Mengamati Teater Orang Tertindas di Brasil

Di bawah lengkungan viaduk panjang Lapa, jutaan orang berlalu lalang dari pagi hingga ke pagi lagi. Banyak yang berangkat bekerja dan tidur di jalanan; namun di sore hari sering terdengar genderang samba bertalu-talu atau sesekali pertunjukan teater rakyat di waktu tertentu. Itulah keseharian di daerah Lapa, Rio de Janeiro; tempat Centro de Teatro do Oprimido (CTO, terj.: Pusat Teater Orang Tertindas) beralamat. Mungkin ini juga alasan Boal memilih Lapa sebagai tempat pusat teaternya berdiri di Rio, sebab Lapa memiliki ruang terbuka untuk latihan dan dapat diakses oleh siapapun yang merasa butuh berekspresi. Lapa sendiri adalah bairro (semacam distrik) antik yang sudah ada sejak abad ke-18. Semakin tua, semakin mahal tempatnya, dan semakin sering kita akan melihat orang tinggal di jalan dan para penjaja yang bergantung pada turis untuk menyambung hidup. CTO seperti ingin menjadi rumah bagi siapapun yang tertindas: secara ekonomi, ras, dan sosial-politik.

Rio de Janeiro adalah kota mantan ibu kota Brasil hingga tahun 1960 dan memiliki populasi besar sejak masa kolonial. Dipandang sebagai pusat Brasil dan destinasi wisata yang kaya, pertumbuhan kota ini meminggirkan banyak orang berkulit hitam dan campuran akibat gentrifikasi. Itu sebabnya, ada tempat-tempat yang sering kita kenali sebagai favela atau pemukiman yang dianggap kumuh, biasanya berlokasi di atas bukit (sebab lokasi pantai dan kota dan sudah sangat mahal). Penghuninya adalah orang-orang yang terdampak gentrifikasi dan segregasi tempat tinggal sejak masa kolonial serta pasca Perang Dunia II dulu, utamanya orang kulit hitam atau berwarna lainnya. Ketimpangan dan ketertindasan menjadi pandangan sehari-hari saya di Rio. Kota yang di media Barat dan di media sosial terlihat sangat indah dari atas, sesungguhnya begitu menyedihkan di bawah.

Teater Orang Tertindas

Membicarakan teater orang tertindas atau teatro do oprimido dalam bahasa Portugis Brasil, tidak akan lepas dari pencetusnya: Augusto Boal. Pemikiran dan karyanya begitu kritis terhadap pemerintahan dan mengancam diktator Brasil. Ia disiksa dan dipenjara, hingga memilih mengasingkan diri keluar Brasil bersama istrinya. Sebelum eksil, Boal berkarya di São Paulo, bersama Teatro Arena dan Teatro Oficina di dekade 1960-an dengan karya terjemahan maupun karya asli yang pernah dibredel di masa red scare dan pembasmian komunisme Brasil kala itu. Walau Boal adalah carioca (sebutan untuk orang Rio de Janeiro), pemikiran teater orang tertindas lahir saat ia sedang berkarya di São Paulo. Justru pada saat masa pengasingannya, Boal melahirkan banyak konsep teater lain (dalam payung teater orang tertindas) seperti teater tak terlihat, teater forum, dan teater citra (teatro imagem). Ketika ia kembali ke Rio de Janeiro di dekade 1980-an, konsep teater orang tertindas begitu disambut baik dan diinterpretasikan ulang dengan cara serta konteks Brasil, bahkan hingga sekarang.

Boal mendirikan Centro de Teatro do Oprimido pada tahun 1986. Pendirian pusat teater ini berdekatan dengan perumusan Konstitusi Federal 1988, yaitu amandemen konstitusi negara yang menggarisbawahi kebebasan berpendapat dan redemokratisasi Brasil pasca masa diktator militer. Konstitusi ini begitu inklusif, hingga dapat mengkriminalisasi rasisme dan homofobia; serta, tentu saja memberi ruang yang besar pada suara orang pribumi dan kulit hitam di Brasil.

CTO menjadi ruang aman bagi seniman kulit hitam dan seniman berpikiran kiri di Rio de Janeiro. Seiring perkembangan, CTO kemudian juga bergerak ke arah seni aktivisme; tidak hanya mengembangkan estetika dan ajaran Boal saja. CTO bahkan punya direktur seni-politik yang mengembangkan estetika dalam konteks politik; dan direktur politik-seni, yang menyelipkan kesenian dalam gerakan politik seperti dalam protes dan kebijakan. Saya sangat beruntung karena menginap di tempat yang bertetangga langsung dengan CTO dan bisa bertamu langsung. Saya hanya sedikit mengamati di CTO namun mereka berbaik hati memberikan saya buku referensi terbaru pengantar kancah teater orang tertindas di Rio de Janeiro. Terdapat 10 kelompok teater berbasis metode Boal di kota ini, yang terdata oleh CTO. Berdasarkan data tahun 2019, 46% pelaku teater orang tertindas di Rio de Janeiro adalah perempuan kulit hitam dari berbagai umur.

