Karangdunyo: Varietas Liyan Teater Kampus

“Allah memberkati mereka, lalu berfirman kepada mereka: ‘beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”—Kitab Kejadian Ayat 1:28.

Begitulah, cukilan ayat yang ditembak jauh menuju medan pertunjukan. Cukilan ayat tersebut tampak saling bersitegang dengan footage-footage kolase: pembangunan tol Jogja-Solo, knalpot matic, abang-abang driver, roket Elon Musk, hingga susunan buah-buahan yang berpangkal menjadi stroberi. Meski cukilan tersebut muncul secara repetitif layaknya kedipan mata, namun ia adalah titik pijak bagi presentasi Karandunyo dalam pertunjukan “Strawberry: Trayek Reruntuhan Melankolia dan Dunia-dunia yang Tidak Pernah Ada”.

Trayek Strawberry adalah upaya mereka sebagai generasi stroberi ketika dihadapkan pada gejala pos-humanisme, setelah 500 tahun dihegemoni oleh humanisme. Presentasi tersebut seperti membawa kita pada pertanyaan spekulatif: masih adakah tawaran atas dunia-dunia yang tidak pernah ada? Atau saat ini kita sedang menuju dunia-dunia yang tidak pernah ada, tetapi tidak kita rasakan? Yang kiranya hanya perlu diresapi tanpa perlu dijawab secara tuntas.

Namun pertanyaan spekulatif itu, mengendap menjadi kubangan yang diam-diam sedang menenggelamkan mereka. Sebagaimana generasi stroberi yang kerap didefinisikan sebagai generasi ‘benyek’, kebenyekan itu muncul sebagai konsekuensi atas keterhimpitan yang sedang mengepung mereka. Keterhimpitan yang diakibatkan oleh krisis iklim, tekanan sosial, rezim darurat, serta beragam ketimpangan yang kerap merembes di beranda digital kita, membawa konsekuensi pada tatapan lintas generasi yang sejatinya tidak mereka kehendaki.

Meskipun demikian, medan realitas yang coba mereka ungkapkan menuju medan pertunjukan bernama Festival Minikita pada 28 September 2024 lalu di IFI LIP, tampak memancarkan kepingan fragmen yang cukup akrobatik. Akan tetapi gejala tersebut kiranya dapat dimaklumi, jika melihat rute kemunculan Karangdunyo, serta posisi politis mereka sebagai teater kampus di luar medan resminya.

Dua Kutub Resmi Teater Kampus

Sebelum panjang lebar membicarakan entitas bernama Karangdunyo, perlu kiranya untuk membaca gejala-gejala dominan yang sedang menjangkiti teater kampus hari ini. Khususnya teater yang berada di teritori resmi bernama Universitas Negeri Yogyakarta.

Jauh sebelum embrio Karangdunyo membaptiskan dirinya sebagai kolektif pertunjukan pada September 2023 lalu, institusi UNY dihadapkan pada dua kutub resmi teater kampus. Kutub pertama adalah teater universitas yang kehadirannya diwakili oleh UNSTRAT (1984). Sedangkan kutub kedua adalah teater fakultas yang dioperasikan oleh beberapa sanggar seperti Sangkala (FBSB), Sasmita (Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia), Sugeng (Jurusan Psikologi), Sekrup (FMIPA), Regenbogen (Pendidikan Bahasa Jerman), Luminthu (FIS) dan masih banyak lagi yang tak terakumulasi dalam radar arsip. 

Masing-masing dari mereka beroperasi dalam wilayah resmi, sebagai unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang basis ideologinya lahir dari rahim formal, yakni musyawarah AD/ART dan laporan pertangungjawaban. Meskipun sama-sama formal, namun dua kutub resmi tersebut tampak tak saling bertaut satu sama lain. Mereka membentuk rute penciptaan dan spektrum apresiasinya masing-masing. Satunya menjangkau wilayah antarkampus, sedangkan yang lain terisolasi di wilayah fakultas. 

Pun ketika menengok dapur estetika mereka, teater resmi di wilayah teritori UNY cenderung membawa konversi-konversi yang homogen yakni realisme, modern, terstruktur, serta berpusat pada mazhab Stanislavski. Serangkaian konversi tersebut membentuk metode penciptaan mereka yang ketat, rutin, mengikat, dan berpusat pada bentuk. 

Hampir tidak ada ruang bagi pedagogi yang inklusif. Individu-individu yang lahir dari rahim teater resmi cenderung terformat dan beroperasi dalam program teks. Sehingga teks-teks AD/ART, teks-teks laporan pertanggungjawaban, hingga teks-teks lakon telah mendahului apa yang disebut tubuh, laku, dan kesadaran. 

Gejala lain yang menjangkiti teater resmi UNY adalah ketergantungan mereka terhadap naskah kanon. Naskah-naskah “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” (Seno Gumira), “Balada Sumarah” (Tentrem Lestari), dan “Dukun-Dukunan” (Puthut Buchori), yang diproduksi terus menerus telah menjadi komoditas daur ulang. Tradisi tersebut lekat dengan motif mendaur naskah, sehingga membawa teater resmi pada situasi keterasingan ‘hidup’. 

