Menjala Ikan, Menjaring Suara

Oleh Elvan De Porres –

Roni Hanjani, seorang “paman” di Kampung Nelayan Wuring, sedang tidak melaut ketika saya bertandang ke rumahnya pada suatu sore di pertengahan bulan Januari tahun ini. Mesin perahunya rusak dan dia membutuhkan waktu beberapa hari untuk melakukan perbaikan. Dia berfokus mengurus mesin, tetapi beberapa anaknya dia perintahkan turun melaut dengan kapal nelayan lain. Mata pencaharian keluarganya memang bergantung pada hasil laut sehingga harus ada anggota keluarga yang pergi bekerja.

Kami pun duduk di beranda rumah apung milik dia dan berbasa-basi mengobrol, kami memang sudah saling kenal sebelumnya, dan sore itu perbincangan kami malah diakhiri dengan tema politik; Pemilu 2019. Tentu kami tidak membahas Jokowi atau Prabowo, yang kami bicarakan adalah bagaimana para petugas partai di Kabupaten Sikka menjalankan kampanye di Kampung Wuring. Paman Roni pernah menjadi “kaki tangan” dalam kampanye tersebut.

“Saya ini diam-diam kerja untuk orang itu,” katanya sembari menyebut nama seorang anggota partai politik, “teman saya yang satunya kerja untuk orang lain lagi.”

“Bukannya di Wuring ini satu suara?” tanya saya.

“Oh, tidak. Kami di bawah itu lebih panas. Kalaupun ada calon (anggota DPRD) dari sini, belum tentu semua mau pilih. Siapa saja yang datang kami terima, kasih uang kami ambil,” jawabnya sembari tertawa.

Paman Roni, sejauh yang saya kenal, memang cukup blak-blakkan dalam bicara. Waktu saya datang saja, dia sempat bilang, “Sekarang pasti sudah kaya e? Sudah lupa dengan saya.” Saya kira, dia mungkin hendak menyindir saya karena menemuinya hanya untuk kepentingan penelitian belaka. Sebelumnya, perkenalan atau keakraban kami juga terjalin karena saya melakukan penelitian kecil-kecilan untuk pembuatan video feature semi-dokumenter “Sisi Lain Kampung Nelayan”; dia menjadi narasumbernya. Sikap blak-blakkan Paman Roni pun terlihat kala kami bicara soal politik tadi, dia berujar, “Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau ujungnya hanya tipu masyarakat.” Tampaknya dia merekam baik bagaimana kontestasi tempatan yang terbentuk akibat Pemilu ataupun Pilpres 2019.

Di Kampung Wuring Paman Roni dianggap sebagai pemuda mabuk, huru-hara serentak hura-hura, bahkan tukang bikin kacau. Memang lingkaran pergaulan dia juga terdiri dari orang-orang bertipe serupa; seorang temannya bernama Arman bahkan didaulat sebagai “preman” kampung; kami bertiga pernah duduk minum moke bersama dan saat sudah mabuk keduanya malah mencurigai saya sebagai intel hingga pengedar narkoba.

Situasi atau pandangan besar macam itu sesungguhnya bukan hanya terjadi di Wuring, melainkan juga di kampung atau daerah spasial lain yang ekosistem kultural antarwarganya terlihat kuat tetapi di dalamnya terdapat diferensiasi kelas sosial-ekonomi yang sangat kentara. Ini berbeda dengan kehidupan masyarakat kelas menengah ke atas, terutama di perkotaan, yang lebih individual, mapan dan ikatan resiprositasnya longgar. Kajian-kajian yang membahas persoalan tersebut biasanya berkaitan dengan dinamika akses dan sumber daya ataupun agraria (tanah, air, udara, sungai, laut dan sumber daya alam lainnya).

Berangkat dari perjumpaan dan obrolan saya dengan Paman Roni tadi, tulisan ini coba membicarakan bagaimana “kontestasi ruang” sosial-ekonomi dan politik di Kampung Wuring. Ini juga dikarenakan oleh sejarah “administratif” wilayah Wuring yang tidak terhindarkan dari perkara-perkara tersebut. Kontestasi yang dimaksudkan di sini tidaklah melulu soal persaingan langsung -yang kelihatan- tetapi pada dialektika penguasaan faktor produksi “laut” juga relasi-relasi yang terjalin atas itu [1].

