Tetapi, Lengger Agamaku, tulis Otniel Tasman dalam bukunya yang telah terbit pada 2024 lalu. Oleh karena itu, ia tak hendak menentang atau membongkar spekulasi-spekulasi yang mendasari pengalaman Otniel Tasman untuk ingkar dari lengger. Ia sedang menegaskan sebentang garis bahwa Otniel Tasman dengan lengger merupakan dua hal.
Ia putar ulang rekaman biografi tubuh Otniel Tasman sejak sebelum lengger, setelah memeluk lengger, hingga mencoba melampaui lengger, bahkan sampai pada upaya memisahkan diri pribadi dari lengger. Melalui benda-benda mungil dalam kantong dan hal-hal yang didengar-saksikannya, ia terangkan pengalaman hubungan intim tubuh Otniel Tasman ke dalam narasi gerak yang otonom dengan hasrat mengembalikan kelelakian tubuhnya. Secara berbarengan terjadi ambiguitas tidak saja pada tubuh Otniel Tasman dan tubuh lengger, tetapi juga tubuh (yang bersifat) perempuan, justru karena Otniel Tasman seorang lengger, lengger lanang, sekali lagi, lengger lanang!
***
Utas demi utas benang mengusut dalam kepala tatkala menyaksikan pentas Otniel Tasman dengan karya bertajuk Susuk! dipayungi nalar kuratorial dan dramaturgi An Ecology of Blur di Ruang Dalam Project, Komunitas Sakatoya, Sabtu, 3 Mei 2025. Baik Otniel Tasman selaku seniman maupun B.M. Anggana selaku kurator sekaligus direktur artistik Komunitas Sakatoya sama-sama tidak tahu dengan apa yang akan terjadi. Apa yang akan ditatap kemudian adalah serangkaian keterkejutan komunal. Kendatipun demikian, pertunjukan ini berlambaran pada premis tentang ekologi tubuh yang telah kehilangan hakikat motorik karena tersekap dinding dunia digital yang kompleks. Padahal tubuh butuh dipahami secara sensual, sexual, endurance, sampai pada penyadaran bahwa tubuh tumbuh bersama lingkungan sekitarnya. Suatu ketegangan, pertunjukan rentak-rentak, di atas bentang layar realitas hidup yang rentan retak.
Tubuh Pertama
Sebelumnya, black box theatre Sakatoya Collective Space gelap semata—yang tampak putih hanya segulung kertas dan garis isolasi sebagai batas. Kemudian cahaya menyorot sepetak panggung. Dari ujung tampak suatu hal yang serong dengan pola pementasan-pementasannya selama ini: Otniel Tasman muncul tanpa riasan dan pakaian lengger, ia tampil mengenakan jersei bola. Seperti memasuki matra yang ganjil. Sebuah distorsi antara ‘yang sama’ dengan ‘yang lain’.
Sejak awal, secara mandiri ia berperan tunggal dalam pertunjukannya. Ia layani dirinya, mulai dari menyalakan laman YouTube yang menyiarkan percakapan ODGJ di ponselnya. Memasuki panggung, ia bawa sebuah bola plastik dan kantong cantik. Dari situ pertama-tama ia keluarkan segulung benang merah jambu dan lipstik—kemudian memulas bibirnya.
Tubuhnya yang plastis menggeliat-geliat sembari memainkan bola di lantai yang disusul gerakan-gerakan aktif-atraktif. Sesekali ia mengambil jeda, untuk mengucurkan obat tetes mata, misalnya. Atau untuk tersenyum mendengar kelucuan percakapan ODGJ yang di(per)dengarkannya.
Ia membebat kepalanya dengan benang merah jambu itu, melilit lidahnya yang menjulur, lalu menyuntingkan sepucuk bunga ke mulutnya. Kemudian ia melontarkan gulungan benang ke penonton sehingga terurai. Terus-menerus ia tarik ulur benang yang merentang itu hingga mengusut dan mengebat tubuhnya sendiri. Ketegangan itu terhenti ketika percakapan dengan ODGJ berakhir. Dan mengenai percakapan ODGJ itu, ketika dicermati, terdapat tarikan spekulasi tentang keterputusan dan keterhubungan tubuh dengan identitasnya. Narasi penting bagi jalannya pertunjukan ini.
Kemudian ia ganti playlist di ponsel dengan lagu Aaliyah, “At Your Best (Let Me Know)”. Sejurus kemudian dari dalam kantong diambil-genggamnya korek api berwujud kelamin lelaki, sambil seolah-olah menyanyi digenapi gerakan-gerakan sensual sifat tubuh perempuan. Kembali ia ulurkan benang merah jambu kepada penonton, menarik ulur, dan meretasnya hingga tatas meski dengan gerak gemulai.
