Dalam sebuah masyarakat perkotaan, lapisan masyarakat miskin adalah sebuah keniscayaan. Mereka ada di setiap kota besar, tinggal di pemukiman padat di balik gedung-gedung bertingkat, bersembunyi dari tatapan para pejalan. Kelas menengah dan atas membangun ilusi seolah-olah tidak ada orang melarat di Jakarta dan membentuk rumah kaca yang memantulkan bayangan mereka sendiri.
Sementara sejak lama, para akademisi mengkaji tentang mereka berusaha menemukan formula dan solusi untuk “mengentaskan kemiskinan” demi mewujudkan “pertumbuhan ekonomi lepas landas”. Berbagai studi dilakukan, berbagai seminar digelar, tapi kaum melarat tetap saja ada di Jakarta.
Pembangunan ibu kota yang tergesa-gesa serta pemusatan kebijakan ekonomi-politik di masa Orde Baru membentuk arus urbanisasi yang sangat besar. Masyarakat perdesaan berbondong-bondong memadati Jakarta, megapolis setengah matang yang perencanaannya tak pernah beres hingga hari ini.
Di tengah kompetisi untuk mencari peruntungan dan berebut sumber daya itulah kemudian terbentuk kelas masyarakat tersisih, di mana kemampuan mereka dianggap tidak memenuhi prasyarat untuk mendapatkan penghidupan layak dan mengakses kebutuhan dasar. Sebagian dari mereka memutuskan pulang ke daerah asal, namun sebagian lainnya memilih bertahan mati-matian di Jakarta. Mengerjakan apa saja, mengais apapun yang bisa diraih, bahkan membentuk subkebudayaan mereka sendiri.
Pada tahun 1966, Oscar Lewis menawarkan pandangan tentang kemelaratan sebagai suatu subkebudayaan dalam masyarakat perkotaan. Pandangan tersebut—yang dikenal sebagai culture of poverty—di awal kemunculannya menimbulkan kontroversi dan kebingungan, seolah-olah pandangan tersebut hadir untuk meromantisasi ketimpangan dan juga mengekalkan lapisan masyarakat miskin. Tapi Lewis membela diri bahwa pandangannya lahir dari studi yang bisa dipertanggungjawabkan. Baginya, masyarakat kelas bawah perkotaan memiliki pandangan dan pola hidup yang khas, mulai dari struktur kekeluargaan, bentuk relasi sosial, sistem nilai, hingga model konsumsi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kekhasan ini juga dibentuk oleh pengalaman mereka terhadap perebutan ruang dan sumberdaya perkotaan yang sesak dan semakin tersekat-sekat, baik secara formal maupun informal. Pemisahan sosial semakin tajam dan jurang kesejahteraan terbentang lebar. Partai politik tak menjangkau aspirasi dan kebutuhan mereka, sementara lembaga pemerintahan malu-malu mengakui keberadaan kelas paling bawah ini. Tidak adanya jaminan sosial dan pekerjaan tetap membuat masyarakat miskin kota akrab dengan model ekonomi sambung hidup atau sektor kerja informal. Mereka sangat menghargai kebebasan dan kerja bebas yang sejalan dengan kemampuan mereka untuk menanggung beban hidup dan risiko dari ketidakpastian hidup.
Kondisi “serba tidak tetap” tersebut menuntut lapisan masyarakat kelas bawah untuk mengembangkan kemampuan adaptif atau bahkan manipulatif. Karena dipaksa oleh keadaan, mereka harus bisa hidup di mana saja, mulai dari bantaran sungai, pinggir rel kereta, kolong jembatan, atau bahkan hidup berpindah-pindah menyusuri jalanan sambil mendorong gerobak.
