
Empat belas tahun sejak penampilan pertama di panggung Stand Up Comedy Show di salah satu kanal televisi Indonesia, Sakdiyah Ma’ruf masih dan terus menikmati jalan hidup penuh tawa. Pada 2018, Sakdiyah terpilih menempati urutan ke-54 di daftar BBC 100 Women. Dalam penghargaan tersebut ia disebut sebagai the first female Muslim stand-up comedian. Di tengah kesibukan utamanya sebagai seorang ibu, Sakdiyah Ma’ruf dan keluarga kecilnya memilih tinggal di Batang, kota kecil di Jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) yang kini menjadi alasan ia pulang untuk mengakar dan berdaya. Wawancara kali ini ingin menggali lebih dalam mengenai pandangannya mengenai identitas, aktivisme, dan ingatan yang bertautan dengan makna belonging—kemelekatan.
Halo apa kabar Kak Sakdiyah? Perkenalkan saya Natia, yang kali ini akan memandu wawancara untuk rubrik Nahkoda Lau Ne. Boleh diceritakan apa kesibukan Anda sekarang sehari-hari?
Halo, kabar baik, Alhamdulillah.
Saat ini kesibukan saya salah satunya belajar. Selain mengikuti Sekolah Pemikiran Perempuan, saya juga sedang belajar di Pelatihan Ekonomi Kreatif UK-ASEAN, dan sedang terlibat proyek Creative Climate Communication, bikin pertunjukan Climate Comedy bersama dengan University Colorado Boulder.
Selain belajar, juga bekerja seperti biasa; ada comedy gigs, dan pekerjaan belakang layar saya sebagai Conference Interpreter dan jadi fasilitator di kolektif yang saya dirikan; Our Voice Comedy. Kesibukan paling utama bersama dengan suami, merawat dan mengasuh putri kami dan mengasuh Rumah Bambu Fatimah.
Wah, terdengar luar biasa padat. Saya sempat membaca postingan Anda terkait Rumah Bambu Fatimah di Instagram. Bagaimana awal-mula munculnya gagasan untuk membangun Rumah Bambu? Apa saja kegiatan di sana?
Awalnya lahir dari keinginan untuk membuat ruang diskusi, kreatif, dan seni di pedesaan. Semasa kuliah di Yogyakarta, terus saat sempat tinggal di Jakarta, juga ketika bikin pertunjukan kadang di luar negeri, saya menemukan betapa mudahnya mengakses ruang kreatif. Saya jadi kepikiran mengapa yang seru kaya’ gini nggak ada di pedesaan? Dibutuhkan nggak ya di pedesaan? Budaya diskusi kan bukan hanya milik kota.
Kegiatan di Rumah Bambu Fatimah sekarang sudah berjalan, meski masih merintis. Ada diskusi, perpustakaan kampung, melukis, mendongeng, menghidupkan kembali seni bangunan bambu, dan kebun pangan komunitas. Mohon doanya bisa lebih dinamis lagi kegiatannya, ya.
Tentu! Saya pikir menarik, Kak Sakdiyah lahir di Pekalongan dan sekarang tinggal di Batang. Bagaimana kedua kota ini membentuk identitas dan pemikiran Anda? Mengapa memilih tinggal di kota pinggiran alih-alih tinggal di pusat yang dekat dengan peluang-peluang strategis untuk mengembangkan karier?
Betul sekali, asal saya Kota Pekalongan, sempat tinggal cukup lama di Solo dan Yogyakarta, mungkin lebih dari sepuluh tahun ya. Saya juga sempat tinggal di Jakarta juga hampir dua tahun, dan saat ini saya tinggal di desa kecil di Kabupaten Batang, namanya Desa Kalisalak.
Bener sih, kalau dilihat sekilas di permukaan, peluang untuk profesi komika dan conference interpreter tentu adanya di kota besar, ya. Tapi hidup bukan permainan melempar dadu, berjalan hanya dengan menghitung peluang. Saya bersama keluarga mengupayakan kebermaknaan.
Ada beberapa alasan sebenarnya kenapa saya dan suami memutuskan tinggal di Batang.
Pertama, alasan praktis. Kami ingin membesarkan anak dan bertumbuh bersama keluarga, terhubung dengan bumi, dalam pelukan alam. Alamiah, gembira, dan sehat kalau Allah meridhoi.
