Pada Selasa yang cerah di pertengahan September 2024, saya menghabiskan waktu seharian mengelilingi Kota Moriya di Prefektur Ibaraki, Jepang, seorang diri. Hari itu, masih dalam rangka Hari Penghormatan bagi Lansia sehari sebelumnya, gedung tempat saya mengikuti residensi tutup. Situasi itu memberi saya waktu luang selama 24 jam sebelum tiba hari berikutnya. Berbekal sepeda tua warna hitam yang menjadi kendaraan saya selama tinggal di sana, saya lantas memutuskan untuk menghabiskan waktu seharian itu mencoba menjadi akamsi[1].
Dengan luas wilayah sekitar 35,7 kilometer persegi, Moriya jelas jauh lebih kecil bahkan barangkali hanya seujung kuku dibanding Tokyo. Berdasarkan sensus kepadatan penduduk di Prefektur Ibaraki pada 2020, kota ini berada di urutan ke-14 dengan hanya 68.426 penduduk yang tinggal di sana. Jumlah itu kira-kira enam kali lebih kecil dari populasi Kota Yogyakarta per Juni 2024 yang telah menyentuh angka 415.021 warga dengan luas wilayah 32,8 kilometer persegi.
Tidak banyak tempat wisata di Moriya yang bisa saya kunjungi. Kafe, kedai makan, dan kedai minuman dekat tempat saya tinggal pun pilihannya sangat terbatas. Saya lebih sering memasak untuk kebutuhan makan sehari-hari, juga untuk menyiasati agar pengeluaran tidak membengkak. Lantaran keterbatasan pilihan serta keengganan merepotkan diri, usai memasak sup untuk sarapan, saya pun membulatkan tekad menyusun rencana kegiatan sederhana untuk mengisi waktu hingga malam tiba.
Keinginan pertama saya tidak muluk-muluk: bersepeda mengelilingi lingkungan sekitar tanpa menggunakan peta, sebuah keinginan yang muncul setelah merasa payah dalam menghafal jalan bahkan meski sudah hampir dua minggu tinggal di Moriya. Pemandangan di sekitar perumahan tempat saya tinggal tampak jauh lebih memikat setelah saya berhasil mengabaikan layar ponsel. Saya mulai bisa menandai sejumlah titik, misalnya seperti sepetak tanah kosong di pinggir jalan raya yang saya lewati hampir setiap hari dalam perjalanan menuju tempat residensi. Tanah kosong itu, yang dipenuhi buah kastanye yang jatuh berguguran, mencuri perhatian karena pemandangannya tampak kontras dengan dua rumah mewah yang mengapitnya. Belakangan, saya baru tahu harga tanah dan sewa rumah di Moriya terbilang tinggi meski jaraknya cukup jauh dari pusat kota besar seperti Tokyo. Mungkin karena itu, rumah-rumah mewah di pinggir jalan raya banyak yang kosong.
Saya mulai bisa menghitung berapa banyak taman yang berada di sekitar tempat saya tinggal, mana yang paling luas dan rindang, mana yang paling sepi, mana yang paling sering dikunjungi anak-anak. Saya sendiri sudah berniat membeli bekal makan siang di Kasumi Food Square—yang berjarak sekitar satu kilometer dari tempat saya tinggal—kemudian menyantapnya di taman. Siang itu, setelah mampir membeli tabir surya di Matsumoto Kiyoshi, saya mengantongi yakisoba, inari (kulit tahu yang direndam dashi, kecap, mirin, dan sake kemudian diisi nasi), serta minuman kaleng, lalu membawanya ke Tatsuzawa Park yang terletak persis di belakang Kasumi. Tatsuzawa adalah taman yang paling luas dan rimbun di sekitar tempat saya tinggal, sekaligus juga yang paling ramai. Beberapa kali saya menyaksikan anak-anak bermain di sana, gelak tawa mereka terdengar hingga ke bangku tempat saya duduk, sedangkan para lansia mengajak anjing-anjing kesayangan mereka jalan-jalan. Saya pernah melonjak kegirangan saat melihat anjing jenis shiba inu berjalan menyusuri taman, ekornya kipat-kipit dan lidahnya menjulur, wajahnya mirip seekor rubah. Dibanding taman-taman lainnya di sekitar sana, Tatsuzawa tampak jauh lebih hidup.