Keterasingan yang muncul akibat ketidakmampuan atau keengganan untuk menuliskan naskah mereka sendiri. Alhasil teater resmi telah kehilangan hajat hidup untuk diceritakan. Padahal jika melihat tegangan yang terjadi hari ini, rasanya menggelikan bila teater resmi masih mengais-ngais tragedi berpuluh-puluh tahun lalu, tanpa membawa konteks yang relevan untuk kehidupan kolektif mereka hari ini. 

Munculnya Varietas Liyan

Layaknya sebuah bakteri yang muncul akibat iklim teater yang tak lagi relevan, Karangdunyo adalah hasil mutasi dari dua kutub resmi teater kampus, sehingga memunculkan varietas baru nan liyan. Varietas ini muncul sebagai respon kemuakan: muak terhadap keketatan bentuk, muak terhadap stagnasi estetika, muak terhadap patronisasi seni, dan muak terhadap struktur birokrasi yang telah lama menjangkiti teater resmi. 

Varietas ini muncul dan bergulir di luar medan resmi, yakni sebagai kolektif pertunjukan yang tak perlu menyerahkan laporan pertanggungjawaban kepada kampus, atau mem-fix-kan landasan ideologisnya dalam bentuk teks-teks AD/ART. Sehingga metode gerak mereka cenderung mengalir, dengan basis ideologi yang terus menerus mengalami pendefinisian.

Sebagaimana rute estetika yang telah mereka angkut: “Aftermatch”, “Fintext”, “Jedag-Jedug Method”, hingga “Strawberry Trayek”. Merupakan ungkapan generasi yang terus menerus melayangkan mosi terhadap keterhimpitan hari ini. Alhasil ketika teater resmi mengalami kemiskinan cerita, setiap presentasi mereka turut memproduksi arsip-arsip baru dalam sejarah teater. Ketika teater resmi terkungkung oleh konversi realisme, terstruktur, dan modern, Karangdunyo justru memunculkan konversi tidak lazim, skizofrenik, akrobatik, dan serba kontaminatif.

Gejala ‘post-’ yang diucapkan secara repetitif dan mengepung telinga penonton dalam pertunjukan “Strawberry Trayek”, dapat dibaca sebagai upaya mereka mendekonstruksi konversi estetika yang diabsolutkan oleh teater resmi. Ketika teater mengalami pelembagaan resmi, kemunculan Karangdunyo adalah upaya untuk menunda konklusi estetika yang menjangkiti wilayah teritori mereka. 

Menjadi Liyan Dalam Teritori Resmi

”Sejauh mana varietas liyan bernama Karangdunyo mengokupasi wilayah resmi teater kampus?”

Sebagai subjek yang terlibat langsung dalam proses peramuan dan presentasi, bahkan sempat meninjau dapur estetika Karangdunyo, pertanyaan yang paling ingin kulayangkan adalah: Apakah kawan-kawan menikmati proses menjadi Karangdunyo dan merasa perlu untuk keluar dari konversi resmi teater kampus? 

Sebagaimana yang telah panjang lebar kupaparkan di atas, individu-individu yang lahir dari rahim teater resmi cenderung terformat dan beroperasi dalam program teks. Meskipun Karangdunyo beroperasi di luar medan resmi, namun bukan berarti individu di dalamnya siap digiring untuk terbebas dari hegemoni teks. 

Ketika Karangdunyo memilih sikap politis untuk bergerak di wilayah kampus, serta menghimpun subjek-subjek yang berada di kampus, kiranya perlu diketahui bahwa subjek-subjek tersebut adalah hasil dari konversi estetika yang dibentuk oleh rahim teater resmi. Maka sulit kiranya membayangkan tubuh-tubuh mereka yang telah berbulan-bulan dibentuk oleh kurikulum tubuh, olah vokal, olah rasa, tata kelola terpusat dan instruktif, rapat rutin dan evaluasi, musyawarah besar, serta intervensi alumni yang berbusa-busa, terbiasa dengan metode dan kerangka estetika ‘post-’. 

Barangkali Darryl yang berkali-kali berperan sebagai sutradara sekaligus penulis naskah, luput membaca gejala tersebut. Biografi Darryl yang kadung terpapar wacana ‘post-’, telah membentuk model bertutur Karangdunyo yang serba ‘post-’: postdramatic, postmodern, posthuman, dan beragam fragmen yang dapat dilekatkan dengan sisipan ‘post-’. Lantas bagaimana sisipan ideologis ‘post-’ tersebut dioperasikan sebelum hadir ke medan pertunjukan? Apakah kawan-kawan Karangdunyo berbahagia menjadi subjek ‘post-’? Alih-alih dibangun dalam kerangka berpikir ‘post-’, apakah sisipan ideologis ‘post-’ hanyalah permak, guna menutupi konversi estetika resmi yang kadung mengakar dan membentuk subjek-subjek di dalamnya?

Serangkaian pertanyaan di atas bukanlah sentilan iseng yang kulayangkan sebagai mosi sindiran. Pun bukan pula semacam tatapan curiga yang kulayangkan kepada Karangdunyo. Sebagai subjek yang sama-sama dibentuk oleh institusi yang sama, kiranya penting bagiku untuk terlibat memikirkan bersama iklim teater kampus yang relevan, sebelum akhirnya menjadi teralienasi atau mati konyol di medan teritori resmi.

 

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Kamis, November 21st