Paradigma besar mengenai “kontestasi ruang” sempat diuraikan oleh kaum neo-marxis, seperti Henri Lefebvre lewat telaah-telaahnya atas produksi ruang urban, ataupun David Harvey yang lebih berfokus pada teritori atau area geografis tertentu. Menurut Lefebvre (2000), definisi atau tatapan atas ruang tidak terlepas dari jaringan-jaringan relasi dan aktivitas sosial di dalam diri masyarakat tempatan. Sementara bagi Harvey (2010), ruang merupakan wilayah perebutan kapital untuk kepentingan akumulasi.

Dua pandangan tersebut punya gagasan yang hampir sama karena menjelaskan penetrasi kapitalisme yang menyebabkan cara orang memandang ruang juga turut berubah. Namun, paparan ini lebih pada usaha memetakan kondisi kehidupan nelayan Wuring sekarang secara historis-dialektis tanpa secara langsung mengaitkan dengan penetrasi kapitalisme itu sendiri. Tulisan ini kekurangan data untuk menjelaskan itu dan waktu metode partisipasi-observasi yang saya lakukan pun terbilang minim.

Seperti yang tersebutkan dalam risalah-risalah sebelumnya keberadaan Kampung Wuring tidak terlepaspisahkan dari dinamika politik-ekonomi yang terjadi di Maumere. Don Thomas Ximenes Da Silva yang memperkenankan orang-orang Bajo dan suku nelayan lain menetap di Kampung Wuring merupakan raja “bentukan” kolonial setelah Belanda menakluk-leburkan dua kerajaan lainnya, yakni Nita dan terutama Kangae. Persis saat raja ini berkuasa wilayah Maumere tidak lagi terbagi-bagi dalam tiga kerajaan tetapi menjadi kerajaan bernama Sikka -nama ini kemudian menjadi nama kabupaten [2].

Meskipun begitu, dalam pembacaan ekonomi-politik usaha memperkenankan orang Bajo ataupun Bugis untuk menetap di Wuring merupakan siasat Raja Don Thomas untuk mengkonsolidasi kekuasaannya. Ini karena lokasi awal mula persinggahan orang Bajo di Maumere adalah Waipare yang merupakan bagian dari Kerajaan Kangae; mereka bahkan sempat menjalin relasi resiprositas dengan Raja Kangae. Makanya, tidak mengherankan jika di Maumere terdapat kurang lebih dua perkampungan Bajo; Kampung Bajo di Waipare juga Kampung Wuring itu sendiri yang kemudian menjadi tempat persinggahan dan asimilasi budaya banyak suku nelayan -beberapa kampung lainnya ada di Pulau Pemana dan Koja Doi, sebelah utara Kota Maumere.

Adapun orang Bajo waktu awal penempatan itu masih menggunakan perahu tradisional dengan relasi kerja bersifat kekeluargaan. Perkembangan teknologi penangkapan ikan terjadi seiring dengan migrasi suku-suku lain, terutama dari Sulawesi, sejak tahun 1950-an. Hal ini turut mengubah relasi sosial produksi yang ditandai dengan adanya pemilik kapal, anak buah kapal, pemilik perahu/lempara juga orang-orang yang ikut menumpang kerja. Menurut cerita Bapak Zainuddin (alm.), sekitar tahun 1980-an para nelayan telah banyak melakukan modifikasi perahu tangkap tradisional dengan mesin tempel atau body. Hal tersebut tentu memiliki keterkaitan dengan program Revolusi Biru oleh pemerintah Orde Baru yang bertujuan meningkatkan produktivitas sektor perikanan laut dengan memberikan bantuan modal dan peralatan tangkap modern.

Meskipun kelihatannya baik dan sempat membawa nelayan pada masa kejayaan, Revolusi Biru ini juga berdampak buruk, yakni ketidakmerataan akses nelayan terhadap faktor-faktor produksi. Di Kelapa Lima-Kota Kupang, Pulau Timor, misalnya, proyek tersebut menjadi salah satu potensi konflik masa kini di antara para nelayan (Kobesi, Kinseng dan Sunito, 2019). Adapun di Maumere, perusahaan ikan yang pertama kali beroperasi ialah PT Bali Raya tetapi kemudian lenyap dihantam gelombang tsunami pada tahun 1992.