CTO kemudian memperbaharui haluan dengan menambah pedagogi curinga (joker dalam bahasa Inggris; sebutan untuk pemimpin aktivisme melalui teater) serta teater perempuan tertindas yang ditajamkan oleh Barbara Santos. Keluarga Boal sendiri beralih ke menjaga warisan praktik dan karya Boal melalui Escola de Teatro Popular (ETP, terj.: Sanggar Teater Rakyat) dan Instituto Boal untuk arsip teater yang dibina oleh istrinya, Cecilia.

Ragam Praktik Teater Orang Tertindas Masa Kini

Saya berkesempatan untuk mengamati dua proses latihan teater orang tertindas di Rio de Janeiro pada 6 Maret 2024. Dua latihan ini adalah adegan pendek untuk meramaikan Festival Augusto Boal yang diselenggarakan pada 21-22 Maret 2024. Latihan yang saya amati khususnya diampu oleh nukleus Escola de Teatro Popular di bawah koordinasi Julian Boal dan Geo Britto.

Saya mendatangi dua dari enam nukleus (sebutan mereka untuk cabang) Escola de Teatro Popular. Observasi saya pada praktik teater hari itu diawali dengan kunjungan ke Universidade Federal de Rio de Janeiro (UFRJ) di kampus Praia Vermelha. Nukleus pertama yang saya datangi beraktivitas di dalam kampus tersebut, khususnya di Fakultas Ekonomi, namun mahasiswa serta dosen yang latihan bersama bisa datang dari fakultas ilmu humaniora mana saja – begitu yang diceritakan Daniel de Nadai, mahasiswa S2 Ekonomi yang merupakan bagian dari nukleus ini. Daniel mengundang saya pada latihan yang diselenggarakan di gedung kampus yang sudah berdiri dari abad ke-19 itu,

Dosen dan mahasiswa beraktivitas bersama-sama dalam nukleus ini, berproduksi bersama sebagai aktor dan perumus naskah. Tidak ada sekat, saya yang hanya pengamat sampai tidak tahu bedanya yang mana dosen dan mahasiswa. Saya baru tahu ketika saya ajak mengobrol dan makan siang bersama di kantin. Nukleus UFRJ ini banyak mengkritik soal privatisasi kampus. Maria Malta, dosen ilmu ekonomi yang juga merupakan aktor, menyampaikan pada saya bahwa UFRJ menghadapi pengurangan pembiayaan dari pemerintah pada masa kepresidenan Bolsonaro. Saking kekurangan uang, UFRJ menjual tanahnya untuk swasta dan rela tanah bersejarahnya beralih fungsi, menjadi ruang untuk konser.

Karena keadaan tersebut, nukleus UFRJ menciptakan adegan satir mengenai privatisasi kampus. Adegannya pendek, 15 menit saja, dimainkan oleh enam orang aktor. Adegan dibuka dengan meniru perilaku binatang secara bebas oleh masing-masing aktor, kemudian, salah seorang mahasiswa maju ke depan dan berkata bahwa ia adalah representasi badan kampus – yang disukai, terhormat, dan sangat penting untuk negara. Seiring adegan berjalan, si badan kampus merasa kesakitan, tapi orang-orang tidak peduli, karena lebih memilih berpesta dan pura-pura tidak merasakan sakit itu.

Kemudian ada tawaran dari “sang privatisasi” untuk mengobati sakit si badan kampus, namun dengan ultimatum: sembuh dengan privatisasi, atau mati tergantung oleh tawaran kapital. Adegan diakhiri dengan badan kampus dan “sang privatisasi” bersalaman, menerima privatisasi, saat badan kampus masih terikat tali di lehernya. Semua orang terlihat saling melengkapi dan santai saja dalam mengulang adegan berkali-kali agar penampilan sinkron satu sama lain. Salah satu aktor bahkan adalah teman tuli sebagian, dan perlu untuk membaca bibir aktor lain agar pertunjukannya padu. Dalam adegan ini, ada dua permainan teater Boal yang diterapkan: gerak binatang, dan telegram dari South Beach.