Belum cukup, dari kantong celana ia ambil dan lempar gulungan-gulungan benang abu-abu. Jaring benang-benang itu seperti menjeratnya dari segala penjuru. Ia menggeliang, menari dengan jalinan helai-helai benang yang seolah gaun, menegang merentang di tubuh hingga kusut. Lagu yang syahdu itu rampung, demikian pula tariannya.
Sampai di sini, tarikan-tarikan ketegangan itu jadi tampak berlapis-lapis. Mula-mula tubuh dengan memori tentang seragam, jersei bola, hal itu rupanya berkaitan dengan pengalaman semasa SD yang pernah menjadi atlet lari dan gemar sepak takraw: Otniel Tasman kecil yang lelaki. Tentu saja penampilan dan kisah itu tampak seperti keajaiban, matra lain, yang selama ini tidak (di)muncul(kan) oleh tubuh Otniel Tasman di atas pentas. Namun, entah kenapa ia tampilkan diri Otniel Tasman yang lelaki di panggung dengan cara itu? Identitas gender sekaligus seksualitas, entahlah, tapi seperti telah menjadi narasi yang seakan tak terlepas ketika membicarakan tubuh Otniel Tasman dan juga tubuh Lengger yang selama ini hadir dalam tatapan orang tentangnya. Mengenai korek api kelamin lelaki dan benda-benda mungil yang dekat dengan tubuhnya, mengenai percakapan ODGJ dengan jati diri yang ringsek, mengenai isi lagu Aaliyah “At Your Best (Let Me Know)” favoritnya: banyak anasir identitas Otniel Tasman yang sangat pribadi dan mungkin rahasia muncul secara eksplisit maupun implisit, baik denotatif atau pun konotatif, di atas panggung.
Tentang benang merah jambu, barangkali benang dimaksudkan sebagai sesuatu yang menghubungkan banyak kisah sehingga menjadi satu kesatuan. Tetapi, kenapa bukan benang merah, melainkan merah jambu yang kerap dikaitkan dengan sifat feminin? Tak hanya itu, ia mainkan juga benang abu-abu (seperti halnya hitam dan putih) sesuatu yang sesungguhnya bukan warna: kegamangan, ketidaktetapan. Kalau maksudnya pakaian—tentu saja pakaian lengger—benang-benang itu ia jalin simpang siur, kusut, namun terus-menerus ia tarik ulur, sehingga menjerat tubuhnya sendiri.
Apakah Otniel Tasman sedang menampilkan suatu dorongan yang semakin besar untuk membentuk wacana? Wacana-wacana tentang seks!
Apa yang sedang terjadi? Melankolia: seakan kegembiraan telah sirna. Sikap tubuh Otniel Tasman secara sadar atau tidak memaparkan memori pengalaman dari sebuah episode perusakan yang menyisakan trauma. Di sini terdapat asumsi kalau tubuh masa kecil Otniel Tasman yang lelaki telah dikacaukan oleh adanya peristiwa perundungan—atau malah pelecehan. Dengan gugup disampaikannya pengalaman hidup di ruang lingkup yang redup itu.
Tubuh Kedua
Syahdan, merdu lantunan tembang seorang sinden lengger seiring gema gamelan, entah kenapa, menjadikan suasana terasa magis sekaligus giris. Seturut dengan itu, Otniel Tasman mengambil sebotol minyak kayu putih dan meneteskannya ke tangan, lalu menghidunya dalam-dalam. Tidak cukup sampai di situ, ia curahkan minyak kayu putih itu ke ubun-ubunnya. Lewat apa yang dihidu dan didengar itu ia panggil memori dari objek-objek di sekitarnya, yakni unsur-unsur yang dibutuhkan tubuhnya.
Lantunan tembang sang sinden terus mengumandang. Mungkin sebab itu narasi tubuh lengger merasuk. Lekuk liuk tubuhnya yang gemetar bergerak pelan dan patah-patah: hati-hati tetapi bertenaga. Pada saat demikian, Otniel Tasman tak hanya menggambarkan, tubuh yang likat berkeringat itu mengejawantah sebuah tatapan tentang bagaimana indhang menjiwainya, bagaimana lengger lanang manjing, bagaimana tari khas Banyumas itu menerabas batas-batas. Bagi Otniel Tasman sendiri, indhang semacam sukma yang secara visual dapat dilihat dalam gerak, tubuh, rasa, musik, gendhing, tembangan yang menjadi satu (nyawiji), melebur di antara panggung dan penonton.