Alasan berikutnya; ada kebutuhan “belonging in the community”. Saya sebenarnya tidak bisa menyebut diri sebagai third culture kid, tetapi pengalamannya cukup mirip. Lahir dan dibesarkan di komunitas keturunan Arab Hadrami di Pekalongan, saya berjuang mengais-ngais makna akar, asal, dan identitas sejak kecil.
Mama saya masih bisa berbicara bahasa Arab terutama dengan kakak-kakak beliau, tetapi tidak mengajarkan kepada anak-anaknya. Saya belajar serba sedikit di Madrasah Ibtidaiyah Al Irsyad (setingkat SD), kemudian Mama saya memindahkan saya ke sekolah negeri untuk SMP dan SMA agar saya mendapat pendidikan terbaik. I don’t blame her at all, kegigihan beliau memperjuangkan pendidikan bagi anak perempuannya di tengah budaya komunitas yang masih menormalisasikan perkawinan anak adalah alasan mengapa Sakdiyah menjadi Sakdiyah seperti sekarang ini.
Tetapi, di sisi lain, saat saya sering diolok-olok teman-teman sekolah, dibilang “Arab, Arab”, dipalak, dibilang nafsunya gede (mungkin karena banyak yang dinikahkan di usia anak gitu ya), saya juga nggak bisa balas mereka dengan makian dalam Bahasa Arab! Kan sedih! Hahaha…. maksud saya, lah memangnya saya Arab? Wong dari kecil di Jawa, berbahasa Indonesia dan Jawa, makannya Nasi Megono bukan Nasi Kabuli, Arab apanya?!
Long story short, saya berhasil menikah dengan suami saya dari etnis Jawa. Kami berdua memutuskan untuk tidak lagi bertanya-tanya tentang akar, asal, identitas, dan belonging, tetapi mewujudkannya.
Suami secara sengaja memilih tempat yang dekat dengan kota kelahiran saya, agar for once in my life, saya bisa merasakan dekat dengan asal, dengan akar, setelah lari-lari terus, tarik-ulur dengan identitas diri.
Saya sendiri juga senang, di desa saya menjadi Ibu Shobar (nama suami saya). Saya sendiri tidak semangat dengan tradisi penghapusan nama perempuan ala Jawa. Saya menentang keras tradisi patriarki ini. Tapi ya, namanya manusia dengan paradoksnya, ya.
Saya merasa eksistensi saya di luar sebagai perempuan utuh, seorang Sakdiyah Ma’ruf sudah jauh lebih dari cukup. Di desa dikenal sebagai Ibu Shobar ternyata bisa menyenangkan juga bagi saya yang udah struggling dengan belonging sejak lama.
Seringkali, obrolan tentang identitas jadi terdengar begitu kompleks, ya Kak. Terdapat tegangan seperti yang Anda bilang tadi; lari-lari terus, tarik-ulur dengan identitas diri. Saya sendiri juga mengalaminya dengan versi yang berbeda. Tapi bolehkah diperjelas, apa yang Anda maksud dengan memutuskan untuk tidak lagi bertanya-tanya tentang akar tetapi mewujudkannya?
Sebenarnya itu bahasa sok puitis saya, hahaha….! Dari gagasan yang amat sederhana, bahwa setiap pernikahan kan katanya hidup baru ya. Jadi dengan segenap perasaan saya terhadap identitas Arab, kadang embracing, kadang negating dan suami saya dengan identitas Jawa pesisir yang tegas, egaliter, yang juga sangat berbeda dengan Jawa pedalaman yang halus lembut gitu, plus anak, plus Rumah Bambu di desa… kami merasa ya mewujudkan akar yang baru…. menanam bibit persilangan segala DNA, segala harapan, segala duka, segala trauma, dan juga segala cinta.

Bicara tentang keluarga, saya kadang merasa sebuah keluarga cenderung memiliki gaya dan iklim komunikasinya masing-masing, dan ini dapat membentuk perspektif tertentu dalam memandang dunia. Bisa diceritakan, bagaimana iklim komunikasi di dalam keluarga besar Kak Sakdiyah? Apakah iklim tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi pilihan Anda sebagai komika?