Dalam sebuah catatannya, Dawam Rahardjo sempat menuliskan pengamatannya mengenai daya hidup kaum miskin perkotaan dan bagaimana mereka memanfaatkan ikatan sosial sebagai berikut:
“Dan walaupun hidup di kota tidak mencukupi, bahkan sengsara, namun banyak orang dapat kerasan juga dan dapat mempertahankan hidup mereka secara kolektif. Semangat kolektif ini nampaknya cukup tinggi di lingkungan gelandangan dan bisa dipikirkan sebagai sebuah potensi.”
Semangat kolektif dan penguasaan jaringan antarindividu memang memegang peranan penting dalam strategi bertahan hidup masyarakat miskin kota, namun jangan dibayangkan ikatan yang terjadi di antara mereka adalah ikatan yang ajek dan formal, sebagaimana yang dapat ditemui dalam kelompok-kelompok masyarakat tradisional perdesaan.
Semangat kebersamaan dan perasaan sebagai sebuah kelompok dalam sebuah komunitas masyarakat kelas bawah perkotaan biasanya dilandasi sikap transaksional dan bersifat temporer saja. Ketidakajekan ini dipengaruhi juga oleh daya adaptasi dan pandangan atas kondisi “serba tidak tetap” yang mereka miliki.
Pada sebuah contoh khusus, beberapa perkampungan kelas bawah memang dibentuk oleh ikatan kedaerahan yang kuat karena mayoritas penduduknya berasal dari daerah yang sama, tapi secara umum kampung-kampung kelas bawah perkotaan terbentuk dari masyarakat campuran. Mereka berasal dari berbagai desa di Indonesia dan rupanya juga terputus dengan budaya daerah asalnya. Jika berada dalam kesulitan, ada kecenderungan mereka enggan untuk mencari bantuan kepada sanak saudara atau kenalan dari daerah asal, sebagaimana dicatat oleh Saraswati Sunindyo dalam sebuah studi eksploratif mengenai perkampungan liar di Jakarta tahun 1981.
Dalam sebuah kesempatan, seorang penduduk kampung ilegal di Jakarta yang pernah saya temui bercerita bahwa acapkali mereka menemui kesulitan jika salah satu anggota komunitas kampungnya meninggal dunia, siapa yang akan mengurus penguburan mereka? Adakah sanak saudara yang masih tersisa? Dari mana asalnya? Kesulitan tersebut terjadi karena banyak di antara mereka yang tidak memiliki identitas kependudukan pasti dan bahkan beberapa individu menutupi sejarah asal-usulnya.
Hal tersebut mengingatkan saya akan sebuah pandangan bahwa sejarah dan memori tidak memiliki fungsi bagi kaum miskin kota. Mereka dianggap sebagai masyarakat tuna ingatan yang tidak terikat dengan asal-usul dan tanah yang ditinggalinya. Mereka bisa datang dan pergi kapan saja. Kehidupan mereka juga jarang diulas dalam perspektif sejarah karena para sarjana lebih banyak menulis tentang para pemenang yang dianggap berhasil mengubah peradaban daripada kehidupan sehari-hari para gelandangan.
Pandangan tersebut tidak terlalu tepat karena rupanya juga terdapat sarjana-sarjana yang menulis kehidupan masyarakat miskin dan bahkan pengaruhnya terhadap perkembangan kota. Sebagaimana naskah “Gelandangan Sepanjang Zaman” ditulis oleh sejarawan Onghokham pada 1982 yang menjelaskan sejarah kaum gelandangan dan kondisi kaum miskin di Yogyakarta serta sumbangan mereka di sekitar peristiwa perang kemerdekaan.
Dalam naskah yang sama, Onghokham juga menyebut kajian antropologis yang dibuat oleh Parsudi Suparlan pada 1974 berjudul “The Gelandangan of Jakarta: Politics Among Poorest People in The Capital of Indonesia”. Kajian tersebut masih terasa relevan sebab menjelaskan kesadaran dan sikap politik di antara kaum miskin di Jakarta, baik ke luar maupun ke dalam diri mereka sendiri.