Tiba-tiba dengan lembut kembali sulur-sulur benang yang tak karuan ditubuhnya ia tarik ulur. Ia coba berkelit meretas belitan benang itu. Seturut kemudian baju bola yang dikenakan ia buka seakan tengah melepas identitas kelelakiannya waktu kecil dulu. Lalu dengan perlahan gulungan kertas putih di lantai ia gelar. Ia genggam sebongkah arang dan mencorat-coret, mengacak-acak, gelaran kertas putih itu hingga koyak. Ia tampak limbung karena gerakan-gerakannya, sampai lantunan tembang sinden lengger tak terdengar lagi.
Masih di atas kertas, ketika lantunan tembang dengan langgam yang lain kembali mengumandang. Tubuh Otniel Tasman memuntir. Tubuhnya bergerak seperti bukan kemauannya sendiri. Wajah dan geliat tubuhnya meregang. Kemudian sosok itu, tubuh yang telah menjadi gemulai itu, duduk timpuh serupa sinden. Segera ia genggam korek api penis-penisannya sebagai pelantang. Diikutinya bait demi bait tembang sang sinden yang mengalun pelan.
Sebuah risalah, jerat-jerat benang, narasi getir yang bermula dari benda-benda kecil di sekitar tubuhnya telah menyusun keganjilan-keganjilan Otniel Tasman. Bagaimanapun bentuknya, gestur khas lengger di dalam Otniel Tasman tetaplah tampak. Andaikata pada bagian ini ia tetap ingin memberi jarak antara lengger dengan diri pribadinya, trauma itu, luka itu, benda-benda keseharian itu, krisis identitas yang mengikutinya terus-menerus itu, yang terjadi bukan keterlepasan, tetapi malah sebaliknya.
Di sini terjalin hubungan antara gerak tubuh, ekspresi, spiritualitas, dan perlawanan. Pada giliran yang sama, tampak adanya trauma yang terus berupaya ia tampik. Atau, ia jawab kesalahkaprahan orang menatap tubuh Otniel Tasman, kesalahpahaman orang menilai lengger, bahwa seperti yang juga telah ditegaskannya: lengger bukan queer performance. Lebih dari sekadar pertunjukan atau hiburan, lengger berakar kuat dalam sejarahnya dan sarat spiritualitas sehingga tak bisa semena-mena dimasukkan dalam suatu kategori.
Dalam hal ini, apakah ada representasi politik yang sedang terjadi? Tentu saja. Meskipun ia tidak bicara, tetapi ia bercerita bahwa tubuhnya sedang melawan, tubuh yang resisten, bahwa tubuh lengger Banyumas adalah resisten terhadap narasi dominan kebudayaan Mataram yang dianggap lebih adiluhung, dan nalar perlawanan itulah yang dilakukan Otniel Tasman. Ia melawan bahaya, ia melawan dominasi lengger di tubuhnya, ia melawan pingget jerat benang, ia melawan sayatan benang.
Sudah galib, setiap masyarakat tubuh senantiasa menjadi objek kuasa. Tubuh telah dimanipulasi, dilatih, dikoreksi, menjadi patuh, bertanggung jawab, menjadi terampil, dan meningkat kekuatannya. Demikian disebutkan Foucault, bahwa tubuh dalam pengertian “anatomik-metafisik” maupun “teknik-politis” menjadi bulan-bulanan kuasa. Kuasa dari suatu masa yang satu ke masa yang lain, selalu menyentuh tubuh, hanya cara, ukuran dan sasaran kontrolnya saja yang berubah-ubah.
Skala kontrol, agaknya demikianlah Otniel Tasman mendasarkan dirinya bukan pada penguasaan tubuh dalam bentuk massal, melainkan pada kuasa yang menyentuh individu secara teliti dan mendetail. Kuasa menghasilkan mekanisme gerak, tingkah laku, bentuk fisik dan kecepatan, menghasilkan suatu kekuatan yang lembut, infinitesimal, di atas tubuh yang aktif. Momen ini merupakan momen lahirnya ‘anatomi politis’ sekaligus tampilnya ‘mekanisme kuasa’ yang baru. Tubuh tidak lagi dihancurkan atau dipertontonkan, melainkan dilatih, dijadikan terampil, tetapi tetap ‘ditaklukkan’.