Abah saya almarhum adalah orang yang sangat jenaka. Beliau berprofesi sebagai nakhoda kapal kargo antarprovinsi dan antarnegara. Pengalaman beliau berjumpa dengan bermacam ragam budaya, membuat Abah saya menjadi pencerita yang ulung. Setiap pulang, kadang tiga bulan, kadang enam bulan, atau bahkan kadang satu tahun sekali, Abah pasti membawa cerita-cerita lucu. Abah juga bisa berbicara dalam dialek Madura, Ambon, Bali, dan Bugis. Seru sekali.
Sebenarnya, dulu saya nggak pernah punya bayangan jadi komika, apalagi saya dibesarkan di lingkungan yang amat konservatif. Tapi, komedi dan cerita sadar tak sadar adalah bagian yang lekat dari keluarga kami.
Bagaimana proses kreatif Kak Sakdiyah selama menjadi komika? Apakah cerita-cerita lucu tersebut berasal dari pengalaman personal atau dari pengalaman orang-orang sekitar?
Proses kreatif saya utamanya berasal dari pengalaman personal. Saya menulis materi komedi berdasarkan pengalaman personal yang terus berkembang, dari pengalaman hidup di tengah konservatisme agama, pengalaman hidup berinteraksi dengan audience internasional yang sangat bias Barat/kolonial, pengalaman hidup di tengah pandemi, juga pengalaman menjadi Ibu. Oh ya, selain itu saya juga menulis komedi satir one-liner berbasis berita aktual, namanya Sakdiyah News.
Ah, adakah pengalaman menarik saat berhadapan dengan audiens internasional?
Ya, pengalaman tampil di depan audience internasional, ada saja pertanyaan apalagi karena saya perempuan berhijab, ya. Bahkan ada yang bertanya, eh kamu kan berhijab, kalau ada laki-laki yang melihat kamu nggak pakai jilbab, apa kamu harus nikah sama dia? Saya jawab, ya enggak, masa saya harus nikah sama tukang galon. Saya jawab begitu sambil membayangkan diri saya yang kadang tergopoh-gopoh bukain pintu dan belum sempat pakai jilbab saat Kang Galon atau Kang Paket datang… hahaha…!
Pandangan mereka pada muslimah memang masih diskriminatif, ya. Di permukaan terlihat akomodatif, baik, ramah, suportif, tetapi saya sering merasakan keramah-tamahan tersebut tokenistik, seperti tatapan “kasihan” begitu, kamu kan biasanya tertindas, kalau sama kami bisa merdeka gitu… hahaha… ! Mereka masih melihat muslimah sebagai subjek tertindas.
Saya jadi teringat, saat tampil di panggung Oslo Freedom Forum 2022, Anda sempat mengutip kalimat salah satu feminis terkenal. Joy is an Act of Resistance—Audre Lorde. Apa makna di balik kutipan itu menurut Kak Sakdiyah sebagai seorang perempuan muslim komedian?
Sebelum membaca artikel lengkap tentang pemikiran Audre Lorde, saya membaca kutipan ini sekilas dan langsung merasa sangat dekat dengan apa yang saya rasakan sebagai perempuan dan komedian.
Kompleksitas kehidupan perempuan dalam masyarakat patriarkal kapitalistik mengharuskan perempuan menavigasi sedemikian banyak hal mulai dari standar kecantikan ala kapitalis, kehidupan yang tak pernah benar-benar aman dan bebas dari kekerasan, termasuk eksploitasi dan ekstraksi tubuh perempuan, sampai dampak pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang tak berpihak pada perempuan. Rasa-rasanya momen jeda, tertawa, dan bergembira adalah perlawanan terhadap semua itu. Kutipan itu membuat saya teringat simbok-simbok di pasar atau ibu-ibu di kampung yang duduk bercengkrama di sore hari, saling bercanda satu sama lain. Menurut saya, ruang tawa juga dapat dimaknai sebagai bentuk perlawanan.
Berkaitan dengan perlawanan itu, apakah ada isu tertentu yang masih sulit untuk dibahas melalui medium komedi, meskipun Anda merasa itu penting?
