Dalam kajian sosiologi tradisional, area rural merujuk pada pedesaan dan karakter-karakternya, sementara area urban merujuk pada kota dan kekotaannya. Jauh melampaui sekadar pemisahan geografis, karakteristik itu ditentukan oleh perbedaan ciri demografi dan kondisi sosio-ekonominya. Dua area ini kemudian dapat dilihat relasi dan interdependensinya dalam posisi yang dikotomis. Meskipun kemudian para sosiolog merevisi cara melihat hubungan rural-urban yang demikian, mengritik dan menemukan istilah-istilah baru yang lebih cair, konsep rural-urban terus menggema dalam berbagai representasi, termasuk dalam produk aktivitas kreatif manusia seperti karya sastra.
Rural-Urban dan Sastra
Karya sastra bisa dianggap merepresentasikan apa yang dinamakan kehidupan rural atau urban. Misalnya, karya-karya Ahmad Tohari dan Mahfud Ikhwan kerap dianggap sebagai karya yang menggambarkan kehidupan rural, dengan tokoh-tokoh yang hidup dalam lingkungan agraris, berhubungan erat dengan alam, dan membangun pandangan dunia yang selaras dengannya. Sementara karya-karya yang ditulis, misalnya, oleh kelompok penulis yang sering dituduh dengan nama “sastra wangi”, yang kebetulan banyak hidup di kota, lebih memusatkan cerita dan gambaran kehidupan dan kompleksitas manusia urban.
Karya-karya yang merepresentasikan kondisi kedesaan atau kekotaan ini kemudiaan berkembang mengelompok menjadi subgenre-subgenre tertentu. Isi karya menciptakan bentuk-bentuk sastra baru. Kritikus menyebut sastra pastoral atau sastra etnografis atau sastra lokal untuk karya-karya yang mengeksploitasi keruralan dan karakter-karakternya. Sementara itu, kritikus menyebut sastra urban kepada karya-karya yang memotret kehidupkan kota.
Lebih jauh lagi, subgenre ini bahkan memiliki kecenderungan narasi atau strategi literer tersendiri. Sastra urban misalnya, ditandai oleh kritikus melalui bahasa yang dianggap majemuk dengan campur kode di sana-sini, tema-tema terkait cinta, karier dan perjuangan hidup. Sementara itu, sastra rural dianggap berkarakter bucolic, idilis, dengan “pulang” dan “kembali ke masa lalu” sebagai tema-tema utama.
Selain menginspirasi lahirnya subgenre, rural-urban juga melandasi lahirnya gerakan-gerakan kesastraan tertentu. Misal, pada dekade 90-an, muncul gerakan yang disebut Revitalisasi Sastra Pedalaman yang digawangi oleh Triyanto Triwikromo, Sosiawan Leak, Beno Siang Pamungkas, dan kawan-kawannya. Tujuan gerakan ini adalah untuk mereduksi pemusatan aktivitas kesastraan dan sirkulasi gagasan-gagasan sastra di kota besar—baca Jakarta, dan membangun kantung sastra alternatif di berbagai tempat.
Rural-urban ini kemudian menjadi spektrum yang mewarnai aspek internal ataupun eksternal karya sastra. Dan kelindan ini sudah dibolak-balik oleh kritikus sejak dulu, menjadi titik mula refleksi atas perkembangan sastra Indonesia. Namun, tulisan ini tidak melangkah searah dengan riuh kritik itu, melainkan akan melihat rural-urban ini sebagai bagian dari semesta penulis dan proses kreatifnya, yang menurut saya pribadi jauh lebih menarik dan kompleks untuk dicermati.
Kampung Halaman dan Proses Kreatif
Sepanjang proses kreatifnya, penulis adalah subjek yang ada, bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari rural ke urban atau sebaliknya. Karya-karya mereka menjadi bagian dari pergerakan itu, mencerminkannya. Bahkan, secara eksistensial, bisa jadi pergerakan itulah yang memungkinkan sebuah karya tercipta.
