Oleh Ticha Solapung
Selama bulan Januari sampai Agustus 2020 Komunitas KAHE beraktivitas cukup intensif bersama warga Kampung Wuring. Meski sebenarnya sudah sejak tahun 2017 kami mulai jalan-jalan, berkenalan, bercerita bersama warga, dan mengamati lingkungan Kampung Wuring untuk menemukan inspirasi dalam membuat karya pertunjukan, dokumentasi, maupun tulisan. Tahun ini kami ingin melakukan sesuatu yang juga sekiranya dapat bernilai bagi warga tempatan.
Adapun Wuring merupakan suatu komunitas masyarakat suku Bajo-Bugis di Maumere yang memiliki beragam modal sosio-kultural, potensi dan berbagai isu di bidang budaya, ekonomi, sosial, dan politik. Namun, jika dibaca dalam sejarah lanskap politik identitas di Kabupaten Sikka yang berlangsung sejak lama, dapat dikatakan bahwa akses ataupun partisipasi politik masyarakat Kampung Wuring sangatlah terbatas. Kontak sosial-budaya dengan warga Maumere lainnya pun tidak banyak dipraktikkan.
Maka dari itu, seiring berjalannya aktivitas kami dan melihat kenyataan umum masyarakat di Kampung Wuring dengan segala isu dan potensinya, saya dalam tulisan ini hendak mendalami isu-isu kebudayaan, secara khusus berkaitan dengan aktivitas perempuan dan waria atau transpuan di Kampung Wuring. Sebagai kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat, perempuan dan waria mesti mendapat perhatian lebih dalam usaha memberdayakan diri mereka.
Pada tahap yang sedang berlangsung saat ini, sebuah kegiatan yang kami namai “Kulababong” (dalam bahasa Sikka artinya, berdiskusi/mengobrolkan suatu hal) dilaksanakan selama enam kali pertemuan. Dalam situasi pandemi Covid-19 ini kami menjalankan kulababong lewat pertemuan kelompok kecil tentu sesuai dengan protokol kesehatan.
Ada banyak isu juga ide yang dilontarkan teman-teman muda, di antaranya tentang lingkungan, sejarah, kesenian, kebudayaan, dan kuliner Kampung Wuring. Lalu, karena latar belakang pendekatan Komunitas KAHE adalah kesenian, maka kami menyepakati untuk membuat aktivitas guna merespons tema-tema tadi berdasarkan pendekatan seni.
Kami kemudian membagi diri menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok pembuatan Rumah Arsip atau Galeri Kampung yang akan berisi dokumentasi sejarah, seni, dan kebudayaan Kampung Wuring; dan kelompok Kuliner yang secara khusus melibatkan anak muda bersama ibu-ibu dan waria transpuan Kampung Wuring.
Di sini, sebagaimana telah disinggung tadi, saya ingin membahas secara khusus pertemuan bersama perempuan dan kaum transpuan. Sejak awal mengamati dan menjalani riset di Kampung Wuring, saya beserta teman-teman komunitas menemukan adanya potensi besar dari kuliner Kampung Wuring. Kuliner merupakan hal yang sangat dekat dengan keseharian hidup para perempuan dan beberapa transpuan di Kampung Wuring. Banyak perempuan yang mencari nafkah dengan berjualan aneka makanan dan juga transpuan seperti H.Mona yang hidup dari warung bakso ikan.
Di samping itu, saya kira, kuliner dapat juga menjadi momen untuk lebih banyak bertukar cerita, berdiskusi, ataupun mendengarkan aspirasi perempuan dan transpuan, serta cerita-cerita tentang tradisi masyarakat. Hal ini juga untuk bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana posisi dan hubungan perempuan dan transpuan di tengah keluarga dan masyarakat Wuring umumnya.
Kuliner juga bisa menjadi sebuah moda negosiasi masyarakat Wuring untuk melakukan kontak budaya dengan masyarakat di luar Wuring, khususnya Maumere. Makanan yang berasal dari kekhasan Suku Bajo dan Bugis ini banyak tersebar dan dinikmati oleh masyarakat Maumere, baik di rumah, warung, pasar, kantor maupun forum-forum pertemuan.
Berkenaan dengan ini sejak awal pertemuan bersama teman-teman anak muda di aula Masjid Ar-Rahmat Wuring, kami memang melihat cukup banyak perempuan yang terlibat, tetapi jarang memberikan pendapat. Semua isu hanya dibicarakan oleh laki-laki. Cara mengambil tempat duduk pun agak menyudut dan terpisah dari laki-laki, meskipun beberapa kali kami berusaha berbaur. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan budaya/kebiasaan dan cara sikap tubuh mereka di tengah forum pertemuan formal.
Namun, semua itu berubah setelah kami terbagi dalam kelompok. Teman-teman sangat cair mengakrabi suasana dan mau mengungkapkan pendapat mereka. Kami pun merancang pertemuan bersama ibu-ibu dan waria untuk pertemuan selanjutnya. Nay, Karlin, dan saya bertanggung jawab untuk memfasilitasi kelompok kuliner.