Perlu digarisbawahi, meski akrab dengan kondisi “serba tidak tetap” dan ikatan sosial yang terjadi bersifat temporer, struktur kuasa selalu terbentuk dalam komunitas-komunitas masyarakat miskin kota. Hingga saat ini misalnya, beberapa individu dapat memiliki kuasa dan suaranya unggul di antara warga lainnya bisa jadi karena dianggap berpengalaman dan bijak, karena dianggap kuat dan berani, karena dianggap memiliki massa dan jejaring luar, atau karena memiliki hak istimewa berupa akses terhadap sumberdaya seperti air dan listrik.
Pemandangan tersebut secara umum juga saya temui di Kampung Kolong Tol, Penjaringan, Jakarta Barat. Kampung ini adalah satu di antara entah berapa banyak kampung ilegal lainnya yang tumbuh memenuhi ruang-ruang sisa di Jakarta. Saya tiba di sana sebagai salah satu partisipan program pengembangan kurator muda yang dibuat oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 2017-2018.
Program ini cukup menantang karena mempertemukan kurator-kurator muda dengan konteks ruang penciptaan di tengah masyarakat itu sendiri. Premisnya kurang lebih seperti ini: jika selama ini kurator bekerja di balik dinding museum atau galeri, bagaimana jika kurator bekerja langsung bersama masyarakat di tengah ruang hidup mereka yang spesifik? Sejauh mana praktik kekuratoran dapat diterapkan di tengah masyarakat? Sejauh apa potensi kekuratoran dalam menghadapi isu-isu sosial yang dinamis? Apa yang dapat dihasilkan dari proses kuratorial di mana warga dapat berpartisipasi secara terbuka?
Dalam penerapannya di lapangan, setiap kurator muda dipasangkan dengan seorang “kurator kampung”. Saya dipasangkan dengan Rasdullah yang tinggal di Kampung Kolong Tol. Dalam perjalanannya, M. Sigit Budi S. dari Serrum juga bergabung untuk mematangkan perencanaan, membuat sebuah karya seni video, dan mewujudkan kegiatan yang dirancang bersama warga.
Sebagaimana namanya, kampung ini terletak di bawah jalan tol yang dilewati mobil dan kendaraan lain dalam kecepatan tinggi. Di bawah sini, kami bisa mendengar dan merasakan truk dan kendaraan besar lain melintas, suaranya bergemuruh dan getarannya menjalar hingga ke permukaan tanah. Sebenarnya, kampung kolong ini menjadi pemukiman yang relatif nyaman bagi penghuninya. Bentang lebar jalan raya yang ditopang oleh pilar-pilar beton raksasa berbentuk segi enam memayungi kampung ini dari sengatan sinar matahari dan guyuran hujan langsung. Setiap saat kampung ini terasa lembab dengan aliran udara secukupnya.
Warga membangun hunian sederhana menggunakan sisa material apa saja yang mereka temukan: potongan kayu, triplek bekas, lembaran seng, atau spanduk bekas. Hunian semi-permanen yang tersusun rapat tersebut tampaknya tidak dimaksudkan sebagai pelindung yang kokoh, karena toh kampung tersebut sudah nyaris kedap panas dan hujan, tapi lebih sebagai batas wilayah antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Walau demikian, urusan privat dan publik di kampung ini tetap saja sulit diidentifikasi.
Di dalam rumah-rumah sederhana tersebut biasanya terdapat lemari pakaian, televisi tabung, dan kasur tipis yang terhampar di atas karpet plastik. Melalui sebuah aturan ditetapkan bahwa setiap keluarga sebetulnya hanya boleh memiliki sepetak rumah. Tapi, individu berkuasa justru memiliki petak lebih untuk dikontrakkan kepada warga yang baru datang. Sikap ini memunculkan kecemburuan sosial antara warga dalam waktu yang cukup lama.