Saya selanjutnya dijemput oleh Julian Boal dan timnya, Erika Vargas untuk mengamati nukelusnya di São Gonçalo, kabupaten yang berjarak 40 menit dari pusat Rio de Janeiro melalui jalan raya negara bagian. São Gonçalo mempunyai keadaan yang sama sekali berbeda dengan nukleus UFRJ. Tempat latihan berlokasi ruang terbuka dapur umum yang berada di dekat pasar dan ojek pangkalan. Peserta dalam nukleus ini pun datang dari berbagai usia: dari 6-50 tahun. Semua yang ingin ikut dalam produksi adegan, sangat diperbolehkan tanpa ada kesulitan; hanya saja untuk anak-anak, jika mereka ingin tampil pada festival mendatang, Julian harus mendapatkan izin dari orangtua untuk keterlibatan mereka. Hari itu, saya mengamati proses bersama dengan psikolog dan pengajar teater asal Argentina, Suyai Villarino. Julian memberi kesempatan Suyai, Erika, dan saya untuk memperkenalkan permainan teater yang kami tahu dari masing-masing negara. Suyai mengawali dengan permainan konsentrasi. Saya melanjutkan dengan permainan foto keluarga yang saya pelajari dari kelas akting saya dahulu. Sementara, Erika memberikan permainan konsentrasi dan gerakan, sebelum Julian kemudian memulai latihan adegan dengan pemanasan vokal dan gestur.

Setelah semua permainan dan pemanasan, para anggota nukleus São Gonçalo mulai melakukan latihan adegan untuk festival. Dalam adegan pendek ini, protagonis diperankan oleh Thaylla, perempuan muda yang kebetulan merupakan anak dari pengelola dapur umum itu. Thaylla memerankan seorang ibu tunggal dan pekerja kerah biru yang memiliki dua orang anak perempuan. Sementara anggota lain memiliki peran ganda, yang bergantian berperan menjadi pekerja kantoran, supir, dan murid sekolahan. Satu adegan menuju akhir yang menurut saya cukup menggugah adalah bagaimana anak-anak São Gonçalo bermain tembak-tembakan dengan mainan, namun pada akhirnya, karena salah sasaran, salah seorang anak Thaylla tertembak peluru nyasar dan meninggal. Adegan pendek ini menggambarkan kerasnya hidup di São Gonçalo, bahwa anak di usia dini sudah dihadapkan pada kenyataan sistem masyarakat yang masih rasis, homofobia, hingga terjadinya femisida yang bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja di sana. Adegan ini disutradarai langsung oleh Julian Boal; naskah dibangun bersama oleh anggota nukleus berdasarkan cerita asli salah satu teman Thaylla.

Proses kreatif oleh nukleus UFRJ dan São Gonçalo mengingatkan saya bahwa, esensi dari teater seharusnya adalah permainan bersama dan penceritaan riil yang mengalir. Semuanya urun membangun cerita, semuanya urun tenaga dan minim kuratorial – karena semuanya adalah bagian dari ketertindasan. Teater orang tertindas di Rio de Janeiro, yang saya amati, bukan semata hanya untuk mereka yang tertindas secara ekonomi, tetapi tentu secara sosial-politik. Kita tidak bisa membicarakan teater orang tertindas hanya tentang orang miskin saja, tetapi juga perempuan, transgender, orang-orang kulit coklat dan hitam, orang pribumi, LGBTQ+, anak-anak, hingga pekerja kampus; yang jelas terpinggirkan dalam menyuarakan pendapat. Yang menyegarkan dari  melihat langsung nukleus juga adalah, tidak adanya pembeda-bedaan generasi dan pengalaman ketika berproses bersama.

Begitu banyak hal tentang ekspresi sosial politik melalui teater yang saya diskusikan dengan rekan-rekan baru saya di Rio. Teater orang tertindas benar-benar disebarkan kepada mereka yang secara sosial-politik perlu bersuara. Bahkan saya melihat betul bagaimana Julian masih ingin menyebarkan praktik ayahnya ke tempat-tempat yang belum terjangkau oleh CTO dan kelompok lain yang hanya berpusat di kota Rio de Janeiro saja. Ada satu hal yang saya amati, bahwa ketertindasan banyak sekali bentuknya, bahkan di dalam penerapan teater orang tertindas itu sendiri. Bahkan dalam kesibukan yang mengekang, janji, dan program seni yang begitu padat, saya menyaksikan betapa Julian, Geo, serta kawan-kawan di ETP dan CTO sangat mencoba melawan ketertindasan, bahkan dalam kancah mereka sendiri.

Hal-hal seperti machismo, seksisme, ageism, dan klasisme sangat dihindari dalam praktik teater Boal masa kini. Itu pula yang saya yakin Boal inginkan lihat di masyarakat, jika ia masih hidup. Begitu juga seniman teater dan sastrawan Indonesia, ada ruang-ruang ekspresi yang perlu direbut untuk melawan konsep-konsep usang yang sudah tersebut di tulisan ini dari awal. Sungguh besar harapan saya untuk melihat teater orang tertindas di Indonesia bisa diterapkan oleh kalangan yang benar-benar terpinggirkan, tidak oleh mereka ‘yang tau-tau saja’ dan malah menjadi teater penindas.

 

Penulis adalah cerpenis, peneliti seni, dan penerjemah sastra Brasil. Saat menulis ini, ia sedang menjalani residensi di Brasil dengan Beasiswa Pelaku Budaya Non-Gelar dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI dan LPDP.

Bagikan Postingan

Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Kalender Postingan

Kamis, Desember 26th