Kita dan Wacana Kewargaan

 

Dewasa ini banyak gerakan aktivisme publik yang berhasil menyatukan banyak pengalaman personal individu sebagai warga negara. Dibantu oleh perkembangan teknologi informasi yang masif, seseorang dapat menemukan masalah dirinya pada individu lain, yang kemudian membuat mereka memiliki kuasa lebih besar untuk aktif dalam memperjuangkan urusan-urusan yang kaitannya erat dengan publik. Dari kisah yang satu ke kisah yang lain, sebuah kegelisahan personal bisa bergulir seperti bola salju yang semakin besar, padat, kuat. Maka, bagi sebuah kegelisahan sosial masyarakat, jika dimusyawarahkan, wacana kewargaan sebagai lapisan terdekat dengan individu sebetulnya menjanjikan banyak hal.

Biasanya, wacana kewargaan dibentuk dan dipraktikkan melalui serangkaian gerakan melawan ketidakadilan. Warga bergerak melalui serangkaian perjuangan oleh rakyat di level akar rumput dan kelas menengah beserta organisasi perwakilan dan para aktivisnya. Tuntutannya macam-macam: pengakuan kultural, keadilan sosial-ekonomi, representasi politik. Idealnya, warga melewati proses yang dialogis dan diskursif dengan proses yang inklusif – maupun tidak (atau belum?).

Wacana kewargaan bisa jadi sangat plural dan unik karena warga memendam banyak pengetahuan. Pengetahuan tersebut didokumentasikan dan diaktivasi dengan cara beragam, terus dikembangkan sebagai warisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bisa dibilang, apa yang disebut warga juga selalu bergerak seolah ditarik-ulur. Keterikatannya pada konstitusi membuat pengertian warga di ambang batas antara ‘pihak yang lahir dari dan hidup untuk komunitas kultural tertentu’ (atau konsep medborgerskap) sekaligus ‘pihak yang mesti tunduk pada konstitusi’ (atau konsep statsborgerskap).

Oleh sebab itu, wacana kewargaan bisa sangat problematik, mengingat empat komponennya yang acapkali diperjuangkan secara tercerai berai – satu diurusi, sementara yang lainnya tidak dipikirkan; satu dibela, sementara yang lainnya diabaikan. Empat komponen itu adalah keanggotaan, status legal, hak, dan partisipasi (Stokke, 2018). Dimensi keanggotaan dan status legal terkait dengan inklusi kultural dan yuridis dalam komunitas warga negara. Dua dimensi terakhir terkait dengan hak-hak dan penerimaan atas kewajiban-kewajiban yang muncul atas proses inklusi.

Secara historis, kewargaan berawal dari berbagai kelas sosial, berlanjut secara bertahap terlembagakan dalam tata aturan/regulasi yang mengikat seluruh warga. Kemudian, proses ini melibatkan tegangan-tegangan antara kapitalisme dan politik kelas (Marshall, 1950).

Dewasa ini, perlakuan terhadap karakter dan fragmentasi gerakan rakyat menjadi sangat krusial. Setidaknya bisa memperlihatkan posisi subjek dalam masyarakat dalam dinamika politik. Dalam berkesenian, terdapat pula pergulatan dengan tiga politik kewargaan: pengakuan, redistribusi, dan representasi. Seorang aktivis seni, misalnya, mestinya mampu menjembatani fragmentasi antarperjuangan kewargaan. Ada batas-batas yang harus dicairkan antara individu—institusi/lembaga seni—negara sehingga penetrasi masing-masing pihak terjadi secara wajar. Aktivis seni terhindar dari elitisme dan melupakan representasi warga yang sesungguhnya, sementara pihak yang dominan seperti negara berhenti menerapkan strategi untuk melembagakan dan mengatur mengatur perjuangan subordinat.

Kembali lagi, kewargaan selalu tumbuh dari cerita-cerita personal yang bergulir. Maka, penting sebetulnya untuk melihat keterkaitan antara cerita dan opini personal tentang kewargaan dan hal-hal yang dekat dengan warga. Tidak lain bertujuan supaya wacana kewargaan bisa dilihat dengan lebih lentur dalam kaitannya dengan kegelisahan-kegelisahan.

Pada edisi-edisi beberapa bulan ke depan, Laune hendak mengangkat beberapa tema, antara lain:

  • Warga dan arsitektur
  • Warga dan arsip
  • Warga dan kota
  • Warga dan pangan
  • Warga dan ritus
  • Warga dan migrasi

 

Cerita dan opini yang mengaitkan antara tema arsitektur, arsip, kota, pangan, ritus, dan migrasi dengan wacana kewargaan mungkin bisa menjadi alternatif yang membuat tabir problem-problem bersama warga terbuka. Selain itu, pemaknaan ulang dan bebas tentang warga dan kewargaan dalam kaitannya dengan berbagai bidang yang berbeda bisa jadi sangat menarik dan kontekstual.

Pertemuan antara penulis dan pembaca di Laune edisi-edisi ke depan diharapkan menjadi salah satu andil yang berpotensi membangun aliansi yang bermakna, ancang-ancang menuju agenda jangka panjang, dan mengusulkan metode-metode demokratis dan berbasis pada akar rumput.

Laune menerima tulisan untuk masing-masing rubrik: Jangkar, Layar, Jala, dan Mercusuar. Masing-masing rubrik memiliki ketentuannya masing-masing yang informasinya dapat diakses di SINI.

Bacaan:

Ed. Eric Hiariej dan Kristian Stokke, 2018, Politik Kewargaan di Indonesia, Jakarta: YOI bekerja sama dengan PolGov Fisipol UGM dan Universitas Oslo, Norwegia.

Marshall, T. H. 1950. Citizenship and Social Class and Other Essays. Cambridge: Cambridge University Press.

Fraser, Nancy and Axel Honneth. 2003. Redistribution or Recognition? A Political-Philosophical Exchange. London: Verso

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Sabtu, November 23rd