Cuitan Kecil untuk Januar dan Hana

: oleh Defri Ngo*

 

Pada tanggal 14 April 2013, satu artikel di Kompasiana memuat sebuah wawancara eksklusif antara Jessy Ismoyo dengan Seruni Bodjawati, seorang pelukis terkenal asal Yogyakarta. Wawancara tersebut pernah dipublikasikan oleh Nylon Magazine pada kolom Art Attack.

Jessy melontarkan enam pertanyaan menarik seputar kehidupan, proses kreatif dan ekspektasi Seruni Bodjawati di dunia kesenian. Salah satu pertanyaan menarik dari Jessy berbunyi demikian, “apa yang memotivasi kamu untuk terus berkarya dan tidak cepat puas dengan apa yang kamu dapatkan melihat prestasi yang luar biasa di usia muda?”

Sontak, Seruni menjawab, “karena saya sadar bahwa seni adalah revolusi abadi. Sebuah pencarian nilai-nilai baru terus menerus. Nilai kreativitas dan inovasi ditentukan dari cara berpikir dan keberanian bersikap serta dinamika tindakan. Jelajahi kemungkinan baru dalam penciptaan karya agar setiap pekerja seni mampu memberi pencerahan bagi perkembangan peradaban.”

Saya akan memberi beberapa cuitan kecil terkait lukisan-lukisan dalam pameran Bagaimana Mengenang Maumere?. Apa yang saya bicarakan saat ini adalah sebentuk komunikasi intersubjektif antara saya sebagai seorang “pembaca lukisan” dengan isi lukisan yang memiliki otonominya sendiri. Oleh karena itu, kata-kata saya boleh saja keliru, terkesan menggelitik dan sedikit sesat. Maka, saya membuka dialektika untuk proses diskusi yang lebih terbuka.

Pembahasan

Bagaimana mengenang Maumere? demikian pertanyaan yang menjadi tema utama pergelaran pameran yang digagas Komunitas KAHE. Dalam rumusan lain, kita barangkali dapat bertanya, apa cara yang dapat kita lakukan untuk mengenal Maumere?

“Mengenal Maumere” tentu membutuhkan jalan. Layaknya mengenal seorang ibu, kita membutuhkan kehadiran seorang ayah yang baik. Jalan yang kita pilih akan sangat menentukan ke mana kita harus diantar dan apa yang kita temukan, kelak. Di tangan Mas Januar dan Hana, usaha mengenal Maumere telah dielaborasi dalam satu horison yang sama, yakni melalui kesenian. Mereka melukis Maumere, mereka menerjemahkan makna “kekitaan” sebagai orang-orang yang hidup di “kota Moke” ini.

Memandang lukisan Hana, kita menangkap gambaran tentang Mo’an Teka, Pastor Piet Petu, dan orang-orang Sikka di masa lalu. Sedangkan, gambaran yang lain ditunjukan oleh lukisan-lukisan Januar. Di jalan masuk menuju studio KAHE, terpampang jelas wajah Eka Nggalu yang hadir dengan “mahkota adat” di kepala; Megs Seto dengan wajah yang manis lembut; dan Om Jupe dengan pandangan yang tegas dan menohok. Segera kita tahu bahwa ada perbedaan substantif-ideologis yang diusung kedua pelukis kita.

Hana menarik masa lalu untuk kemudian direfleksikan dalam konteks kesekarangan. Sedangkan Januar berbeda posisi. Jika Hana menjadikan masa lalu sebagai “alat tutur”, maka Januar justru menjadikan masa sekarang sebagai “pusat analisis” untuk memahami masa depan. Ini adalah gambaran umum yang saya tangkap ketika menyaksikan lukisan dari kedua teman kita.

Apa yang perlu kita bicarakan terkait lukisan-lukisan mereka? Adakah sesuatu yang kemudian menggelitik dan perlu dijadikan bahan pertimbangan? Saya mencatat dua hal penting yang patut diperhatikan bersama.

Pertama, deteologisasi ikonografi agama. Dalam lukisan Hana, saya menemukan bahwa setiap tokoh memiliki nimbus di kepala. Hana tentu dengan sengaja menempatkan nimbus tersebut, entah karena sekedar merasa suka, atau justru memiliki basis argumentasi yang kuat.

Istilah nimbus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki dua arti, yakni sebagai “awan hujan” dan “lingkaran yang terletak di atas kepala orang kudus, malaikat dan sebagainya yang digunakan sebagai lambang kemuliaan”. Pengertian yang sama dipakai oleh teologi gereja Katolik dalam memahami arti nimbus. Nimbus merupakan salah satu ikon gereja.

Dalam sejarahnya, ikonografi mulai dikenal luas melalui ajaran-ajaran Paus Gregorius I. Ia dihargai atas kesuksesannya membangkitkan kembali karya-karya misionaris gereja di antara orang-orang barbar di Eropa Utara.

Dalam dunia seni, Gregorius biasanya digambarkan tampil mengenakan jubah paus yang lengkap didampingi sebuah tiara dan salib ganda, meskipun bukan demikian norma budayanya. Tercatat bahwa Gregorius mengizinkan lukisan dirinya itu didampingi dengan aura cahaya di atas kepalanya- sebuah bayangan berwujud segi empat. Cahaya tersebut adalah nimbus yang oleh para teolog gereja diasosiasikan sebagai lambang kesucian diri Paus Gregorius I.

