi makan leluhur, nenek moyang, dan anggota keluarga yang sudah meninggal, yang disebut tung piong. Seperti apa penelusuran Wilda yang menarik itu, sila membaca tulisannya dengan judul “Menyelami Kehadiran Sajian dalam Ritus Hidup dan Mati”.
Beberapa tulisan menghadirkan pandangan serta praktik-praktik yang terjadi di tempat mereka masing-masing. Di Labuan Bajo, Citra Kader, dalam tulisannya “Keberagaman Ikan Kuah Asam di Labuan Bajo”, menceritakan prosesnya bersama kolektif Videoge dalam mendokumentasikan resep dan pengetahuan dari para tetangga di sekitar rumah mereka di wilayah pesisir. Dari sini kita tahu bahwa mengidentifikasi dan mendokumentasi resep dan pengetahuan itu menjadi hal yang penting, sebab sebagai penduduk wilayah yang memiliki beragam identitas, mereka bahkan belum dapat mengartikulasikan apa sesungguhnya makanan khas mereka. Citra menemukan bahwa kuah asam dengan beragam cara memasak itulah yang menjadi kekhasan masyarakat pesisir Labuan Bajo. Kekhasan mereka soal kuliner adalah keberagaman makanan itu sendiri. Kekhawatiran akan keterbatasan pangan yang berasal dari laut maupun lingkungan sekitar pun dimunculkan dalam kerja-kerja kreatif tersebut.
Kekhawatiran lain dimunculkan oleh Anggraeni Widhiasih, dalam tulisannya “Kunyah Saja Semua Biar Kena Asam Urat dan Kolesterol”, adalah soal konsumsi makanan yang berlebihan akan mengakibatkan penyakit tertentu. Kegalauannya akan kelebihan konsumsi nasi misalnya tidak hanya menjadi masalahnya sendiri, tetapi sebagian besar orang Indonesia. Makanan pokok selain nasi seperti jagung, singkong, dan sagu ternyata hanya ia lihat di buku pelajaran di bangku Sekolah Dasar. Makanan-makanan itu bak hilang ditelan swasembada beras. Selain itu, menurutnya perubahan iklim pun menjadi ancaman yang kian meresahkan. Apa yang bisa dikatakan di zaman sekarang soal ketersediaan bahan makanan selain nasi yang juga lama kelamaan akan terancam?
Sebuah catatan editorial “Di Antara Rasa dan Cerita”, catatan tim editor buku resep (digital) Susurang Esse, Kisah dan Resep Tradisional dari Kampung Wuring, turut hadir di edisi kali ini. Tulisan ini menggambarkan bagaimana sebuah buku resep yang didokumentasikan tidak hanya berisi resep masakan dengan langkah-langkahnya, tetapi lebih pada menggambarkan sejarah, tradisi, pengetahuan, dan cerita-cerita di balik kuliner yang ada. Dari buku tersebut, kuliner dilihat tidak sesederhana mengenyangkan perut, tetapi bagaimana warga bersiasat dan menciptakan teknologi tertentu dalam pengolahan makanan yang ada di sekitarnya. Lewat kuliner, manusia pun mengekspresikan kekhasan dirinya dengan kisah dan cita rasa tinggi.
Kesempatan yang baik juga di edisi kali ini adalah Laune dapat menerbitkan tulisan dari Pidato kebudayan Dewan Kesenian Jakarta “Berakar dan Menjalar: Lumbung sebagai Model Ekonomi dan Estetika Organisasi Seni” oleh Ade Darmawan. Dalam pidato ini Ade Darmawan memaparkan pikiran, pandangan dan tawarannya mengenai konsep lumbung sebagai model pengelolaan sumber daya dalam pengembangan estetika lembaga seni. Latar belakang dan konteks Ade berproses bersama kolektif ruangrupa di Jakarta, menjadi alasan mengapa konsep lumbung ini dipakai dalam praktik-praktik artistik dan kultural mereka. Apa yang disampaikan Ade Darmawan bisa dijadikan catatan bagi kolektif-kolektif seni atau bisa didiskusikan dalam praktik-praktik kolektif seni di tempat lain di Indonesia atau di belahan dunia lain, sebagaimana itu berlangsung ketika konsep lumbung ditawarkan sebagai operating system dalam perhelatan documenta fifteen di Kassel, Jerman.
Praktik kesenian selalu bertemu dengan praktik-praktik yang tidak selalu atau mungkin belum dianggap sebagai praktik seni. Atau mungkin praktik tersebut tidak harus disebut sebagai praktik kesenian, jika lahir dan hidup oleh karena kerja-kerja warga atau komunitas dan dekat dengan cara warga mengelola keberlangsungan hidup mereka. Ketika bahan pangan atau makanan hadir di festival kesenian atau ruang galeri bagaimana itu dapat disebut sebagai sebuah karya seni? Apa bedanya dengan yang hadir dalam pesta dan ritual-ritual tradisional? Apalagi ketika yang menghadirkan itu adalah juga seorang seniman, pendoa yang bertani, atau seorang petani, pendoa, yang berkesenian? Atau yang ada hanyalah ‘warga’. Warga yang juga bertani, yang juga berkesenian, yang terus bernegosiasi dalam mengusahakan hidupnya.
Pada akhirnya siapa yang bertanggungjawab mengurusi (juga menutrisi) perut (juga otak) kita?
Selamat membaca!