Di atas peta Jakarta, Kampung Kolong Tol menempati sepotong wilayah tak bertuan berupa ruang sisa pembangunan. Hal tersebut membuat berbagai bentuk perencanaan wilayah tak pernah menyentuh kampung ini. Tidak ada inspeksi pencacahan jiwa dan program kesejahteraan bagi masyarakat miskin (kecuali sedikit sekali upaya dari lembaga keagamaan atau organisasi non-pemerintah). Tidak ada juga pengadaan fasilitas umum seperti jalur pipa air atau instalasi listrik yang masuk.
Sebagai akibat dari segala keterbatasan tersebut, warga Kampung Kolong Tol mengembangkan siasat bertahan hidup mandiri. Tanpa menunggu perhatian pemerintah, mereka membuat sumur-sumur bor untuk mendapatkan air, sementara listrik dialirkan ke rumah-rumah secara ilegal dengan menggandakan jalur kabel milik otoritas jalan tol. Rasdullah bercerita bahwa pemerintah kota sempat berusaha menggusur Kampung Kolong Tol beberapa kali. Namun, berbagai upaya penggusuran tersebut nyatanya tidak pernah berhasil. Jika digusur di satu sisi lahan, warga akan menggeser rumah ke sisi lainnya.
Pada kesempatan lain, begitu desas-desus rencana penggusuran terdengar, warga tidak lantas bersikap reaktif dengan menyusun barisan atau memasang barikade untuk menghalangi penggusuran sebagaimana lazim dilakukan kampung-kampung ilegal lainnya. Sebaliknya, secara senyap dan efisien, warga Kampung Kolong Tol justru mempreteli rumah-rumah mereka sendiri, meninggalkan material-material tersebut di tempatnya, lantas sebagian warga mengosongkan kampung untuk berdiaspora sementara waktu, hidup berpencar, menumpang tinggal pada kerabat atau kenalan.
Begitu tiba waktu penggusuran, polisi pamong praja hanya mendapati sebuah pemandangan berupa serakan material di antara pilar-pilar jalan tol bersama segelintir penghuni yang siap dipindahkan. Seminggu atau sebulan setelahnya, begitu kondisi berangsur aman, penduduk Kampung Kolong Tol datang bertahap. Satu persatu rumah berdiri dan kampung tersebut seperti terlahir kembali.
Siasat “digusur dibangun lagi” tersebut didasari oleh pemahaman warga Kampung Kolong Tol yang cukup lentur terhadap ruang. Warga memiliki kesadaran penuh bahwa kampung mereka ilegal, berdiri di atas tanah negara, sehingga mereka juga harus siap untuk digusur kapan saja. Pada hari Jumat, 3 Agustus 2018, saya sempat mendengar warga Kampung Kolong Tol akan membongkar beberapa rumah secara swakarsa karena dianggap melebihi batas lahan yang dapat dibangun sebagaimana ditetapkan warga kampung.
Rasa cemas muncul bahwa rumah-rumah tersebut akan membuat kampung yang sebelumnya tersembunyi menjadi mudah terlihat dari sisi jalan raya. Ketertampakan tersebut berbahaya bagi keberadaan enam puluhan rumah lain di kampung tersebut, karena bisa saja sewaktu-waktu polisi pamong praja memergoki keberadaan mereka lantas menggelar penggusuran mendadak.
Akhirnya pada Minggu pagi, dua hari kemudian, sebagian besar penduduk lelaki Kampung Kolong Tol bergotong-royong untuk robohkan dua rumah—salah satunya dihuni oleh pasangan tua—dan memindahnya ke lahan sisa tepat di kolong jalan yang sebelumnya dijadikan pembuangan sampah. Gundukan sampah yang ada dipindahkan, kemudian lahan sempit gelap tersebut dibersihkan dan sisa material bongkaran hunian lama dipakai ulang untuk membangun sebuah kamar mungil yang akan ditempati pasangan tersebut. Semua bekerja dalam sebuah alur dan kecepatan yang menakjubkan di bawah kendali satu dua orang. Di akhir hari, tidak ada yang dipaksa pergi dan semua orang bisa kembali tidur nyenyak seperti sedia kala. Padahal jika digambarkan, kamar mungil tersebut lebih cocok dijadikan kandang ayam atau gudang perkakas karena terlalu pendek untuk ditinggali manusia. Selain itu, tidak ada lubang udara selain pintu masuk. Tapi toh rupanya pasangan tersebut menerima saja keputusan bersama tersebut, karena itu adalah pilihan yang lebih baik daripada harus hengkang dari kampung tersebut.