Modernisasi alat penangkapan ikan dan pertambahan populasi (karena reproduksi dan migrasi) menyebabkan perubahan atau percabangan mode produksi nelayan di Kampung Wuring. Relasi kerja yang berlaku dalam hubungan keluarga berubah menjadi relasi patron-klien. Patron-klien  dalam pandangan Scott (1993) merupakan hubungan sosial-ekonomi yang mana individu pemilik modal atau kehidupan ekonominya lebih tinggi menggunakan sumber dayanya untuk memberikan perlindungan dan keuntungan bagi individu yang statusnya lebih rendah. Paman Roni sempat bercerita, dulu sebelum dia punya perahu motor sendiri, dia sering ikut bekerja untuk kapal-kapal milik nelayan besar. Bahkan, ada nelayan yang hanya menyediakan kapal atau perahu dan modal lantas menjadi tuan atas nelayan-nelayan kecil.

Di Kampung Wuring para nelayan pemilik modal ini biasanya menggunakan uang hasil akumulasi itu untuk pergi menunaikan ibadah haji; nelayan kecil seperti Paman Roni mustahil mencecap cita rasa religiositas di Tanah Mekkah atau Madinah. Dalam obrolan dengan beberapa nelayan Wuring lainnya saya juga mendapatkan cerita bahwa nelayan-nelayan besar tersebut menjalin relasi dengan kaum birokrat maupun politisi di lingkup pemerintahan Kabupaten Sikka. Saat musim kampanye mereka kadangkala mengerahkan pengaruh sosial dan ekonominya untuk menjaring suara dan mendukung “jagoan-jagoan” mereka.

Kondisi-kondisi tersebut belum lagi ditambah dengan masuknya perusahaan ikan ke wilayah Maumere pascafenomena alam gempa bumi dan tsunami tahun 1992. Saya tidak sempat mencatat pengusaha atau perusahaan mana yang beroperasi setelah PT Bali Raya. Namun, pada tahun 2011 dilaporkan adanya 19 pengusaha yang ‘rebut’ ikan di Maumere (Pos Kupang, 27 Juli 2011). Ada yang membeli ikan dan mengirimkannya lewat bandar udara; ada juga yang menampung ikan-ikan dan dibawa langsung ke luar Maumere dengan kapal-kapal pribadi mereka. Beberapa perusahaan lantas membangun pabrik pengalengan dan pengawetan ikan.

Kehadiran perusahaan-perusahaan ikan yang bermodal besar ditambah dengan para patron yang sudah ada sebelumnya menyebabkan nelayan berani melakukan kredit atau pinjaman uang. Setelah kredit mereka akan bekerja pontang-panting mencari ikan sesuai dengan kesepakatan pemberi kredit.

Namun, di antara itu ada yang menjadi nelayan mandiri tetapi menunggu kira-kira harga tawar perusahaan mana yang lebih “menguntungkan”. Ada juga yang membentuk pola patron-klien kecil dengan menyerahkan hasil tangkapannya ke orang lain: para papalele ataupun mamalele. Sementara itu, nelayan-nelayan lain yang masih terikat dalam relasi produksi keluarga atau kekerabatan biasanya langsung menyerahkan ikan tangkapan ke anggota keluarga untuk langsung dijual di Pasar Wuring atau TPI Maumere.

Nelayan-nelayan yang alat produksinya bergantung pada nelayan besar dan perusahaan biasanya mempekerjakan anak-anak mereka untuk “ikut bantu” tangkap ikan. Mereka ini tidak bersekolah; berbeda dengan anak-anak nelayan lain yang kondisi ekonominya sudah lebih mapan. Kalaupun mereka memiliki alat produksi, itu hanya berupa sampan kecil yang tentu saja dipakai untuk sekadar memenuhi kebutuhan subsistensi.

Seorang pemuda bernama Amir, contohnya, kalau dia mau dapatkan untung (uang yang lebih banyak), maka dia harus ikut melaut bersama pamannya yang punya body. Beberapa temannya malah ikut kapal-kapal nelayan besar lain. Ataupun Paman Roni tadi, meski secara tersirat, dia sempat sampaikan bahwa dirinya harus “korbankan” anak pertama dan keduanya untuk bekerja seperti dia tetapi tidak untuk anaknya yang paling bungsu. Anak bungsunya dia sekolahkan dan saat ini duduk di bangku SD.

