Saat wacana kemajuan menjadi ambisi, maka ukuran yang ditetapkan menjadi kacau dan dominatif. Semua dikerahkan untuk seragam dan secepatnya menjadi terdepan. Wacana kemajuan menjadi otoriter ketika digerakkan oleh para oligarki melalui tangan negara. Kemajuan pun seringkali didefinisikan dalam cara yang sangat spesifik dan tunggal, biasanya berbasis pada model Barat atau standar industri tertentu. Misalnya, kemajuan sering diukur melalui pertumbuhan ekonomi, teknologi, atau modernisasi yang kerap mengabaikan konteks lokal dan keragaman budaya.
Di balik setiap proyek kemajuan, ada mantra klise yang selalu terucap: ini demi kesejahteraan masyarakat kecil. Pada akhirnya, masyarakat kecil yang dimaksud menjadi bias. Sebab, representasi suara yang dipakai mewakilinya justru mempertegas stereotip diskriminatif atau malah tak sesuai kenyataan.
Tulisan ini berangkat dari proses riset menuju pameran StART Exhibition 15-18 Agustus 2024, yang menggunakan ingatan warga tentang proyek-proyek mangkrak di Lembata juga berbagai peristiwa sebagai dasar penciptaan karya. Proyek-proyek mangkrak tadi bukan sekadar hasil dari permasalahan administratif tentang tata kelola atau perancangan, tapi jauh dari itu, ini masalah paradigma pembangunan yang dikejar dengan ukuran material berupa gedung yang megah serta proyek-proyek besar.
Di wilayah Flores, terkhusus Lembata, ada banyak contoh untuk melihat ambisi kemajuan yang begitu kuat menjadi ukuran pembangunan. Tetapi, hal itu justru kontras dengan gerakan-gerakan inisiatif masyarakat akar rumput yang dipelopori para perempuan, seperti Mama Isabela dengan pengobatan kusta sejak 1956 di Lembata, kerja Mama Bibiana Rianghepat melalui YS3L (Yayasan Solidaritas Sedon Senaren Lamaholot) untuk membuka bank perempuan dan kelas-kelas pelatihan bagi perempuan sejak 1990.
Menuju StART Exhibition
Pameran ini bermula dari obrolan WhatsApp, ketika dua sahabat saya yang sedang kuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta—Yoman dan Mario—bercerita soal paparan wacana yang mereka alami di berbagai pameran di Jogja. Sebelumnya, pada 2018, saya dan Yoman membentuk komunitas Teater Suara. Namun, sejak 2022, kelompok ini hiatus karena kesibukan pendidikan kami masing-masing. Obrolan berlanjut, tentang ruang pameran yang kami alami di Lembata, juga perihal bentuk serta wacana yang ingin kami angkat dari pengalaman melihat, mendengar, atau mempersiapkan ruang pameran sebelum belajar di luar Lembata.
Dari kilas balik ingatan mengalami pameran di Lembata, kami menemukan bahwa konsep pameran di sini tidak jauh beda dari bazar. Para seniman dan pengrajin dikumpulkan, memajang karya-karya mereka untuk dijual. Tidak ada rancangan tata letak atau catatan kuratorial. Semua karya diurutkan atau dipajang hanya untuk dilintasi para pengunjung.
Ini juga menjadi pertanyaan reflektif kami berdua: dalam konteks Lembata, seberapa mungkin kami menerapkan bentuk-bentuk pameran yang ideal, seperti yang ditemui atau dialami di luar Lembata? Dengan ruang publik yang terbatas, ekosistem kesenian yang masih merangkak, dan publik sendiri yang belum terbiasa mengalami ruang pameran sebagai ruang estetik, ruang belajar, ruang mengenal dan berbagi wacana, lantas orientasi apa yang mau dicapai jika berani mengadakan pameran di Lembata? Dua pertanyan itu yang menjadi alasan kami memilih StART Exhibition sebagai nama pameran. Kami ingin menjadikan pameran ini sebagai langkah awal untuk merasakan dan mengidentifikasi ulang potensi kesenian di Lembata, juga membangun kembali jaringan relasi yang kami tinggalkan karena berkuliah di luar Lembata.