Pengalaman melihat proses negosiasi dan adaptasi spasial yang dilakukan oleh warga Kampung Kolong Tol tersebut mengafirmasi pandangan bahwa masyarakat kelas bawah perkotaan melihat ruang dan konflik spasial dengan cara yang sama sekali berbeda. Kelenturan siasat semacam ini barangkali adalah sebentuk perwujudan kecerdasan kolektif yang merupakan puncak evolusi dari sejarah kaum kecil dalam bertahan hidup di Jakarta.
Bagi mereka, bayangan atas kondisi ideal sebuah ruang hidup dapat selalu dirombak ulang secara lentur untuk selalu disesuaikan dengan kebutuhan bertahan hidup yang dihadapi sehari-hari. Untuk itu, siasat jangka pendek yang bersifat situasional, sebagaimana pembangkangan-pembangkangan kecil yang dilakukan, seringkali lebih berfungsi daripada strategi jangka panjang untuk menghadapi realitas jalanan yang terus berubah dan selalu bergerak dalam ketidakpastian.
Suatu siang, rasa penasaran saya memuncak. Sebuah pertanyaan menggantung, bahwa sebetulnya dengan bermodal pemahaman sangat lentur terhadap ruang dan sebongkah daya hidup yang begitu liat, sekelompok orang yang saya hadapi ini sebetulnya bisa hidup di mana saja di bawah kolong langit, tapi mengapa mereka tetap memilih bertahan di kolong tol Penjaringan?
Rofi’i, seorang warga yang hidup di kampung tersebut kurang lebih sepuluh tahun, menjawab pertanyaan saya dengan enteng bahwa satu alasan yang membuatnya betah dan bertahan di Kampung Kolong Tol adalah karena “fengshuinya bagus”. Itu bukan jawaban yang bisa saya bayangkan sebelumnya, karena saya tidak tahu bagaimana fengshui bekerja. Tapi saya berusaha mengartikan jawaban pendek Rofi’i tersebut dengan logika yang dapat saya capai bahwa apa yang dianggap “fengshui” itu mungkin sebetulnya adalah seperangkat pengalaman dan pengetahuan yang sangat baik atas jejaring individu dan sumber daya di sekitar kampung tersebut sehingga bisa membuat Rofi’i dan keluarganya bertahan hidup dengan baik sejauh ini.
Sebagaimana Rofi’i, dapat dikatakan semua warga Kampung Kolong Tol memiliki pekerjaan informal antara lain sebagai tukang becak, tukang bangunan, pemulung, pengamen, pekerja seks, pedagang kecil atau kriminal kelas teri. Dapat dibayangkan bahwa jenis-jenis pekerjaan tersebut menuntut kecerdasan jalanan dan jejaring bawah tanah yang baik. Rofi’i sendiri adalah seorang pemulung, tapi di sela-sela waktunya, ia juga menjajakan jasa sebagai pembuat mural kaligrafi untuk masjid dan musholla. Belakangan ia tampak sibuk. Dibantu Udin, seorang pekerja serabutan yang melakukan apa saja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, Rofi’i sedang berusaha menyelesaikan mural kaligrafi di dalam musala kecil yang baru saja dibangun di Kampung Kolong Tol. Uang pembangunan musala ini didapat dari sumbangan seorang makelar politik sebagai bagian dari anggaran kampanye partai, sebagian kecil sisanya adalah sumbangan seorang habib kharismatik. Sumber dana tersebut digunakan oleh warga dengan sebaik-baiknya untuk membangun musala yang selama ini mereka impikan.