Pada jam makan siang, taman itu masih sepi. Saya hanya melihat seorang nenek berjalan kaki menyusuri jalan setapak di bawah pepohonan yang rindang. Saya sendiri duduk di bangku taman yang membelakangi sebuah pohon besar yang tengah meranggas. Akar pohon itu menjulur hingga beberapa meter jauhnya, mencuat di atas permukaan tanah serupa urat tangan. Menjelang musim gugur, taman itu menampilkan perpaduan warna yang hampir tak pernah saya lihat sebelumnya, kecuali melalui layar kaca. Meski sejumlah kecil pohon telah meranggas, sebagian lainnya masih rimbun dengan daun-daun yang gemerlapan diterpa cahaya matahari, tanah yang terhampar luas sebagian tertutup daun-daun kering berwarna kecoklatan, sedangkan lumut di pinggir taman dekat bangku-bangku membuat permukaan tanah berubah warna menjadi hijau pekat nyaris kehitaman. Di bawah langit biru yang sangat jernih, saya diserang gelombang perasaan yang memabukkan yang membuat saya sekonyong-konyong melontarkan gugatan, “Bagaimana mungkin orang bisa kesepian di tempat seindah ini?”
Selama beberapa saat, perasaan itu menguasai saya. Saya segera teringat dengan Fuyuko Irie, tokoh utama dalam novel All The Lovers In The Night karangan Mieko Kawakami yang baru saja diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh penerbit KPG dengan judul Segala Kekasih Tengah Malam. Irie, seorang perempuan yang bekerja lepasan sebagai pemeriksa aksara dan masih melajang di usianya yang menjelang pertengahan 30. Irie digambarkan sebagai seorang penyendiri yang kesusahan membangun ikatan dengan orang-orang di luar dirinya. Barangkali saya segera teringat dengan sosoknya karena mengalami situasi yang hampir mirip meski dalam konteks yang jauh berbeda. Saat tiba di Jepang pada awal September 2024 untuk mengikuti program residensi seni dari ARCUS Project, saya memang sempat merasa kesepian. Padahal saya tidak sendiri, melainkan datang bersama kawan-kawan peneliti dari Danarto dkk. Sehari-hari saya tinggal berdua dengan Chita, kawan saya dari Danarto dkk. dan Hyphen—, seorang pekerja seni yang gigih cum komikus berbakat cum peneliti yang tangguh dalam berbagai medan. Dalam sebuah percakapan ngalor-ngidul di ujung hari, Chita pernah menggugat saya ketika saya bilang saya mulai merasa kesepian. “Kan ada aku, kenapa kesepian?”
Fuyuko Irie dan Epidemi Kesepian di Jepang
Kesepian adalah perasaan universal. Hampir setiap orang pernah merasakannya suatu waktu dalam hidup mereka meski dalam takaran yang berbeda-beda. Seekor burung pun dapat merasakan kesepian ketika ditinggalkan sendiri dalam waktu lama. Selain pada manusia, dalam perspektif evolusi dan psikologi, sistem kekebalan dan stres pada binatang pun menjadi aktif ketika mengalami kesepian[2]. Dalam bukunya, The Anatomy of Loneliness, profesor dan antropolog Chikako Ozawa-de Silva menyebutkan kalau kesepian adalah fenomena yang bisa ditarik jauh ke belakang. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui perspektif sejarah, sosiologi, biologi, psikologi, hingga sosial-budaya sehingga tak heran jika selama berabad-abad, persoalan ini menjadi medan pertarungan para pemikir dan intelektual lintas zaman.