Percakapan itu berlanjut. Kami mulai menjaring teman-teman lain untuk membicarakan rancangan tematik, konsep ruang, juga bentuk program yang akan dilaksanakan. Apa yang mau dibicarakan lewat pameran ini, wacana apa yang ingin dibangun? Tentu itu selalu menjadi pertanyaan dasar sebelum bergerak.
Bagi masyarakat Lembata, ada dua konteks peristiwa yang penting untuk diurai dan dibicarakan ulang. Pertama, Pada 2024 ini, Lembata merayakan momen sakral usia perak Otonomi Daerah. Perayaan ini untuk mengenang sejarah perjuangan pada 1954 silam. 7 Maret 1954, beberapa tokoh mewakili masyarakat Lembata menyatakan sikap untuk lepas dari pengaruh Swapraja Larantuka dan Sagu di Adonara, yang dianggap sebagai warisan kolonial. Mereka melakukan pertemuan di Hadakewa, sebuah desa di Kecamatan Lebatukan. Peristiwa ini penting karena menyatukan berbagai golongan yang ada di Lembata, baik secara suku maupun politik. Dua partai besar di Lembata saat itu, Masyumi dan Partai Katolik, bersatu. Dua subsuku besar di Lembata, Lamaholot dan Kadang, juga ikut bersatu mendukung semangat untuk lepas dari kekuasaan Swapraja Larantuka dan Sagu, memiliki hak otonomi sendiri. Peristiwa pernyataan sikap ini kemudian dikenang sebagai Statement 7 Maret 1954.
Setelah perjuangan panjang sejak 1954 hingga 12 Oktober 1999, Lembata akhirnya resmi menjadi kabupaten. Untuk mengenang perjuangan itu, pada setiap perayaan Otonomi Daerah, kisah heroik tentang Statement 7 Maret 1954 akan selalu diceritakan. Cerita itu tidak lepas dari bias dan tendensi kepentingan, tentu dalam rangka membentuk kekuatan politis dan sosial. Apakah Statement 7 Maret 1954 memang membayangkan bentuk Otonomi Daerah? Ataukah itu narasi yang berkembang setelahnya, yang jauh dari bayangan para pencetus Statement?
Pada 2023, dibangunlah patung Brigjen Pol. (Purn.) Drs. Antonius Stephanus Enga Tifaona atau Anton Enga Tifaona, seorang perwira polisi asal Lembata yang pernah dua kali menjabat kapolda. Pembangunan patung Anton Enga Tifaona menggusur Tugu Tani, yang sebelumnya sudah berdiri. Tugu Tani adalah monumen yang didirikan tidak hanya sebagai simbol penghormatan pada para petani, pada rakyat, tetapi juga sebagai simbol yang lebih inklusif merepresentasikan masyarakat Lembata.
Patung Anton Enga hasil olah tangan Dolorosa Sinaga itu berdiri gagah di tengah kota. Selain untuk menjadikan Anton Enga pahlawan nasional, pembangunan patung seharga Rp2 miliar itu juga punya narasi lain: untuk menjadikan sang purnawirawan sebagai ikon perjuangan Otonomi Daerah. Narasi itu sangat eksklusif, bahkan meruntuhkan semangat dan nilai kolektif dari perjuangan Statement 7 Maret 1954.