Kelompok kuliner yang beranggotakan belasan orang pemudi dan dua orang pemuda ini pun melaksanakan pertemuan bersama ibu-ibu dan waria untuk membahas aneka makanan khas Kampung Wuring dan cerita-cerita dibaliknya. Kami mengadakan pertemuan di MIS Muhammadiyah Wuring dengan mengundang tujuh orang ibu dari ketiga wilayah kampung dan empat orang transpuan. Metode dan proses yang sudah kami rancang coba kami laksanakan di pertemuan kulababong bersama ibu-ibu dan transpuan ini.
Seluruh proses yang kami jalani cukup menarik. Di awal pertemuan semua peserta harus memperkenalkan diri dan kami membuat arisan pertanyaan seputar kebiasaan hidup mereka dan kemudian dijawab masing-masing orang. Ada Mama Bece, Mama Hajija, Mama Rasia, Bibi Asse, Hj. Murni, Hj.Podde, dan Kak Eding. Mereka adalah penjual kue dan aneka makanan khas di Kampung Wuring. Setiap hari mereka membuat kue untuk dijual di pasar, di kios, atau di depan rumah masing-masing.
Selain menjual aneka kue dan makanan khas, Mama Hajija, Mama Rasia, dan Hj.Podde dikenal sebagai kepala masak di tiga wilayah Kampung Wuring. Pada setiap acara pesta, merekalah yang menjadi kepala masak (merancang menu dan meracik segala bumbu masakan) dan dibantu oleh ibu-ibu lainnya. Selain itu, Hj.Murni juga menerima pesanan kue pada kegiatan kelompok pengajian.
“Ada kue Janda, nanti makan e, enak sekali,” ungkapnya. Kue Janda terbuat dari ubi. Kenapa namanya kue janda? Saya belum mendapatkan jawabannya dan penasaran dan ingin mencari tahu kembali. Ada juga kue Kasuami yang biasanya dihubung-hubungkan dengan kue Janda. Seketika kami tertawa mendengar keunikan kedua nama kue ini.
Selain itu salah seorang ibu pembuat dan penjual dodol beras ketan -biasa disapa Mama Bece- juga menjual ikan (hasil tangkapan menantunya) di pasar. Di sela-sela perkenalan, dia berbisik kepada saya tentang bantuan dana sosial dari Pemerintah di masa pandemi ini yang menurutnya tidak adil. Dia hanya mendapatkan bantuan sembako, sementara ada sesama warga yang mendapat uang juga sembako padahal status mereka sama-sama janda miskin.
Sementara Eding -satu-satunya waria yang hadir saat itu- merupakan seorang sales peralatan masak. Saat ini dia sedang istirahat bekerja karena pandemi Covid-19. Dia mengaku pandai memasak dan membuat orang terhibur. Perkenalan dengannya berlangsung sangat cair dan akrab.
Setelah berkenalan, kami membagi empat kelompok untuk mendiskusikan aneka kuliner khas Kampung Wuring. Dalam kulababong sebelumnya beberapa informasi tentang kuliner telah kami dapatkan dari teman-teman anak muda, juga dari cerita ibu-ibu ketika kami datang berkunjung, tetapi kali ini lebih banyak lagi informasi dari ibu-ibu dan waria. Metode arisan pertanyaan kelompok menjadi semacam penuntun.
Dari hasil diskusi ini, ada banyak hal tentang aneka makanan khas, bahan dan resep, serta cerita-cerita lainnya yang dirangkumkan. Semuanya itu akan menjadi bahan untuk produksi dokumentasi nanti bersama ibu-ibu dan waria.
Ada banyak sekali aneka makanan khas Kampung Wuring dari Suku Bajo dan Bugis. Makanan khas Bajo antara lain, yang berbahan dasar beras; buras, gogos, lemang, lalepa, titihe, tutumbu, songkol (saat upacara adat), yang berbahan dasar sagu; kapurung, papi, onde tawaro, pallopo, dan yang berbahan dasar ikan; pallumara (ikan kuah asam), bajabu (ikan dan kelapa), lawar ikan, dan siput.
Sementara makanan Bugis antara lain, Waje’ (ketan), Konro (iga sapi), Ikan Parape (ikan bakar bumbu lengkap), Pisang Epe’, Sara’ba, dan bermacam-macam kue lainnya. Ada makanan khas yang dibuat dengan cara tertentu ataupun memiliki pantangannya sendiri. Misalnya, apabila seorang perempuan sedang menstruasi, dia tidak boleh membuat tape ketan. Pernah ada yang melanggar pantangan itu dan berakibat pada munculnya warna merah pada tape yang dibuat. Oleh karena pengalaman-pengalaman semacam itu, semua pun mematuhi larangan yang dimaksudkan.
