Oleh Elvan De Porres –
Pada tahun 2019 lalu, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero-Flores, salah satu lembaga pendidikan calon pastor Katolik terbesar di Indonesia, merayakan ulang tahun emas berdirinya. Acara-acara pun dibuat dalam menyongsong puncak perayaan yang jatuh pada tanggal 8 September 2019. Masyarakat setempat diundang untuk berpartisipasi. Mereka mengambil bagian; tidak hanya dalam ekaristi/misa syukur, tetapi juga rangkaian-rangkaian seremoni lainnya.
Dalam kegiatan-kegiatan hiburan yang dilangsungkan menyongsong hari puncak itu, terdapat salah satu komunitas penampil yang berasal dari Kota Maumere. Kelompok itu bernama PERWAKAS alias Persatuan Waria Kabupaten Sikka. PERWAKAS didaulat untuk membawakan stand up comedy, catwalk, MC (master of ceremony), hingga bermain teater.
Menurut Pastor Fredy Sebho, SVD, salah seorang pengajar di STFK Ledalero, pelibatan waria dari Maumere itu merupakan bagian dari usaha memberikan ruang kepada kelompok-kelompok yang selama ini tidak dianggap dalam pergaulan sosial yang lebih luas (Ekora NTT, 14 September 2019). Oleh karena itu, ketika naik ke atas panggung, kaum waria itu seolah-olah ingin memupuskan stigma yang ada di dalam masyarakat sembari menunjukkan eksistensi juga minat dan bakatnya.
Namun, pertanyaan kritisnya; bagaimanakah cara pandang masyarakat kepada kelompok waria atau transpuan di Flores? Apakah cara pandang mereka juga turut berubah? Ataukah, apakah transpuan memang hanya “laku” di atas panggung sebagai alat hiburan semata?
Risalah ini merupakan sebuah amatan kecil terhadap respons audiens kepada kaum waria yang tampil dalam rangkaian acara menuju ulang tahun STFK Ledalero tersebut. Analisis pemberitaan media Surat Kabar Ekora NTT, edisi 14 September 2019, bertajuk “Waria di STFK Ledalero”, dan wawancara singkat penulis dengan seorang transpuan bernama Mayora menjadi landasan dasar untuk untuk melihat lebih jauh.
Main Teater Berujung Kontroversi
Pada salah satu isi pemberitaan surat kabar Ekora NTT, tersampaikan bahwa penampilan teater kolaborasi antara PERWAKAS dan Komunitas KAHE Maumere rupanya menimbulkan sejumlah ketegangan. Kontroversi itu mula-mula dimulai oleh seorang waria bernama Melki. Melki merasa bahwa bahasa yang terdapat di dalam teks teater tidak pantas dibacakan di depan kaum agamawan karena terlalu vulgar. Usai acara, Melki menemui waria Adinda dan keduanya sempat terlibat adu mulut.
Salah seorang pastor lain, P. Maxi Manu, SVD, ketika menemui beberapa anggota Komunitas KAHE, sepakat dengan Melki bahwa bahasa dalam teks pertunjukan KAHE dan PERWAKAS memang terlalu vulgar. Dia menimbang kehadiran para audiens di bawah umur pada acara malam hari itu. Menurutnya, bahasa-bahasa yang kasar dan terkesan vulgar tidak baik untuk anak-anak. “Ada orang tua yang menarik anaknya untuk pulang ketika mendengar kalimat-kalimat itu,” ujarnya sebagaimana dikutip media Ekora NTT.
Meski demikian, ada juga kaum rohaniwan lain yang setuju dengan substansi dari pertunjukan tersebut. Salah satunya Frater Charys Ngole, SVD yang melihat kehadiran Waria di acara 50 tahun STFK Ledalero sebagai sebuah wujud nyata dari option for the poor yang selama ini digaung-gaungkan oleh Gereja.
Menurutnya, kalau teks teater itu berangkat dari sebuah riset dan disampaikan dalam sebuah karya seni, itu tidak jadi soal. Teks tidak lantas dibaca sebagai usaha mendobrak satu institusi yang sudah mapan atas dasar sentimen tertentu, tetapi harus dilihat juga dalam konteks pemurnian.
Waria di Flores Masih Sekadar Objektivikasi?
Poin ini tidak hendak memberikan suatu asumsi tunggal, tetapi coba memeriksa struktur berpikir di balik respons-respons yang ada terhadap kehadiran para waria di acara lembaga pendidikan Katolik tersebut. Harus disadari, waria merupakan salah satu kaum minoritas yang sampai sekarang keberadaannya belum dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat.