Para nelayan -anak-anak muda tersebut- sering berkumpul bersama, minum mabuk dan tak pelak terlibat dalam tawuran dengan kelompok pemuda lainnya di kampung itu. Ada semacam resistensi atau pertunjukan identitas diri terhadap kelompok sosial lain. Dalam kajian-kajian agraria seperti oleh Scott (1985) ataupun Eckstein (1989) hal semacam ini disebut sebagai bentuk pembangkangan atas represi atau penderitaan yang ditimbulkan karena “pencaplokan” faktor produksi mereka. Gejala lainnya yang sedikit berbeda dari itu terlihat dalam aksi nekat para nelayan yang menangkap ikan menggunakan bom rakitan dan pukat harimau, bahkan ada yang harus beroperasi di luar zonasi penangkapan yang ditetapkan negara.

Walaupun demikian, dalam konteks tertentu, para nelayan tersebut juga punya masalah tersendiri lagi, yakni pengaturan uang. Jika hasil tangkapan banyak dan uangnya melimpah, mereka tak jarang langsung menghabiskannya, atau dengan kata lain memfoya-foyakannya. Seorang nelayan kecil, temannya Paman Roni, pernah katakan bahwa ikan tak pernah habis, uang pasti ada terus; hari ini miskin, besok rezeki bakal datang. Saya perhatikan, ada semacam kebingungan di antara mereka dalam mengelola uang. Rendahnya pendidikan dan ketidakmampuan akses terhadap jaringan sosial yang lebih luas mungkin menjadi beberapa faktor dalam situasi tersebut. Anna Tsing (2005) menyebut gejala seperti ini sebagai friksi, yakni ketegangan atau ketidaksiapan warga tempatan terhadap globalisasi, terkhusus globalisasi kapital.

Pada akhirnya, problem “kontestasi ruang” di Kampung Wuring sebetulnya bukan karena petani sayur atau tembakau di Habibola- wilayah dataran tinggi Maumere- datang berjualan di sana, melainkan dinamika sosial-ekonomi dan politik di kampung tersebut yang berakar panjang, terutama dalam penguasaan atau kepemilikan faktor produksi. Maka, tidak mengherankan apabila kita sering mendengar, membaca berita bahkan sampai bercucuran air mata karena di Wuring terdapat banyak pernikahan dini, tawuran antarkelompok bahkan dengan pemuda luar kampung ataupun -dalam pengalaman saya sendiri- usaha nelayan kecil untuk ikut berkampanye seraya berharap kepentingan politik-ekonominya bisa tersalurkan.

Keterangan:

[1] Mode produksi masyarakat nelayan tidak jauh berbeda dengan masyarakat primitif (pemburu, peramu) yang bekerja bersama dan memanfaatkan sumber produksi yang sama. Meskipun begitu, untuk konteks sekarang, mode produksi tersebut berbeda dengan para petani penggarap yang membutuhkan lebih banyak alat, waktu dan jalinan relasi sosial dalam produksinya.

[2] Walaupun tiga kerajaan tersebut melebur jadi satu, “pertarungan” elite intelektual dan politisi-nya, terutama antara Sikka dan Kangae, di level birokrasi dan pemerintahan daerah terus berlanjut; salah satu puncaknya terjadi dalam tragedi pembantaian berdarah 1965.

Referensi

Eckstein, Susan (Ed). 1989. Power and Popular Protest, Latin American Social Movement. Berkeley : University of California Press.

Harvey, D. 2010. Imperialisme Baru, Genealogi dan Kapitalisme Kontemporer. Yogyakarta: Resist Book.

Kobesi, Petrus, Rilus A. Kinseng & Satyawan Sunito. 2019. “Kelas dan Potensi Konflik Nelayan di Kota Kupang (Studi Kasus Nelayan di Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur)” dalam Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 9, No. 2.

Lefebvre, Henri. 2000. The Production of Space. New York: Georgetown University Press.

Scott, J.C. 1972. “The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural Southeast Asiadalam The Journal of Asian Studies, 32 (1), November, Association for Asian Studies Stable.

________. 1985. Weapon of the Weak: Everyday Form of Peasant Resistance. New Haven: Yale University Press.

Tsing, Anna Louwenhaupt. 2005. Friction: An Ethnography of Global Connection. Princeton and Oxford: Princeton University Press.

Yuwono, Pujo S. H. Evolusi Teknologi Subsistensi dalam Humaniora, No. 1, 1995.

“19 Pengusaha Rebut Ikan di Sikka”, Surat Kabar Harian Umum Pos Kupang, 27 Juli 2011.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Kamis, November 21st