Di samping itu, ada juga makanan Pallumara, yakni kuah asam ikan Bajo, yang pernah kami makan dengan buras ketika menyiapkan bekal ke taka Mbo Minang. Tentang ini, di Maumere ikan kuah asam merupakan salah satu makanan favorit, tetapi meski sama-sama merupakan jenis kuah asam, saya belum pernah merasakan kuah asam seenak pallumara yang dibuat ibu-ibu di Wuring. Bisa jadi rumusnya adalah pallumara wajib dimasak dengan hati yang gembira, ataupun ada bumbu atau cara rahasia yang membuat rasanya berbeda.
Ibu-ibu dan transpuan yang hadir sangat antusias dan menyambut baik rencana pendokumentasian aneka kuliner di Kampung Wuring. Dari kulababong ini kami mendapatkan sebuah kepercayaan untuk menjalankan aktivitas ini ke depannya.
“Kami senang mau buat begini, tidak pernah ada kegiatan macam begini dengan ibu-ibu,” ungkap Hj. Murni.
Dari pertemuan ini saya melihat ada perbedaan yang sangat besar dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya di forum resmi. Perempuan sulit berbicara di depan publik, apalagi dalam forum resmi bersama laki-laki. Bahkan, di beberapa pertemuan, laki-laki menganggap bahwa perempuan akan mengikuti saja keputusan yang dibuat. Padahal belum tentu keputusan itu merupakan keinginan perempuan.
Pada forum kulababong bersama perempuan dan transpuan yang berlangsung cair itu membuat suara-suara yang tidak terduga begitu yakin diungkapkan. Mereka dengan semangat menyampaikan pendapat dan cerita-cerita mereka; mempresentasikan hasil diskusi dengan penuh semangat.
Forum khusus seperti ini penting untuk dilakukan terus-menerus; mengingat perempuan dan transpuan akan dengan mudah menyampaikan suara mereka; dan dari sana bisa muncul ide dan semangat yang membangkitkan potensi yang dimiliki. Toh sebagian besar perempuan memasak untuk keluarga dan membantu ekonomi keluarga dengan menjual makanan-makanan khas. Potensi ini sangatlah kuat dimiliki oleh perempuan. Bahwasanya peran sebagai pemberi nafas pada keluarga haruslah dihargai setinggi-tingginya.
Saya mengutip Isidorus Lilijawa dalam bukunya Perempuan, Media, dan Politik (2010) bahwa perempuan telah dan sering diperlakukan sebagai the second class, yang dipandang rendah dan tidak berarti di hadapan budayanya sendiri. Masalah yang dihadapi perempuan tidak pernah terlepas dari sejarah panjang budaya patriarki, dengan segala kompleksitas urusannya dengan laki-laki.
Pengetahuan dan informasi penting selalu didominasi oleh laki-laki. Ketika berhadapan dengan laki-laki, suara perempuan tidak dibutuhkan lagi. Ruang publik seolah-olah bukan wilayah kaum perempuan. Padahal dalam kenyataan hidup, perempuan menjalankan banyak peran penting, baik dalam keluarga maupun di tengah masyarkat. Namun, peran itu dianggap sepele dan suara mereka jarang diperhitungkan. Suara yang terabaikan akan menyulitkan perempuan dan juga transpuan dalam mengembangkan potensi yang dimiliki.
Saya kira, untuk dapat melangkah pada pengembangan diri, pertama-tama perempuan dan transpuan harus terlebih dahulu untuk mengetahui, kemudian menyampaikan kegelisahan dan persoalan yang sedang dialaminya. Pasalnya, kendala untuk bersuara bukan saja berasal dari dalam diri perempuan dan waria, tetapi juga dari cara/sikap penerimaan dan perlakuan masyarakat terhadapnya. Diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan masih menjadi berita hangat setiap hari. Begitu pula yang dialami oleh kaum LGBTQ. Sementara para aktivis perempuan tak henti-hentinya mengkampanyekan penghapusan diskriminasi dalam bentuk apapun terhadap perempuan.
Pada akhirnya, kelompok yang terpinggirkan seperti perempuan dan transpuan ini harus didukung dengan kegiatan atau perbincangan yang membuat mereka bisa bersuara dengan lantang.
Kira-kira siapa yang akan mendengar keluhan Mama Bece yang ia sampaikan dengan berbisik tadi? Atau siapakah yang mau meneruskan keluhannya itu? Ia telah berani menyampaikan itu dan tentu berharap ada yang bisa mendengarkannya.
Lalu, jika Hj.Murni katakan bahwa tidak pernah ada pertemuan ibu-ibu seperti ini, terus di manakah forum berbagi itu berlangsung? Apakah di balai-balai bambu tempat bersantai, di antara gosip-gosip yang berseliweran?
Kali ini, saya hanya ingin katakan bahwa dengan ini pengetahuan tentang kuliner Kampung Wuring akan didominasi oleh perempuan dan transpuan. Mereka akan mengisahkan ceritanya sendiri.
Selamat mendengarkan!