Kita tentu dapat berkilah, misalnya bahwa nimbus dapat ditempatkan di atas kepala Mo’an Teka karena sosoknya sebagai orang terhormat. Mo’an Teka merupakan tokoh yang “menyelamatkan” masyarakat Sikka dari imperialisme bangsa penjajah. Karena berdiri sebagai sosok “penyelamat”, maka Mo’an Teka sudah seharusnya dinilai seperti santo santa yang diakui oleh Gereja karena kekudusan hidup mereka.

Pandangan seperti ini khas etnosentris, alih-alih bersifat inkulturatif. Mengapa demikian? Bagi saya, ada perbedaan otonomi antara agama tradisional dan agama dalam pandangan modern.

Agama tradisional meletakkan budaya sebagai titik pusat untuk analisis tentang perkembangan iman. Sedangkan agama modern menjadikan ajaran dan dogma sebagai panduan untuk memahami perilaku orang beragama. Agama modern akan dibaca secara lebih hati-hati untuk tidak mencampuri urusan dunia yang sekular dan fokus gereja yang bersifat imanen. Tepat di sini, apa yang dibuat Hana terhadap Mo’an Teka, misalnya merupakan tematisasi konsep agama modern dalam bingkai inkluturasi.

Namun demikian, hal yang juga menjadi persoalan bagi saya adalah ketika nimbus yang dimiliki oleh orang kudus atau Mo’an Teka ditempatkan juga di atas kepala seorang bencong di Wuring. Ini ada dalam salah satu lukisan Hana di dinding rumah Komunitas KAHE. Apa maknanya? Apakah ini adalah salah satu bentuk tanggapan Hana terhadap fenomena kekerasan yang dialami kaum LGBT?

Saya berani mengatakan bahwa apa yang sudah dibuat Hana merupakan salah satu bentuk deteologisasi ikonografi gereja. Hana membuat peleburan konsep yang kurang hati-hati terkait pemahaman tentang nimbus dalam pengertian teologi gereja dan nimbus dalam arti umum.

Kedua, post-historiografi. Januar dan Hana memang sedang melukis tentang Maumere. Mereka membaca sejarah sebagai hal yang berlalu, tetapi selalu jadi baru.

Sejarah yang dilukiskan oleh keduanya mengandung pesan-pesan romantik sekaligus heroik. Mereka seperti sedang mengajak kita untuk kembali kepada perjuangan Mo’an Teka ketika membela nasib masyarakat Hubin-Wolomude dari perbudakan kolonial. Atau seperti Pastor Piet yang selalu mengajarkan kita untuk kembali kepada budaya.

Walau sedang melukis sejarah, bagi saya Januar dan Hana sesungguhnya sedang berusaha melampaui sejarah itu sendiri. Keduanya melampaui sejarah bukan dengan catatan dogmatis yang ketat dan panjang, tetapi dengan menampilkan sosok setiap tokoh dalam lukisan sebagaimana adanya. Keduanya berbicara tentang sejarah dalam tokoh. Hana menampilkannya dengan sangat terang dalam sosok-sosok yang dilukisnya. Pun demikian hal yang sama dibuat oleh Januar. Ia memang agak sedikit modernis dibanding Hana. Lukisan-lukisan Januar adalah wajah teman-tema kita di KAHE.

Post-historiografi yang dibangun Januar dan Hana dalam lukisan-lukisan mereka adalah usaha untuk menerjemahkan bahasa zaman. Berbicara tentang sejarah memang tidak selalu kembali ke masa lalu, tetapi dari masa lalu kita bisa belajar untuk membangun masa depan yang lebih baik.

Usaha melampaui sejarah, dengan demikian berarti pula usaha memaknai sejarah secara baru dan kontekstual. Keduanya seperti mengatakan bahwa “kita tidak cukup bercerita tentang sejarah, tetapi mesti menulisnya”. Kita menulisnya dalam kelembutan jemari tangan seorang pelukis.

Post-historiografi yang dibuat Januar dan Hana, dengan demikian merupakan dekonstruksi yang radikal terhadap metode pewarisan sejarah yang berlangsung di Maumere. Keduanya berupaya untuk membangun jejak sejarah secara lebih kuat dibanding narasi verbal yang mudah dilupakan anak-anak zaman. Terkait hal ini, bagaimana Januar dan Hana akhirnya mengenal Maumere? Apa yang dapat kami buat sebagai pewaris sejarah?

Penutup

Cuitan-cuitan yang saya tulis tentang pameran Bagaimana Mengenang Maumere? adalah tanggapan yang sungguh personal terkait karya yang mereka hasilkan. Di hadapan seni, saya sekali lagi mengakui keluasan bahasa dan daya imajinatif seorang pengarang atau pelukis. Keterbukaan terhadap imajinasi dan kreasi seni membuat mereka bebas dalam menciptakan karya. Dan, tugas kita bukan mengklarifikasi, tetapi sebaliknya memberi interpretasi yang terbuka terhadap dialektika.

Dengan demikian, kita sampai pada kekayaan pandangan tentang Bagaimana Mengenang Maumere? dan sejarah yang membangunnya. Semoga perkenalan dengan Maumere memacu Januar dan Hana untuk terus berkarya dalam dunia seni. Sebab, mengutip Seruni Bodjawati “seni adalah revolusi yang abadi”. Cheers!

*Biasa dipanggil Def.
Ia adalah seorang mahasiswa tingkat akhir
di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Kamis, Desember 26th