Bagi saya, selain merupakan bangunan paling bagus di seluruh Kampung Kolong Tol, musala ini juga menjadi tempat bermalam yang nyaman selama melakukan kerja lapangan. Kipas angin di dinding membantu menghalau nyamuk dan mengusir hawa panas. Lapisan karpet agak tebal yang menutupi lantai keramik memberikan rasa hangat dan kesan cukup mewah, saya bisa berguling-guling bebas di atasnya. Setiap pagi saya pasti terbangun karena mendengar adzan yang diteriakkan Rasdullah melalui pengeras suara. Pada beberapa kesempatan, saya juga terlonjak bangun di tengah malam akibat mendengar pertengkaran sengit antar ibu-ibu atau keributan kecil di antara sekelompok remaja yang baru saja pulang memancing ikan sungai.
Selepas sembahyang subuh, biasanya saya langsung menuju warung untuk nongkrong dan memesan segelas kopi. Sekitar jam tujuh pagi kegiatan dilanjutkan dengan agenda rutin mengikuti keseharian Rasdullah sebagai tukang becak, mulai dari nongkrong dengan sesama penarik becak di pangkalan muka pasar Teluk Gong, mengantarkan tabung gas elpiji ke rumah pelanggan, membeli suku cadang becak, sampai menyusuri gang-gang di daerah Kota Tua tanpa arah. Pada kesempatan yang sama, Rasdullah juga banyak bercerita tentang sejarah hidupnya, persinggungannya dengan elit politik, para pengambil kebijakan, akademisi perencana kota, juga perannya sebagai “presiden tukang becak” di Jakarta hingga perseteruannya yang sengit dengan polisi pamong praja.
Saat mengikuti Rasdullah berkeliling itulah saya mulai mendapatkan gambaran yang nyata atas apa yang disebut oleh Ian Douglas Wilson bahwa jalanan dan perkampungan bagi kaum miskin di Jakarta adalah ruang hidup, ruang ekonomi, sekaligus ruang politik “yang secara struktural absen dari kuasa institusional dan politik formal”.
Kisah mengenai perebutan atas ruang-ruang kota, sekaligus berbagai siasat yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah di Jakarta untuk mempertahankan ruang hidup mereka inilah yang kemudian menarik perhatian saya untuk diterjemahkan menjadi bingkai kuratorial yang ingin saya kerjakan bersama Rasdullah dan warga Kampung Kolong Tol lainnya. Terutama, saya ingin mendalami lebih jauh mengenai ingatan-ingatan warga dalam mempertahankan sejengkal ruang hidup yang mereka diami. Apa fungsi ingatan bagi warga yang tidak memiliki ikatan atas tanah dan dapat digusur kapan saja? Apakah ingatan komunal bisa membantu mereka untuk merumuskan perasaan dan identitas sebagai sekelompok masyarakat yang padu?
Selain mengumpulkan ingatan warga melalui obrolan, saya juga berusaha untuk mencari arsip yang mungkin ada terkait peristiwa penggusuran yang pernah terjadi di Kampung Kolong Tol. Arsip yang saya maksud ternyata dimiliki oleh Tubagus Rahmat, seorang fotografer jalanan yang selama lebih dari satu dasawarsa secara rutin mendokumentasikan realitas kampung-kampung miskin Jakarta.
Tubagus adalah bagian dari organisasi Urban Poor Consortium (UPC) dan sempat tinggal di Kampung Kolong Tol selama beberapa bulan. Ia sempat merekam kejadian penggusuran mendadak di tahun 2012 melalui perekam video yang ia miliki. Selain rekaman penggusuran, Tubagus juga menyimpan foto-foto keseharian warga Kampung Kolong Tol. Sejak saat itu saya mulai bekerja untuk menyalin dan memilah arsip-arsip visual tersebut.