Begitu masa kampanye Pilkada 2024 dimulai, barisan baliho calon bupati berjejer di belakang patung Anton Enga. Entah memanfaatkan ruang untuk terlihat atau juga ingin mengheroikkan diri, beberapa pasangan calon bupati dan wakilnya menggunakan peristiwa historis Statement 7 Maret 1954 sebagai narasi narsis mereka. Beberapa tagline seperti “Tokoh Perjuangan Statement Tujuh Maret”, “Lembata Panggil Pulang”, atau “Paket 7 Maret” digunakan untuk membentuk citra heroik karena keterlibatan mereka pada perjuangan Otonomi Daerah.
Kedua, menuju Pilkada 27 November 2024 nanti, janji-jani pembangunan dan kesejahteraan akan santer dikumandangkan, janji-janji yang membicarakan kemajuan, membicarakan perubahan. Tetapi, ada yang luput dari janji-janji itu ketika membayangkan wajah Lembata: tentang ruang, tentang jalan-jalannya. Beberapa proyek di Lewoleba, pusat pemerintahan Kabupaten Lembata, adalah contoh dari gagalnya ide kemajuan itu sendiri. Di Pelabuhan Lewoleba, ada jobber (depo pengisian BBM) yang mangkrak sejak 2007 dengan anggaran pembangunan sebesar Rp50 miliar. Ada pula kapal pinisi Aku Lembata yang menjadi pajangan di pelabuhan karena terjerat kasus korupsi. Anggaran pembeliannya sebesar Rp2 miliar. Kapal itu hanya digunakan tiga kali untuk mengantar tamu dan keluarga bupati. Bekas-bekas tiang pembangunan proyek Awalolong sebesar Rp7 miliar yang gagal karena masalah korupsi juga masih bisa dilihat. Ini masih beberapa contoh dari sekian banyak proyek mangkrak dan bermasalah di Lembata. Belum lagi proyek yang sedang dibangun. Hingga tulisan ini dibuat, masyarakat Atadei di Lembata masih berjuang melawan proyek geotermal untuk mempertahankan ruang hidup mereka. Dengan keadaan demikian, gagasan kemajuan macam apa yang ditawarkan para calon kepala daerah tadi?
Dua konteks tadi membawa kami menggumuli kata kunci “memori kolektif” sebagai kerangka tematik yang ingin dikembangkankan. Kenapa harus ingatan? Karena ingatan punya peran krusial dalam pembentukan identitas. Dalam masyarakat yang terbayangkan (imagined community), imajinasi mereka tentang identitas selalu dihubungkan melalui ingatan akan ciri, cerita, juga masa lalu yang membangun ikatan atas rasa sebagai suatu komunitas. Ingatan adalah sesuatu yang personal. Tetapi, ia juga memiliki pantulan dengan konteks sosial, yang turut membentuk ingatan personal itu.
Cerita patung Anton Enga dan baliho-baliho kampanye tadi adalah contoh dinamika antara ingatan dan kekuasaan. Kontrol narasi, penggunaan simbol, serta reinterpretasi sejarah merupakan cara untuk mempertahankan dominasi sejarah. Ingatan dipolitisasi untuk mendukung agenda kelompok tertentu, tentunya ini selalu memiliki bias secara kultural. Kelompok atau tokoh tertentu akan menganggap diri sebagai pahlawan, yang layak mendapatkan privilese karena jasa kultural dan politik. Ingatan tidak hanya penting untuk mengurai sejarah, tapi juga untuk membentuk orientasi kolektif. Ingatan membawa orang untuk mengalami dan memahami ruang yang dihidupi.
Proyek-proyek mubazir dan terbengkalai tadi berada di sekitar ruang ramai masyarakat: tempat nongkrong anak muda, tempat wisata, atau spot untuk menghabiskan malam Minggu. Pemandangan itu sudah menjadi kebiasaan, orang-orang lalu lalang seperti biasa. Tidak ada pertanyaan, tidak ada yang mau membicarakannya lagi. Orang-orang melupakan proyek dan korban di balik ambisi itu, atau mungkin sengaja dibuat lupa.