Clark Moustakas, seorang psikolog yang merilis buku fenomenal berjudul Loneliness, membedakan pengalaman ini menjadi dua kategori. Pertama, kesepian eksistensial yang biasanya dialami seseorang ketika ditinggalkan oleh significant others (pasangan, orang tua, anak, atau seseorang yang memiliki kedekatan dengan diri kita). Kedua, kecemasan kesepian atau kesepian yang disebabkan oleh alienasi dan penolakan diri. Kategori pertama adalah jenis kesepian yang tidak terhindarkan. Sedangkan pada kategori kedua, seseorang mengalami kesepian jenis ini ketika tidak dapat terhubung dengan entitas lain di luar dirinya maupun dengan dirinya sendiri, suatu fenomena yang menurut Moustakas semakin umum dijumpai dalam masyarakat modern.
Prof. Ozawa-de Silva sepakat dengan Moustakas. Bahwa kesepian adalah suatu kondisi yang muncul karena perasaan tidak puas atas hubungan diri sendiri dengan orang lain atau lingkungan, yang meskipun selalu dalam keadaan berubah, mengalami pasang-surut, datang dan pergi; namun akan selalu ada ketika seseorang mengalami kehilangan, penindasan, peminggiran, kegagalan dalam menemukan makna diri, dan harapan-harapannya tidak terpenuhi. Kesepian, oleh sebab itu, bukan lagi masalah diri yang bersifat perseorangan, tetapi sistemik. Sebuah tatanan masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasakan kesepian atau dalam hal ini teralienasi, memunculkan sebuah unit yang terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat yang tidak lagi merasa dipedulikan, tidak diperhatikan, dan menganggap diri tidak lagi ada artinya. Pendeknya, masyarakat yang kesepian adalah masyarakat yang terabaikan dan fenomena ini semakin jamak dijumpai pada masyarakat yang sangat terindustrialisasi[3].
Karl Marx, seorang komunis, dedengkot filsuf kiri dari Jerman, menyebutnya sebagai bentuk alienasi ketika para pekerja mulai kehilangan diri mereka karena pekerjaan yang mereka lakukan setiap hari telah berubah menjadi mekanis hingga merampas kedirian mereka yang berharga. Ketika para pekerja tidak lagi memiliki kendali atas apa yang mereka produksi, bagaimana mereka memproduksinya, atau bahkan nilai dari apa yang mereka hasilkan, maka proses ini menyebabkan mereka menjadi terasing dari produk kerjanya, dari proses kerja itu sendiri, dari sesama manusia hingga pada akhirnya merenggut mereka dari dirinya sendiri.
Dalam hal ini, saya tidak dapat melupakan apa yang dialami oleh Irie. Ia menjalani pekerjaan yang membuatnya terisolir, sekalipun pekerjaan itu sesuai dengan kepribadiannya. Sebagai pemeriksa aksara, Irie kerap menghabiskan 14 jam kerja duduk seorang diri menghadap layar. Dalam proses kerjanya, meskipun dia telah membaca ratusan buku, namun dia telah memisahkan diri dari kegiatan membaca secara aktif agar dapat berfungsi sesuai kehendak lain di luar dirinya.
“As soon as I finish a book, I forget the story and whatever facts were in it. I forget it, all of it. Sometimes all I can remember is the title. After a couple of years, it’s pretty much gone. When I read, it’s like I’m not actually reading, and when I’m done reading, I never feel like I can say I’ve actually read the thing. It’s always the same. By the time I start on the next manuscript, my mind’s blank and I can start fresh, looking for mistakes. That’s why no matter how long I do this, I’ll never be a walking encyclopedia. Nothing sticks.”
Proses pemisahan diri dari apa yang dia kerjakan ini bahkan berulang dan menjadi semacam metode bagi Irie ketika mengalami situasi sulit atau tak menentu. Misalnya, ketika dia bertemu dengan seorang pria bernama Mitsutsuka.
“My heart was burdened by a leaden darkness, but I took one breath after another, telling myself that this was my responsibility. Just think of it as work and you’ll do fine.”
Persis seperti sabda Marx, inilah proses yang sedang terbentuk dalam diri Irie sebagai buruh pemeriksa aksara yang membuatnya terasing dari apa yang dikerjakannya, yang memisahkan dirinya dari lingkungan sekitarnya karena jam kerja yang panjang, hingga berakhir pada kecerabutan atas dirinya sendiri akibat kehilangan makna diri.