Dalam arti, dengan sendirinya Otniel Tasman beradaptasi. Ia melawan sekaligus menerimanya pada saat-saat tertentu. Negosiasi itu yang pada akhirnya disadari tubuhnya untuk memilih: melawan atau menerima.
Tubuh Ketiga
Tetapi, melawan atau menerima mungkin bukanlah pilihan yang final. Lagipula seberapa besar kekuatan tubuh? Tubuh, bagaimanapun tak bisa tetap, lebih-lebih pada tarian yang menanggung beban identitas. Dengan itu, Otniel Tasman melanjutkan lebih jauh apa yang telah ia upayakan untuk melampaui dan memisahkan dirinya dari lengger. Dan inilah cara Otniel Tasman mempertegas identitas kelaki-lakiannya, meskipun ia sejatinya sudah laki-laki, bahkan tanpa perlu mengenakan baju bola. Bukan serta-merta, kesadaran itu ada justru karena Otniel Tasman telah memahami bahwa sifat lelaki dan perempuan ada pada setiap diri manusia.
Terjadi ambiguitas, bahkan paradoksal, dalam lengger dengan narasi-narasi yang menyusunnya. Seperti merepresentasikan hal itu, di tengah lantunan tembang dan alunan musik, tubuh Otniel Tasman terpelintir. Ruang antara berupa gelaran kertas putih yang koyak berisi coretan arang, penuh luka dan trauma, membangkitkannya. Seturut dengan itu gulungan-gulungan benang di genggaman ia lontarkan keluar panggung, penonton kembali menyambutnya dan mengudar perlahan. Beriring irama musik yang makin kencang, ia menggeliang, kembali membebat tubuhnya dengan helai-helai benang merah jambu dan abu-abu itu.
Musik semakin kencang. Akan tetapi gerakan demi Gerakan Otniel Tasman justru melambat. Namun, ia tak berhenti menarik ulur sulur-sulur benang itu, melilitkan ke tubuhnya hingga kusut kasau. Tatap matanya seperti meratap. Ia menari, dan terus menari. Kemudian ia menyumpalkan patahan arang ke mulut, lalu kembali mengacak-acak kertas kusam itu. Suatu narasi utopis yang serong, yang sepertinya hanya dipikirkan Otniel Tasman dengan segenap duka lara pengalaman tubuhnya, bahwa baginya—dan ia meyakini—lengger sebagai gender ketiga.
Otniel Tasman menampilkan tubuhnya sekaligus tubuh lengger yang kontemporer tanpa struktur dan infrastruktur. Apakah hal itu merupakan penyimpangan? Tetapi, ia bermain untuk suatu nilai: bahwa tubuhnya berada dalam lingkungan yang terus berubah dalam tegangan, dalam dialog, dalam dualitas jender, dalam keliyanan—yang saling memengaruhi dan membentuk.
Kemudian ia raih korek api imutnya itu dan kembali menggunakannya sebagaimana pelantang. Ia bergoyang brutal sambil seolah-olah menyanyi bagai diva pantura.
Alunan musik belum paripurna ketika Otniel Tasman kembali duduk timpuh di lantai. Ia telah lepas. Ia ambil sebatang rokok Gudang Garam Surya kesukaannya, kemudian disulut. Ia isap dan embuskan perlahan sembari mendesah-merintih hingga lamat-lamat alunan musik menghilang.
“Terima kasih sudah menyaksikan Daily Performance ArtJog 2021,” gema suara itu mengejutkan seisi ruang pertunjukan, disusul tawa Otniel Tasman dan penonton yang memenuhi black box theatre Sakatoya Collective Space.
***
Melalui Susuk! penonton sedang melihat Otniel dari dekat. Kali ini bukan Otniel Tasman yang biasa tampil di panggung dengan riasan lengger, identitasnya yang lain, yang justru lebih kuat dikenal dengan akrab oleh publik. Otniel Tasman menanggalkan hal itu dan memilih mengenakan baju bola. Walau bagaimanapun, DNA lengger tetap hidup di tubuhnya dengan kuat, bahkan ketika ia tampil tanpa riasan lengger sehelai pun.
Otniel Tasman sedang membuat jarak untuk satu hal, sekaligus sedang mendekatkan dirinya untuk satu hal yang lain. Ia membiarkan tubuhnya bercakap-cakap dengan benda-benda yang selama ini menjadi bagian dari dirinya dalam keseharian, tapi tak pernah ada di atas panggung lenggernya. Otniel Tasman seperti sedang berterima kasih pada benda-benda yang setiap hari memasuki tubuhnya. Ia menampilkan kesadaran tentang sesuatu yang kecil dan kerap dilupakan, kerap tertinggal, yang akrab sehingga ketika benda itu tak tersedia terasa ada yang hilang dari tubuhnya. Sebab, benda-benda itu merupakan bagian dari tubuhnya yang eksis.