Mengingat untuk Belajar
Untuk mendalami konsep memori kolektif, kami sepakat untuk bersama-sama membaca dan mendiskusikan esai Maurice Halbwachs berjudul “Space and The Collective Memory” juga buku Astrid Erll berjudul Memory in Culture (2011). Dua bacaan ini saya dapatkan saat mengikuti program Sekolah Dasar KAHE di Komunitas KAHE. Di kelas itu, kami menerjemahkan dan mendiskusikan tulisan para akademisi yang mengkaji memori kolektif.
Maurice Halbwachs dan Astrid Erll sama-sama mengkaji memori kolektif, tetapi mereka punya pendekatan dan fokus berbeda. Menurut Halbwachs, ingatan dibentuk dan dipengaruhi oleh kelompok sosial, sehingga setiap kelompok memiliki memori kolektif yang unik. Astrid Erll, di sisi lain, mengembangkan konsep memori kolektif dengan menekankan pada aspek performatif dan representasional dari ingatan. Ia lebih fokus pada bagaimana ingatan dibentuk dan dinyatakan dalam praktik budaya, media, dan narasi. Penekanan konteks dari Halbwachs sebagai medan produksi kebudayaan dan Astrid Erll soal representasi sebagai narasi alternatif terhadap dominasi sejarah menjadi landasan kami dalam menentukan rancangan ruang, subjek riset, serta bentuk artistik yang ingin disajikan.
StART Exhibition pada pagelaran pertama ini mengusung tema The City of Stone. Tema ini berasal dari salah satu subjudul tulisan Halbwachs, “The Stones of The City”. Di tulisannya, Halbwachs membahas bagaimana elemen-elemen fisik dan simbolis dalam sebuah kota (seperti bangunan, monumen, atau bahkan struktur kota itu sendiri) berfungsi sebagai bagian dari ingatan kolektif masyarakat yang tinggal di sana. Monumen atau bangunan bersejarah, misalnya, bisa menjadi simbol penting yang menyimpan ingatan kolektif tentang masa lalu. Kami kemudian mengganti frasa the stones of the city dengan the city of stone.
The City of Stone merupakan suatu ungkapan simbolik soal ruang atau tempat tinggal yang rapuh, terbengkalai, dan dilupakan.
Ada tiga ruangan yang kami bagi dalam pameran. Ruang pertama menggunakan aula Dekranasda Lembata. Untuk ruangan kedua dan ketiga, kami menggunakan koridor dan satu ruang kosong dari Perpustakaan Daerah Kabupaten Lembata. Dua gedung ini berderet. Ini memudahkan kami merancang jalur pameran untuk menghubungkan setiap ruang.
Ruang pertama fokus pada isu pembangunan yang ada di Lembata. Pemilihan proyek-proyek mangkrak di Lembata sebagai lokus karya merupakan suatu antisipasi juga sikap kritis terhadap situasi politik serta arus wacana pembangunan yang akan masif dikumandangkan dalam Pilkada. Ingatan kolektif soal kegagalan di balik proyek ambisius ini menjadi satu titik refleksi terhadap wacana serta hasrat kemajuan yang tidak diimbangi sumber daya dan kemampuan. Teman-teman seniman membuat karya lukis, juga instalasi, sebagai respons atas arsip-arsip yang kami kumpulkan dari berbagai pemberitaan serta transkrip wawancara warga di sekitar proyek mangkrak.
Bartes dan Mario (tim desain visual) menggabungkan fotografi dan ilustrasi dalam karya mereka untuk untuk merespons arsip Gedung Tua (kantor bupati yang terbakar). Viky (seniman) membuat instalasi kapal yang terbakar untuk merespon pemberitaan kapal pinisi Aku Lembata. Haris Dores dan Vu Delos (tim artistik) membuat instalasi dari radio dan majalah-majalah untuk menggambarkan perubahan cara orang menerima dan menikmati informasi. Goten Kraft (komunitas seni rupa Lembata) membuat instalasi tsunami dan lukisan beberapa bangunan mangkrak di Lembata. Lukisan itu diletakkan menghadap ke arah gelombang tsunami.