Sebagai ilustrasi, saya akan menceritakan proses kreatif saya menulis novel Jatisaba, dan bagaimana perpindahan itu berpengaruh besar, jika bukan memungkinkan terciptanya novel tersebut. Dalam konteks ini, saya membicarakan perpindahan dari wilayah rural ke urban. Jatisaba saya tulis ketika saya menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta. Jatisaba sendiri merujuk pada gambaran kampung halaman saya, sebuah desa di pesisir selatan Jawa Tengah yang sebelum saya tuangkan jadi novel, telah tinggal di pikiran sebagai memori. Kampung halaman saya itu, yang membesarkan saya, hidup dalam ingatan, sementara wilayah Jatisaba yang sesungguhnya terus berkembang dan berubah.
Yang saya pahami kemudian, menulis Jatisaba adalah respons saya pribadi atas kerinduan terhadap kampung halaman itu. Perpindahan tempat, perjalanan waktu, membuat saya berjarak dan tercerabut dari tempat saya dibesarkan. Jarak itulah yang justru menciptakan konsep kampung halaman, dan secara bersamaan menyadari bahwa kita sudah jauh darinya, sudah kehilangannya. Seperti ungkapan umum, “sayang ketika sudah hilang”, begitulah kiranya Jatisaba sebagai kampung halaman saya, yang memantik saya untuk mengabadikannya dalam sebuah novel.
Dari ilustrasi ini, dapat dibayangkan bahwa perpindahan manusia, dari rural ke urban misalnya, mengubah persepsi mereka terhadap tempat-tempat yang mereka tinggalkan atau lewati di satu sisi dan menciptakan lubang dan kehilangan di sisi lain. Perpindahan dan kehilangan ini menjadi sumber energi kreatif. Kehilangan itu ditambal, kampung halaman dihidupkan dan diimajinasikan dengan karya-karya.
Dan proses menghidupkan kembali karya ini tidak akan berjalan jika perpindahan dan kehilangan itu tidak dilengkapi dengan nostalgia. Kondisi ini mensyaratkan jarak, memori dan imajinasi. Jadi, jauh dari sekadar merepresentasikan kehidupan rural, Jatisaba juga merangkum memori dan imajinasi saya tentangnya. Oleh karena itu, Jatisaba dalam novel tidak akan pernah sama dengan Jatisaba, sebuah desa di selatan Jawa Tengah itu, baik sekarang dan di masa lalu, sebab imajinasi saya yang bertaburan di sana-sini.
Elemen imajinasi inilah yang saya anggap justru produktif dan emansipatif. Sebuah karya yang deskriptif dan memorial akan kekurangan motivasi. Karya nostalgis, berlawanan dengan tuduhan banyak orang yang melulu berisi romantisme masa silam, justru membawa bersamanya ambisi dan motivasi pengarang melalui elemen imajinasinya. Seperti halnya yang terjadi dengan Jatisaba. Novel Jatisaba, adalah desa Jatisaba senyatanya, plus kerinduan, harapan dan motivasi-motivasi saya akannya.
Lalu mengapa itu emansipatif? Jawaban atas pertanyaan ini bisa dimulai dengan ingatan saya akan sebuah diskusi tentang rural-urban dan sastra yang diselenggarakan oleh FKY pada 17 September 2022 lalu. Dalam diskusi tersebut, seorang penyair bertanya, bagaimana peran sastrawan dalam membangun desanya, kampung halamannya? Mungkin penyair bisa menjadi sukses dan menyumbangkan banyak uang untuk membangun desanya. Mungkin sastrawan bisa membangun pusat-pusat aktivitas seni di desanya itu dan meningkatkan geliat intelektualitas masyarakatnya. Namun, peran yang mula-mula bagi saya, dijalankan melalui proses merindukannya, bernostalgia atasnya, dan menulis tentangnya. Ini adalah sumbangan paling dasar seorang sastrawan terhadap kampung halamannya.
Dengan demikian, selain arus maju yang tidak terelakkan, ada gerak menyamping nostalgia, gambaran alternatif, yang menahan, yang memberikan perimbangan terhadap gambaran absolut terhadap sebuah wilayah, rural atau urban. Karya sastra, dengan demikian bisa menjadi museum hidup, terhadap suatu wilayah, yang alih-alih membekukan, justru menumbuhkan. Seperti halnya kampung halaman dalam Jatisaba, yang akan terus hidup dalam geliat baru setiap kali bertemu pembaca barunya.