Babel, atau lebih tepatnya neo-Babel (Babel Baru) adalah sebuah kota di wilayah Timur Tengah, khususnya Mesopotamia yang menjadi salah satu pusat peradaban dan imperium masyhur antara tahun 720an-580an SM. Dalam bahasa Akkadia, nama Babel berarti ‘gerbang para dewata’.
Babel dibangun dan dijaga keberlangsungannya oleh kisah tentang asal usulnya sendiri: Enuma Elish. Kisah pendirian Babel dipenuhi oleh imaji tentang pertempuran maha dahsyat di antara para dewa-dewi yang bermula pada pasangan dewata: Apsu (dewa lelaki, dewa air tawar) dan Tiamet (dewi perempuan, dewi air asin).
Apsu dan Tiamet memiliki banyak sekali anak. Karenanya, kedua sejoli ini merasakan kebisingan tak terkira yang ditimbulkan oleh anak-anak mereka, hingga membuat keduanya tak bisa tidur. Dalam situasi kurang tidur, Apsu dan Taimet berencana mengurangi keturunan mereka yang berisik itu. Rencana ini tak berjalan mulus karena dewa-dewi muda telah mencium bau persekongkolan busuk tersebut. Mereka balik menyerang, menggagalkan rencana orang tua mereka. Ea, seorang dari dewa-dewi yang melawan berhasil membunuh Apsu.
Kematian Apsu membuat Tiamet mencari pasangan baru, Kingu. Keduanya melancarkan balas dendam yang sulit dihentikan oleh para dewa lainnya. Dewa-dewi ini kemudian mencari seorang dewa pemberani untuk membinasakan Sang Ibu. Maka muncullah Marduk, menawarkan keberaniannya dengan imbalan permohonan yang tak boleh ditolak: sebuah kota imperium dan istana/kuil tempat ia berdiam. Perjanjian dibuat dan pecahlah mega pertempuran.
Tiamet yang telah berumur dan kelelahan kalah dari Marduk. Dalam teks Enuma Elish dicatat: ‘Marduk menguliti perempuan itu seperti kulit kerang’. Dari tubuh sang dewi laut itu, muncullah semua makhluk di muka bumi. Babel, dengan segala kemegahannya dibangun sebagai hadiah bagi Marduk dan sekutunya. Beriringan dengan pembangunan Babel, para dewa menyadari bahwa harus ada pelayan yang menjalankan tugas untuk memastikan kota ini berjalan, tetap sejahtera, dan terjaga keindahannya. Makhluk baru kemudian diciptakan sebagai hamba-hamba untuk melangsungkan tugas kota. Marduk membunuh Kingu dan dari darahnya, hamba-hamba itu diciptakan. Hamba-hamba itulah manusia.
Babel seperti sebuah keajaiban yang menyeruak dari gersang gurun Mesopotamia. Ia adalah salah satu kota pertanian tertua yang turut mengawali tradisi agrikultural dengan corak budaya matahari (sun culture) yang terus berlangsung dan menyebar ke seantero dunia. Di tempat ini, kanal-kanal irigasi pertama dibangun antara tahun 5500-5000 SM. Dalam hitungan para arkeolog, sebuah kanal utama bisa dibangun dengan memakan waktu sekitar 5.000 jam kerja.
Demikianlah Babel dibangun dan dibiayai oleh munculnya para keluarga yang menetap dan menguasai faktor-faktor produksi seperti tanah dan teknologi pertanian. Ia dibangun atas surplus produksi pertanian, yang mengubah hak ulayat menjadi hak milik keluarga yang bertransformasi menjadi ‘orang-orang kuat’. Babel dikembangkan dari aneka penaklukan atas daerah-daerah sekitar jalur niaga, daerah-daerah yang lantas dijadikan koloni. Ia dihidupkan oleh upeti dan tawanan perang yang menjadi budak dan hamba-hamba. Kampung berubah menjadi sebuah kota bercorak negara politik. Strata sosial dan kelas-kelas ekonomi menjadi tegas dan berlaku sistemik dalam satu struktur yang dipercayai sebagai niscaya untuk menopang masyarakat.
Jika negara politik melahirkan raja yang mengatur hal-hal legal sehari-hari, maka dibutuhkan fondasi ideologis hingga muncullah strata baru, strata para imam. Para imam mensakralkan kisah-kisah penciptaan dunia dalam satu teknologi yang disebut ‘tulisan’, yang dengannya juga surplus terus dicatat, dikendalikan lewat sistem pajak, sensus, pengarsipan dan hal-hal lain yang melayani kepentingan negara.