Ruang kedua fokus pada sepak terjang para tokoh perempuan Lembata, warisan pengetahuan, serta inisiasi gerakan yang mereka rintis. Ruang kedua ini berjangkar pada pengelolaan arsip dari Isabela Diaz Gonzales, Mama Bibiana Rianghepat, dan Mama Regina Lolonrian.
Mama Isabela Diaz Gonzales (masyarakat Lembata mengenalnya sebagai Mama Bidan) sejak 1956 membuka rumah penyembuhan untuk para pengidap kusta. Setelah menghabiskan masa pendidikanya di Jerman dan praktik di India, Mama Bidan pulang dan memberi pelayanan kepada para pengidap kusta. Orang-orang yang diobati Mama Bidan bukan hanya berasal dari Lembata, tetapi juga beberapa daerah di sekitar Flores, seperti Larantuka, Maumere, Timor, juga dari Pulau Binongko, Sulawesi Tenggara. Vu Delos dan Haris Dores membuat sebuah proyeksi ruang doa, untuk meletakkan arsip berupa foto-foto perjalanan Mama Bidan dari Jerman, juga foto-foto aktivitas kerja Mama Bidan selama menyembuhkan pengidap kusta.
Mama Bibiana Rianghepat adalah aktivis perempuan yang berkarya di Lembata sejak 1980-an. Tahun 1990, Mama Bibiana mendirikan Yayasan Solidaritas Sedon Senaren Lamaholot (YS3L). Melalui yayasan ini, Mama Bibiana membuka berbagai kelas untuk perempuan, seperti kelas tenun, kelas peningkatan produktivitas pangan, dan bank pasar perempuan Lamaholot (Wulen Sedon Lamaholot). Mama Bibiana juga membuka konseling serta pendampingan terhadap korban kekerasan anak dan perempuan. Selain itu, YS3L juga menerbitkan buletin berjudul Kencan. Lewat buletin ini, Mama Bibiana serta tim YS3L menuliskan pandangan mereka soal situasi, pemikiran tentang gender, dan pembangunan konteksual yang ingin dicapai di Lembata. Mama Bibiana terpapar wacana global karena keterlibatannya dalam beberapa konferensi internasional di Filipina pada 1992, Kanada 1995, Beijing 1995, Bangladesh, dan beberapa lainnya. Semua wacana itu dia serap dan terjemahkan dalam posisinya sebagai perempuan, orang Indonesia, dan lebih khusus lagi orang Lamaholot. Hal ini diungkapkan dalam tulisanya berjudul “Gender Berakar Lamaholot”. Jery dan Yudi (seniman) merancang sebuah ruang kerja untuk memajang arsip foto-foto Mama Bibiana selama mengikuti berbagai konferensi internasional, foto kelas-kelas yang dibuka oleh YS3L, serta buletin Kencan yang diterbitkan oleh YS3L.
Mama Regina Lolonrian adalah pendiri panti asuhan Eugene Smith. Mama Regina menggerakkan panti ini secara swadaya. Awalnya, beliau menjadi juru masak pada rumah biara para suster CIJ (Congregatio Iinitationsis Jesu) di Lembata. Dia juga bekerja serabutan menjadi penjual sayur, pembantu rumah tangga, dan penjahit. Pada 2002, Mama Regina mendapat bantuan dari Bruder Damianus SVD untuk membangun sebuah rumah penitipan anak. Sepanjang 2002-2012, panti asuhan ini tidak dinaungi yayasan apa pun. Kebutuhan anak-anak panti dipenuhi Mama Regina dengan mengandalkan kerja menjadi pembantu rumah tangga, penjual sayur, dan tukang masak untuk beberapa biara di Lembata, juga donasi dari beberapa pastor dan orang yang peduli pada inisiasi beliau. Jerry (seniman) membuat karya foto untuk merespons arsip Mama Regina. Yudi dan Paskal (seniman) membuat karya instalasi rupa seorang ibu dan anak, juga untuk merespons arsip Mama Regina.