Kaum waria yang dapat dikatakan sebagai orang yang tidak punya akses atas pengetahuan sudah barang tentu tidak memiliki posisi tawar dalam pergaulan sosial mereka. Hal ini menyebabkan mereka tidak mempunyai ruang gerak yang sama seperti masyarakat pada umumnya. Masih banyak bidang profesi yang belum dapat dijamah oleh para waria (Maulida, 156: 2016).
Dalam analisis penulis, naiknya para waria ke atas panggung tersebut hanya masih dilihat dalam perspektif hiburan belaka. Bahwasanya waria dianggap punya kecakapan untuk menari, menyanyi, bermain stand up comedy ataupun teater dan tugas mereka adalah membuat semua orang tertawa.
Pada satu sisi, niat baik Gereja juga Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero patutlah diapresiasi karena secara tidak langsung menyimbolkan keterbukaan Gereja terhadap kaum waria, meskipun Gereja universal masih belum terbuka mengakui status quo kaum LGBTQ. Di mana-mana, adanya diskriminasi waria melalui legitimasi agama semakin menyudutkan posisi waria. Waria selalu dianggap sebagai penyebar dosa dan terlaknat (Nadia, 2005: 197).
Di samping itu, respons-respons di atas memperlihatkan bahwa kehadiran kaum waria juga masih dianggap tidak setara dengan status sosial masyakarat lainnya. Tanggapan Melki menunjukkan posisi inferior mentality bahwa waria bisa berbicara vulgar di mana saja, asal jangan di hadapan kaum rohaniwan. Dari sini juga dapat ditarik kesimpulan bahwa anggapan orang Flores terhadap Gereja masih sangat berpatok pada pola relasi kuasa yang memang bukan represif, melainkan ideologis. Ini tidak terlepas dari pengaruh Gereja dan tradisi Kristiani yang begitu kuat di Flores.
Namun, ketika para waria itu coba diajak untuk bermain teater, indikasinya bisa berbeda. Sebab, ini mungkin merupakan kali pertama para waria bermain teater yang tentu bukan hanya sekadar aktivitas hiburan semata, tetapi menuntut laku refleksi juga penghayatan keaktoran di atas panggung. Komunitas KAHE coba menawarkan cara pandang baru dalam melihat potensi-potensi yang ada di dalam diri para waria. Meskipun, pada lain sisi, respons-respons yang bermunculan masih sangat kuat dengan sterotipe bahwa waria memang hanya bisa begini atau begitu dan tidak boleh membicarakan sesuatu yang lebih kritis-reflektif.
Padahal, dalam sebuah wawancara penulis dengan waria bernama Mayora, tersebutkan bahwa baru dua tahun belakangan dia mengekspresikan dirinya ke muka publik yang lebih luas. Dulu dia takut sekali pada Gereja Katolik. Sempat timbul pertanyaan dalam dirinya apakah Gereja mau menerima dia sebagai seorang transgender atau tidak. Namun, menariknya dia mengalami sesuatu yang sangat berbeda. Umat Katolik di lingkungannya ternyata menerimanya. Dalam aktivitas kegerejaan, dia langsung melibatkan diri bersama dengan anggota koor dan larut dalam doa-doa bersama.
Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa masyarakat di Flores memang masih berhati-hati untuk membicarakan ataupun menerima kaum transgender dalam skala publik luas. Kalaupun ada penerimaan, itu masih beriringan dengan syarat-syarat tertentu. Hal ini mungkin beririsan dengan gagasan Michel Foucault soal relasi pengetahuan dan kekuasaan. Foucault katakan bahwa pengetahuan seringkali berjalan beriringan dengan kekuasaan. Siapa yang mendominasi pengetahuan, berarti dia yang mendominasi kekuasaan (Foucault, 2017).
Meminjam cara pandang itu, penulis akhirnya berasumsi bahwa transpuan di Flores, walaupun sudah mendapat kesempatan untuk naik ke atas panggung, ternyata masih tetap saja berada dalam ranah subordinasi dari kekuasaan yang lebih besar, yakni pola pikir masyarakat umum dan pengaruh agama, dalam hal ini Gereja Katolik.
Referensi
Eka Putra Nggalu. 2019. Waria di STFK Ledalero dalam Surat Kabar EKORA NTT, 5 Mei 2019, Maumere.
Foucault, Michel. 2017. Wacana Kuasa/Pengetahuan. Yogyakarta: Narasi.
Maulida, Afaf. 2016. Diskriminasi Internal Pada Komunitas Pekerja Salon di Yogyakarta dalam Jurnal Sosiologi Agama, Volume 10, Nomor 2.
Nadia, Zunly. 2005. Waria Laknat atau Kodrat. Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Wawancara pribadi bersama Mayora, tanggal 13 Juni 2019.