Saat mengingat Irie, saya juga teringat dengan ribuan atau mungkin jutaan pekerja di Jepang yang mengalami hal serupa. Terlepas dari kemampuan negara mereka dalam menyediakan fasilitas umum yang berfungsi dengan baik (misalnya transportasi umum yang bekerja secara efektif, sistem peringatan gempa yang prima, hingga ruang publik yang memadai), mereka toh masih merasakan kesepian bahkan dalam bentuknya yang paling profound. Tidak sedikit buku, film, manga, anime, dan produk budaya lainnya dari Jepang yang menunjukkan betapa terasingnya mereka, bukan hanya yang ditulis oleh Mieko Kawakami. Solanin, sebuah manga karya Inio Asano yang pernah sangat populer di Jepang, juga membicarakan keterasingan yang sama. Kedua tokoh utamanya, Inoue Meiko dan Naruo Taneda adalah sepasang kekasih yang sama-sama tertekan dengan pekerjaan mereka. Meiko yang lelah diperlakukan seenaknya oleh atasannya mengambil keputusan untuk resign, sedangkan Taneda yang bekerja sebagai ilustrator surat kabar merasa pekerjaannya tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri apalagi berdua dengan Meiko. Kehidupan mereka sama-sama mengalami turbulensi yang disebabkan oleh pekerjaan. Meiko dan Taneda adalah prototipe kelas pekerja muda yang hidupnya terombang-ambing karena sistem tatanan masyarakat yang berpusat pada kekuasaan modal yang meminggirkan mereka, membuat mereka terasing dan menarik diri karena gagal menemukan makna atas diri dan sekitar.
Lantas, apa yang salah? Di mana letak kesalahannya? Dari mana asal muasal segala bentuk keterasingan yang membuat hidup kita tidak bermakna dari hari ke hari, yang memutus ikatan orang-orang dengan apa yang terjadi di dalam dan di luar dirinya? Bahkan ketika negara berhasil menyediakan hidup yang layak bagi warganya, mengapa mereka masih gagal terhubung?
Sampai sekarang, kadang-kadang saya bahkan masih sulit menerima ketika teringat taman-taman yang sepi di Moriya. Sebagai warga negara Dunia Ketiga yang kenyang dengan inkompetensi pemerintahnya, apalagi di tengah situasi #IndonesiaGelap seperti sekarang, bagi saya taman sepi saja sudah merupakan dua kata lucu. Taman sepi. Tidak dapat saya bayangkan itu terjadi di Indonesia (kecuali taman-taman yang dibuat eksklusif hanya untuk orang kaya). Ke mana perginya semua orang ketika taman-taman yang indah dengan pohon-pohon besar dan rumput yang hijau itu justru kosong? Saya kembali teringat pada Irie yang mampir duduk di taman setelah membeli sekaleng bir dingin dan mendapati tidak ada siapa pun di sana kecuali suara anak kecil yang menangis di kejauhan.
“After visiting a convenience store for some beer and sake, I stopped in a park not far from my apartment, where I sat down on a warm bench and drank a beer. No one was around, but I could hear the sound of a child crying somewhere in the distance.”
Mengalami Kesepian di Yogyakarta
Katakanlah, dengan mengambil kesimpulan yang menyederhanakan kompleksitas penyebabnya, epidemi kesepian yang melanda penduduk di Jepang terjadi karena orang-orang sangat sibuk bekerja. Jam kerja panjang, budaya kerja yang tidak manusiawi, gaya hidup individualisme yang terus didorong, dan faktor-faktor lain yang berpusat pada akumulasi kekayaan. Lantas, dengan karakteristik dan situasi yang jauh berbeda, mengapa seseorang masih bisa mengalami kesepian di kota seperti, misalnya, Yogyakarta?