Ketiga tokoh perempuan itu telah wafat. Niatan menjadikan ketiganya sebagai lokus riset dan pengkaryaan bukan hanya untuk menghormati kiprah mereka, atau meretas dominasi kisah-kisah heroik tokoh lelaki semata, tetapi juga untuk merekonstruksi konsep pembangunan. Warisan pembangunan tidak hanya diukur dari bangunan yang ditinggalkan, melainkan dari gagasan dan gerakan-gerakan sosial yang dirintis.
Ruang ketiga fokus pada pembahasan soal peristiwa-peristiwa kecil, yang luput dan tidak tercatat dalam sejarah pergerakan otonomi Lembata. Peristiwa-peristiwa itu antara lain adalah demonstrasi pada 1999 oleh 7 mahasiswa dengan nama JAKARTA (Jalinan Aksi Keprihatinan Masyarakat Lembata), ikrar para pemuda pada 1973 sebagai bentuk persatuan dan tuntutan perjuangan Lembata menjadi daerah otonomi, serta aksi RDL (Relawan Lembata Damai) sebagai momen krusial ketika ada konflik kepemimpinan antara Ande Duli Manuk dan Piter Keraf yang berpotensi menjadi perang antarsuku saat itu. Cerita-cerita di sekitar perjuangan otonomi ini untuk memperkuat dan mempertegas ingatan perjuangan otonomi sebagai perjuangan kolektif. Harapannya, tak ada lagi ikon tunggal yang memonopoli narasi perjuangan. Mario (seniman) merespons ruang ketiga ini dengan menggambar komik dari cerita-cerita yang dikumpulkan.
***
Bicara tentang ingatan tentunya juga bicara soal sejarah. Dalam sejarah, kita akan menemukan berbagai versi, dominasi, juga gerak yang mendorong atau membentuk perubahan. Perjalanan sejarah adalah juga perjalanan tarik-ulurnya berbagai wacana. Ada dominasi kisah heroik, ada yang luput, ada yang hilang dan tak ingin diingatkan kembali. Bicara soal sejarah pun tak bisa lepas dari kepentingan. Melihatnya hanya sebagai rangkaian peristiwa akan mengaburkan fungsi sejarah sebagai referensi dan refleksi terhadap identitas kolektif masyarakat. Hal ini yang ingin kami bagi dan sampaikan di dalam StART Exhibition.
Ruang pameran sebagai medium presentasi wacana juga dapat menjelma jadi ruang yang disebut Henri Lefebvre sebagai perceived space (ruang yang dirasakan). Bagi Lefebvre, perceived space membangkitkan dimensi emosional dan imajinasi manusia untuk melihat kembali dirinya sebagai suatu aspek yang turut membentuk ruang hidupnya. Dari interaksi dengan karya, cerita, dan diskusi dalam ruang pameran StART Exhibition, pengalaman publik dengan sejarah ruang hidupnya dihubungkan secara emosional, secara lebih personal. Seperti yang dituliskan Yoman, manajer program kami dalam satu unggahan cerita Instagram miliknya:
“Di setiap sudut pameran ini, kita diingatkan bahwa seni bukanlah cermin yang menunjukkan dunia sebagaimana adanya, tetapi sebuah prisma yang memecah kenyataan, memperlihatkan warna-warna yang tersembunyi di dalamnya.”
[…] dan kontestasi ruang dapat kita lihat dalam tulisan berjudul Mengurai Kegelisahan di balik Pameran StArt Exhibition: The City of Stones pada rubrik Layar. Domi Djaga mengurai gagasan pameran StART Exhibition: The City of Stones yang […]