Babel diperindah dengan zigurat, maha karya arsitektur yang turut menegaskan strata sosial dan kelas-kelas ekonomi, memosisikan raja sebagai yang mengemban tugas ilahi dan imam sebagai perantara dewa-dewi bagi kemaslahatan suku bangsa. Negara politik terus memperluas penguasaannya atas sumber daya dan faktor-faktor produksi hingga lahirlah imperium. Semua itu mengorbankan jutaan nyawa manusia, yang diterima sebagai suratan takdir.
Jika Babel adalah sebuah kota dengan tembok di sekelilingnya, maka para orang tua akan melarang anak-anak mereka bermain keluar dari pintu gerbang dewata, dan menerima nasib sebagai sebuah pemberian sang ilahi yang hidup di pusat kota imperium itu.
Lain Babel, lain Yerusalem.
Para ahli Kitab Suci Perjanjian Lama meyakini bahwa kitab Kejadian 1-11 ditulis pada masa pembuangan di Babel pada era 580an SM. Kejadian 1-11 salah satunya adalah jawaban dari Mazmur 137:
Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita ingat akan Sion. Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu, kita gantungkan kecapi kita. Sebab di sanalah orang-orang yang menawan kita meminta kepada kita untuk memperdengarkan nyanyian, dan orang-orang yang menyiksa kita meminta nyanyian suka cita: “Nyanyikanlah bagi kami nyanyian dari Sion!” Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian Tuhan di negeri asing?
Orang-orang yang dibuang di Babel adalah mereka yang mendapati bagaimana Enuma Elish dihidupi dalam sebuah imperium yang menjalankan pemerintahan dengan tangan besi, melazimkan kekerasan dan pembunuhan sebagai bentuk pembebasan. Kisah penciptaan manusia pertama hingga kisah Nuh adalah sebuah upaya menuliskan narasi alternatif tentang bagaimana melihat dunia. Ia berangkat dari pertanyaan-pertanyaan orang-orang buangan: mengapa kita ada di sini? Apakah Allah kita telah kalah dari dewa-dewi Babel? Atau Ia tengah mengajarkan kita sebuah pelajaran? Apakah kita akan kembali? Bagaimana mengajarkan anak-anak kita tentang diri kita yang sebenarnya?
Dalam Kejadian, Allah hidup dalam seluruh jagat, tidak terkungkung dalam sebuah kuil atau kota. Dunia dijadikan melalui sabda. Manusia diciptakan secitra dengan Allah, menjalin hubungan personal dengan-Nya. Dosa menjauhkan dan meruntuhkan hubungan personal Allah dan manusia. Tanah dikutuk. Manusia terjerat dalam relasi keluarga yang patriarkat, menempatkan hubungan lelaki perempuan dalam satu hubungan kerja yang saling bergantung. Meski sedemikian besar wewenang Allah, manusia tetap memiliki kehendak bebas dan kreativitasnya sendiri. Kerja adalah niscaya sebab tanah telah terkutuk oleh dosa, sebagaimana perintah Allah kepada Adam, ‘dengan berpeluh, engkau akan mencari makananmu’.
Jika dalam Enuma Elish kota adalah sebuah hadiah kepada Marduk, maka di Kejadian, kota dibuat oleh Kain, seorang pembunuh pertama menurut Kitab Kejadian. Keturunan anak-anak manusia ini terus membangun kota-kota, memenuhi bumi dengan aneka kekerasan dan kejahatan. Hingga Allah memutuskan untuk mengirim air bah. Menatap kehancuran yang dahsyat, Allah lantas membuat perjanjian dengan Nuh, bahwa ia tak akan lagi melakukannya.
Jika Enuma Elish adalah kisah tentang manusia yang ditakdirkan untuk menetap dan melayani dewata dengan segala kelimpahan yang sudah tersedia, Kejadian adalah kisah tentang perjalanan keluar tanpa berbalik ke Eden, pengembaraan tanpa ujung untuk menemukan tempat kembali yaitu Allah sendiri. Bahkan jika Yerusalem fisik dibangun, tetap ada Yerusalem eskatologis yang diyakini sebagai tujuan akhir.
Dua gambaran di atas tidak sedang menebalkan atau mengkonfrontasi dua kisah klasik dari dua kebudayaan besar, dan kisah yang menjadi bagian penting dari agama-agama samawi. Namun, kisah tentang bagaimana cerita tentang penciptaan dalam Kejadian dihadapkan dengan kisah Enuma Elish dimaksudkan untuk menerangkan paradigma yang beroperasi di sebuah peradaban kota dengan aneka dimensinya: sosial, ekonomi, politik, dan religiositas, dibentuk.