Kekerasan terhadap perempuan. Saya sendiri penyintas. Meskipun beberapa kali mencoba membahas di panggung komedi, saya masih ingin mengulik dan membahas lebih jauh—tentu dengan sepenuh empati dan sensitivitas—mengenai pengalaman kekerasan terhadap perempuan. Bagaimana topik ini bisa disampaikan dengan tetap lucu sekaligus juga menjadi sarana penyembuhan, bagaimana saya dan audiens dapat tersenyum dan tertawa bersama. Susah sekali ini. Saya masih berusaha.
Saya mengerti, Kak Sakdiyah. Pasti diperlukan energi besar untuk mengolah topik tersebut menjadi materi yang segar tetapi tidak melukai siapa pun. Apalagi dalam industri komedi yang masih didominasi oleh laki-laki, tantangan terasa semakin besar. Saya penasaran, apakah ada semacam “solidaritas pelawak perempuan” dalam skena komedi?
Beberapa hari lalu, saya dan kawan-kawan kolektif Our Voice ngobrol bareng, dan kesimpulan kami Our Voice Comedy pertama dan utama ingin kami jadikan safe space dan community of care, tempat kita duduk bareng, ketawa bareng, punya ruang sendiri, tanpa harus bicara merebut ruang dari abang-abangan stand-up comedy. Karena saking male dominated-nya, merebut ruang yang udah terlanjur amat maskulin rasanya nggak worth it ya, mending menciptakan ruang sendiri. Dalam seni pertunjukan, audience dan komunitas juga bisa diciptakan, dirawat, diasuh, dikembangkan sendiri oleh kolektif seni pertunjukan.
Boleh diceritakan bagaimana Our Voice Comedy terbentuk dan apa saja kegiatannya? Apakah kolektif ini juga dapat dilihat sebagai alternatif dalam membangun kultur dunia komedi yang lebih sehat?
Our Voice Comedy ini memang belum banyak kami publikasikan, padahal kegiatannya sudah bertahun-tahun. Ceritanya dari kegelisahan skena komedi yang sangat maskulin, sangat boys club. Bertahun-tahun saya menekuni profesi ini hampir tidak ada perubahan, bahkan makin banyak karya humor yang seksis tetap dibela oleh sesama boys. Tidak ada afirmasi dari pihak manapun… baik televisi, comedy club, ya pelaku industri manapun…
Komika perempuan yang kemudian muncul memang keren-keren dan lucu banget, dari Musdalifah Basri sampai Boah Sartika dan beberapa yang lainnya. Tapi jumlahnya sangat bisa dihitung jari.
Komunitas-komunitas stand up juga tidak safe space, tidak ramah perempuan, saya banyak dengar cerita pelecehan seksual verbal maupun fisik
Saya pernah diundang ngobrol oleh komunitas stand up di sebuah kota. Saya hanya bilang saya akan senang sekali kalau ada anggota komunitas yang perempuan yang turut hadir. Mereka dengan tanpa rasa bersalah sedikit pun bilang, “Nggak ada, Kak”.
Ya, begitu saja. Nggak ada dan nggak ada upaya untuk mengadakan, afirmasi.
Ditelisik lebih lanjut ya memang ruangnya nggak safe space… kegiatan mulai jam delapan hingga jam sebelas malam atau lebih. Ini baru dari segi waktu, belum yang lainnya. Nah, saya jadi berpikir ingin berbuat sesuatu, menciptakan ruang yang dapat berfungsi sebagai safe space dan community of care.
Ini memang komitmen kami bersama di komunitas Our Voice Comedy. Makanya nggak heboh, nggak ada posting apa-apa. Kami meyakini prinsip working in the pace of care. Fleksibilitas sebagai bentuk care work, bekerja dengan riang, kreatif, nggak jadi beban. Ini yang membuat anggota komunitas kami jadi bisa beragam. Dari perempuan pekerja, pelajar, hingga Ibu rumah tangga. Nggak ada itu harus open mic terus-terusan sampai malam.
Terima kasih banyak, Kak Sakdiyah. Senang sekali menyimak cerita Anda mengenai ingatan dan semangat untuk terus bergerak di ruang tawa. Semoga komunitas Rumah Bambu Fatimah dan Our Voice Comedy semakin berkembang dan terus ceria.
Sama-sama. Teman-teman LauNe main ke Rumah Bambu yuk, kolaborasi.
Editor: Margareth Ratih Fernandez.