Oleh Carlin Karmadina –
Pada bulan Januari 2020 lalu, saya mengikuti workshop penelitian untuk penciptaan kesenian (karya dan fora) bersama masyarakat sebagai bagian dari program “Crossing Borders” yang digagas oleh Komunitas KAHE Maumere, Kabupaten Sikka. Workshop ini diberikan oleh Teater Garasi/Garasi Performance Institute Yogyakarta, dan dalam sesi praktik studi lapangan, saya dan para peserta turun langsung untuk melihat situasi di Kampung Wuring, sebuah perkampungan nelayan yang terletak di pesisir utara dari kota Maumere.
Kami berkunjung ke Kampung Wuring pada hari Kamis sore, 23 Januari 2020. Rombongan kami dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan letak geografis kampung. Kelompok saya terdiri dari beberapa anggota KAHE, seperti Eka Nggalu, Nay, Megs, dan Irvan, seorang pemuda Wuring. Kami berfokus pada wilayah kampung bagian tengah dan daerah leko. Leko adalah bagian Kampung Wuring di pesisir teluk kecil. Leko dalam bahasa Bajo memang berarti lekuk atau teluk.
Sebagai penunjuk jalan, Irvan mengarahkan kami melewati lorong setapak dan jalan tikus yang diapiti oleh rumah-rumah warga. Kami juga melewati sebuah jalan reklamasi dan sesekali saling bertukar sapa dengan warga Wuring. Kami memperhatikan aktivitas yang mereka lakukan.
Sore itu, segerombolan pemuda sedang bermain bola di sebuah petak kecil seluas lapangan voli. Lapangan itu adalah daratan (tanah) yang bercampur dengan pasir dan kemudian berubah menghitam. Para pemuda tersebut hanya bisa bermain bola saat air laut lagi pasang surut. Jika pasang naik, lapangan itu akan digenangi air.
Pada sore hari juga, masyarakat Wuring umumnya menghabiskan waktu untuk bersantai. Di sebuah area reklamasi yang belum dicor semen, tampak anak-anak bermain kelereng. Ada juga beberapa orang tua sedang duduk di balai-balai dekat rumah. Sementara ibu-ibu sibuk mengurusi balita mereka.
Kami kemudian bertemu Bapak Haji Salam dan istrinya. Istrinya sedang sibuk memotong belut-belut kering ketika kami melawati rumah itu. Haji Salam mengatakan bahwa dia dan keluarganya merupakan pendatang di kampung Wuring. Dia datang pada tahun 1950 dari Sulawesi. Kedatangannya bersama keluarga waktu itu merupakan sebuah pelarian akibat konflik yang terjadi di sana oleh pihak yang mereka bahasakan sebagai “gerombolan”.
Pada masa itu, seturut cerita dia, di Sulawesi terjadi pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Pengaruhnya berdampak mulai dari wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, hingga pulau-pulau di sekitarnya, termasuk Mantigola. Kemudian pada tahun 1956, terjadi penyerbuan besar-besaran untuk menumpas gerakan DI/TII yang dilakukan negara.
Desa Mantigola pun diserbu oleh tentara pemerintah karena ada dugaan keterlibatan orang Bajo yang mendukung “gerombolan”. Mantigola dibumihanguskan, dan orang-orang Bajo di sana diusir dari tempat itu. Mereka lalu melarikan diri hingga ke wilayah Nusa Tenggara dan Sulawesi Tengah.
Bapak Haji Salam berkisah, saat kedatangan pertamanya, Wuring memiliki pantai pasir putih yang cantik. Ia menggambarkannya dengan pantai yang bersinar ketika bulan purnama. Namun, pantai itu lenyap sekitar tahun 1970-an dan hanya menyisahkan cerita hingga sekarang. Saya terkejut mendengar itu. Saya tak pernah membayangkan sebelumnya kalau Wuring sempat punya pantai seperti yang digambarkan Bapak Haji.
Kini, Wuring memang tak lagi memiliki pantai. Sejak tahun 1990-an, reklamasi perlahan-lahan dilakukan. Tahun 2019 lalu, reklamasi dibangun di daerah Leko. Rumah-rumah panggung pun senantiasa bertambah.
Hari mulai agak gelap. Kami berkumpul di tambatan perahu untuk melakukan review atas kunjungan tersebut. Sambil berjalan ke sana, Megs, salah seorang peserta, menggumamkan sesuatu. Betapa beruntungnya mereka yang bisa melihat pantai pasir Wuring. Kita ini hanya mendapatkan ceritanya saja.
Carlin Karmadina, mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Nipa Maumere.