Kejadian 1-11, adalah cara lain melihat kultur pertanian surplus yang membentuk kota dan imperium. Konteks pertanian surplus di Babel, yang membentuk kota dan imperiumnya, diamati dari kacamata orang-orang buangan yang kalah perang dan berasal dari tradisi gurun juga penggembalaan. Pandangan atas cara bereksistensi dari kota kudus Babel dikritik dan memicu orang-orang buangan itu membentuk identitas dan pandangan mereka atas dunia lewat cerita-cerita alternatif yang diturunkan kepada anak cucu mereka.
Tentang kisah alternatif, Hilde Lindemann Nelson menulis: ‘dengan mencabut cerita-cerita merusak yang membentuk jati diri yang telah menata paham seseorang tentang siapa dirinya, kisah tandingan bertujuan mengubah persepsi diri seseorang. Jika ia menggantikan cerita-cerita merusak itu dengan kisah tandingan, maka ia mampu melihat dirinya layak mendapat penghormatan secara moral. Maka kisah-kisah tandingan adalah peranti yang dirancang untuk bertujuan untuk memperbaiki kerusakan yang ditulahkan ke atas jati diri oleh sistem-sistem kekuasaan yang semena-mena.’
Dalam The City in History: Its Origins, Its Transformation and It’s Prospect, Lewis Mumford meyakini bahwa ‘kehidupan manusia berayun antara dua kutub: berkelana dan menetap’. Para keluarga dan suku peramu bergulat di antara kebutuhan untuk terus bergerak mencari makanan dan ruang serta menetap untuk berbagi sumber daya dengan orang lain dan berprokreasi. Di dalamnya beberapa unsur bertaut: kebutuhan untuk bertahan hidup, pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya, kekuasaan atas faktor-faktor vital dalam hidup bersama. Untuk menunjangnya, sebuah kota terus menerus digerakkan oleh kait kelindan antara dimensi-dimensi ideologis, ekonomis, sosial-politis, dan militer.
Imperialisme Romawi, revolusi industri, kolonialisme Eropa, neoliberalisme, dan globalisasi yang juga turut membentuk pertumbuhan kota-kota dewasa ini juga paling tidak bisa dikerangkakan dalam pola-pola yang sama: ada ayunan gerakan berkelana dan menetap yang dipicu oleh surplus, ada upaya memaksimalkan pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya, dan penguasaan atas faktor-faktor vital produksi yang membentuk imperium.
Di negara-negara Dunia Ketiga, kota adalah bagian dari bandul gerakan massa yang lantas dibaca secara simplifikatif dalam tegangan dua kutub: urban dan rural. Modernisasi dan globalisasi yang cenderung tak sempurna, terlambat dan berkiblat ke Barat, yang secara khas berlangsung di wilayah-wilayah dunia ketiga membentuk kota menjadi sebuah kuasi planologis: antara rancangan dan tanpa rancangan, yang berbentuk dan yang nir-bentuk, yang teregulasi dan tanpa regulasi dalam berbagai matra: sosial, budaya, politik, ekonomi.
Hari demi hari, kawasan-kawasan pinggiran terus berubah, tak lagi rural tapi tak juga urban sebagaimana definisi SDGs, tak lagi kolektif tapi tak sepenuhnya privat, tak lagi lokal tapi tak serta-merta global. Warga yang tinggal di kota-kota modern adalah orang-orang yang terus-menerus bergulat dengan identitas, berebut ruang di antara kapling-kapling yang teregulasi, menciptakan jalan-jalan tikus di antara jalan-jalan negara, membangun polisi-polisi tidur di antara laju lalu lintas yang segera. Problem-problem perkotaan hari ini membentang antara persoalan tata ruang hingga tata administrasi negara, sanitasi hingga ekologi, kelangkaan energi hingga ledakan populasi, politik identitas hingga pasar bebas.
Kisah-kisah tentang kota berbagi spektrum imajinasi dengan desa. Antara kisah jerih payah mencari sesuap nasi dengan romantisasi alam yang indah dan memberi segalanya, mimpi polos anak-anak kampung tentang suatu surga yang akan mengubah hidup dan kenyataan kehidupan kota yang keras pun eksploitatif, atau cerita-cerita stereotipe lainnya dengan basis macam-macam: sejarah, mitologi, promosi pariwisata, hingga kepentingan politik, yang turut membangun struktur mental sebuah kota dan proyeksinya pada kesadaran dan interaksi warga yang tinggal di dalamnya.