Otniel Tasman memasukan hal-hal di luar panggung lengger, menjadi suatu (per)ingatan atas tubuhnya yang terbuka. Betapa kompleks lapis-lapis garis yang dibuat, saling menjalin satu sama lain. Terdapat memori akan pengalaman masa lalu dan visi utopis tentang yang ideal di masa depan. Ada ekosistem yang bekerja. Karenanya, mungkin, identifikasi terhadap tubuh menjadi bermasalah, sulit dimengerti oleh dirinya sendiri. Karenanya, iring-iringan peristiwa: segenap ketidaktahuan, sekalian kemungkinan, dan seluruh paparan terhadap tubuh, membutuhkan ruang percakapan. Dengan demikian, keterkejutan personal maupun komunal yang muncul dan hidup di tubuh Otniel Tasman bisa dibagi dan diterima oleh dirinya sendiri dan bersama-sama.
Keterkejutan-keterkejutan merupakan suatu alur yang wajar dalam hidup. Karena kidup senantiasa memiliki tuntutan dan tujuan. Soal itu Foucault menyatakan:
“Yang dituntut dan dijadikan tujuan adalah hidup yang dipahami sebagai kebutuhan dasar, esensi konkret manusia, penunaian berbagai kebijakannya, keutuhan perwujudannya. Tidak peduli itu utopia atau bukan.… Hidup sebagai tujuan politis dapat dikatakan telah digunakan untuk melawan sistem yang berniat mengendalikannya. Maka hiduplah lebih daripada hak, yang menjadi taruhan dalam perjuangan politis, walau perjuangan ini diungkapkan melalui berbagai penegakan hak. ‘Hak’ atas hidup, atas tubuh, atas kesehatan, atas kebahagiaan atas pemenuhan kebutuhan, ‘hak’, di luar segala bentuk penindasan atau ‘alienasi’, untuk menemukan kembali hakikat diri manusia dan kemungkinan yang dapat dicapainya, ‘hak’ yang begitu tak terpahami bagi sistem hukum klasik, telah menjadi balasan politis, terhadap segala prosedur baru kekuasaan itu, yang juga tidak berasal dari hak yang secara tradisional menjadi milik kekuasaan tertinggi.”
Otniel Tasman bukan sedang mencipta warna baru, tak kendak keluar dari tradisi lengger, ia tengah mengejawantah diri pribadinya. Bahwa keseluruhan yang terjadi di panggung adalah milik Otniel Tasman sehingga tak dapat lagi diulang sebagaimana gerakan pinggul tubuh lengger. Dalam situasi ini, tubuh Otniel Tasman dan tubuh lengger telah melampaui melankolia—kalau saja luka itu masih ada. Tubuh yang diangankan, tubuh Otniel Tasman sebagai pribadi, yang bahkan sebagai pribadi itu pun ternyata tetap tak terpisahkan dengan lengger.
Segala yang dibawa Otniel Tasman di dalam pertunjukannya adalah identitasnya, yang lekat dengan tubuhnya, yang selalu dibawanya. Semacam spektrum DNA yang membentuk Otniel Tasman saat ini. Situasi-situasi itu yang dimunculkan. Di sini, ia menghilangkan struktur pertunjukan dari kepalanya. Kemelekatan Otniel Tasman dengan lengger dilucuti. Inilah Otniel Tasman sebagai seniman, sebagai manusia, bahwa yang sedang disaksikan ini juga Otniel Tasman.
“Kurang es teh tawar,” Otniel Tasman berseloroh.
Yogyakarta, 10 Mei 2025
Rujukan
Foucault, Michel, Discipline and Punish. The Birth of the Prison, transl. Alan Sheridan, London-Worcester: Billing & Sons, 1977.
_______, Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, alih bahasa oleh Rahayu S. Hidayat dari La Volenté de Savoir/Histoire de la Sexualité, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, FIB Universitas Indonesia, Forum Jakarta-Paris, 2008.
Hardiyanta, Petrus Sunu, Michel Foucault Disiplin Tubuh Bengkel Individu Modern, Yogyakarta: LKiS, 1997.
Tasman, Otniel, Lengger Agamaku, Yogyakarta: Kalabuku, 2024.
satu Respon
lq2j4q