Jika dibandingkan dengan kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta bagi kalangan tertentu mungkin menawarkan semacam kesenangan sementara yang timbul karena ritme hidup yang lebih pelan. Namun, ini toh tidak mampu menghalangi perasaan terasing yang diam-diam menyeruak dalam diri mereka yang tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya akan mengambil contoh atas apa yang terjadi pada diri saya sendiri. Saya sadar perasaan kesepian membuntuti ke mana pun saya pergi, termasuk di Yogyakarta. Namun, jika berpijak pada penjelasan Moustakas, ini mungkin lebih kepada jenis kesepian yang pertama. Yang membuat saya bertanya-tanya: kenyataannya, dalam beberapa hal, saya pun tidak lolos dari jenis kesepian yang kedua. Meski kehidupan sosial di Yogyakarta masih bersifat komunal (atau didorong untuk mempertahankan tradisi dan budaya yang bersifat komunal), seseorang toh ternyata tetap bisa mengalami keterasingan. Tatkala orang dapat dengan mudah berkumpul dan menjalin ikatan sosial dengan entitas lain di luar dirinya, dia masih bisa tersesat dan hilang.
Kenyataan yang membingungkan ini baru terjawab setelah bertahun-tahun kemudian. Saya akhirnya melihat fenomena ini dengan berkaca pada identitas saya sebagai perempuan. Saya yakin ada banyak perempuan yang bernasib sama dengan saya, yang kembali merasa terasingkan ketika menjumpai ruang-ruang yang membuat mereka merasa tidak aman, yang merepresi nilai diri mereka, yang membatasi ruang gerak mereka karena identitas gender yang melekat. Menyadari ini sekarang membuat saya berpikir, barangkali hal yang sama juga dialami oleh teman-teman queer yang juga kerap mengalami penindasan dan peminggiran.
Ketika pada akhirnya saya menemukan ruang-ruang baru yang mampu mengakomodir kebutuhan dan mampu melihat saya sehingga saya kembali merasa berarti, ruang itu tidak mampu bertahan lama. Yogyakarta sama sekali bukan kota yang ideal untuk menjadi tempat tinggal bagi golongan kelas pekerja yang berasal dari ekonomi menengah ke bawah. Upah minimum yang sangat kecil, harga sewa rumah yang setiap tahun naik, dan ketiadaan transportasi umum yang dapat menjangkau kantong-kantong pemukiman warga hingga ke daerah pinggiran adalah resep sukses untuk membuat para pendatang yang berencana menetap segera terusir. Kalaupun masih ada yang bertahan, mereka harus paling tidak menjalani dua-tiga macam pekerjaan yang akan dengan segera merenggut waktu mereka yang berharga. Tidak ada waktu, tidak ada teman, tidak ada tempat untuk aktualisasi diri, tidak ada kesempatan untuk menjalin hubungan yang bermakna. Hanya tinggal perkara waktu sampai kota ini dipenuhi orang-orang yang terisolir.
Saya akan kembali mengutip tulisan Prof. Ozawa-de Silva dalam The Anatomy of Loneliness di halaman 5, bahwa dalam kehidupan modern saat ini ada sejenis tipe masyarakat yang menyebabkan orang-orang di dalamnya merasa terabaikan.
“Ada bentuk-bentuk masyarakat yang membuat orang merasa diperhatikan dan terhubung, yang menanamkan rasa memiliki dalam diri mereka. Namun, ada pula bentuk-bentuk masyarakat yang justru melakukan sebaliknya. Setiap masyarakat berada pada satu titik dalam skala ini, tetapi seiring perkembangan ekonomi yang terus bergerak maju, semakin mengkhawatirkan bahwa masyarakat tampaknya bergerak menuju arah masyarakat yang kesepian.”
Mencari Jalan Keluar
Ada satu bagian yang paling saya suka dalam novel All The Lovers In The Night. Ketika Irie berbicara tentang cahaya dengan Mitsutsuka, pria yang tidak sengaja dia temui ketika ingin bergabung di salah satu kelas yang ditawarkan oleh pusat kebudayaan di Shinjuku.
“Light’s a mystery. No one knows what it is. Sometimes I think I’ve got it figured out, but I really don’t. When I was a kid, I thought it was the strangest thing. I was so curious that I started studying it.”
“Do you think the light you’re thinking about and the light I’m talking about are, um, the same thing?”
“Of course they are. We’re talking about the same light.”