Apakah Yogyakarta dibuat dari senja, kopi, dan angkringan? Apakah Bandung senantiasa menyimpan spirit Konferensi Asia Afrika, tempat negara-negara meletakkan komitmennya untuk tidak berpihak pada satu kutub neoliberal? Apakah Ende cukup representatif memikul predikat kota Pancasila, kota toleransi? Apakah penting bagi warga untuk membangun kisah-kisah alternatif tentang ruang hidupnya dan terus-menerus mengkritisi memori kolektif dan kenyataannya hari ini, melampaui catatan-catatan legal-historiografis dan stereotipikal yang dilekatkan oleh operasi kuasa tertentu?
Lau Ne edisi Warga dan Kota menampilkan ragam tulisan yang menarik.
Pada Jangkar, Yerikh Waji menampilkan ulasan berjudul Pengembangan Smart City: Menyoal Urgensitas Smart Versi Lokal. Secara kritis ulasan ini membandingkan rancangan smart city yang lahir dari konteks Eropa dan persepsi serta pengejawantahannya dalam konteks Indonesia dengan kenyataan lokalitas dan karakter global yang saling melebur.
Anggraeni Widhiasi dengan tulisan berjudul Jejak Air, Memori Air menampilkan refleksinya ketika terlibat dalam riset tentang air, di seputar kawasan Ciliwung, Jakarta. Warga sekitar Ciliwung menyimpan ragam cerita soal air, terutama dalam kaitan dengan problem banjir dan tata ruang kampung kota. Anggraeni, dalam proses risetnya menggunakan sketsa-sketsa skena dan cerita warga untuk mencatat memori warga dan dengannya mengupayakan intervensi artistik bersama warga untuk menghidupkan memori ini, sebagai siasat mitigasi maupun negosiasi dengan kebijakan-kebijakan ‘penertiban’ warga.
Bersama dengan Anggraeni, Ramayda Akmal mengisi rubrik Layar dengan tulisan berjudul, Rural, Urban, dan Proses Kreatif: Sebuah Permenungan. Sebagai seorang penulis, Ramayda mencoba melihat bagaimana imaji soal rural dan urban turut membentuk karya sastra dan sebaliknya, karya sastra turut membentuk imaji soal rural dan urban.
Di rubrik Jala, Eka Putra Nggalu berbagi catatan cerapannya atas KTT New Rural Agenda pada perhelatan documenta fifteen di Kassel, Jerman. Tulisan berjudul Yang Rural, Yang Lokal itu salah satunya menyoal kecenderungan isi dan konteks rural yang ditampilkan secara representasional dalam logika postcolonial thinking dan berhenti pada politik identitas.
Rubrik ini juga memuat catatan kuratorial Flores Writers Festival Mai Kea Bhego Gha Wewa Sa’o: Mari Bermain di Halaman. Membuka tulisan ini, para kurator menggugat identitas Ende sebagai kota Pancasila, yang seolah-olah sudah selesai seturut ketetapan pemerintah, dan menawarkan pembacaan yang lebih luas soal Ende dari sejarah dan konteksnya hari ini.
Di rubrik paling akhir, Nahkoda, disajikan satu tulisan berjudul Arena Kontestasi Warga dalam Je.Ja.l.an, wawancara bersama Yudi Ahmad Tajudin, sutradara Teater Garasi mengenai karya Je.Ja.l.an. Wawancara ini membentangkan gagasan estetis dan politis Yudi Ahmad Tajudin bersama Teater Garasi dan proses kreatif seputar karya yang dibahas. Yang menarik dari obrolan ini adalah perihal cara melihat secara kritis hal-hal dan kejadian sehari-hari yang secara performatif hadir dan bisa diamati kemudian memperluasnya dalam analisis yang mendalam mengenai relasi warga dan negara, pertarungan kelas-kelas ekonomi dan modal, interaksi kebutuhan dan kepentingan, dan seliweran ideologi. Gagasan tentang pertunjukan sebagai alat baca kenyataan sosial dipakai Yudi untuk memberi jarak amatan kepada penonton terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat lokal dan global, lantas membangun percakapan bersama penonton melalui medium kesenian.
Kiranya Lau Ne edisi kali ini memberi banyak inspirasi dan gagasan baru bagi pembaca sekalian. Demikian, selamat membaca.
Bahan bacaan:
Bauman, Zygmunt. Liquid Modernity. Cambridge: Polity Press, 2006
Brook, Wes Howard. Keluarlah Wahai Umat-Ku!, Yosef Maria Florisan (terj.). Maumere: Penerbit Ledalero, 2014
Mumford, Lewis. The City in History: Its Origins, Its Transformation and It’s Prospect. New York: Hartcourt, Brace, and World, 1961