M. Sigit Budi S. sempat merekam keseharian Rasdullah dan mewawancarainya untuk kemudian diolah menjadi seni video berjudul “Merdeka di Tanah Negara” (2018). Selain itu, pada tahap akhir kegiatan, Sigit menyiapkan rencana detail kegiatan yang telah dibicarakan bersama warga, yaitu membuat sebuah pameran arsip foto dan kenduren atau kegiatan makan bersama.
Dua kegiatan tersebut diselenggarakan di sebuah pelataran kosong di sudut kampung. Kosim, salah satu tokoh yang dituakan di kampung tersebut, memberi beberapa masukan. Ia juga menghubungkan Sigit dan saya kepada warga senior lain seperti Engkus dan Erik. Bersama mereka, acara ini dipersiapkan. Kami bersepakat untuk menyelenggarakan kegiatan pada Minggu, 2 September 2018. Pasangan Erik membantu menyiapkan makanan dalam jumlah yang cukup untuk disajikan kepada seluruh warga kampung. Udin dibantu oleh Lumut, anak muda Kampung Kolong Tol yang juga seorang seniman tato, membantu menyiapkan gantungan sederhana dari kawat terikat ke pilar-pilar jalan tol sebagai tempat menggantung berbagai foto yang sudah dicetak baik di atas kertas maupun di lembaran vinyl.
Sesaat setelah persiapan selesai, warga mulai bergantian mendatangi pameran sederhana ini. Mereka melihat sejarah sosial mereka sendiri melalui arsip visual yang ditampilkan, terutama foto-foto yang menunjukkan proses penggusuran dan keseharian mereka di Kampung Kolong Tol. Beberapa warga kampung hanyut dalam nostalgia karena beberapa sosok yang mereka kenali sudah meninggal atau beberapa warga yang sudah lama meninggalkan kampung tersebut.
Para remaja dan anak-anak mulai menebak-nebak dan bertanya kepada orang tua mereka mengenai kisah di balik foto-foto tersebut. Kosim mengatakan kepada saya bahwa arsip-arsip ini berguna untuk diperlihatkan kepada setiap warga baru yang belum pernah merasakan penggusuran, agar mereka memahami sejarah keberadaan kampung tersebut yang tak lepas dari berbagai peristiwa penggusuran oleh pemerintah. Siang itu, warga melihat diri mereka sendiri dalam arsip yang dipamerkan. Interaksi yang bergairah antara foto dan subyek yang merupakan warga Kampung Kolong Tol memberi nafas baru bagi keberadaan arsip-arsip visual yang selama ini disimpan oleh Tubagus Rahmat.
Beberapa pakar visual etnografi menyebut proses interaksi semacam ini–meski tidak terlalu persis—dengan istilah shared anthropology, yaitu sebuah kondisi saat warga bersama-sama melihat, memberi komentar dan memaknai kembali rekaman-rekaman etnografis mengenai diri mereka sendiri.
Perihal bagaimana warga kampung kota membaca diri dan sejarahnya sendiri, sebetulnya sudah pernah dilakukan melalui penerbitan buku “Rakyat Miskin Kota Menulis Riwayatnya Sendiri” oleh Urban Poor Consortium (UPC) tahun 2003. Buku tersebut menampilkan kisah-kisah warga melalui perspektif dan cara tutur yang mereka tentukan sendiri, entah dengan tulisan tangan, kolase, atau gambar. Sudut pandang dari bawah seperti ini rasanya penting diselami dan diutamakan bagi setiap pekerja budaya yang ingin bekerja bersama warga kelas terbawah perkotaan.