Mitsutsuka adalah seorang guru fisika. Ketika Irie bertanya tentang cahaya padanya, mungkin dia sedang bertanya secara harfiah. Namun, saya sangat suka dengan cara Mieko Kawakami membangun semesta dalam novel itu. Cahaya adalah sesuatu yang sangat bermakna bagi Irie. Ketika nyaris terputus dengan dunia, cahaya malam adalah hal yang membuatnya tidak putus asa. Percakapan itu menjadi penting karena terjadi di saat yang sama ketika Irie kembali merasa terhubung setelah bertemu dengan Mitsutsuka. Dan bukan hanya itu sebenarnya, jika membaca keseluruhan isi buku, kita akan memahami bagaimana upaya Irie untuk keluar dari jurang kesepian. Meskipun upaya itu tidak selalu berhasil, namun mengikuti perjalanan Irie dalam menemukan kembali cahayanya membuat saya secara pribadi sebagai pembaca juga dapat melihat harapan.
Seperti pandangan Marx bahwa di balik keterasingan yang menyedihkan juga terdapat potensi pembebasan, saya akan mengutip tulisan pendek David Graeber tentang alienasi yang mengutip Marx. “Jika kapitalisme adalah sistem yang menciptakan keterasingan, maka pembebasan manusia hanya bisa dicapai melalui transformasi radikal terhadap sistem itu.”[4]
Prof. Ozawa-de Silva juga mengakhiri bukunya yang membicarakan anatomi kesepian dengan dua hal. Pertama, mungkin ini terdengar klise, tetapi kesepian dan keterasingan hanya dapat dilawan dengan menumbuhkan empati dan kasih sayang di dalam masyarakat. Selain itu, dia menekankan pentingnya melakukan hal ini tidak hanya pada tingkat individu, tetapi secara sistemik. “Menumbuhkan dan mengenali koneksi antarmanusia adalah penawar langsung terhadap kesepian, dan rasa saling menghormati, empati, serta kasih sayang memungkinkan koneksi tersebut tumbuh dan mengakar.”
Kedua, dia juga menyoroti pentingnya makna hidup yang dimiliki seseorang di mata orang lain. Barangkali inilah yang membedakan hasil penelitian Prof. Ozawa-de Silva dengan gaya hidup individualisme yang seringkali dijadikan obat penawar kesepian oleh masyarakat modern. Dalam pencarian seseorang mengenai makna hidup, menurutnya yang penting bukan lagi soal apakah makna itu didasarkan pada pemahaman kognitif seseorang tentang apa arti hidup, melainkan pada bagaimana seseorang merasa dirinya berarti bagi orang lain. Makna hidup yang bersifat relasional inilah yang menurutnya paling relevan dalam menghadapi kesepian. Bukan lagi tugas individu untuk meninjau ulang apa itu makna hidup atau apa yang bisa menjadi makna hidup, tetapi usaha kolektif masyarakat. Ada imajinasi bersama yang dibangun dan dalam upaya bersama itu, seseorang pada akhirnya dapat melepaskan diri dari keterasingan yang membelenggu.
Butuh nyali besar hanya untuk sekadar membayangkan sistem yang telah memenjarakan masing-masing orang ini hancur berkeping-keping dan digantikan oleh sistem baru. Imajinasi itu tampak sangat jauh dan tidak tergapai. Tetapi, sebagaimana Irie yang berhasil menemukan cahaya dalam upaya pencariannya, apa yang tampak jauh itu menjadi dekat ketika saya memusatkan pandangan ke sekeliling. Perasaan kesepian itu sempat dan berhasil terkikis dalam upaya saya merawat hubungan pertemanan, membongkar ulang konsep dan nilai diri, merebut kendali atas waktu, dan cara-cara lainnya yang bersandar pada imajinasi bersama, meskipun tidak selalu berhasil.
_______________
Catatan:
[1] Singkatan dari anak kampung sini atau warga setempat.
[2] Dikutip dari buku The Anatomy of Loneliness oleh Chikako Ozawa-de Silva.
[3] Disarikan dari buku The Anatomy of Loneliness oleh Chikako Ozawa-de Silva.
[4] https://theanarchistlibrary.org/library/david-graeber-alienation
Editor: Ragil Cahya Maulana