Dalam konteks yang sedikit berbeda, meminjam pandangan Hersri Setiawan, penting bagi pekerja budaya yang turun ke masyarakat untuk “menangkap ‘denyut jantung yang di bawah’, menjadikan dirinya sebagai wahana bagi yang di bawah untuk menyuarakan apa yang hidup di bawah itu… manjing ajur-ajer (melebur menyatu) bersama dengannya”. Menyelami sudut pandang tersebut sangat mungkin memberikan gambaran realitas yang sama sekali berbeda ketika memandang sebuah kota yang sama.
Sekitar pukul setengah empat sore, makanan mulai disajikan. Nasi beserta lauk pauk sederhana dihamparkan. Warga mulai berdatangan memadati lokasi pameran. Beberapa pemuda membantu menggelar terpal sebagai alas duduk melingkar di tengah pelataran dikelilingi oleh foto-foto arsip sejarah kampung.
Kosim memberikan sedikit pengantar mengenai pameran dan menyampaikan ingatannya mengenai beberapa peristiwa penggusuran di Kampung Kolong Tol. Setelahnya, warga menutup kegiatan pameran dengan menggelar makan bersama. Kenduren kecil tersebut secara simbolik juga merayakan ingatan atas ruang hidup yang mereka tinggali, yang mengikat mereka ke dalam sebuah identitas kolektif (meski bersifat transaksional dan sementara), yang membuat mereka bertahan di tengah belantara Jakarta.
Bagi saya, pengalaman untuk turut bekerja dan mencipta peristiwa bersama warga Kampung Kolong Tol mengingatkan bahwa medan seni rupa yang selama ini saya kenal hanya menyentuh golongan atas dan menengah, jarang sekali terjadi proses menetes sehingga menyentuh lapisan sosial terbawah dari masyarakat kota.
Sementara itu, di Indonesia belum banyak kurator yang memandang masyarakat perkotaan kelas bawah sebagai wilayah praksis dan diskursif, karena yang jamak ditemui saat ini hampir semua lini praktik dan pendidikan berorientasi pada pengembangan kurator muda sebagai bagian dari sistem museum maupun galeri, sementara kedua entitas tersebut sebenarnya belumlah memiliki pijakan yang cukup kuat di tengah kebudayaan masyarakat Indonesia. Maka, perlu sebuah strategi radikal bagi para pelaku seni rupa, terutama para kurator muda yang percaya bahwa rakyat adalah pencipta kebudayaan itu sendiri, untuk mengarahkan kerja-kerjanya secara langsung kepada lapisan terbawah dan termiskin ini dan menjelajahi batas-batas terluar yang menjadi persilangan di antara seni dan masyarakat.
Daftar Bacaan
Afrizal Malna (ed.), “Rakyat Miskin Kota Menulis Riwayatnya Sendiri: 5 tahun Jaringan Rakyat Miskin
Kota” (Jakarta: Urban Poor Consortium, 2003)
Antariksa, “Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-LEKRA 1950-1965” (Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2005)
Ian Douglas Wilson, “Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru”
(Jakarta: Marjin Kiri, 2018)
Onghokham (ed.), “Gelandangan: Pandangan Ilmuwan Sosial” (Jakarta: LP3ES, 1984)
Oscar Lewis, “The Culture of Poverty” (Scientific American, Vol. 215, no. 4, 1966)
Parsudi Suparlan, “The Gelandangan of Jakarta: Politics among the Poorest People in the Capital of
Indonesia” (Cornell Modern Indonesia Project no. 18 (Okt), 1974)
Tulisan ini dimuat di buku “Menyisir Tepian: Catatan Lapangan Praktik Kuratorial dari Kampung-Kampung di Jakarta”, di bawah lisensi Creative Commons. Buku dapat diunduh di tautan ini.
[…] tempat yang berbeda, di bawah kolong jalan tol di Jakarta, Ayos Purwoaji dalam “Pemandangan dari Bawah Jalan Raya” membawa kita pada konteks masyarakat pinggiran Jakarta. Lahir dari konteks “perebutan ruang […]